Suasana dapur sangat sibuk luar biasa. Posisiku di dapur ini adalah nomor dua yang paling sibuk. Banyak yang aku handle. Karena itu keberadaan arloji sangat penting pertama kali bagiku. Kedua, kain penutup kepala agar rambut yang sudah aku potong pendek tidak rontok ke makanan. Satu demi satu pesanan datang. Restaurant di hotel ini tidak pernah sepi pengunjung, kecuali saat wabah. Dua tahun lalu itu merupakan awal mula dari aku mulai dikenal di layar televisi. Banyak resep-resep makanan yang aku peruntukkan untuk ibu rumah tangga agar bisa membuka bisnis sampingan, dibagikan. Karena sampai kapan pun bisnis kuliner tidak akan pernah mati. Semua resep aku bagikan secara gratis. Bahan murah, tapi tidak murahan, dan bisa dijual dengan harga ekonomis. Pernah dua kali aku diundang podcast oleh dua orang youtuber terkenal. Lalu satu demi iklan skala kecil menghampiriku. Yang bangga luar biasa Kayla, karena sedikit demi sedikit pundi-pundi rupiah mengalir ke rekeningku. Beberapa kali dia m
Terkejut aku, Bestie. Bangun luar biasa siang. Eh sekalinya lihat jam tangan. Lah, baru jam empat pagi. Ngapain juga bangun shubuh banget. Jadi aku melingker lagi dan baru inget bentar lagi sholat. Aku ke kamar mandi dan langsung beres-beres. Sebenernya aku denger, kok, waktu Mas Park Jimmi(n) bangunin aku. Cuman, aku bingung mau ngapain sama dia nanti. Perutku ini yang susah diajak kompromi. Bunyi terus, apalagi waktu aroma bawang putih menguar sampai masuk ke dalam sanubariku. Janjinya aku pengen belajar masak. Tapi aku masih malas berduaan sama si mamas di dapur. Mas Park Jimmi(n) ngetuk pintu kamarku lagi. Dia pamitan kerja. Aku cuman bilang iya dalam hati aja. Habis itu aku keluar waktu denger suara mobilnya udah ninggalin halaman rumah ini. Aku ke dapur dan buka tempat penyimpanan makanan. Modern sekali konsep dapur si Mamas. Nggak ada tudung saji plastik yang gampang remuk, terus bolong, dan tahu-tahu lalat masuk bertelor di atas makanan. Tulisan di piring, makanan untukku.
Dari jauh aku lihat Bagas datang mendekat ke meja kami. Mahasiswa laki-laki yang cukup dekat denganku. Gampangnya, aku mengandalkan dia urusan tugas kampus. Ya, kadang-kadang aku minta dibuatin juga. “Eh, Can. Dia udah tahu kamu nikah, loh. Tapi, kok, masih mau deketin kamu ya?” “Urusannya apa coba antara aku udah nikah atau belum?” Aku nanya sama Intan biar jelas, karena sejauh ini kami nggak ada perasan apa-apa. “Kan, dia, naksir kamu, Can. Ya ampun nggak peka banget jadi orang.” Intan sampai tepok jidat. Ya, itu urusan si Bagas bukan urusanku. Dia nggak bisa maksa aku. “Aku pulang duluan ya, kalau gitu. Aku mau ke doojang. Ada kumpul hari ini sama sabam.” Ada pengarahan sedikit dari pelatih taekwondoku sekaligus pengumuman penting yang aku nggak tahu apa. “Aku anterin, Can.” Bagas berbaik hati. “Oke deh.” Aku jawab iya aja. Soalnya dari kampus ke doojang. Ya Allah jauh banget. Pakai motor aja bisa 60 menit. Apalagi pakai bus kota, kapan sampainya. “Ngapain bawa uler mainan,
Terus setelah kami pandang-pandangan. Kami sama-sama menarik napas panjang. Karena Mas Jimmi(n) mengalah duluan. Jadi aku ikut-ikutan nggak perlu melawan pakai emosi. Attitude ini aku dapatkan dari doojang tempatku belajar taekwondo. “Di kulkas, kan, ada banyak bahan, Can. Kenapa harus makan mi instan. Ini hanya untuk dalam keadaan darurat. Seperti bencana alam.” Mamas berusaha tenang menahan marah. Kelihatan dari mukanya. Segitu alerginyakah dengan mi instan?“Dan ketika anak kos atau keluarga nggak ada uang mereka juga makan mi instan, Mas.” Aku nggak mau kalah, yang aku bilang kenyataan. Temen-temenku banyak anak kos dari luar daerah seperti ini. “Apakah kamu masuk kategori keduanya?” “Nggak, sih?” Iya juga ya. “Nah, itu dia, Can. Lama banget bikin kamu paham situasi gini. Duh, gemes diri ini Ya Allah. Untung sepupu sendiri.” Bener, kan, beliau ini masih anggap aku sepupu. Tidak pernah lebih. Catat, ya, para kuntiku semuanya. Pembicaraan aku anggap selesai. Terus aku ngapain.
