Laurent berdiri diam di depan lemari kaca yang menyimpan guci abu ibunya. Pandangannya tak lepas dari foto yang terpajang di sana—sosok wanita yang selalu ia rindukan, yang senyumnya kini hanya bisa ia lihat dalam gambar.Setiap kali rasa bersalah menyiksanya, Laurent kembali ke tempat ini. Ia merasa gagal, tak mampu menyelamatkan ibunya dari rumah sakit jiwa. Hari demi hari, penyesalan itu semakin menyesakkan dadanya.Di sisi lain, Alicia melangkah pelan menuju makam kosong yang ia buat sebagai simbol kematian Darley. Tangannya menyentuh nisan dingin itu, namun pikirannya terganggu saat tanpa sengaja menangkap sosok dari kejauhan.Mata Alicia menyipit. Ia berdiri terpaku, mengamati dengan penuh selidik.Dulu, Laurent mengunjungi makam ayah Elara. Dan sekarang? Wanita itu berdiri di depan tempat abu ibu Elara.Jangan-jangan…Alicia merasakan gelombang kecurigaan semakin kuat. Langkahnya pelan namun pasti, mendekati Laurent yang masih berdiri di sana, tampak begitu tenggelam dalam kese
Ucapan Alicia terus terngiang di telinga Laurent.Abu ibunya diganti dengan abu anjing? Itu tak bisa diterima.Tangannya mengepal di atas meja, jemarinya menekan kuat permukaan kayu hingga buku-bukunya memutih. Rasa muak, amarah, dan ketidakpercayaan bercampur menjadi satu, menggelegak dalam dadanya.Seorang anak buahnya masuk dengan langkah hati-hati, menunggu perintah."Ambil sampel abu di guci ibuku," suara Laurent dingin, tajam seperti pisau. "Cek apakah itu benar abu manusia atau hanya abu anjing."Anak buahnya mengangguk cepat. "Baik, Nyonya."Saat itulah Adrian masuk ke dalam ruangan. Tatapannya penuh kecemasan saat melihat wajah istrinya yang menegang."Kau yakin dia mengatakan hal itu padamu?" tanya Adrian, suaranya sedikit meninggi, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Laurent menoleh, matanya menyala dengan kemarahan yang tertahan. "Dia mengatakannya langsung. Aku mendengar sendiri dari mulutnya."Adrian menghela napas panjang. Ia tahu betapa dalamnya kebencian
Alicia menyelinap dalam kegelapan, membuntuti ke mana pun Dianora pergi malam itu. Rasa ingin tahunya bercampur dengan kegelisahan yang semakin menjadi-jadi. Apa yang direncanakan Laurent dengan mendekati adik iparnya? Namun, lebih dari itu, ada sesuatu yang membuat napas Alicia terasa berat. Setelah mengamati dengan saksama, ia semakin yakin—Laurent bukan sekadar wanita asing yang tiba-tiba muncul dalam hidup mereka. Laurent adalah Elara. Dan jika dugaannya benar, ia tidak akan membiarkan wanita itu berada di atas angin. Tidak peduli apa pun caranya. Duduk di dalam mobil, Alicia menunggu, matanya tak lepas mengawasi dari kejauhan. Laurent dan Dianora bertemu di sebuah kafe yang terletak di kawasan baru yang baru saja diresmikan beberapa hari lalu. Dianora turun dari mobilnya, mantel tipis membungkus tubuhnya dengan anggun. Udara malam menyentuh pipinya, tapi dia tak peduli. Dengan langkah ringan, ia menuruni tangga panjang yang menghubungkan tempat parkir dengan kafe di bawah
Setelah insiden jatuh dari tangga tadi malam, Dianora dinyatakan koma oleh dokter. Kabar itu mengguncang semua orang, terutama keluarganya.Laurent belum mengetahui bahwa ada tangan Alicia di balik kejadian tragis ini. Namun, satu hal yang pasti—kejatuhan Dianora bukanlah sebuah kecelakaan biasa.Di rumah sakit, suasana begitu tegang. Sang ibu, yang telah bertahun-tahun mengirim Dianora ke luar negeri demi masa depan yang lebih baik, kini hanya bisa menangis tanpa henti di samping tempat tidur putrinya. Air matanya jatuh membasahi tangan Dianora yang terkulai lemah, sementara suara alat medis yang berbunyi monoton semakin menambah beban di hatinya.Di sisi lain ruangan, Alicia berdiri dengan ekspresi tenang. Sesekali, ia berpura-pura menenangkan ibu mertuanya, mengusap punggung wanita itu dengan lembut. Namun di balik wajah penuh simpati itu, matanya memancarkan kilatan dingin.Malam itu, Laurent hendak meninggalkan rumah sakit. Namun langkahnya terhenti ketika Damian tiba-tiba menyu
Laurent menggandeng tangan kecil Dante, membawanya kembali ke kamar yang terletak tepat di sebelah kamar mereka. Langkahnya tegap, tanpa ragu, sementara Dante hanya bisa mengikuti dengan wajah tertunduk.Sesampainya di kamar, Laurent membuka pintu dan mendorong Dante masuk dengan lembut, tapi tegas."Elea berani tidur sendiri, padahal dia lebih kecil darimu," ucapnya dingin. "Tapi kamu? Malah masuk ke kamar Mama dan Papa, mengganggu waktu kami?"Dante mengerjap, matanya yang bulat mulai memerah. "Tapi Dante takut, Ma..." suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Laurent tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Dengan gerakan kaku, ia menuntun Dante ke ranjang dan menarik selimut hingga menutupi tubuh mungilnya."Tadi ada bayangan hitam di sana, Ma..." Dante berbisik lagi, suaranya dipenuhi ketakutan."Itu hanya halusinasi, Dante," jawab Laurent, nadanya datar, nyaris tanpa emosi. Tanpa memperdulikan wajah ketakutan bocah itu, ia berjalan ke arah saklar lampu."Jangan matikan lampuny
