Laurent berdiri gelisah di luar ruang operasi, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan dada. Wajahnya pucat, bibirnya terkatup rapat, dan matanya menatap kosong ke arah pintu dengan tatapan yang penuh cemas. Detik demi detik terasa seperti jarum yang menusuk jantungnya.Dari balik lorong rumah sakit yang sunyi, langkah cepat terdengar mendekat. Adrian muncul dengan napas tersengal dan wajah tegang. Saat melihat istrinya berdiri di sana, ia langsung menghampiri.“Bagaimana keadaan Dante?” tanyanya dengan suara serak.“Masih di dalam,” jawab Laurent pelan, tanpa menoleh. Suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan angin yang nyaris lenyap ditelan sunyi.Adrian memandang wajah istrinya yang dipenuhi rasa bersalah. Ia meletakkan tangannya di bahu Laurent, mencoba memberi sedikit kekuatan.“Kau menyayanginya, Elara,” ujarnya lembut, “Tapi karena kebencianmu pada ibunya, kau jadi dingin seperti ini. Jauh sebelum kau tahu semua kebusukan Alicia... kau merawat Dante seperti darah
Saat keluar dari rumah sakit, Damian menghela napas berat. Malam terasa dingin, angin berembus lembut namun membawa kecemasan yang tak ia mengerti. Ia menyelipkan tangan ke dalam saku jasnya, mencoba menenangkan diri, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.Nomor asing.Ia mengerutkan dahi, ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya. Tidak ada suara di seberang sana, hanya sunyi yang menggantung.Lalu, terdengar suara seorang wanita—dingin, datar, namun penuh ancaman.“Sebaiknya kau hati-hati dengan istrimu,” katanya.Damian langsung berhenti melangkah. Tubuhnya menegang. “Elara?” tebaknya tajam, mencoba mengenali suara itu.“Semua yang terjadi dalam keluargamu... adalah ulah Alicia,” jawab suara itu dengan ketenangan yang justru membuat bulu kuduk Damian meremang.Tangan Damian mengepal. Rahangnya mengeras. “Dianora… Apakah kau yang melakukannya?” suaranya meninggi. “Apa kau mencoba membunuh adikku? Dia bahkan tidak punya urusan apa-apa denganmu!”Terdengar tawa pelan di ujung sana.
Dua hari kemudian…Asisten Damian berlari kecil menyusuri lorong panjang kantor pusat. Napasnya tersengal-sengal saat tiba di depan ruang kerja majikannya. Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu dan langsung masuk ketika mendengar izin.“Tuan… hasil yang Anda minta,” katanya dengan suara tercekat, menyerahkan sebuah amplop cokelat besar.Damian yang duduk di balik meja kerjanya, tampak tegang. Wajahnya pucat, matanya merah karena kurang tidur. Tangannya bergerak pelan saat mengambil amplop itu, seolah tubuhnya memberontak untuk mengetahui kebenaran yang mungkin tak ingin ia dengar.Dengan gerakan ragu, Damian membuka amplop itu. Matanya menyapu lembaran hasil tes DNA dari atas ke bawah—dan seketika dunia seolah berhenti berputar.Hasil tes DNA menunjukkan bahwa Damian dan Darley tidak memiliki hubungan biologis.Tangannya refleks meremas lembaran itu hingga kusut. Matanya menatap tajam ke arah asistennya, dipenuhi gejolak emosi yang tak terbendung.“Kau yakin dengan hasil ini?” su