Susah payah aku lepas dari kejaran Kayla yang menuntut bantuan uang tunai 150 juta dariku. Ini adalah permintaan tergila darinya. Nggak bisa, nggak boleh, uang ini untuk Cantika. Sampai akhirnya aku minta bantuan satpam biar Kayla nggak ikut masuk ke dalam bank. Untung aku dapat nomor antrian terakhir. Selesai, sudah lunas hutangku sama Cantika. Aku nggak kirim pesan apa-apa, karena harus segera kembali ke hotel, dan lagi-lagi aku belum sempat makan selain roti bakar tadi pagi dan potongan kentang goreng pemberian teman. “Tega kamu, Jim. Harusnya uang itu buat aku bukan buat dia.” Kayla ngambek dan pergi. Terserah! hidup dia bukan urusan aku. Lagian dia terlibat masalah apa sampai butuh uang banyak? Ada yang mengancam katanya. Bukan aku nggak mau peduli, tapi aku harus menjaga hatiku sendiri. Pernikahan bukan ikatan yang bisa dipermainkan. Sampai di hotel, aku menyelesaikan pekerjaanku. Berpacu dengan waktu sambil curi-curi kesempatan makan dan terpaksa sambil berdiri. Istirahat
Dia masuk ke kamar, habis itu dia membawa selembar surat yang dikasih sama aku. Berisikan pernyataan. Surat izin dari wali untuk kepergian atlet taekwondo yang ke Korea Selatan beberapa minggu lagi. “Kamu mau ke sana?” tanyaku sambil menatap corak sponge bob di bajunya. Absurd. Udah besar kelaukan bocah. Udah jadi istri tapi masih takut suami. Pernikahan dadakan yang memang mengguncang kesehatan mental kami berdua. “Iya, Mas, terpilih. Sayang, donk, kalau nggak pergi,” jawabnya dengan mata berkedip-kedip lagiii. “Emang udah minta izin sama Mas?” Seingatku dia belum bilang apa-apa sama sekali. Oh, tentu harus aku persulit kepergiannya. Biar apa? Biar Can nggak terlalu independent dan bergantung padaku. “Ini, kan lagi minta izin.” Memelas sekali wajahnya. Sepertinya Can bener-bener pengen pergi ke Seoul. Mungkin momen ini bisa aku jadikan kesempatan untuk merebut hatinya. Coba saja dulu, kalau gagal tolong aku jangan ditendang sampai ke Seoul. “Kalau Mas nggak ngasih? Kamu mau
Satu jam kemudian aku pulang dari masjid. Can aku tinggalkan di dalam rumah. Aku takutnya dia melakukan yang aneh-aneh, tapi melihat kepribadian gandanya, nggak mungkin dia mikir macam-macam. Aku membuka pintu rumah. Can nggak ada di ruang tamu, dapur bahkan sampai ke dalam mesin cuci baju. Eh, aku lihat bajuku sudah diurus dengannya. Baik juga anak ini. Sempat aku berpikir dia akan cuek saja denganku. Hanya satu tempat yang tersisa. Yaitu, kamar Can. Kunci cadangan tergantung di sana. Aku buka pelan-pelan. Gadis bergigi taring satu ini sedang terlelap di kamar dengan kondisi laptop menyala. Layar itu baru tertulis ‘BAB 1’ dan tidak ada apa-apa lagi. Aku pindahkan laptopnya ke meja dan sempatkan memandang wajah Can sejenak. Semua agar bayangan Kayla terhapus perlahan-lahan. Aku sadar beberapa kali memanggil Can dengan nama mantanku, tapi murni kelepasan. Next time aku akan lebih menjaga mulutku. Kemudian aku berpaling. Takut terbawa suasana. Kecupan ringan tadi masih sangat jelas
“Boboiboy petir,” katanya, dan aku nggak paham apa yang dia bilang barusan. Dasar istri bocil. Jujur aku ingin mencium keningnya biar romantis. Ah, nggak jadi. Masih ingat aku gimana dia menendang angin habis memutar. Bisa rontok beneran gigiku. Padahal semakin banyak sentuhan yang aku berikan padanya, semakin akan membuatku akrab pada Cantika yang masih kekanakan. Tapi aku memang harus bersabar. Setidaknya ini lebih baik daripada mengkhawatirkan Kayla yang suka dengan gemerlap dunia malam dan pergaulan bebas. Bahkan dulu aku pernah mengabiskan uang belasan juta hasil menang lomba demi menutupi gaya hedon luar biasanya. Cinta kadang memang memupus logika. *** Hari ini di dapur pekerjaan kami dua kali lipat lebih banyak. Sepertinya ada moment spesial yang aku lewatkan. Bahkan pesanan yang datang bertubi-tubi. Sampai-sampai untuk minum saja aku diambilkan oleh asisten dapur. Aku lihat arloji, pantas saja semakin ramai, ternyata sudah jam makan siang. Semua sibuk masing-masing term