Lorong rumah sakit yang sepi mendadak dipenuhi ketegangan yang mengendap di udara. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya pucat, memantulkan bayangan panjang di lantai marmer.Damian, yang baru saja keluar dari ruang tunggu, merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Langkahnya terhenti saat melihat sesosok pria berpakaian hitam keluar dari ruang ICU tempat Dianora dirawat.Pria itu mengenakan jaket tebal dengan topi yang ditarik rendah, sebagian besar wajahnya tertutup bayangan. Namun, gerak-geriknya terlalu mencurigakan—terlalu tenang, terlalu licin, seakan dia sudah terbiasa menyelinap di tempat-tempat seperti ini.Jantung Damian berdegup kencang.“Hei!” serunya tajam.Pria itu menoleh sekilas, lalu buru-buru berbalik, mempercepat langkahnya menuju koridor darurat. Damian tak tinggal diam. Dengan sigap, ia mengejar pria itu, hampir saja berhasil menarik lengannya.Namun, pria itu lebih gesit. Dia mendorong Damian ke samping, lalu berlari ke arah tangga darurat. Jejak lan
Ruangan itu terasa sunyi setelah suara mangkuk yang jatuh menghantam lantai, bubur yang tadinya mengepul hangat kini berceceran di atas ubin. Pengasuh Dante tersentak kaget, matanya langsung beralih ke Laurent yang berdiri di ambang pintu, menatap mereka tanpa ekspresi.Dante pun ikut terdiam. Tangannya masih mengepal di pangkuan, matanya membulat penuh rasa bersalah, tapi juga memberontak.Laurent melangkah mendekat, suaranya dingin dan tajam saat berbicara, “Kau mau jadi anak nakal, Dante? Kau mau membangkang?”Dante menggigit bibirnya, lalu menggeleng cepat. "Nggak enak, Ma... Dante mau pizza," rengeknya, suaranya penuh harap, seolah permintaannya bisa mengubah situasi.Pengasuh yang masih terguncang bergegas hendak membersihkan kekacauan di lantai, tapi Laurent mengangkat tangannya, menghentikannya. Tatapannya tetap tertuju pada Dante.“Sebagai hukuman karena kau telah nakal, turun dan bersihkan makanan itu,” perintahnya, suaranya tegas tanpa ruang untuk bantahan.Dante menatap L
Laurent berdiri gelisah di luar ruang operasi, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan dada. Wajahnya pucat, bibirnya terkatup rapat, dan matanya menatap kosong ke arah pintu dengan tatapan yang penuh cemas. Detik demi detik terasa seperti jarum yang menusuk jantungnya.Dari balik lorong rumah sakit yang sunyi, langkah cepat terdengar mendekat. Adrian muncul dengan napas tersengal dan wajah tegang. Saat melihat istrinya berdiri di sana, ia langsung menghampiri.“Bagaimana keadaan Dante?” tanyanya dengan suara serak.“Masih di dalam,” jawab Laurent pelan, tanpa menoleh. Suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan angin yang nyaris lenyap ditelan sunyi.Adrian memandang wajah istrinya yang dipenuhi rasa bersalah. Ia meletakkan tangannya di bahu Laurent, mencoba memberi sedikit kekuatan.“Kau menyayanginya, Elara,” ujarnya lembut, “Tapi karena kebencianmu pada ibunya, kau jadi dingin seperti ini. Jauh sebelum kau tahu semua kebusukan Alicia... kau merawat Dante seperti darah
Adrian berdiri terpaku di ambang pintu kamar sempit itu. Bau apek alkohol, asap rokok, dan tubuh yang terlalu lama terbaring tanpa perawatan membuat udara begitu menyesakkan. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Tubuh kecil yang tergeletak di atas kasur reyot itu begitu pucat, begitu sunyi… terlalu sunyi. Mata Dante tertutup, bibirnya membiru, dan tubuhnya tampak kaku.“Dante…” bisik Adrian, nyaris tanpa suara.Langkahnya terhuyung mendekat. Ia jatuh berlutut di sisi tempat tidur yang ringkih, tangannya gemetar saat menyentuh wajah bocah itu. Dingin. Tak ada respons. Air matanya mulai menggenang tanpa ia sadari. Napasnya tercekat di tenggorokan.“Dia… dia sudah…” ucap Adrian, suaranya pecah.Namun sebelum duka itu benar-benar melumpuhkannya, salah satu anak buahnya—seorang pria bernama Richie—berjongkok cepat di sisi Adrian. Ia mengambil denyut nadi di pergelangan tangan Dante dengan teliti, lalu menyentuh leher anak itu dengan jari terlatih.“Tuan… tunggu sebentar,” ucap Richie p
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap