Oh, iya, dulu kan, aku pernah nonton kuda lumping makan beling. Kupikir dulu mereka makan dalam keadaan kesurupan. Apakah istri yang jarak usianya dua belas tahun di hadapanku juga sedang kerasukan?Lihatlah bagaimana dia menyeruput kuah sup yang panas dan pedas itu sekali telan. Astaga. Kuda lumping makan beling aja kalah dibuatnya. Apakah dia manusia atau jangan-jangan siluman jaran kepang yang nyasar. Lekas kudekati memastikan keadaan kalau Can baik-baik saja. Takut dia kenapa-kenapa dan aku sebagai suaminya harus tanggung jawab. “Apa, sih, Mas?” Dia menepis tanganku yang menempel di jidatnya. Oh, kurasa Can beneran sehat. “Kirain sesak napas kalau makan banyak gini, Can.” “Supnya enak, Mas,” ucapnya dengan mata dikedip-kedipkan cepat. Persis ulat keket kecentilan. “Terus?” Aku balik tanya. “Makasih.” Eh, bisa juga Can bilang makasih sambil tersenyum manis. Kirain cuman bisa tendang orang doang. “Itu aja?” Pelit amat Cantika. “Jadi maunya gimana?” Berhubung ditanyakan, aku
Sebentar aja lampu mati. Hmm mengganggu agenda pribadiku saja bersama Can. Sudah bisa ditebak setelahnya Can jadi malu sendiri. Lirik kiri, kanan, lalu berusaha untuk kabur. Oh tidak bisa semudah itu tentunya. Aku menarik jilbab Can refleks. Ternyata dia tidak memakai jepitan sama sekali. Sampai kain segi empat ini akhirnya aku pegang. “Iiih, apa, sih nyebelin deh jadi orang.” Bersamaan dengan jilbabnya lepas, terurai semua rambut hitamnya. Perubahan yang cukup signifikan. Dari tempatku berdiri saja sudah jelas sekali kalau Cantika yang dulu tomboi benar-benar melakukan perawatan. Terlihat rambutnya mudah diatur dan halus. Bukan seperti sarang burung walet terakhir kali aku jumpa dengan dia. “Balikin, nggak?” Dia memasang kuda-kuda ingin taekwondo. Dia pikir aku musuhnya. “Bisa minta tolong nggak, Can.” Aku bicara baik-baik dengannya. Untuk menyudahi drama ini. “Bisa,” jawabnya dengan mata berkedip cepat. Dipikirnya aku akan kasihan. Cepat sekali mood gadis berlesung pipi ini be
Suasana dapur sangat sibuk luar biasa. Posisiku di dapur ini adalah nomor dua yang paling sibuk. Banyak yang aku handle. Karena itu keberadaan arloji sangat penting pertama kali bagiku. Kedua, kain penutup kepala agar rambut yang sudah aku potong pendek tidak rontok ke makanan. Satu demi satu pesanan datang. Restaurant di hotel ini tidak pernah sepi pengunjung, kecuali saat wabah. Dua tahun lalu itu merupakan awal mula dari aku mulai dikenal di layar televisi. Banyak resep-resep makanan yang aku peruntukkan untuk ibu rumah tangga agar bisa membuka bisnis sampingan, dibagikan. Karena sampai kapan pun bisnis kuliner tidak akan pernah mati. Semua resep aku bagikan secara gratis. Bahan murah, tapi tidak murahan, dan bisa dijual dengan harga ekonomis. Pernah dua kali aku diundang podcast oleh dua orang youtuber terkenal. Lalu satu demi iklan skala kecil menghampiriku. Yang bangga luar biasa Kayla, karena sedikit demi sedikit pundi-pundi rupiah mengalir ke rekeningku. Beberapa kali dia m
Terkejut aku, Bestie. Bangun luar biasa siang. Eh sekalinya lihat jam tangan. Lah, baru jam empat pagi. Ngapain juga bangun shubuh banget. Jadi aku melingker lagi dan baru inget bentar lagi sholat. Aku ke kamar mandi dan langsung beres-beres. Sebenernya aku denger, kok, waktu Mas Park Jimmi(n) bangunin aku. Cuman, aku bingung mau ngapain sama dia nanti. Perutku ini yang susah diajak kompromi. Bunyi terus, apalagi waktu aroma bawang putih menguar sampai masuk ke dalam sanubariku. Janjinya aku pengen belajar masak. Tapi aku masih malas berduaan sama si mamas di dapur. Mas Park Jimmi(n) ngetuk pintu kamarku lagi. Dia pamitan kerja. Aku cuman bilang iya dalam hati aja. Habis itu aku keluar waktu denger suara mobilnya udah ninggalin halaman rumah ini. Aku ke dapur dan buka tempat penyimpanan makanan. Modern sekali konsep dapur si Mamas. Nggak ada tudung saji plastik yang gampang remuk, terus bolong, dan tahu-tahu lalat masuk bertelor di atas makanan. Tulisan di piring, makanan untukku.