“Tak usah. Sepertinya tak penting,” ucap Damian, suaranya rendah dan datar, menyimpan banyak hal yang tak terucap. Senyum tipisnya terukir di wajah, tetapi matanya kosong—seperti pria yang tahu terlalu banyak, namun memilih untuk menunggu.Alicia tertawa kecil, tawanya ringan, tapi gugup itu memancar jelas. “Benar… ini tidak penting,” katanya sambil mencoba terdengar tenang. Namun jari-jarinya yang mencengkeram erat amplop cokelat itu justru mengkhianati isi hatinya—ia tampak seperti seseorang yang tahu waktunya hampir habis.Begitu Damian menaiki tangga, Alicia segera melangkah menuju dapur. Detaknya cepat, tapi langkahnya masih dijaga agar tak terlalu mencolok. Di sana, pembantu sudah berdiri dengan apron yang sedikit kusut dan sebilah pisau di tangannya, memotong bawang dalam diam seolah hidupnya bukan bagian dari drama keluarga yang meretakkan fondasi rumah ini.“Siapa yang mengantar surat ini tadi? Apakah setiap hari orangnya berbeda?” tanya Alicia lirih, namun tajam. Matanya m
Sebuah jeritan mengguncang pagi di kediaman Everstone.Damian yang baru saja merapikan jasnya dan hendak berangkat kerja, langsung berlari menuruni anak tangga saat mendengar teriakan nyaring itu menggema dari ruang keluarga.“Ibu?” serunya cemas. “Ada apa?”Nyonya Everstone berdiri terpaku di depan televisi, tubuhnya bergetar, matanya membelalak seperti baru saja melihat hantu.“Damian! Damian! Lihat itu!” teriaknya sambil menunjuk layar. “Itu… itu Anna, kan? Pembantu kita yang belum kembali sejak malam itu?”Jantung Damian berdegup kencang. Ia meraih remote dan membesarkan volume televisi. Suara reporter mengisi ruangan dengan nada serius dan berat, seolah membawa kabar dari dunia lain.“…ditemukan oleh pekerja bangunan di area pemukiman terbengkalai. Kondisi mayat sudah membusuk parah, namun identitas korban dipastikan melalui dokumen yang ditemukan di sekitar lokasi. Korban bernama Anna…"Wajah perempuan muda yang terpampang di layar—meski pudar, rusak, dan tak bernyawa—jelas adal
Ballroom Hotel St. Claire, pusat kota. Lampu gantung kristal menggantung anggun di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan. Deretan kursi kulit ditata rapi menghadap panggung utama yang dihiasi layar LED raksasa bertuliskan: Final Tender Presentation – Future Skyline Project.Para undangan duduk dengan tenang, berpakaian formal. Investor internasional, perwakilan pemerintah daerah, hingga media dengan kamera yang sudah siap di tangan. Bisik-bisik pelan terdengar dari berbagai sudut.Damian Everstone melangkah masuk dengan jas abu gelap dan senyum tenang. Seolah ia sudah tahu hasil akhir dari acara ini. Di belakangnya, asistennya berjalan sambil menenteng tablet. Damian menyapa satu dua orang penting di ruangan, memberi anggukan hormat. Ia terlihat menguasai ruangan.“Lima puluh miliar nilai proyek ini. Kita tidak akan gagal,” bisik asistennya pelan.Damian hanya tersenyum kecil. “Sudah kubilang, yang lain hanya formalitas.”Dari sisi lain ruangan, masukl
"Kenapa kau terkejut, Damian?" tanya Laurent dengan tenang. Suaranya datar, nyaris tanpa emosi, namun justru itulah yang membuatnya terasa begitu dingin.Damian menegang. Napasnya tercekat di tenggorokan. “Kau... kau Elara?” suaranya nyaris berbisik.Laurent tersenyum tipis. “Ya... Aku Elara. Dan kini aku kembali sebagai Laurent,” katanya pelan, hampir seperti bisikan angin yang mengiris dingin. “Apa kau suka dengan wajah baruku?”Damian tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mulutnya sedikit terbuka, matanya tak berkedip menatap perempuan itu. Ia mengenal Laurent selama lebih dari empat tahun—terlalu lama untuk tidak mengenali… namun sekarang, wajah itu nyaris tak menyisakan jejak masa lalu.Bahkan setelah Alicia sempat berkata bahwa Laurent adalah Elara, Damian menepisnya begitu saja. Ia pikir itu hanya ketakutan atau kecemburuan Alicia semata.Tapi kini, kebenaran berdiri di hadapannya—nyata dan tak terbantahkan.Wanita yang dulu polos, lugu, dan mudah ditindas… kini berubah t
