“Can, kamu nggak apa-apa?” Mas Jimmi(n) datang. Dia kasih aku handuk kecil sama air mineral. “Hampir babak belur, Mas.” Jawaban dariku, walau sebenarnya udah bonyok juga. Udah pakai pelindung aja sakitnya tembus sampai ke tulang. Bayangin nggak pakai pelindung. “Ronde pertama kontingen Korea menang, ya? Kalau ronde kedua dia juga yang menang, artinya medali emas sama mereka?” tanya Mamas.“Iya, Mas.” Tapi aku akan berusaha sekuat tenaga supaya dapat emas kali ini. “It’s okey not to get gold, Can. Nggak semua perlombaan harus kita menangkan. Ada namanya perlombaan itu lebih memberi kita pada pelajaran hidup.” “Mas, ngomong gitu, kan, udah dapat banyak emas?” Kok, dia bukannya ngasih aku semangat biar dapat emas, ya. Aneh Mamas, ah. “Kamu, kan, lihat ada juga perak sama perunggu. Yang jadi juara favorit ada juga, malah yang cuman jadi peserta juga ada, Can. Semua tahapan sudah Mas lewatin. Apa pun hasilnya yang penting kita sudah semaksimal mungkin. Kamu udah usaha habis-habisan. L
Kami sudah sampai di Indonesia. Kami pulang tepat waktu sesuai jadwal, karena sejujurnya sudah tidak kuat dengan cuaca dingin di Korea dan biaya hidup di sana yang luar biasa besarnya. Sampai uang modalku untuk membuka restaurant terpakai. Nggak mungkin minta bantuan sama Cantika walau dia ada uang. Bisa hilang mukaku di depannya. Sampai di bandara, tentu saja kedatangan Can dan kontingen lainnya disambut dengan kalungan bunga dan ucapan terima kasih. Tidak lupa foto-foto untuk urusan dokumentasi tempat latihan dan negara, katanya. Istriku seperti menjelma sebagai seleb dadakan yang harus berpose sesuai permintaan kameramen. Masih di bandara kami tertahan. Padahal aku sudah letih sekali ingin merebahkan diri di kasur. Can sepertinya begitu juga, tapi dia tetap pasang wajah ramah. Terutama ketika pihak salah satu skin care memintanya untuk endorse sun screen mereka sebagai produk yang dipakai Can saat latihan di dalam atau di luar ruangan. Pengambilan gambar untuk endorse tidak ada
“Kenapa bisa ada dia di sini?” Aku nanya sama salah satu juri. “Emang dia siapa?” Dia malah balik bertanya. “Istrinya Chef Jimmi, masak nggak tahu, sih? Nggak diundang ya, pas, nikahan,” jawab Cheff Bella yang masih mengenali siapa Cantika. “Aku yakin, sih, ini gimmick buat menaikkan rating tayangan. Tiba-tiba aja nongol peserta ke 21, padahal kesepakatan 20 dari awal.” Tebakan Chef Putra yang ada di sebelahku. Kami memang berdiskusi sebentar, karena ini terlalu dadakan. Jujur aku nggak tahu harus apa? Kalau sudah di dapur tentu harus professional. Semua yang pernah bekerja denganku tahu bagaimana aku dulu. Tapi kalau berhadapan dengan istri sendiri, harus bagaimana? Cantika dikerasin, dia ngambek. Didiemin nggak jadi apa-apa. Pusing kepalaku dibuatnya. Diskusi selesai, program tetap harus berjalan sesuai dengan ketentuan. Kalau masakan Cantika tidak enak dia harus dipulangkan. “Oke, selamat datang di dapur Super Food. Silakan perkenalan diri kamu.” Bella yang bicara sama Can, b
Aku bukan-buka lagi situs IPS, memastikan harga kursus di sana. 37 juta rupiah, diajarin sampai pinter, semua bahan disediakan. Hasil kue boleh dibawa pulang dan resep tidak disebarkan untuk umum. Pengajarnya Master Aing, sudah sangat professional di bidang patissery dan terbukti anak didiknya sukses dalam bisnis cake and bakkery. Minat juga aku jadinya. 37 juta, uang mahar masih utuh, uang hadiah udah cair. Nggak apa-apa, deh, demi sebuah pribadi yang jauh lebih baik. Biar bisa ngimbangin Mas Jimmi(n) juga. Baru aja aku buka pintu rumah. Niatnya jalan kaki ke depan untuk cari bus. Eh, ada orang nggak dikenal dua perempuan bilang hai sama aku. Katanya mereka dari program Super Chef yang jurinya suamiku sendiri. “Iya, terus saya bisa bantu apa, ya? Saya nggak terlalu pinter masak. Konten tik tok saya juga masih random, Mbak?” Aku menyuguhkan pizza buatanku pagi tadi.“Jadi peserta tambahan, Mbak,” jawab seseembak pakai lipstik merah cabe sambil comot pizza buatanku. Ekspresinya men