Dari jauh aku lihat Bagas datang mendekat ke meja kami. Mahasiswa laki-laki yang cukup dekat denganku. Gampangnya, aku mengandalkan dia urusan tugas kampus. Ya, kadang-kadang aku minta dibuatin juga. “Eh, Can. Dia udah tahu kamu nikah, loh. Tapi, kok, masih mau deketin kamu ya?” “Urusannya apa coba antara aku udah nikah atau belum?” Aku nanya sama Intan biar jelas, karena sejauh ini kami nggak ada perasan apa-apa. “Kan, dia, naksir kamu, Can. Ya ampun nggak peka banget jadi orang.” Intan sampai tepok jidat. Ya, itu urusan si Bagas bukan urusanku. Dia nggak bisa maksa aku. “Aku pulang duluan ya, kalau gitu. Aku mau ke doojang. Ada kumpul hari ini sama sabam.” Ada pengarahan sedikit dari pelatih taekwondoku sekaligus pengumuman penting yang aku nggak tahu apa. “Aku anterin, Can.” Bagas berbaik hati. “Oke deh.” Aku jawab iya aja. Soalnya dari kampus ke doojang. Ya Allah jauh banget. Pakai motor aja bisa 60 menit. Apalagi pakai bus kota, kapan sampainya. “Ngapain bawa uler mainan,
Terus setelah kami pandang-pandangan. Kami sama-sama menarik napas panjang. Karena Mas Jimmi(n) mengalah duluan. Jadi aku ikut-ikutan nggak perlu melawan pakai emosi. Attitude ini aku dapatkan dari doojang tempatku belajar taekwondo. “Di kulkas, kan, ada banyak bahan, Can. Kenapa harus makan mi instan. Ini hanya untuk dalam keadaan darurat. Seperti bencana alam.” Mamas berusaha tenang menahan marah. Kelihatan dari mukanya. Segitu alerginyakah dengan mi instan?“Dan ketika anak kos atau keluarga nggak ada uang mereka juga makan mi instan, Mas.” Aku nggak mau kalah, yang aku bilang kenyataan. Temen-temenku banyak anak kos dari luar daerah seperti ini. “Apakah kamu masuk kategori keduanya?” “Nggak, sih?” Iya juga ya. “Nah, itu dia, Can. Lama banget bikin kamu paham situasi gini. Duh, gemes diri ini Ya Allah. Untung sepupu sendiri.” Bener, kan, beliau ini masih anggap aku sepupu. Tidak pernah lebih. Catat, ya, para kuntiku semuanya. Pembicaraan aku anggap selesai. Terus aku ngapain.
