Rara masih dalam kondisi cemas akan keadaan apartemennya. Jam kerjanya sudah selesai sejak satu jam yang lalu tapi gadis itu masih tidak berani untuk mengambil langkah dari ruangannya. Ia masih memikirkan bagaimana jika orang yang mengincarnya itu sedang menunggunya.
Bisa jadi orang itu adalah orang jahat yang sudah lama menargetkan Rara. Rara sudah menghubungi pihak apartemen, ia sudah membulatkan tekadnya untuk pindah lagi tapi karena Rara sudah membayar sewa penuh untuk enam bulan ke depan dan menyutujui kontrak, maka dana yang sudah masuk tidak bisa kembali.
"Aku harus bagaimana sekarang? aku tidak bisa kalau harus menerima kerugian sampai jutaan hanya karena pindah apartemen!" Rara menggerutu sendiri.
Rara juga sudah mengadu tentang keamanan apartemen yang sepertinya kurang terjaga sehingga ada yang berusaha membobol pintunya, tapi pihak apartemen tidak bisa memproses aduannya secara langsung karena mereka harus mengecek cctv yang akan memakan waktu.
Gadis itu hanya bisa menghela napas pasrah, ia takut untuk pulang tapi ia juga tidak bisa terus-terusan berada di kantor.
“Rara, kenapa kau belum pulang?” suara Rian yang berat dan cukup keras membuat Rara sedikit tersentak.
“Sebentar lagi saya pulang, Pak,” jawab Rara dengan sopan.
Mata Rian memicing curiga, “Sudah lewat satu jam kau masih di sini dengan wajah cemas, lagi pula aku tau kau tidak memiliki tugas yang mengharuskan dirimu lembur.”
“A-aku menyelesaikan beberapa tugas yang memiliki masa tenggat dekat agar aku lebih santai, Pak.” Rara merasa kikuk setelah Rian mencurigainya.
Rian mengangguk pelan, “Baiklah, mari kita lihat nanti apakah pekerjaanmu akan selesai tepat waktu atau tidak. Yang penting, sekarang kau harus pulang. Malam ini akan ada penyemprotan hama di kantor, semua karyawan tidak di perkenankan pulang melebihi jam tujuh malam.”
"Baik Pak Rian," Rara mengerti apa yang di sampaikan Rian tapi yang jadi pertanyaan baginya sekarang adalah kenapa pria itu masih berdiri di depan mejanya? Padahal Rara sedang bersiap-siap untuk pulang walau ia sengaja bergerak agak lamban.
Rian benar-benar memperhatikannya dengan seksama tanpa ada rasa kaku sedikitpun, pria itu terlihat sangat santai sementara Rara merasa hatinya berkecamuk. Di perhatikan secara langsung oleh bos di kantor bagaimana mungkin Rara tidak gugup!
Jelas saja, Rara takut melakukan kesalahan atau Rara takut Rian akan menambah pekerjaannya untuk besok karena Rara terlalu rajin.
“Pak Rian tidak pulang duluan? Bapak nunggu saya?” Rara akhirnya bertanya tanpa rasa malu sedikitpun, padahal pertanyaannya sedikit terlalu percaya diri.
“Ya, aku menunggumu. Kenapa memangnya?” tanya Rian dengan santai, "Tidak boleh?"
Rara menatapnya tidak percaya, ia merasa tubuhnya melambung tinggi sekarang tapi Rara tidak boleh terlalu heboh dan berharap lebih. Bisa saja Rian hanya menunggu untuk memastikan kalau Rara segera pulang.
“Duluan saja, jangan menungguku,” jawab Rara akhirnya.
Rian tidak mengerti apa yang di pikirkan oleh Rara sampai gadis itu menyuruhnya pulang duluan, ia merasa memang harus menunggu dan mendampingi Rara malam ini. Rian mengikuti kata hatinya yang tiba-tiba merasa harus melakukan hal itu.
Di tambah sejak siang Rara memang terlihat tidak terlalu fokus dengan pekerjaannya, Rian penasaran kenapa Rara terlihat begitu cemas dan takut.