Bagian 38 Es Campur “Merah, merah, merah, merah lagi, kuning.” Chef Bella memeriksa hidangan nasi Padang buatan kami, tim A. Yang jelas bukan aku ketua timnya.“Nggak ada variasi warna lain, ya?” Cheff putra memegang piring kecil-kecil yang berisikan aneka lauk pauk khas Padang. “Ayam balado, dendeng batokok, ikan tongkol balado lagi, sambal campur-campur, gulai nangka. Nggak kepikiran buat yang warna hijau atau putih seperti ayam pop. Biar aneka warna. Nggak pernah belajar unsur estetik dalam makanan. Otak kalian ada, kan? Kenapa nggak dipakai untuk mikir,” kata lelaki berusia 32 tahun di depan kami. Es batu nyelekit banget sekali ngomong. Pedih sampai ke ulu hati. Sisi lain Mas Jimm(n) yang baru aku sadar ternyata menyeramkan. “Rendang siapa yang masak?” tanyanya lagi. Terus aku angkat tangan. Asli hari ini aku nggak sempat godain dia. Serius banget mukanya dari tadi. “Kenapa bentuknya begini? Yakin ini rendang?” Tatapan mata Mas Jimmi(n) serius banget sama aku. Aku yakin ja
Ya, benar sekali. Memang akhir-akhir ini nama Cantika Ayu Jelitta, selalu jadi bahan perbincangan kami bertiga ketika lagi di belakang layar. Ada saja yang ditanyakan oleh dua rekanku. Termasuk apakah aku tidak insecure punya istri jago berantem seperti dia. Aku jadi teringat ketika Can menyelamatkanku dari gangguan dua ahjussi pemabuk di Seoul. Awalnya memang, sedikit takut menikah dengan seorang kesatria pilih tanding bahkan sudah mengantongi medali emas. Eh, ternyata dibalik sikap pemberaninya, dia cengeng, takut gelap, dan nggak bisa dimarahin. Jadi perpaduan mematikan Cantika, luar biasa sekali untukku. Antara sisi hitam kopi dan putih susu yang harus diblend ditambah dengan beberapa gram creamer, hingga menjadi minuman yang rasanya nikmat, serta sulit dilupakan, dan membuat kita ingin mengulang lagi karena tidak ada bosannya. “Tapi kayaknya anaknya nggak banyak tingkah, ya? Yang aku denger mantan kamu itu nyusahin banget,” tanya Chef Bella. Kisah percintaan aku dengan seora
Hari ini kami memasak bukan di studio. Melainkan di satu tempat yang ditunjuk oleh Chef Putra. Acara ini pesertanya memang sudah dipilih, bahkan Cantika pun datangnya mendadak. Tetapi, tidak menjadi pembenaran untuk asal-asalan memasak. Toleransi kesalahan Can hanya sampai di sepuluh besar saja. Selebihnya dia akan aku pulangkan sendiri kalau memang tidak ada perkembangan. Entah dia tahu ini atau tidak, tapi rasanya dia pasti tahu karena krew sudah menjelaskan semuanya dengan detail. “Kita ke mana, sih, Mas?” tanya dia yang lagi duduk di sebelahku. Kami semua pergi pakai bus yang sudah disewa. Memang belum dikatakan pada peserta tujuannya ke mana. Akan meniadi kejutan tersendiri bagi mereka. “Tempat orang buang anak.” Dengan jujur aku menjawab. “Mas, dari kemarin ngomongnya anak terus, loh. Ini kode atau gimana, sih?” Dia meletakkan ponselnya dan melihatku yang juga melihatnya. “Kode apa?” Aku suka pertanyaannya.“Kode buat punya anak.” Can bisik-bisik tetangga. “Emang kamu udah
