“Haruskah itu yang kau pertanyakan? Beruntung Karin memberitahu lokasi apartemenmu. Bagaimana bisa kau bolos bekerja dan meninggalkan tanggung jawab begitu saja?” Rian mengomel tanpa memperhatikan wajah Rara yang pucat dan menyedihkan. “Secara kebetulan aku melihatmu sedang berada di sini, aku baru saja memberimu jabatan dan kau sudah besar kepala, huh.”
“M-maafkan saya Pak, saya tidak berniat untuk melepaskan tanggung jawab tapi saya baru saja mengalami kendala di rumah sampai tidak bisa pergi bekerja.” Rara menjelaskan pada Rian yang terjadi.
“Beruntung Tuhan mempertemukan kita secara kebetulan di sini saat aku hanya ingin memastikan alamat yang di berikan Karin.” Rian sama sekali tidak melunak, wajahnya masih memiliki emosi.
Ia tidak berharap kalau Rian akan mengerti keadaannya hanya saja saat ini Rara sedang putus asa dengan apa yang baru saja ia lalui. Rian memperhatikan wajah Rara dengan seksama, ia tidak bersumpah akan memecat Rara jika saja gelagat berbohongnya terlihat tapi saat ini yang pria itu lihat hanyalah kejujuran di mata Rara.
“Saya tinggal di apartemen sendirian dan tidak sadarkan diri sejak kemarin, malam ini adalah sebuah keajaiban saya bisa terbangun,” lanjut Rara.
Ia menatap Rian dengan serius, Rara juga bisa merasakan kalau Rian tidak benar-benar datang hanya untuk memarahinya semata. Tapi pria itu terlihat sedikit khawatir sekarang.
“Kau mengalami hal buruk seperti itu dan tidak ke rumah sakit? Apa otakmu masih belum terbangun Rara?” ucapan menohok dari Rian membuat Rara tidak bisa bicara. Terdengar menyebalkan tapi ada benarnya juga.
"Harusnya paling tidak kau sekarang ada di klinik, bukan minimarket seperti ini."
Rara juga berpikir begitu, harusnya dia memeriksakan diri kenapa dia tertidur selama itu dan kenapa dia melihat ada orang lain di dalam apartemennya, karena bisa saja Rara di diagnosa mengalami delusi.
“Aku tidak mau tau, besok kau harus bekerja. Hari ini aku memaafkanmu tapi jika kau melakukan hal seperti ini lagi, kau akan berakhir seperti Karin juga.”
••
Rara kembali ke apartemennya dengan hati yang tidak tenang, setiap kali ia melangkah di lorong, ia selalu merasa ada orang yang mengikutinya. Di tambah lagi, hatinya sedang gundah karena perkataan Rian yang membuatnya terlempar ke dalam kenyataan.
Langkah demi langkah, Rara lakukan dengan waspada, setiap kali ia mendengar ada suara langkah kaki lain, dirinya segera berpaling dan mencari ke sumber suara.
"Siapa di sana?!"
Rara semula terkejut namun ketika melihat yang sedang berjalan di belakangnya adalah anggota keamanan yang sedang berpatroli, ia langsung menunduk malu.
“Apa ada yang salah, Nona?” anggota keamanan itu bertanya pada Rara.
“T-tidak Pak, maaf.”
Rara segera berjalan dengan cepat hingga akhirnya ia mencapai pintu apartemennya. Gadis itu belum masuk ke dalam, ia masih berdiri di depan pintu dengan memperhatikan secara detail setiap incinya.
Pandangannya jatuh ke bawah, ia melihat ada sebuah puntung rokok yang langsung membuat jantungnya berdegup lebih kencang dua kali lipat. Perlahan Rara membungkuk dan memungutnya, saat ia menyentuh sedikit saja bagian puntung yang sudah mati itu, tubuhnya semakin menegang karena takut.
"Dia meninggalkan jejak... berarti ini semua ini nyata?"
Puntung rokok itu masih hangat, itu tandanya seseorang baru saja membuangnya di sini. Entah sengaja atau tidak, tapi ini cukup membuat Rara merasakan aura jadi mencekam. Gadis itu segera membuangnya dan masuk ke dalam apartemennya.