Damian tiba di rumah sakit dengan napas memburu. Begitu turun dari mobil, ia langsung menuju ruang gawat darurat, langkahnya cepat dan tajam menembus lorong yang dingin dan penuh aroma antiseptik.Di depan ruang operasi, ia menemukan ibunya duduk di bangku panjang. Wajah wanita itu muram, kedua tangannya menggenggam tas tangan dengan erat, seolah itu satu-satunya yang bisa ia pegang di tengah badai ini.Damian berdiri di hadapannya. "Di mana Alicia?" tanyanya, suaranya datar dan dingin.Nyonya Everstone mengangkat wajahnya. Tatapannya tajam, lelah, dan penuh kemarahan yang disimpan terlalu lama."Entahlah," gumamnya pelan tapi penuh tekanan. "Dia pergi dengan Darley pagi ini. Tapi… sekarang Darley di ruang operasi, dan dia tak terlihat sejak tadi."Ada nada luka dalam suara wanita itu. Luka yang telah lama menumpuk.Damian mengatupkan rahangnya. Kalau saja ibunya tahu—bahwa anak yang dilahirkan Alicia empat tahun lalu bukan darah dagingnya—ia tahu ibunya akan meledak lebih dari sekada
Keesokan harinya – Di kediaman keluarga Adrian VaughnKoran pagi berserakan di meja makan panjang berlapis linen putih. Gambar Dante kecil terpampang di halaman depan, tepat di bawah judul tebal:“ULANG TAHUN PENUH AIR MATA: DANTE VAUGHN, 5 TAHUN, TIBA-TIBA TIDAK BISA BICARA”Subjudul: Apakah trauma tersembunyi membayangi putra angkat keluarga Vaughn?Lauren menatap halaman itu dengan wajah pucat. Cangkir tehnya menggigil di tangan. Adrian duduk di seberangnya, sudah membaca tiga artikel dari tablet-nya sejak pagi buta.Media internet pun tidak kalah kejam. Di berbagai portal, komentar berseliweran—menyerang, menuduh, berspekulasi.> “Apakah Lauren hanya mengadopsi untuk pencitraan?”“Dante terlihat murung di banyak foto. Lihat sorot matanya.”“Di mana perhatian mereka sebagai orang tua? Mengapa anak sekecil itu tidak bicara sama sekali?”Lauren menutup korannya. Tangannya gemetar.“Aku hanya… ingin memberinya kehidupan yang layak,” gumamnya pelan. “Aku tidak tahu... bagaimana ini bis
Kamar Dante – Tengah MalamSuara isakan kecil terdengar dari balik selimut.Dante terbangun lagi. Tubuhnya berkeringat, meski udara kamar sejuk. Ia melihat ke sekeliling—gelap, sunyi, sepi. Wajah Kyle tak ada. Bonekanya tak ada di pelukan. Tangannya bergetar.Dengan langkah kecil, ia turun dari ranjang dan merangkak ke sudut ruangan. Di sanalah ia duduk, memeluk lutut, bergumam sendiri.“Mama sayang Elea… bukan aku…”Matanya memicing, seolah melihat sesuatu di dalam gelap. Bayangan. Wajah Lauren yang tak menoleh padanya saat sarapan. Ayunan yang mengayun terlalu tinggi. Suara Kyle yang lembut tapi dingin.“Kyle… Kyle… aku takut…”Tiba-tiba pintu terbuka. Kyle masuk pelan, membawa lampu tidur kecil dan selimut cadangan. Ia membeku melihat Dante meringkuk di pojok ruangan, menggigil.“Kamu kenapa?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran yang dibuat-buat.Dante menatapnya, matanya merah.“Aku lihat monster tadi… di sini…” bisiknya. “Dia bilang mama enggak sayang aku…”Kyle tersenyum keci