Ampun deh sama kedatangan juri satu ini. Chef Junna, nama legendaris luar biasa dari zaman aku masih dekil persis kayak badut ancol. Bisa mati berdiri aku dibuatnya. Belum apa-apa udah grogi. Please, get up, Cantika. Udah lima besar, dikit lagi perjuangan. “Baiklah semuanya. Ada pun kedatangan Chef Junna kali ini tidak untuk ditakuti karena beliau hanya datang sebagai bintang tamu saja, tidak untuk memasak dan masakannya kalian tiru, melainkan …” Chef Putra bicaranya pakai putus-putus lagi. Wow Chef Junna sama Chef Jimm(n) berdiri sebelah-sebelahan gitu persis pinang dibelah kampak. Sama-sama tatapan mata setajam silet dan jarang senyum. Aku seperti kehilangan seorang suami kalau udah di dapur Super Chef. Awal-awal aku kena mental dimarahin, tapi lama-lama udah biasa aja. Malah aku bercandain setiap hari. “Jadi untuk lima besar kali ini silakan memasak sama persis atau duplikasi makanan yang dibuat oleh Chef Putra.” Chef Bella melanjutkan yang tertunda tadi. Males banget kalau ud
Beneran ternyata gaes aku udah nikah. Buktinya aku sekarang duduk di pelaminan barengan dia setelah tadi melewati barisan pedang pora. Seragam kami kali ini hijau muda. Jangan dibayangin seperti lontong, pokoknya aku cantik, kata dia gitu. “Kamu cantik, deh, Sayang.” Entah udah keberapa kali buaya di sebelah aku bilang gini. Mual, terlalu manis kata-katanya, heeem.“Makasih, nggak ada uang kecil.” “Nggak perlu bayar pakai uang, cukup pakai—” “Udahlah. Ya Allah, kenapa itu terus dibahas dari tadi.” Hu hu huuu, ketahuan juga sifat asli Bang Ale sejak tadi kami sudah jadi suami istri. Takut sebenernya, tapi nggak mungkin juga minta cere, kan. Nggak lucu deh. “Ya, kan, salah satu tujuan nikah untuk itu, Istriku.” “Hueek!” Mendadak ingin muntah aku tu. “Belum juga diapa-apain udah hamil duluan, tenang aja Abang akan tanggung jawab atas perbuatan kita di atas bukit.” “Hoi, bisa diem, nggak? Makin lama makin ngadi-ngadi isi kepala Abang. Di atas bukit itu dua tahun lalu juga keles. Ka
Ya, malam ini aku dandan cantik sekali. Aku nggak kelihatan seperti chef lagi, melainkan seorang putri yang akan menerima lamaran dari seorang pangeran. Setengah jam lagi seharusnya mereka tiba di sini. Setelah segala drama dan begini begitunya, akhirya kami memutuskan untuk menikah. Sempat hampir berantem dan biasalah aku minta udahan aja, tapi akhirnya lanjut lagi. Soalnya pengajuan nikah militer, ampuuu cyiiiiiin, mumet ndasku mikirnya. “Ayo, Nak, semangat, udah cantik itu jangan mandang cermin melulu,” mamaku masih sambil menggedong adekku tersayang. Segala sesuatu telah kami siapkan. Makanan, dekorasi, termasuk pihak keluarga perempuan, kecuali kamera paparazzi. Aku lagi males diliput wartawan sebisa mungkin aku rahasiakan aja dari khalayak ramai.Satu demi satu tamu mulai datang. Suara Bang Ale udah mulai kedengeran. Diandra masuk dan memberikanku segelas kopi hangat racikan tangannya sendiri. Aku minum pakai sedotan biar nggak rusak lipstik. Baru aja aku mau melangkah, eh,
Sekilas aku melihat ternyata Iqis ikut juga jadi chef di pertemuan internasional antara negara timur tengah dan Indonesia. Aku kenal dia, tapi dia nggak kenal aku. Hiiih anak itu, es batunya luar biasa. Hampir empat harian di sini, kami nggak sempat saling menyapa. Iqis harus on point di dapur dan aku pada bagian keamanan. Kemeja hitam dan jas putih senantiasa aku kenakan agar terlihat rapi. Sebenarnya letih setelah dari luar negeri tugas lagi, tapi memang mengawal orang penting perlu orang-orang berpengalaman. Ajaibnya lagi aku jumpa sama Abu Lahab. Dia ngaku baru putus sama pacarnya satu, masih ada cadangan dua lagi. Astaghfirullah, buaya arab memang beda. “That girl, my girlfriend,” tunjukku sama Iqis yang lagi jalan membawa nampan berisi makanan. Abu Lahab bilang jamilah jamilah. “May be she is boring with you,” katanya. “No, no.” Aku tegaskan tidak. Jarang jumpa memang iya, tapi bosan kayaknya nggak. Entar aku buktikan. “You don’t look handsome.” Mulut Abu Jahal emang lain.
Habis drama kejar-kejaran di bandara, akhirnya aku dan dia berbaikan. Sengaja aku mengajak Bang Ale makan di restaurant tradisional Indonesia milik salah satu rekanku. Tebak apa? Dia makan banyak banget sampai tambah. “Kangen makanan Indonesia, ya?” tanyaku ketika dia tambah nasi. Bang Ale nggak menjawab hanya mengangguk saja. Ada sih, beberapa orang yang melihat kami, tapi ya, bodo amat bukan urusanku juga. “Kalau sama aku kangen, nggak?” Tsaaah, tumben aku nanyain ginian. Hatiku, kenapa kamu tidack bisa diajak kompromi sama sekali. Bang Ale berhenti makan dan menatapku sekilas. Tatapan yang membuatku ingin menyiram minyak panas ke wajahnya. Habis itu dia makan lagi. Dasar, nggak dijawabnya pertanyaan aku. “Petenya enak,” katanya, serah lo deh. “Sama kayak kamu.” Maksudnya apa, ya?“Jadi aku dan pete itu sama?” “Sama, sama-sama bauk.” Santai aja dia ngomong itu, loh, nggak ada rasa bersalah sama sekali. Refleks aku cium ketek, nggak ada bauk sama sekali. Aku udah pakai deodor
Aku senang dia udah membaik keadaannya di sana. Ya, meski harus menderita beberapa luka-luka ringan. Ada satu hal yang aku sadari. Aku bukan Iqis yang dulu, ada seseorang di hati, ahaaay. Ya, gimana, ya, namaya manusia bisa jatuh cinta. Aku, kan bukan patung. Hari-hariku LDR sama dia terasa begitu cepat. Aku masih jadi juri, sekaligus influencer yang mengusung nilai-nilai kebaikan dalam setiap makanan. Sloganku jangan biarkan bahan terbuang percuma. Aku diundang memasak di istana negara ketika ada tamu dari timur tengah. Dengan senang hati aku mengerjakan semuanya. Semua rupiahku yang hilang akibat membayar kompensansi tergantikan dalam waktu setahun lebih. Nggak terasa juga lama kami LDR. Dan kalian tahu apa, Bestieh, apa yang aku dapat lagi dalam setahun. Ya, agak gimana ya, umur udah 24 tahun dapat adek bayi lagi. Ewekwekwek, Mama hamil lagi. Katanya iseng, apaan, cobak? Aku sama Diandra berasa jadi mama muda. Adek kami laki-laki, namanya Adam tanpa Smith. Adam Devano Zolla.