Susah payah aku lepas dari kejaran Kayla yang menuntut bantuan uang tunai 150 juta dariku. Ini adalah permintaan tergila darinya. Nggak bisa, nggak boleh, uang ini untuk Cantika. Sampai akhirnya aku minta bantuan satpam biar Kayla nggak ikut masuk ke dalam bank. Untung aku dapat nomor antrian terakhir. Selesai, sudah lunas hutangku sama Cantika. Aku nggak kirim pesan apa-apa, karena harus segera kembali ke hotel, dan lagi-lagi aku belum sempat makan selain roti bakar tadi pagi dan potongan kentang goreng pemberian teman. “Tega kamu, Jim. Harusnya uang itu buat aku bukan buat dia.” Kayla ngambek dan pergi. Terserah! hidup dia bukan urusan aku. Lagian dia terlibat masalah apa sampai butuh uang banyak? Ada yang mengancam katanya. Bukan aku nggak mau peduli, tapi aku harus menjaga hatiku sendiri. Pernikahan bukan ikatan yang bisa dipermainkan. Sampai di hotel, aku menyelesaikan pekerjaanku. Berpacu dengan waktu sambil curi-curi kesempatan makan dan terpaksa sambil berdiri. Istirahat
Dia masuk ke kamar, habis itu dia membawa selembar surat yang dikasih sama aku. Berisikan pernyataan. Surat izin dari wali untuk kepergian atlet taekwondo yang ke Korea Selatan beberapa minggu lagi. “Kamu mau ke sana?” tanyaku sambil menatap corak sponge bob di bajunya. Absurd. Udah besar kelaukan bocah. Udah jadi istri tapi masih takut suami. Pernikahan dadakan yang memang mengguncang kesehatan mental kami berdua. “Iya, Mas, terpilih. Sayang, donk, kalau nggak pergi,” jawabnya dengan mata berkedip-kedip lagiii. “Emang udah minta izin sama Mas?” Seingatku dia belum bilang apa-apa sama sekali. Oh, tentu harus aku persulit kepergiannya. Biar apa? Biar Can nggak terlalu independent dan bergantung padaku. “Ini, kan lagi minta izin.” Memelas sekali wajahnya. Sepertinya Can bener-bener pengen pergi ke Seoul. Mungkin momen ini bisa aku jadikan kesempatan untuk merebut hatinya. Coba saja dulu, kalau gagal tolong aku jangan ditendang sampai ke Seoul. “Kalau Mas nggak ngasih? Kamu mau
Beneran ternyata gaes aku udah nikah. Buktinya aku sekarang duduk di pelaminan barengan dia setelah tadi melewati barisan pedang pora. Seragam kami kali ini hijau muda. Jangan dibayangin seperti lontong, pokoknya aku cantik, kata dia gitu. “Kamu cantik, deh, Sayang.” Entah udah keberapa kali buaya di sebelah aku bilang gini. Mual, terlalu manis kata-katanya, heeem.“Makasih, nggak ada uang kecil.” “Nggak perlu bayar pakai uang, cukup pakai—” “Udahlah. Ya Allah, kenapa itu terus dibahas dari tadi.” Hu hu huuu, ketahuan juga sifat asli Bang Ale sejak tadi kami sudah jadi suami istri. Takut sebenernya, tapi nggak mungkin juga minta cere, kan. Nggak lucu deh. “Ya, kan, salah satu tujuan nikah untuk itu, Istriku.” “Hueek!” Mendadak ingin muntah aku tu. “Belum juga diapa-apain udah hamil duluan, tenang aja Abang akan tanggung jawab atas perbuatan kita di atas bukit.” “Hoi, bisa diem, nggak? Makin lama makin ngadi-ngadi isi kepala Abang. Di atas bukit itu dua tahun lalu juga keles. Ka
Ya, malam ini aku dandan cantik sekali. Aku nggak kelihatan seperti chef lagi, melainkan seorang putri yang akan menerima lamaran dari seorang pangeran. Setengah jam lagi seharusnya mereka tiba di sini. Setelah segala drama dan begini begitunya, akhirya kami memutuskan untuk menikah. Sempat hampir berantem dan biasalah aku minta udahan aja, tapi akhirnya lanjut lagi. Soalnya pengajuan nikah militer, ampuuu cyiiiiiin, mumet ndasku mikirnya. “Ayo, Nak, semangat, udah cantik itu jangan mandang cermin melulu,” mamaku masih sambil menggedong adekku tersayang. Segala sesuatu telah kami siapkan. Makanan, dekorasi, termasuk pihak keluarga perempuan, kecuali kamera paparazzi. Aku lagi males diliput wartawan sebisa mungkin aku rahasiakan aja dari khalayak ramai.Satu demi satu tamu mulai datang. Suara Bang Ale udah mulai kedengeran. Diandra masuk dan memberikanku segelas kopi hangat racikan tangannya sendiri. Aku minum pakai sedotan biar nggak rusak lipstik. Baru aja aku mau melangkah, eh,
Sekilas aku melihat ternyata Iqis ikut juga jadi chef di pertemuan internasional antara negara timur tengah dan Indonesia. Aku kenal dia, tapi dia nggak kenal aku. Hiiih anak itu, es batunya luar biasa. Hampir empat harian di sini, kami nggak sempat saling menyapa. Iqis harus on point di dapur dan aku pada bagian keamanan. Kemeja hitam dan jas putih senantiasa aku kenakan agar terlihat rapi. Sebenarnya letih setelah dari luar negeri tugas lagi, tapi memang mengawal orang penting perlu orang-orang berpengalaman. Ajaibnya lagi aku jumpa sama Abu Lahab. Dia ngaku baru putus sama pacarnya satu, masih ada cadangan dua lagi. Astaghfirullah, buaya arab memang beda. “That girl, my girlfriend,” tunjukku sama Iqis yang lagi jalan membawa nampan berisi makanan. Abu Lahab bilang jamilah jamilah. “May be she is boring with you,” katanya. “No, no.” Aku tegaskan tidak. Jarang jumpa memang iya, tapi bosan kayaknya nggak. Entar aku buktikan. “You don’t look handsome.” Mulut Abu Jahal emang lain.