Lampu malam menyala redup di sudut kamar. Tubuh kecil Dante terbaring lemas di atas ranjang, kulitnya pucat, pipinya memerah karena demam. Selimut bergambar beruang menutupi tubuhnya sampai dagu.Kyle duduk di sisi ranjang, satu tangan mengusap pelan rambut Dante, sementara tangan lainnya memegang sendok kecil berisi obat berwarna bening.“Telan, sayang… biar besok badanmu nggak panas lagi,” ucapnya lembut.Dante menurut. Mulut kecilnya terbuka, menelan cairan yang terasa pahit di lidah.Sesaat kemudian ia berbisik dengan suara serak, “Mama di mana?”Kyle tersenyum, senyum yang manis di bibir… namun matanya kosong. “Mama lagi pergi. Sama Elea.”“Kenapa… Dante nggak diajak?” gumam Dante, matanya mulai berkaca.Kyle memiringkan kepalanya, seolah heran, lalu berkata pelan, “Mungkin karena kamu cuma anak angkat, sayang. Kadang orang lupa…”Dante menoleh pelan. “Tapi Mama bilang Dante anaknya…”Kyle menyentuh pipi Dante dengan lembut, nadanya tetap manis, seakan meninabobokan. “Iya, tent
Suara Dante pecah, terengah dan parau karena terlalu lama menangis. Pipinya basah, suaranya nyaris tak terdengar.Tapi Kyle tidak menjawab. Ia mendengarnya. Sangat jelas.Namun ia memilih untuk berpura-pura seolah tak mendengar apa pun—seolah air mata itu hanya bagian dari permainan anak-anak.“Oh, kamu senang ya?” ucapnya pelan, senyumnya melebar—dingin. “Lihat… kamu bisa terbang. Aku dorong lagi, ya? Lebih tinggi?”Tangan Kyle kembali mencengkeram tali ayunan. Kali ini lebih kuat.Dorongan itu begitu keras, ayunan melambung jauh, dan tubuh kecil Dante terhempas ke udara seolah hendak menyentuh awan kelabu pagi itu.Jeritannya tercekik. Tangannya berusaha mencengkeram tali, tapi tubuhnya lunglai oleh rasa takut.Dari jauh, Miss Anabelle sempat menoleh lagi. Ia menyipitkan mata. Ada yang aneh. Tapi dua anak kecil di sebelahnya mulai menarik-narik ujung cardigan, bertanya soal jadwal kelas hari ini. Ia mengalihkan perhatian.Sesaat saja.Sesaat yang cukup untuk segalanya berubah.BRUKK
Angin malam menyelinap dari celah jendela yang tak tertutup rapat, menyentuh tirai renda berwarna kelabu yang bergoyang perlahan. Di atas ranjang berkanopi, Dante menggeliat gelisah, wajahnya yang masih muda berkeringat, alisnya berkerut dalam mimpi yang mengusik.“Jangan… jangan kejar aku… tolong…”Suara gumaman itu berubah menjadi teriakan panik. Tubuh kecil itu menendang selimut, tangannya meraih-raih udara kosong, seperti berusaha mengusir sesuatu yang tak terlihat.“Anjing itu! Jangan gigit aku! Jangan—”Teriakannya membelah keheningan rumah.Pintu kamar terbuka perlahan.Kyle masuk tanpa suara, hanya cahaya lembut dari lampu lorong yang menyinari siluet rampingnya. Ia berdiri di ambang pintu beberapa detik, mengamati.Dante menggigil. Seprai basah. Bau pesing samar menyatu dengan keringat dan ketakutan yang masih terasa di udara.Kyle melangkah pelan. Suara tumit sepatunya tak terdengar di atas karpet tebal. Tatapannya jatuh pada ranjang yang kini basah di bagian tengah. Senyum
Kantor Pusat DM Properties – Ruang Rapat EksekutifRuang rapat bergaya klasik itu dibalut panel kayu mahoni gelap, jendelanya tinggi menjulang dengan tirai beludru biru kelam, dan lampu gantung kristal menggantung anggun di langit-langit. Udara di dalam ruangan terasa tegang, seolah menanti putusan akhir dari drama bisnis yang sudah berlangsung terlalu lama.Ketukan ritmis tumit sepatu hak tinggi memecah keheningan. Suaranya menggema di sepanjang lantai marmer, mendahului sosok elegan yang melangkah masuk dengan percaya diri.Laurent Forst, CEO SIN Holdings, melangkah dengan aura dingin yang tak terbantahkan. Ia mengenakan setelan celana abu-abu pucat yang disesuaikan sempurna dengan tubuh jenjangnya, serta blazer berpotongan tajam yang memancarkan kekuasaan. Rambut pirangnya disanggul rapi ke atas, meninggalkan leher jenjang yang terbuka bersih, seperti seorang eksekutif kerajaan modern.Di belakangnya, sang asisten pribadi mengikuti langkah cepat itu sambil menenteng map hitam ku