“Rara, karena ini sudah bukan jam kerja, kau dan aku bebas melakukan apapun. Jika aku ada di sini untuk menunggumu maka terima saja,” jelas Rian dengan tegas membuat Rara tambah syok.
Seperti ada yang salah dengan bos nya ini, “K-kenapa tiba-tiba?” Rara tidak sadar dengan apa yang ia tanyakan, “M-maksudku pak, kenapa menungguku?”
“Ya karena aku mau dan ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu, lalu jangan sebut aku ‘pak’. Sebut namaku saja karena sekarang sudah bukan jam kerja.” Rian menekankan kalimat terakhirnya.
Rara bingung dengan sikap Rian yang terasa berlebihan padanya. Padahal ketika Rara masih menjadi asisten Karin, pria itu selalu memarahinya habis-habisan walau hanya ada satu kesalahan kecil yang ia buat.
“Aku sudah memperhatikanmu akhir-akhir ini, kau tidak fokus dengan pekerjaan mu apalagi tadi siang terlihat sangat jelas. Apa hal buruk terjadi padamu?” Rian lagi-lagi bertanya dengan spontan.
Rara belum menjawab pertanyaan Rian, ia hanya menunduk karena bingung harus mulai darimana. Lalu hatinya juga belum mampu jika harus menceritakan semuanya pada Rian yang notabenenya adalah bos nya sendiri yang tidak dekat dengannya.
Rian masih menantinya bicara tapi ia paham jika Rara belum mampu bercerita masalah pribadi padanya. Walaupun Rian bicara dengan tulus dengan rasa pedulinya, tapi Rara juga memperlihatkan sorot mata enggannya, karena gadis itu masih ketakutan.
“Baiklah, tidak apa-apa jika kau tidak bisa menceritakannya, tapi jika kau butuh bantuan jangan sungkan padaku,” ucap Rian lagi yang langsung membuat Rara menatapnya.
Gadis itu bisa melihat ketulusan dari sorot mata Rian yang tidak hanya bertanya karena rasa ingin tahu saja, tapi pria itu dengan tulus ingin membantunya walau dirinya belum menceritakan kesulitan yang ia alami.
Rara hanya mengangguk lagi kemudian berjalan lebih dulu menuju lift dan Rian mengikutinya, mereka berdua berada dalam satu lift cukup lama dalam keadaan hening hingga tiba di basemen. Ketika akan mencapai posisi mobilnya, Rara berhenti melangkah dan menatap Rian dengan matanya yang sendu.
“Sebenarnya aku memang baru mengalami beberapa hal yang buruk, salah satu di antaranya menyebabkan aku tidak masuk kerja waktu itu," Rara tiba-tiba bercerita, membuat Rian sedikit terkejut.
"Ada orang yang menyekapku saat itu, lalu siang ini seseorang berusaha menjebol pintu apartemenku. Sekarang kemana pun aku melangkah, aku merasa tidak aman. Aku ketakutan setengah mati dan tidak mau kembali ke sana tapi aku tidak memiliki pilihan lain." Rara menjelaskan keadaannya secara singkat dan Rian memahaminya.
"Apa ada seseorang yang menguntitmu? Apa itu sudah terjadi sejak lama?" Rian bertanya.
"Sudah lama semua ini terjadi tapi aku baru menyadari kalau semua ini bukanlah delusi, awalnya aku mengira semua ini hanya delusiku. Tapi penguntit ini selalu ada setiap aku pindah apartemen, dia selalu menemukanku!" Rara menjawab dengan sedih, ia berusaha menahan agar air matanya tidak turun tapi ia tidak bisa.
Rian pun menariknya untuk ikut ke dalam mobilnya, ia membiarkan Rara menangis di sana bersamanya. Pria itu menunggu sampai Rara tenang dan bisa bicara lagi dengan santai.
"Maafkan aku," ucap Rara pelan.
Rian menyunggingkan senyum kecil yang membuat Rara terpaku, "Kau tidak perlu minta maaf hanya karena menangis. Itu hal yang wajar."
Kemudian Rian menyalakan mesin mobilnya, membuat Rara bingung, "Malam ini aku akan mengantarmu sampai depan pintu apartemen dan tidak akan membiarkan penguntit itu berani memunculkan batang hidungnya sedikit pun."