Habis drama kejar-kejaran di bandara, akhirnya aku dan dia berbaikan. Sengaja aku mengajak Bang Ale makan di restaurant tradisional Indonesia milik salah satu rekanku. Tebak apa? Dia makan banyak banget sampai tambah. “Kangen makanan Indonesia, ya?” tanyaku ketika dia tambah nasi. Bang Ale nggak menjawab hanya mengangguk saja. Ada sih, beberapa orang yang melihat kami, tapi ya, bodo amat bukan urusanku juga. “Kalau sama aku kangen, nggak?” Tsaaah, tumben aku nanyain ginian. Hatiku, kenapa kamu tidack bisa diajak kompromi sama sekali. Bang Ale berhenti makan dan menatapku sekilas. Tatapan yang membuatku ingin menyiram minyak panas ke wajahnya. Habis itu dia makan lagi. Dasar, nggak dijawabnya pertanyaan aku. “Petenya enak,” katanya, serah lo deh. “Sama kayak kamu.” Maksudnya apa, ya?“Jadi aku dan pete itu sama?” “Sama, sama-sama bauk.” Santai aja dia ngomong itu, loh, nggak ada rasa bersalah sama sekali. Refleks aku cium ketek, nggak ada bauk sama sekali. Aku udah pakai deodor
Aku senang dia udah membaik keadaannya di sana. Ya, meski harus menderita beberapa luka-luka ringan. Ada satu hal yang aku sadari. Aku bukan Iqis yang dulu, ada seseorang di hati, ahaaay. Ya, gimana, ya, namaya manusia bisa jatuh cinta. Aku, kan bukan patung. Hari-hariku LDR sama dia terasa begitu cepat. Aku masih jadi juri, sekaligus influencer yang mengusung nilai-nilai kebaikan dalam setiap makanan. Sloganku jangan biarkan bahan terbuang percuma. Aku diundang memasak di istana negara ketika ada tamu dari timur tengah. Dengan senang hati aku mengerjakan semuanya. Semua rupiahku yang hilang akibat membayar kompensansi tergantikan dalam waktu setahun lebih. Nggak terasa juga lama kami LDR. Dan kalian tahu apa, Bestieh, apa yang aku dapat lagi dalam setahun. Ya, agak gimana ya, umur udah 24 tahun dapat adek bayi lagi. Ewekwekwek, Mama hamil lagi. Katanya iseng, apaan, cobak? Aku sama Diandra berasa jadi mama muda. Adek kami laki-laki, namanya Adam tanpa Smith. Adam Devano Zolla.