Walau masih takut, ia sudah mempersiapkan nomor 9-1-1 untuk berjaga-jaga jika saja memang ada ancaman di dalam apartemennya.
Rara berjalan dengan perlahan lagi, ia mengecek dengan detail apartemennya, mulai dari ruang tengah, kamar mandi, kamarnya dan yang terakhir adalah dapur di mana ada meja makan di sana yang terdapat masakan dan catatan.
Makanannya masih ada tapi catatannya hilang, Rara mencari-carinya tapi tidak ada. Padahal dirinya membutuhkan itu untuk bukti kalau ada yang tidak beres di sini.
“Hah… semua ini sia-sia. Padahal aku tidak membuang kertas itu, tapi kenapa tidak ada sekarang?”
Rara kembali ke kamarnya, ia berusaha untuk tidur karena besok ia harus bekerja walaupun hati nya masih tidak tenang begitu juga pikirannya. Ia terus merasakan keheningan mendalam dan mendengarkan dengan seksama apakah ada suara aneh atau tidak di sekitarnya.
Jam dinding yang menggantung di kamarnya terus berdetak, suaranya memecah keheningan itu untuk sementara, hingga akhirnya Rara sedikit tenang dan mulai terlelap tidur. Tak lama setelah Rara nyenyak, ada sebuah suara pergerakan dari bawah ranjangnya.
Seseorang muncul dari sana dan memperhatikan Rara setelah dirinya berdiri di samping ranjang gadis itu. Wajah dingin pria itu menatap Rara lekat, tidak ada nafsu di sana tapi terlihat jelas kalau pria misterius itu menginginkan sesuatu.
Satu kakinya menyentuh kasur membuat ranjang Rara sedikit bergetar dan berderit, tapi gadis itu tidak tidak merasa terganggu. Kemudian pria itu menarik selimut dan bergabung tidur di samping Rara hingga gadis itu merasakan gelombang pada kasurnya.
Rara yang masih dalam posisi tidur, ingin membuka matanya perlahan namun rasa takut masih menghantuinya. Ia penasaran, apa ini hanya delusinya atau memang ada seseorang yang baru saja berbaring di sampingnya.
“Hhh…”
Mata Rara terbuka sempurna ketika ia mendengar helaan napas begitu jelas, suara deru napas berat seorang pria. Begitu Rara akan bangun, pria itu segera menutupi wajah Rara dengan tangan kekarnya sehingga Rara ketakutan.
Gadis itu berusaha memberontak namun ia kalah kuat dengan tenaga pria itu.
“Lepaskan aku! Pergi!” Rara putus asa, ia memberontak secara brutal sedangkan pria yang sedang menahannya hanya menatap Rara dengan datar dan santai.
“Apa yang kau inginkan dari ku?!”
Tidak ada jawaban untuk pertanyaan yang Rara lontarkan, ia hanya bisa mendengar napas pria itu di dekatnya ketika dirinya kehabisan tenaga untuk memberontak lagi.
Air mata perlahan mengalir ke pipi Rara, ia takut dan juga merasa menyedihkan karena tidak bisa melakukan apapun selain menangis.
“Aku tidak akan mengganggumu, aku hanya menumpang tidur,” pria itu bicara dengan suara beratnya yang terdengar begitu tegas.
"Tidak! Lepasakan aku! LEPASKAN!"
Rara merasakan pria itu bicara tepat di depan wajahnya, “Kau hanya perlu tidur dan besok aku akan membiarkanmu bangun pagi untuk bekerja.”
Jantung Rara berdegup begitu kencang sekarang, ia takut pria yang sedang menyekapnya ini adalah orang jahat yang akan membunuhnya kapan saja.
"A-aku mohon lepaskan aku sekarang," Rara memohon dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya, ia berharap bisa mendapatkan sedikit saja simpati.
"Hm, lalu apa yang akan kau lakukan jika aku melepaskanmu?" pria itu bertanya, wajah tampannya yang tertutupi poni kini terlihat dengan jelas, Rara pasti akan terkejut jika bisa melihatnya.
Pria itu menyeringai ketika melihat Rara bingung dan tidak bisa menjawab pertanyaannya. Seolah ada kepuasan dari hal itu, pria itu kini mengelus pipi Rara dengan perlahan.