“Bang Ale, sini kamu jangan lari.” Eeh, kenapa tiba-tiba Iqis marah sama aku. Padahal aku cuman bercanda soal udah kawin lagi. Emang, sih, gadis Lebanon cakep, mata biru ada juga yang hijau ada juga yang putih semua, tapi tetap aja dia yang paling memikat hati. “Hiat.” Iqis serius lagi marah dan dia menghantam pundakku sampai jatuh di pasir. Punggungku ditekan pakai siku dia, sangat kuat sampai aku jejeritan. Gusti Allah tolooong, kenapa dia jadi liar seperti peserta MMA yang pakai kutangan sama kolor doank. “Mati kamu, hiiiiat!” Astaghfirullah. Aku bangun terkesiap ketika Iqis hampir duduk di kepalaku. Aku kucek mata dan masih berada di dalam jeep. Otewe ke desa lagi untuk bagi makanan dan membantu evakuasi warga apabila diperlukan. “What’s wrong, ya, akhi?” tanya temenku yang tadi ponselnya aku pinjam buat telpon Iqis. Itu pun pulsanya masih ngutang, nanti pas udah membaik semuanya aku bayar deh. “My girl friend, she comes in my dream, almost kiliing me.” Aku mengusap dadaku
Aku harus tetep profesional dalam bekerja. Walau jantung degupnya bukan main lagi dan keringat dingin sudah mengucur deras. Tapi nama pemenang tetap kami umumkan. Gegap gempita dan perayaan dimulai, itu bagi mereka, tidak bagiku. Aku hanya terpaku dan tersenyum palsu tanpa tahu harus bagaimana. Kamera masih menyorotku dan aku nggak bisa pergi. Senyumanku palsu pada semua orang. Sampai ada kira-kira setengah jam perayaan belum juga selesai. Aku minta izin sama papa untuk undur diri. Nyatanya aku nggak kuat dan duduk di kursi sebelah papa. Kakiku lemes. “Kenapa?” tanya papaku yang habis minum air putih. Aku nggak sanggup bicara lagi dan hanya memberikan ponselku pada papa. Beliau juga diam dan mengembalikan benda itu padaku. “Sudah pernah Papa bilang gimana resikonya. Sekarang kamu duduk yang tenang dan tunggu kabar aja, semoga semuanya selamat. Biasanya nanti ada berita resmi atau kalau nggak, ada kabar-kabar burung di sosmed. Jangan mikir untuk buat macem-macem, ya, Nak.” Papa, m
Suasana di pinggiran Lebanon sangat mencekam. Udah beberapa kali kami hampir aja bentrok dengan tentara Israel yang mulai kelewat batas. Biasanya aku cuman baca gimana perangai mereka yang suka kelewat batas sama penduduk sipil tak bersenjata pula. Sekarang aku rasakan sendiri. Terbayang olehku wajah perempuan yang lemah dan berlarian demi menyelamatkan harga diri serta kesucian. Pernah aku angkat senjata dan teman-teman karena mereka berkelakuan layaknya binatang. Sudahlah di sini kami tidak bisa kontak dengan keluarga, ditambah beban mental mengayomi para tentara kurang pendidikan. Yang aku dengar di sana ada wamil dan asal comot tentara. Gimana ceritanya banci bisa pegang senjata. Mana dia tahu wilayah yang boleh diserang atau nggak, atau yang diprioritaskan untuk ditolong. Di mata tentara Israel semua yang ada di hadapan mereka adalah kecoak yang boleh diinjak. Keadaan agak tenang sedikit ketika kami memasuki pedesaan yang berbatasan langsung dengan Israel. Warga desanya takut
Di sini aku sekarang, di dalam restaurant di mana seharusnya kami makan malam bersama. Udah nggak kehitung berapa kali kami janjian tapi harus dibatalin. I think our problem is about time. Bukan orang ketiga yang jadi kendala. Karena aku mau sama satu orang aja udah bagus. Setiap hari aku mikirin mending udahan aja, tapi cuman di kepala aja gaes. Aslinya kicep aku, wkwkwkwk, banyak gaya memang. Sesaat kemudian aku v call sama dia. Aku tunjukkin kalau aku juga serius. Ya, jam tangan dan kue tart adalah salah satu bukti kalau aku bukan gadis lugu tapi nggak komitmen. Sebentar aja kami ngobrol soalnya dia bilang mau sampai di markas. Aku kasih dia pesan cinta, awas kawin banyak-banyak di sana. Jangankan banyak, satu aja aku nggak terima. Oke, nggak usah debat aku tahu itu hak laki-laki. Perempuan juga punya hak untuk memilih. Setelah balasan dari pesannya nggak muncul lagi, aku makan sendirian di restaurant. Kue tartnya aku bagiin sama pegawainya aja. Siapa yang mau makan di rumah? U