“Bang Ale, sini kamu jangan lari.” Eeh, kenapa tiba-tiba Iqis marah sama aku. Padahal aku cuman bercanda soal udah kawin lagi. Emang, sih, gadis Lebanon cakep, mata biru ada juga yang hijau ada juga yang putih semua, tapi tetap aja dia yang paling memikat hati. “Hiat.” Iqis serius lagi marah dan dia menghantam pundakku sampai jatuh di pasir. Punggungku ditekan pakai siku dia, sangat kuat sampai aku jejeritan. Gusti Allah tolooong, kenapa dia jadi liar seperti peserta MMA yang pakai kutangan sama kolor doank. “Mati kamu, hiiiiat!” Astaghfirullah. Aku bangun terkesiap ketika Iqis hampir duduk di kepalaku. Aku kucek mata dan masih berada di dalam jeep. Otewe ke desa lagi untuk bagi makanan dan membantu evakuasi warga apabila diperlukan. “What’s wrong, ya, akhi?” tanya temenku yang tadi ponselnya aku pinjam buat telpon Iqis. Itu pun pulsanya masih ngutang, nanti pas udah membaik semuanya aku bayar deh. “My girl friend, she comes in my dream, almost kiliing me.” Aku mengusap dadaku
Aku harus tetep profesional dalam bekerja. Walau jantung degupnya bukan main lagi dan keringat dingin sudah mengucur deras. Tapi nama pemenang tetap kami umumkan. Gegap gempita dan perayaan dimulai, itu bagi mereka, tidak bagiku. Aku hanya terpaku dan tersenyum palsu tanpa tahu harus bagaimana. Kamera masih menyorotku dan aku nggak bisa pergi. Senyumanku palsu pada semua orang. Sampai ada kira-kira setengah jam perayaan belum juga selesai. Aku minta izin sama papa untuk undur diri. Nyatanya aku nggak kuat dan duduk di kursi sebelah papa. Kakiku lemes. “Kenapa?” tanya papaku yang habis minum air putih. Aku nggak sanggup bicara lagi dan hanya memberikan ponselku pada papa. Beliau juga diam dan mengembalikan benda itu padaku. “Sudah pernah Papa bilang gimana resikonya. Sekarang kamu duduk yang tenang dan tunggu kabar aja, semoga semuanya selamat. Biasanya nanti ada berita resmi atau kalau nggak, ada kabar-kabar burung di sosmed. Jangan mikir untuk buat macem-macem, ya, Nak.” Papa, m
Suasana di pinggiran Lebanon sangat mencekam. Udah beberapa kali kami hampir aja bentrok dengan tentara Israel yang mulai kelewat batas. Biasanya aku cuman baca gimana perangai mereka yang suka kelewat batas sama penduduk sipil tak bersenjata pula. Sekarang aku rasakan sendiri. Terbayang olehku wajah perempuan yang lemah dan berlarian demi menyelamatkan harga diri serta kesucian. Pernah aku angkat senjata dan teman-teman karena mereka berkelakuan layaknya binatang. Sudahlah di sini kami tidak bisa kontak dengan keluarga, ditambah beban mental mengayomi para tentara kurang pendidikan. Yang aku dengar di sana ada wamil dan asal comot tentara. Gimana ceritanya banci bisa pegang senjata. Mana dia tahu wilayah yang boleh diserang atau nggak, atau yang diprioritaskan untuk ditolong. Di mata tentara Israel semua yang ada di hadapan mereka adalah kecoak yang boleh diinjak. Keadaan agak tenang sedikit ketika kami memasuki pedesaan yang berbatasan langsung dengan Israel. Warga desanya takut
Di sini aku sekarang, di dalam restaurant di mana seharusnya kami makan malam bersama. Udah nggak kehitung berapa kali kami janjian tapi harus dibatalin. I think our problem is about time. Bukan orang ketiga yang jadi kendala. Karena aku mau sama satu orang aja udah bagus. Setiap hari aku mikirin mending udahan aja, tapi cuman di kepala aja gaes. Aslinya kicep aku, wkwkwkwk, banyak gaya memang. Sesaat kemudian aku v call sama dia. Aku tunjukkin kalau aku juga serius. Ya, jam tangan dan kue tart adalah salah satu bukti kalau aku bukan gadis lugu tapi nggak komitmen. Sebentar aja kami ngobrol soalnya dia bilang mau sampai di markas. Aku kasih dia pesan cinta, awas kawin banyak-banyak di sana. Jangankan banyak, satu aja aku nggak terima. Oke, nggak usah debat aku tahu itu hak laki-laki. Perempuan juga punya hak untuk memilih. Setelah balasan dari pesannya nggak muncul lagi, aku makan sendirian di restaurant. Kue tartnya aku bagiin sama pegawainya aja. Siapa yang mau makan di rumah? U