Saat keluar dari rumah sakit, Damian menghela napas berat. Malam terasa dingin, angin berembus lembut namun membawa kecemasan yang tak ia mengerti. Ia menyelipkan tangan ke dalam saku jasnya, mencoba menenangkan diri, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.Nomor asing.Ia mengerutkan dahi, ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya. Tidak ada suara di seberang sana, hanya sunyi yang menggantung.Lalu, terdengar suara seorang wanita—dingin, datar, namun penuh ancaman.“Sebaiknya kau hati-hati dengan istrimu,” katanya.Damian langsung berhenti melangkah. Tubuhnya menegang. “Elara?” tebaknya tajam, mencoba mengenali suara itu.“Semua yang terjadi dalam keluargamu... adalah ulah Alicia,” jawab suara itu dengan ketenangan yang justru membuat bulu kuduk Damian meremang.Tangan Damian mengepal. Rahangnya mengeras. “Dianora… Apakah kau yang melakukannya?” suaranya meninggi. “Apa kau mencoba membunuh adikku? Dia bahkan tidak punya urusan apa-apa denganmu!”Terdengar tawa pelan di ujung sana.
Dua hari kemudian…Asisten Damian berlari kecil menyusuri lorong panjang kantor pusat. Napasnya tersengal-sengal saat tiba di depan ruang kerja majikannya. Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu dan langsung masuk ketika mendengar izin.“Tuan… hasil yang Anda minta,” katanya dengan suara tercekat, menyerahkan sebuah amplop cokelat besar.Damian yang duduk di balik meja kerjanya, tampak tegang. Wajahnya pucat, matanya merah karena kurang tidur. Tangannya bergerak pelan saat mengambil amplop itu, seolah tubuhnya memberontak untuk mengetahui kebenaran yang mungkin tak ingin ia dengar.Dengan gerakan ragu, Damian membuka amplop itu. Matanya menyapu lembaran hasil tes DNA dari atas ke bawah—dan seketika dunia seolah berhenti berputar.Hasil tes DNA menunjukkan bahwa Damian dan Darley tidak memiliki hubungan biologis.Tangannya refleks meremas lembaran itu hingga kusut. Matanya menatap tajam ke arah asistennya, dipenuhi gejolak emosi yang tak terbendung.“Kau yakin dengan hasil ini?” su
“Tak usah. Sepertinya tak penting,” ucap Damian, suaranya rendah dan datar, menyimpan banyak hal yang tak terucap. Senyum tipisnya terukir di wajah, tetapi matanya kosong—seperti pria yang tahu terlalu banyak, namun memilih untuk menunggu.Alicia tertawa kecil, tawanya ringan, tapi gugup itu memancar jelas. “Benar… ini tidak penting,” katanya sambil mencoba terdengar tenang. Namun jari-jarinya yang mencengkeram erat amplop cokelat itu justru mengkhianati isi hatinya—ia tampak seperti seseorang yang tahu waktunya hampir habis.Begitu Damian menaiki tangga, Alicia segera melangkah menuju dapur. Detaknya cepat, tapi langkahnya masih dijaga agar tak terlalu mencolok. Di sana, pembantu sudah berdiri dengan apron yang sedikit kusut dan sebilah pisau di tangannya, memotong bawang dalam diam seolah hidupnya bukan bagian dari drama keluarga yang meretakkan fondasi rumah ini.“Siapa yang mengantar surat ini tadi? Apakah setiap hari orangnya berbeda?” tanya Alicia lirih, namun tajam. Matanya m
Sebuah jeritan mengguncang pagi di kediaman Everstone.Damian yang baru saja merapikan jasnya dan hendak berangkat kerja, langsung berlari menuruni anak tangga saat mendengar teriakan nyaring itu menggema dari ruang keluarga.“Ibu?” serunya cemas. “Ada apa?”Nyonya Everstone berdiri terpaku di depan televisi, tubuhnya bergetar, matanya membelalak seperti baru saja melihat hantu.“Damian! Damian! Lihat itu!” teriaknya sambil menunjuk layar. “Itu… itu Anna, kan? Pembantu kita yang belum kembali sejak malam itu?”Jantung Damian berdegup kencang. Ia meraih remote dan membesarkan volume televisi. Suara reporter mengisi ruangan dengan nada serius dan berat, seolah membawa kabar dari dunia lain.“…ditemukan oleh pekerja bangunan di area pemukiman terbengkalai. Kondisi mayat sudah membusuk parah, namun identitas korban dipastikan melalui dokumen yang ditemukan di sekitar lokasi. Korban bernama Anna…"Wajah perempuan muda yang terpampang di layar—meski pudar, rusak, dan tak bernyawa—jelas adal
Ballroom Hotel St. Claire, pusat kota. Lampu gantung kristal menggantung anggun di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan. Deretan kursi kulit ditata rapi menghadap panggung utama yang dihiasi layar LED raksasa bertuliskan: Final Tender Presentation – Future Skyline Project.Para undangan duduk dengan tenang, berpakaian formal. Investor internasional, perwakilan pemerintah daerah, hingga media dengan kamera yang sudah siap di tangan. Bisik-bisik pelan terdengar dari berbagai sudut.Damian Everstone melangkah masuk dengan jas abu gelap dan senyum tenang. Seolah ia sudah tahu hasil akhir dari acara ini. Di belakangnya, asistennya berjalan sambil menenteng tablet. Damian menyapa satu dua orang penting di ruangan, memberi anggukan hormat. Ia terlihat menguasai ruangan.“Lima puluh miliar nilai proyek ini. Kita tidak akan gagal,” bisik asistennya pelan.Damian hanya tersenyum kecil. “Sudah kubilang, yang lain hanya formalitas.”Dari sisi lain ruangan, masukl
"Kenapa kau terkejut, Damian?" tanya Laurent dengan tenang. Suaranya datar, nyaris tanpa emosi, namun justru itulah yang membuatnya terasa begitu dingin.Damian menegang. Napasnya tercekat di tenggorokan. “Kau... kau Elara?” suaranya nyaris berbisik.Laurent tersenyum tipis. “Ya... Aku Elara. Dan kini aku kembali sebagai Laurent,” katanya pelan, hampir seperti bisikan angin yang mengiris dingin. “Apa kau suka dengan wajah baruku?”Damian tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mulutnya sedikit terbuka, matanya tak berkedip menatap perempuan itu. Ia mengenal Laurent selama lebih dari empat tahun—terlalu lama untuk tidak mengenali… namun sekarang, wajah itu nyaris tak menyisakan jejak masa lalu.Bahkan setelah Alicia sempat berkata bahwa Laurent adalah Elara, Damian menepisnya begitu saja. Ia pikir itu hanya ketakutan atau kecemburuan Alicia semata.Tapi kini, kebenaran berdiri di hadapannya—nyata dan tak terbantahkan.Wanita yang dulu polos, lugu, dan mudah ditindas… kini berubah t
Damian tiba di rumah sakit dengan napas memburu. Begitu turun dari mobil, ia langsung menuju ruang gawat darurat, langkahnya cepat dan tajam menembus lorong yang dingin dan penuh aroma antiseptik.Di depan ruang operasi, ia menemukan ibunya duduk di bangku panjang. Wajah wanita itu muram, kedua tangannya menggenggam tas tangan dengan erat, seolah itu satu-satunya yang bisa ia pegang di tengah badai ini.Damian berdiri di hadapannya. "Di mana Alicia?" tanyanya, suaranya datar dan dingin.Nyonya Everstone mengangkat wajahnya. Tatapannya tajam, lelah, dan penuh kemarahan yang disimpan terlalu lama."Entahlah," gumamnya pelan tapi penuh tekanan. "Dia pergi dengan Darley pagi ini. Tapi… sekarang Darley di ruang operasi, dan dia tak terlihat sejak tadi."Ada nada luka dalam suara wanita itu. Luka yang telah lama menumpuk.Damian mengatupkan rahangnya. Kalau saja ibunya tahu—bahwa anak yang dilahirkan Alicia empat tahun lalu bukan darah dagingnya—ia tahu ibunya akan meledak lebih dari sekada
Darley berhasil diselamatkan. Namun tubuh kecil itu kini terbaring lemah di ruang ICU. Kakinya patah, dan bagian pinggangnya mengalami retak serius akibat benturan keras. Selang infus menjuntai di sisi ranjangnya, dan alat bantu napas terpasang di wajah mungilnya yang tampak pucat dan kehilangan warna.Sementara di luar, Damian berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Langkah-langkahnya menggema di lantai marmer yang dingin, menuju ruang rawat yang ditempati adiknya, Dianora. Sejak insiden itu Dianora belum sepenuhnya siuman. Tubuhnya lemah, dan harapan masih menggantung di udara.Namun saat Damian hampir sampai di depan kamar itu, seorang perawat keluar tergesa-gesa, wajahnya panik, dan langsung memanggil dokter jaga.“Dokter! Cepat ke kamar 307! Pasien mengalami kejang!”Damian membeku sejenak. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Kamar 307—itu kamar Dianora.Tanpa berpikir panjang, ia mendorong pintu dan masuk. Matanya membelalak melihat tubuh adiknya kejang-kejang di ranjang
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap
Keesokan harinya – Di kediaman keluarga Adrian VaughnKoran pagi berserakan di meja makan panjang berlapis linen putih. Gambar Dante kecil terpampang di halaman depan, tepat di bawah judul tebal:“ULANG TAHUN PENUH AIR MATA: DANTE VAUGHN, 5 TAHUN, TIBA-TIBA TIDAK BISA BICARA”Subjudul: Apakah trauma tersembunyi membayangi putra angkat keluarga Vaughn?Lauren menatap halaman itu dengan wajah pucat. Cangkir tehnya menggigil di tangan. Adrian duduk di seberangnya, sudah membaca tiga artikel dari tablet-nya sejak pagi buta.Media internet pun tidak kalah kejam. Di berbagai portal, komentar berseliweran—menyerang, menuduh, berspekulasi.> “Apakah Lauren hanya mengadopsi untuk pencitraan?”“Dante terlihat murung di banyak foto. Lihat sorot matanya.”“Di mana perhatian mereka sebagai orang tua? Mengapa anak sekecil itu tidak bicara sama sekali?”Lauren menutup korannya. Tangannya gemetar.“Aku hanya… ingin memberinya kehidupan yang layak,” gumamnya pelan. “Aku tidak tahu... bagaimana ini bis