“Kau tidak pernah mencurigai keamanan di sini sedikitpun? Lihat, semuanya sangat mencurigakan,” Rian baru tau kalau gedung apartemen Rara lingkungannya seperti ini. Rara melihat wajah Rian yang tegas, berjalan di sampingnya dengan langkah yang tidak terlalu cepat seolah mengimbanginya. Sedikitnya rasa cemas Rara berkurang, setelah mereka tiba di depan apartemen Rara, gadis itu mengarahkan flash ponselnya pada gagang pintu. Rian salut, Rara cukup teliti sampai memperhatikan pintunya sedetail itu tapi jika gadis itu sampai memeriksanya dengan detail, berarti kejadian yang di alaminya menakutkan. “Jika tidak ada yang rusak, berarti aman. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, sekarang kau harus tenang dan beristirahat, Rara,” ucap Rian. Rara menoleh, “Tapi aku tidak bisa tenang jika sudah begini.” “Kalau begitu aku akan mampir sebentar, apa kau berkenan?” tanya Rian. Rara seketika terkejut, bos nya akan mampir ke apartemennya ini? Pikirannya
"Hah... Hah... Tidak!"Rara terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia seperti habis lari marathon padahal dirinya hanya bermimpi buruk.Gadis itu masih berbaring dengan mata melotot, keringat membasahi pipinya dan ia merasakan badannya sedikit pegal."Cuma mimpi..." gumamnya sembari perlahan bangun.Rara masih duduk di atas kasurnya, “Aduh, pegal sekali. Kenapa aku mendadak pegal linu begini?”Rara sedikit bergeser sambil memijat punggungnya yang pegal, namun tiba-tiba ia merasa aneh. Ada suara lain, selain suara pergerakan tubuhnya.Gadis itu takut, haruskah ia mengintip ke bawah ranjangnya atau tidak peduli? Rara menyeret pelan tubuhnya dan menurunkan kakinya satu persatu sebelum menyentuh lantai.Ia terdiam lagi, “Sepertinya, tidak ada,” setelah bergumam akhirnya Rara beranjak dengan tenang.Rara melihat wajahnya di cermin, ada bercak keunguan pada lehernya yang membuat dia panik. Ia tidak mer
Rara terduduk lemas di kursinya, perhari ini Karin telah dipecat dan Rara kini di tunjuk untuk menggantikan posisinya. Rara tidak pernah memperkirakan hal ini akan terjadi, selama ini ia selalu menuruti perkataan Karin karena ia merasa posisinya terancam.Rian merupakan CEO yang bijaksana, ia mendengarkan semua penjelasan Rara tentang Karin dan juga mengkonfirmasikan kepada beberapa orang perihal kelakuan Karin. Namun kenaikan jabatan tidak berarti membuat Rara senang.Secara mengejutkan, Rian ingin ruangan Rara pindah, menjadi tepat di depan ruangan Rian, sejajar dengan meja sekretarisnya Rian. Bebannya terasa bertambah berat karena harus berhadapan langsung dengan sang bos setiap hari.“Ra, ingat tugasmu sekarang sudah berubah,” suara Rian tiba-tiba terdengar di dekatnya membuat Rara terkejut bukan main.“B-baik, Pak.”Rian memperhatikan penampilan Rara, dari ujung kepala hingga kaki. Ia kemudian membandingka
“Haruskah itu yang kau pertanyakan? Beruntung Karin memberitahu lokasi apartemenmu. Bagaimana bisa kau bolos bekerja dan meninggalkan tanggung jawab begitu saja?” Rian mengomel tanpa memperhatikan wajah Rara yang pucat dan menyedihkan. “Secara kebetulan aku melihatmu sedang berada di sini, aku baru saja memberimu jabatan dan kau sudah besar kepala, huh.”“M-maafkan saya Pak, saya tidak berniat untuk melepaskan tanggung jawab tapi saya baru saja mengalami kendala di rumah sampai tidak bisa pergi bekerja.” Rara menjelaskan pada Rian yang terjadi.“Beruntung Tuhan mempertemukan kita secara kebetulan di sini saat aku hanya ingin memastikan alamat yang di berikan Karin.” Rian sama sekali tidak melunak, wajahnya masih memiliki emosi.Ia tidak berharap kalau Rian akan mengerti keadaannya hanya saja saat ini Rara sedang putus asa dengan apa yang baru saja ia lalui. Rian memperhatikan wajah Rara dengan seksama, ia tidak ber