Vila Adrian Vaughn – Dapur KeluargaBeberapa hari kemudian. Pagi yang tenang menyelimuti vila megah bergaya Victoria itu. Dari jendela dapur yang besar, sinar matahari menyusup lembut ke dalam ruangan, membias di atas meja kayu panjang tempat Dante duduk sambil menggambar dengan krayon.Kyle—membawa semangkuk bubur oatmeal hangat yang diberi topping buah segar.“Dante, ayo sarapan dulu, Nak,” katanya lembut, suaranya seperti nyanyian pelan yang menenangkan.Dante menoleh, senyumnya polos. “Tadi aku gambar mobil, kayak yang di parkiran!”Kyle tersenyum manis, lalu meletakkan mangkuk di hadapan bocah empat tahun itu. “Wah, mobil yang mana? Yang warna hitam atau biru?”“Yang hitam. Mobil Ayah.”Sambil bicara, Kyle membuka laci kecil di dapur, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil transparan dari balik apron-nya. Gerakannya cepat dan halus—menaburkan bubuk halus berwarna keabu-abuan ke dalam oatmeal. Sekilas tampak seperti kayu manis.“Ini rahasia kecil kita ya, Dante. Supaya kamu tumbuh
Satu minggu kemudian...“Nyonya, pengasuh baru untuk Tuan Muda Dante sudah datang,” ucap kepala pelayan sambil berdiri tegak di ambang pintu ruang kerja Laurent.Laurent yang sedang menandatangani beberapa dokumen menutup mapnya perlahan. Ia tidak langsung menoleh, hanya berkata dengan nada datar, “Suruh dia masuk.”Beberapa saat kemudian, langkah pelan terdengar menyusuri karpet mahal yang meredam suara. Seorang wanita muda melangkah masuk. Pakaian yang ia kenakan rapi namun sederhana—blus putih, rok selutut, dan sepatu datar. Rambutnya disanggul ringkas, dan ia mengenakan kacamata bulat tipis yang memberi kesan kalem dan profesional.Kyle berdiri dengan kedua tangan meremas jemarinya sendiri, tampak gugup namun berusaha tenang. Ia menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk hormat. “Selamat pagi, Nyonya Forst,” ucapnya pelan.Laurent menatapnya beberapa detik tanpa ekspresi. Tatapannya tajam, menilai dari ujung kepala hingga kaki, seakan berusaha membaca lebih dari sekadar penampila
Everstone Mansion — Kamar Pribadi Nyonya EverstoneHujan mulai turun perlahan, membasahi jendela kaca setinggi langit-langit di rumah megah yang berdiri angkuh di kawasan elit. Udara malam merembes masuk melalui celah tirai beludru anggur yang ditarik separuh, menebarkan hawa lembap dan dingin yang menempel di marmer lantai dan perabot tua penuh sejarah.Di dalam kamar tidur yang luas dan elegan itu, waktu seolah berhenti. Lampu gantung kristal menggantung bisu di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya lembut yang temaram. Aroma samar kayu tua dan mawar kering menyelubungi udara.Nyonya Everstone berdiri diam di depan meja rias antik bergaya Eropa, kedua matanya menatap bayangan dirinya sendiri di cermin besar yang telah menyimpan ribuan rahasia. Rambut peraknya disanggul rapi, tanpa satu helaian pun keluar dari tempatnya, tapi wajahnya... Wajah itu menyiratkan badai yang mengamuk diam-diam. Raut matanya tajam, penuh perhitungan, namun tak bisa menyembunyikan ketegangan yang me