"Kau mungkin akan melapor pada polisi... tapi apakah mereka akan percaya kalau aku ada di sini? Atau kau mungkin akan berakhir di rumah sakit jiwa jika kau benar-benar melaporkan keberadaan ku, Rara."
Alarm berbunyi begitu kencang, Rara membuka matanya dengan paksa. Napasnya terengah-engah dengan keringat dingin mengalir dari kening hingga pipinya. Apa yang terjadi padanya?Rara langsung terduduk dan menyadari kalau dirinya hanya sendirian di kamar, tidak ada pria yang sebelumnya menutupi wajahnya. Gadis itu segera mematikan alarm yang masih menyala, ia tidak melihat ada jejak orang lain di ranjangnya."Hanya mimpi? semua itu hanyalah mimpi?"Rara berpikir lebih keras lagi, apa mungkin yang ia alami senyata itu adalah mimpi semata? Tidak mungkin, ia merasakan segalanya, mulai dari sentuhan, gelombang, dan deru napas pria tersebut. Jika dirinya mengalami delusi parah, maka ia harus segera ke dokter.Setelah merasa dirinya tenang, Rara segera bersiap untuk berangkat bekerja. Ia memiliki kegiatan yang tidak bisa di tunda seenaknya atau ia akan dipecat.“Ya Tuhan!” Rara berjengit, begitu masuk ke dalam kamar mandinya, ia masih bisa meras
Rara masih dalam kondisi cemas akan keadaan apartemennya. Jam kerjanya sudah selesai sejak satu jam yang lalu tapi gadis itu masih tidak berani untuk mengambil langkah dari ruangannya. Ia masih memikirkan bagaimana jika orang yang mengincarnya itu sedang menunggunya.Bisa jadi orang itu adalah orang jahat yang sudah lama menargetkan Rara. Rara sudah menghubungi pihak apartemen, ia sudah membulatkan tekadnya untuk pindah lagi tapi karena Rara sudah membayar sewa penuh untuk enam bulan ke depan dan menyutujui kontrak, maka dana yang sudah masuk tidak bisa kembali."Aku harus bagaimana sekarang? aku tidak bisa kalau harus menerima kerugian sampai jutaan hanya karena pindah apartemen!" Rara menggerutu sendiri.Rara juga sudah mengadu tentang keamanan apartemen yang sepertinya kurang terjaga sehingga ada yang berusaha membobol pintunya, tapi pihak apartemen tidak bisa memproses aduannya secara langsung karena mereka harus mengecek cctv yang akan memakan waktu.
“Kau tidak pernah mencurigai keamanan di sini sedikitpun? Lihat, semuanya sangat mencurigakan,” Rian baru tau kalau gedung apartemen Rara lingkungannya seperti ini. Rara melihat wajah Rian yang tegas, berjalan di sampingnya dengan langkah yang tidak terlalu cepat seolah mengimbanginya. Sedikitnya rasa cemas Rara berkurang, setelah mereka tiba di depan apartemen Rara, gadis itu mengarahkan flash ponselnya pada gagang pintu. Rian salut, Rara cukup teliti sampai memperhatikan pintunya sedetail itu tapi jika gadis itu sampai memeriksanya dengan detail, berarti kejadian yang di alaminya menakutkan. “Jika tidak ada yang rusak, berarti aman. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, sekarang kau harus tenang dan beristirahat, Rara,” ucap Rian. Rara menoleh, “Tapi aku tidak bisa tenang jika sudah begini.” “Kalau begitu aku akan mampir sebentar, apa kau berkenan?” tanya Rian. Rara seketika terkejut, bos nya akan mampir ke apartemennya ini? Pikirannya
