Nah, di pinggir jalan ada penjual bunga segar yang hampir tutup. Aku beli satu ikat untuk Can. Suka atau tidak urusan nomor 100, yang penting ada yang dibawa. Supaya predikat nggak peka tadi hilang. Ribet sekali perasaan perempuan ini. Can yang nggak mood, aku yang repot. Can yang laper, eh, malah aku juga yang masak. Dasar! “Bunga warna apa, Mas. Putih? Pink, atau merah?” tanya penjualnya. “Hitam ada nggak?” Maksudku, kan, cocok sama kepribadian Can yang nggak beres. “Bunga orang mati itu, Mas, yang hatinya udah patah berkali-kali dibaperin sama pasangannya. Mau yang itu juga?” tanya si penjual gaul juga. Jangan, deh, ntar malah tambah marah Can. Ya, aku belikan bunga putih saja, seputih dan sesuci hatiku yang sedang belajar mencintai dia. Alon-alon, aku pasti bisa tidur, eh, maksudku pasti bisa membuatnya menerimaku sebagai suaminya. “Cantik pasti ceweknya, Mas.” Si kakak penjual bunga menambahkan satu batang mawar lagi. Bonus. Kenapa nggak buy one get one free. Seperti aku y
Seperti kata Mas Park Jimmi(n) tadi kalau aku harus serius belajar masak. Minimal diri sendiri nggak kelaperan. Dia aja laki bisa masak, harusnya aku juga bisa. Bu Atikah datang satu jam setelah aku nungguin beliau di kantin. Bimbingan dimulai. Cukup banyak bab satu dapat coretan dari beliau. Meski ya aku agak gampang mengajukan judul. Lihat yang lain jadi bola-balik revisi sampai mau nangis. Kebetulan Bu Atikah isi kelas selesai merevisi bab satu punyaku. Jadi aku bisa merapikan mana yang kurang biar cepet kelar urusan. Soalnya nggak sampai sebulan lagi aku sudah go to Seoul untuk turnament di sana, dan sampai sekarang izin belum juga turun. Gimana cara bujuk Mamas ya biar surat izin cepet turun. Sampai sekarang aku masih nggak ngerti the meaning of transaksi suami istri seperti apa.“Can, Can, Can, lihat, begh tu cewek damagenya nggak main-main. Cantik amat, seksi lagi, jalannya pinggul geal geol geal geol.” Intan menepuk bahuku. Ya, bener emang kedatangan cewek baju merah ini s
Aku muntah sampai keluar air mata. Nggak ada lagi isi perutku yang bisa dikosongkan. Tinggal air warna kuning yang rasanya luar biasa pahit. Seriusan, aku nyerah kalau udah kena magh. Biasanya Mama bakalan ngurusin aku sampai sembuh. Mas Jimmi ngasih aku tisu buat lap mulut sama air mata yang nggak mau berenti dari tadi. Kenapa aku nangis? Semua pikiran numpuk jadi satu di kepalaku. Ya, skripsi yang harus kelar semester depan biar aku nggak jadi mahasiswa abadi di kampus. Turnamen yang nggak lama lagi bahkan surat izin berangkatnya belum aku pegang. Belajar masak belum ada progres. Sekarang ditambah sama masalah antara Kayla sama Mamas. Mau nggak mau aku keseret. Gosip hamil, konten yang belum aku buat, bla bla bla, banyak lagi yang lain. “Jangan pegang-pegang.” Aku menepis tangan Mas Jimmi yang berusaha membantu aku berjalan. Aku harus ke rumah sakit sekarang, atau ke apotik beli obat, terus telpon Mama minta jemput. “Kamu sakit?” Dia lihat aku lagi main akrobat apa sampai nanya
Tubuhku rasanya lelah luar biasa, mata juga jangan tanya lagi sudah ingin terpejam. Tapi di sebelahku Cantika sedang tidak enak badan. Dari muntahnya saja jelas sekali gadis bergigi taring satu ini habis makan mi instan. Sudah berapa kali aku bilang jangan. Dia tak mendengar, jadilah seperti ini. Plus mungkin dia ada tekanan lain. Tebakanku karena salah paham video Kayla. Ada sebuah klinik cukup terpercaya. Aku membelokkan mobil dan membantu Cantika berjalan. Selanjutnya ia dapat penanganan segera. Maghnya cepat sekali membuat atlet taekwondo ini jadi lemah tak berdaya.“Ya, silakan dirawat inap saja kalau memang disarankan begitu.” Aku mengiyakan perkataan dokter kalau memang harus ada penanganan lebih lanjut. Aku sempatkan menelepon executive chef walau hari sudah malam. Khawatirnya besok aku lupa meminta izin. Tak bisa aku tahan lagi kantuk mataku ini. Sudah sangat ingin memejam. Namun, aku harus membantu dia yang sedang lemah untuk makan dan minum obat. Melihatnya kalem seperti
Bagian 24 “Yakin udah bisa kuliah?” tanyaku pada Can ketika pagi hari dia sudah siap sekali untuk pergi ke kampus.“Yakin, Mas, skripsi harus dikerjain. Terus taekwondo juga tiga minggu lagi mau berangkat. Semuanya nggak bisa santai-santai.” Sudah kuduga ketika sedang serius dengan sesuatu Can tidak pernah main-main. “Harus jadi keduanya? Emang salah satunya nggak bisa ngalah, atau dilupakan. Atau dahulukan skripsi biar kuliah kamu cepat selesai. Taekwondo, kan, bukan hal yang wajib, Can.” Baru sebentar dia berdiri saja sudah mencari kursi. Baru aku paham ternyata sakit magh bisa seperti ini. “Nggak bisa. Kapan lagi dapat kesempatan ke Korea, Mas.” “Ke Korea aja, kan? Gampang. Sembuh kamu kita pergi berdua.” Penawaran dariku kalau memang hanya ingin jalan-jalan tujuannya. “Suasananya beda, Mas. Antara jalan-jalan sama jadi kontingen. Pokoknya, Can tetap pergi. Pasti bisa, kok, nanti bawa bekal aja dari rumah biar nggak jajan sembarangan.” Ya sudah kalau memang seperti itu keputus
Aku minta pulang, asli nggak betah banget di rumah sakit. Salah satu sebabnya karena aku harus satu ranjang berdua sama Mamas. Udahannya sempit, dingin lagi, pengen meluk tapi malu. Mana tanganku masih diinfus. Situasi yang membagongkan.Belum lagi aku yang nggak juga sembuh. Di rumah lemes banget. Jalan aja sampai raba-raba dinding. Apa-apa serba dibantuin. Mau nggak mau ya jadinya kami bersentuhan. Kelar udah perjanjian meja bundar di antara kami berdua. Tapi untuk urusan perhatian aku akui Mamas memang luar biasa sekali. Nggak ada yang luput apalagi urusan makanan. Kenapa bisa orang sebaik dia ketemu sama Kayla yang julidah ya? Habis itu gantinya aku yang gaje lagi. Ya udah, Mas, terima takdir aja, ya. Aku juga mulai belajar dikit demi dikit terima kalau kita bukan lagi sepupu. Hari ketujuh aku sakit, sudah mulai ada perubahan. Walau rasa makanan masih pahit banget di mulut. Aku yakin, sih, Mas Jimmi(n) pasti masakin yang enak-enak, tapi memang tawar sekali. Jadi aku telan aja ya
Bagian 26 “Can,” panggil Mamas lagi. Aku pengen jadi duta sampho lain. Eh, tapi jangan deh, entar ke mana-mana lagi pikiran kalau bahas keramas. Gak kelar-kelar masalah. “Can!” Agak tinggi nada Mamas panggil. “Can, astaghfirullah. Kamu ngapain? Mas panggil dari tadi nyaut aja enggak. Kayak nggak punya kuping kamu.” Mungkin Mas Jimmi(n) heran lihat aku nempel di dinding. “Mas, jangan sekarang, please. Can belum siap.” Jujur aja, deh, daripada kena terkam. Dicium aja bisa kaku apalalagi kalau dia macem-macem. “Emang kamu pikir Mas mau ngapain. Mas mau cerita, loh. Astaga anak ini. Pikiran dia yang ngaco.” Oh, ya ampun. Aku suudzon melulu, hadeh, pikiranku ternoda cerita dewasa kayaknya. Padahal baca aja nggak pernah. “Iya, Mas, emang mau cerita apa?” Aku udah nggak nempel lagi di dinding. Aku pasang kuping denger cerita Mas Park Jimmi(n). Kayaknya serius, sih. Kelihatan dari mukanya. “Mas, mulai hari ini udah berenti kerja di hotel,” katanya dan bisa membuatku seketika berdiri
Setidaknya aku sudah mencoba terbuka dengan Can. Aku cerita tentang keputusan sepihak dari hotel yang memecatku. Dia terkejut, tapi habis itu ekspresinya cepat sekali kembali seperti semula. Lewat tengah malam aku terbangun dan masih melihat Can memelukku seperti tadi. Wow, dia tidak merasakan keram? Posisi yang agak tidak aman bagi jantungku. Gawat kalau setiap hari seperti ini. Aku mengajak Can pergi ke pasar pagi. Di sana barang-barang baru datang, masih gelap memang, tapi kualitas tak diragukan lagi. Aku selalu berbelanja di sana untuk mengisi kulkas di rumah mamaku dulu. Sambil membicarakan rencana bulan madu ke Korea saat Can kompetisi atau apalah itu aku tak terlalu tahu.Terkejut Can? Tentu saja, dia sampai membuka google demi mencari arti dari kata transaksi suami istri yang kata dia tadi malam ada uang ada barang. Haduh, absurd sekali isi kepalanya. Dia samakan dengan jual beli di pasar. Sampai akhirnya Can paham dan memandangku sangat aneh. Ya, memang kenapa? Wajar suami