Alarm berbunyi begitu kencang, Rara membuka matanya dengan paksa. Napasnya terengah-engah dengan keringat dingin mengalir dari kening hingga pipinya. Apa yang terjadi padanya?Rara langsung terduduk dan menyadari kalau dirinya hanya sendirian di kamar, tidak ada pria yang sebelumnya menutupi wajahnya. Gadis itu segera mematikan alarm yang masih menyala, ia tidak melihat ada jejak orang lain di ranjangnya."Hanya mimpi? semua itu hanyalah mimpi?"Rara berpikir lebih keras lagi, apa mungkin yang ia alami senyata itu adalah mimpi semata? Tidak mungkin, ia merasakan segalanya, mulai dari sentuhan, gelombang, dan deru napas pria tersebut. Jika dirinya mengalami delusi parah, maka ia harus segera ke dokter.Setelah merasa dirinya tenang, Rara segera bersiap untuk berangkat bekerja. Ia memiliki kegiatan yang tidak bisa di tunda seenaknya atau ia akan dipecat.“Ya Tuhan!” Rara berjengit, begitu masuk ke dalam kamar mandinya, ia masih bisa meras
“Kau tidak pernah mencurigai keamanan di sini sedikitpun? Lihat, semuanya sangat mencurigakan,” Rian baru tau kalau gedung apartemen Rara lingkungannya seperti ini. Rara melihat wajah Rian yang tegas, berjalan di sampingnya dengan langkah yang tidak terlalu cepat seolah mengimbanginya. Sedikitnya rasa cemas Rara berkurang, setelah mereka tiba di depan apartemen Rara, gadis itu mengarahkan flash ponselnya pada gagang pintu. Rian salut, Rara cukup teliti sampai memperhatikan pintunya sedetail itu tapi jika gadis itu sampai memeriksanya dengan detail, berarti kejadian yang di alaminya menakutkan. “Jika tidak ada yang rusak, berarti aman. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, sekarang kau harus tenang dan beristirahat, Rara,” ucap Rian. Rara menoleh, “Tapi aku tidak bisa tenang jika sudah begini.” “Kalau begitu aku akan mampir sebentar, apa kau berkenan?” tanya Rian. Rara seketika terkejut, bos nya akan mampir ke apartemennya ini? Pikirannya
Rara masih dalam kondisi cemas akan keadaan apartemennya. Jam kerjanya sudah selesai sejak satu jam yang lalu tapi gadis itu masih tidak berani untuk mengambil langkah dari ruangannya. Ia masih memikirkan bagaimana jika orang yang mengincarnya itu sedang menunggunya.Bisa jadi orang itu adalah orang jahat yang sudah lama menargetkan Rara. Rara sudah menghubungi pihak apartemen, ia sudah membulatkan tekadnya untuk pindah lagi tapi karena Rara sudah membayar sewa penuh untuk enam bulan ke depan dan menyutujui kontrak, maka dana yang sudah masuk tidak bisa kembali."Aku harus bagaimana sekarang? aku tidak bisa kalau harus menerima kerugian sampai jutaan hanya karena pindah apartemen!" Rara menggerutu sendiri.Rara juga sudah mengadu tentang keamanan apartemen yang sepertinya kurang terjaga sehingga ada yang berusaha membobol pintunya, tapi pihak apartemen tidak bisa memproses aduannya secara langsung karena mereka harus mengecek cctv yang akan memakan waktu.
Alarm berbunyi begitu kencang, Rara membuka matanya dengan paksa. Napasnya terengah-engah dengan keringat dingin mengalir dari kening hingga pipinya. Apa yang terjadi padanya?Rara langsung terduduk dan menyadari kalau dirinya hanya sendirian di kamar, tidak ada pria yang sebelumnya menutupi wajahnya. Gadis itu segera mematikan alarm yang masih menyala, ia tidak melihat ada jejak orang lain di ranjangnya."Hanya mimpi? semua itu hanyalah mimpi?"Rara berpikir lebih keras lagi, apa mungkin yang ia alami senyata itu adalah mimpi semata? Tidak mungkin, ia merasakan segalanya, mulai dari sentuhan, gelombang, dan deru napas pria tersebut. Jika dirinya mengalami delusi parah, maka ia harus segera ke dokter.Setelah merasa dirinya tenang, Rara segera bersiap untuk berangkat bekerja. Ia memiliki kegiatan yang tidak bisa di tunda seenaknya atau ia akan dipecat.“Ya Tuhan!” Rara berjengit, begitu masuk ke dalam kamar mandinya, ia masih bisa meras
“Haruskah itu yang kau pertanyakan? Beruntung Karin memberitahu lokasi apartemenmu. Bagaimana bisa kau bolos bekerja dan meninggalkan tanggung jawab begitu saja?” Rian mengomel tanpa memperhatikan wajah Rara yang pucat dan menyedihkan. “Secara kebetulan aku melihatmu sedang berada di sini, aku baru saja memberimu jabatan dan kau sudah besar kepala, huh.”“M-maafkan saya Pak, saya tidak berniat untuk melepaskan tanggung jawab tapi saya baru saja mengalami kendala di rumah sampai tidak bisa pergi bekerja.” Rara menjelaskan pada Rian yang terjadi.“Beruntung Tuhan mempertemukan kita secara kebetulan di sini saat aku hanya ingin memastikan alamat yang di berikan Karin.” Rian sama sekali tidak melunak, wajahnya masih memiliki emosi.Ia tidak berharap kalau Rian akan mengerti keadaannya hanya saja saat ini Rara sedang putus asa dengan apa yang baru saja ia lalui. Rian memperhatikan wajah Rara dengan seksama, ia tidak ber
Rara terduduk lemas di kursinya, perhari ini Karin telah dipecat dan Rara kini di tunjuk untuk menggantikan posisinya. Rara tidak pernah memperkirakan hal ini akan terjadi, selama ini ia selalu menuruti perkataan Karin karena ia merasa posisinya terancam.Rian merupakan CEO yang bijaksana, ia mendengarkan semua penjelasan Rara tentang Karin dan juga mengkonfirmasikan kepada beberapa orang perihal kelakuan Karin. Namun kenaikan jabatan tidak berarti membuat Rara senang.Secara mengejutkan, Rian ingin ruangan Rara pindah, menjadi tepat di depan ruangan Rian, sejajar dengan meja sekretarisnya Rian. Bebannya terasa bertambah berat karena harus berhadapan langsung dengan sang bos setiap hari.“Ra, ingat tugasmu sekarang sudah berubah,” suara Rian tiba-tiba terdengar di dekatnya membuat Rara terkejut bukan main.“B-baik, Pak.”Rian memperhatikan penampilan Rara, dari ujung kepala hingga kaki. Ia kemudian membandingka
"Hah... Hah... Tidak!"Rara terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia seperti habis lari marathon padahal dirinya hanya bermimpi buruk.Gadis itu masih berbaring dengan mata melotot, keringat membasahi pipinya dan ia merasakan badannya sedikit pegal."Cuma mimpi..." gumamnya sembari perlahan bangun.Rara masih duduk di atas kasurnya, “Aduh, pegal sekali. Kenapa aku mendadak pegal linu begini?”Rara sedikit bergeser sambil memijat punggungnya yang pegal, namun tiba-tiba ia merasa aneh. Ada suara lain, selain suara pergerakan tubuhnya.Gadis itu takut, haruskah ia mengintip ke bawah ranjangnya atau tidak peduli? Rara menyeret pelan tubuhnya dan menurunkan kakinya satu persatu sebelum menyentuh lantai.Ia terdiam lagi, “Sepertinya, tidak ada,” setelah bergumam akhirnya Rara beranjak dengan tenang.Rara melihat wajahnya di cermin, ada bercak keunguan pada lehernya yang membuat dia panik. Ia tidak mer