"Hah... Hah... Tidak!"Rara terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia seperti habis lari marathon padahal dirinya hanya bermimpi buruk.Gadis itu masih berbaring dengan mata melotot, keringat membasahi pipinya dan ia merasakan badannya sedikit pegal."Cuma mimpi..." gumamnya sembari perlahan bangun.Rara masih duduk di atas kasurnya, “Aduh, pegal sekali. Kenapa aku mendadak pegal linu begini?”Rara sedikit bergeser sambil memijat punggungnya yang pegal, namun tiba-tiba ia merasa aneh. Ada suara lain, selain suara pergerakan tubuhnya.Gadis itu takut, haruskah ia mengintip ke bawah ranjangnya atau tidak peduli? Rara menyeret pelan tubuhnya dan menurunkan kakinya satu persatu sebelum menyentuh lantai.Ia terdiam lagi, “Sepertinya, tidak ada,” setelah bergumam akhirnya Rara beranjak dengan tenang.Rara melihat wajahnya di cermin, ada bercak keunguan pada lehernya yang membuat dia panik. Ia tidak mer
Rara terduduk lemas di kursinya, perhari ini Karin telah dipecat dan Rara kini di tunjuk untuk menggantikan posisinya. Rara tidak pernah memperkirakan hal ini akan terjadi, selama ini ia selalu menuruti perkataan Karin karena ia merasa posisinya terancam.Rian merupakan CEO yang bijaksana, ia mendengarkan semua penjelasan Rara tentang Karin dan juga mengkonfirmasikan kepada beberapa orang perihal kelakuan Karin. Namun kenaikan jabatan tidak berarti membuat Rara senang.Secara mengejutkan, Rian ingin ruangan Rara pindah, menjadi tepat di depan ruangan Rian, sejajar dengan meja sekretarisnya Rian. Bebannya terasa bertambah berat karena harus berhadapan langsung dengan sang bos setiap hari.“Ra, ingat tugasmu sekarang sudah berubah,” suara Rian tiba-tiba terdengar di dekatnya membuat Rara terkejut bukan main.“B-baik, Pak.”Rian memperhatikan penampilan Rara, dari ujung kepala hingga kaki. Ia kemudian membandingka
“Kau tidak pernah mencurigai keamanan di sini sedikitpun? Lihat, semuanya sangat mencurigakan,” Rian baru tau kalau gedung apartemen Rara lingkungannya seperti ini. Rara melihat wajah Rian yang tegas, berjalan di sampingnya dengan langkah yang tidak terlalu cepat seolah mengimbanginya. Sedikitnya rasa cemas Rara berkurang, setelah mereka tiba di depan apartemen Rara, gadis itu mengarahkan flash ponselnya pada gagang pintu. Rian salut, Rara cukup teliti sampai memperhatikan pintunya sedetail itu tapi jika gadis itu sampai memeriksanya dengan detail, berarti kejadian yang di alaminya menakutkan. “Jika tidak ada yang rusak, berarti aman. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, sekarang kau harus tenang dan beristirahat, Rara,” ucap Rian. Rara menoleh, “Tapi aku tidak bisa tenang jika sudah begini.” “Kalau begitu aku akan mampir sebentar, apa kau berkenan?” tanya Rian. Rara seketika terkejut, bos nya akan mampir ke apartemennya ini? Pikirannya
Rara masih dalam kondisi cemas akan keadaan apartemennya. Jam kerjanya sudah selesai sejak satu jam yang lalu tapi gadis itu masih tidak berani untuk mengambil langkah dari ruangannya. Ia masih memikirkan bagaimana jika orang yang mengincarnya itu sedang menunggunya.Bisa jadi orang itu adalah orang jahat yang sudah lama menargetkan Rara. Rara sudah menghubungi pihak apartemen, ia sudah membulatkan tekadnya untuk pindah lagi tapi karena Rara sudah membayar sewa penuh untuk enam bulan ke depan dan menyutujui kontrak, maka dana yang sudah masuk tidak bisa kembali."Aku harus bagaimana sekarang? aku tidak bisa kalau harus menerima kerugian sampai jutaan hanya karena pindah apartemen!" Rara menggerutu sendiri.Rara juga sudah mengadu tentang keamanan apartemen yang sepertinya kurang terjaga sehingga ada yang berusaha membobol pintunya, tapi pihak apartemen tidak bisa memproses aduannya secara langsung karena mereka harus mengecek cctv yang akan memakan waktu.
Alarm berbunyi begitu kencang, Rara membuka matanya dengan paksa. Napasnya terengah-engah dengan keringat dingin mengalir dari kening hingga pipinya. Apa yang terjadi padanya?Rara langsung terduduk dan menyadari kalau dirinya hanya sendirian di kamar, tidak ada pria yang sebelumnya menutupi wajahnya. Gadis itu segera mematikan alarm yang masih menyala, ia tidak melihat ada jejak orang lain di ranjangnya."Hanya mimpi? semua itu hanyalah mimpi?"Rara berpikir lebih keras lagi, apa mungkin yang ia alami senyata itu adalah mimpi semata? Tidak mungkin, ia merasakan segalanya, mulai dari sentuhan, gelombang, dan deru napas pria tersebut. Jika dirinya mengalami delusi parah, maka ia harus segera ke dokter.Setelah merasa dirinya tenang, Rara segera bersiap untuk berangkat bekerja. Ia memiliki kegiatan yang tidak bisa di tunda seenaknya atau ia akan dipecat.“Ya Tuhan!” Rara berjengit, begitu masuk ke dalam kamar mandinya, ia masih bisa meras
“Haruskah itu yang kau pertanyakan? Beruntung Karin memberitahu lokasi apartemenmu. Bagaimana bisa kau bolos bekerja dan meninggalkan tanggung jawab begitu saja?” Rian mengomel tanpa memperhatikan wajah Rara yang pucat dan menyedihkan. “Secara kebetulan aku melihatmu sedang berada di sini, aku baru saja memberimu jabatan dan kau sudah besar kepala, huh.”“M-maafkan saya Pak, saya tidak berniat untuk melepaskan tanggung jawab tapi saya baru saja mengalami kendala di rumah sampai tidak bisa pergi bekerja.” Rara menjelaskan pada Rian yang terjadi.“Beruntung Tuhan mempertemukan kita secara kebetulan di sini saat aku hanya ingin memastikan alamat yang di berikan Karin.” Rian sama sekali tidak melunak, wajahnya masih memiliki emosi.Ia tidak berharap kalau Rian akan mengerti keadaannya hanya saja saat ini Rara sedang putus asa dengan apa yang baru saja ia lalui. Rian memperhatikan wajah Rara dengan seksama, ia tidak ber
Rara terduduk lemas di kursinya, perhari ini Karin telah dipecat dan Rara kini di tunjuk untuk menggantikan posisinya. Rara tidak pernah memperkirakan hal ini akan terjadi, selama ini ia selalu menuruti perkataan Karin karena ia merasa posisinya terancam.Rian merupakan CEO yang bijaksana, ia mendengarkan semua penjelasan Rara tentang Karin dan juga mengkonfirmasikan kepada beberapa orang perihal kelakuan Karin. Namun kenaikan jabatan tidak berarti membuat Rara senang.Secara mengejutkan, Rian ingin ruangan Rara pindah, menjadi tepat di depan ruangan Rian, sejajar dengan meja sekretarisnya Rian. Bebannya terasa bertambah berat karena harus berhadapan langsung dengan sang bos setiap hari.“Ra, ingat tugasmu sekarang sudah berubah,” suara Rian tiba-tiba terdengar di dekatnya membuat Rara terkejut bukan main.“B-baik, Pak.”Rian memperhatikan penampilan Rara, dari ujung kepala hingga kaki. Ia kemudian membandingka
"Hah... Hah... Tidak!"Rara terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia seperti habis lari marathon padahal dirinya hanya bermimpi buruk.Gadis itu masih berbaring dengan mata melotot, keringat membasahi pipinya dan ia merasakan badannya sedikit pegal."Cuma mimpi..." gumamnya sembari perlahan bangun.Rara masih duduk di atas kasurnya, “Aduh, pegal sekali. Kenapa aku mendadak pegal linu begini?”Rara sedikit bergeser sambil memijat punggungnya yang pegal, namun tiba-tiba ia merasa aneh. Ada suara lain, selain suara pergerakan tubuhnya.Gadis itu takut, haruskah ia mengintip ke bawah ranjangnya atau tidak peduli? Rara menyeret pelan tubuhnya dan menurunkan kakinya satu persatu sebelum menyentuh lantai.Ia terdiam lagi, “Sepertinya, tidak ada,” setelah bergumam akhirnya Rara beranjak dengan tenang.Rara melihat wajahnya di cermin, ada bercak keunguan pada lehernya yang membuat dia panik. Ia tidak mer