Alarm berbunyi begitu kencang, Rara membuka matanya dengan paksa. Napasnya terengah-engah dengan keringat dingin mengalir dari kening hingga pipinya. Apa yang terjadi padanya?
Rara langsung terduduk dan menyadari kalau dirinya hanya sendirian di kamar, tidak ada pria yang sebelumnya menutupi wajahnya. Gadis itu segera mematikan alarm yang masih menyala, ia tidak melihat ada jejak orang lain di ranjangnya.
"Hanya mimpi? semua itu hanyalah mimpi?"
Rara berpikir lebih keras lagi, apa mungkin yang ia alami senyata itu adalah mimpi semata? Tidak mungkin, ia merasakan segalanya, mulai dari sentuhan, gelombang, dan deru napas pria tersebut. Jika dirinya mengalami delusi parah, maka ia harus segera ke dokter.
Setelah merasa dirinya tenang, Rara segera bersiap untuk berangkat bekerja. Ia memiliki kegiatan yang tidak bisa di tunda seenaknya atau ia akan dipecat.
“Ya Tuhan!” Rara berjengit, begitu masuk ke dalam kamar mandinya, ia masih bisa merasakan kalau kamar mandinya itu beruap seperti seseorang baru saja selesai mandi dengan air hangat di sana.
Terlebih ada tulisan pada cermin wastafelnya, sebuah kalimat sapaan. “Selamat pagi?” Rara membacanya dengan bingung. Semua yang dialaminya terasa tidak masuk akal. Membuatnya menjadi kesal pada dirinya sendiri karena merasa buruk.
Rara mengelap cerminnya dengan emosi yang tertahan, ia tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal ini sekarang walau dirinya sangat takut dan penasaran kenapa bisa dia mengalami ini. Kondisi mentalnya tidak baik.
•
Rian dengan sengaja menunggu Rara muncul di dekat apartemen gadis itu, entah atas dasar apa Rian mengawasinya seperti ini tapi ia hanya penasaran pada Rara. Gadis itu akhir-akhir ini seperti sedang stress dan itu mempengaruhi pekerjaannya.
Rian itu hanya menyukai seseorang yang professional dan menjunjung tinggi kata perfeksionis maka ia akan mencari tau kenapa karyawan yang di pilihnya tidak bekerja dengan baik. Segala hal yang mempengaruhi pekerjaan tidak akan Rian toleransi dengan mudah.
Tak lama dari tiba nya Rian di dekat apartemen Rara, ia melihat mobil gadis itu keluar dari parkiran. Pria itu terdiam sejenak, Rara membawa mobilnya dengan penuh pesona membuat Rian terpana.
Rian menyadarkan dirinya, kenapa dia malah terpesona pada Rara? Dia harus segera pergi dari sini dan tiba lebih cepat dari pada Rara ke kantor.
“Sepertinya aku sudah melakukan hal yang bodoh,” pria itu bergumam sendiri. Bayangan akan Rara yang mempesona kerap kali muncul dalam pikirannya dan itu membuatnya merasa aneh.
...
Rara menebus kesalahannya di kantor dengan cara bekerja seharian penuh dan hanya mengambil sedikit istirahat. Ia tidak mau Rian sampai marah lagi dan Rara juga masih membutuhkan pekerjaan ini walau sekarang ia harus terus mengerjakan semuanya.
Pekerjaannya memang menumpuk tapi Rara mampu mengatasinya, karena dengan dia sibuk di kantor, setidaknya ia tidak memikirkan suasana menakutkan yang ia alami di apartemennya. Rara sendiri belum berani bercerita pada siapapun tentang hal ini.
Rara yang sedang memeriksa beberapa dokumen sesekali memperhatikan apa yang di lakukan Rian melalui dinding kaca yang transparan itu, ia bisa melihat kalau bosnya juga sibuk dengan tugaasnya. Tapi memang tidak bisa di pungkiri kalau Rara malah keasikan memperhatikan CEO judes itu.
Sampai ia terperanjat ketika Rian menatapnya balik, Rara segera kembali fokus pada komputernya karena Rian menatapnya tajam. Sial, ia tertangkap basah sedang memperhatikan bosnya mungkin dengan ekspresi wajah yang memalukan.
“Apa sih yang aku lakukan tadi?” Rara bergumam sendiri.
“Kerja! Jangan mengintip terus,” tiba-tiba Rian keluar dari ruangannya dan menegur Rara dengan tegas. Beruntung, Viona sedang tidak ada di mejanya, jika ada, Rara bisa tambah malu dengan ucapan Rian.
"B-baik Pak, tapi, tapi aku tidak mengintip!" Rara berseru pelan, sedikit kesal dengan tuduhan dari Rian.
Mengintip? Ya, dia ketahuan sedang mengintip bosnya diam-diam. Lalu Rian kini memperhatikan Rara dengan seksama, ia melihat ada luka lebam di bagian lengan kiri atas gadis itu yang membuatnya heran. Apa Rara sama sekali tidak menyadari kalau ada luka lebam di lengannya?
Gadis itu menggunakan kemeja berlengan pendek yang malah mengekspos luka tersebut, orang-orang mungkin memperhatikannya dan bertanya-tanya dari mana Rara mendapat luka seperti itu.
Rian langsung menarik tangan Rara dan memperhatikan lukanya lebih dekat, tanpa sadar gadis itu meringis karena merasa ngilu pada bagian lengan yang Rian sentuh.
“Kenapa kau bisa lebam begini?” Rian langsung menanyakan nya, "Kau tidak sadar ini menjadi pusat perhatian orang-orang?"
Rara menarik lengannya dan melihat sendiri luka yang di maksud Rian. Rara sendiri malah terkejut karena ia baru tau kalau tangannya terluka separah ini. Lebam keunguan yang terasa ngilu, apakah semalam terjadi sesuatu ketika dirinya tertidur?
“A-aku tidak tau, aku tidak merasakan apa-apa sebelum Pak Rian menyentuhnya,” jawab Rara.
Rian kembali ke ruangannya dan mengambil sebuah jaket, lalu memberikannya kepada Rara. “Pakai ini untuk menutupinya, orang-orang pasti akan bertanya mengapa, aku tidak mau hal itu menimbulkan banyak pertanyaan.”
Rara mengerjapkan matanya berkali-kali, apa yang baru Rian katakan cukup membuatnya salah tingkah. Perhatian yang Rian berikan terlalu berlebihan. Padahal Rian bisa saja menyuruh Rara untuk menutupinya sendiri.
“Terima kasih, Pak…” Rara menerima jaket yang di berikan Rian.
Ponsel Rara berbunyi, ada sebuah notifikasi masuk dan Rara segera mengeceknya. Gadis itu sedikit ketakutan setelah membacanya, sebuah notifikasi masuk dari aplikasi yang membantunya untuk memantau kunci elektronik apartemennya.
Ada seseorang yang baru saja akan membobol pintu masuknya namun gagal, Rara bisa melihat dengan melalui kamera kecil yang merekam aktifitas di depan pintu apartemennya yang langsung terhubung dengan ponselnya itu. Seorang pria dengan pakaian serba hitam dan sarung tangan hitam, berlalu lalang dan mencoba berkali-kali menekan beberapa kode akses lama yang di gunakan oleh Rara namun gagal terus.
Rian tanpa sengaja melihat video rekaman yang Rara putar, ia menyadari gerak-gerik Rara yang ketakutan.
“Apa ada hal buruk terjadi di rumahmu?” Rian peka terhadap situasi membuat Rara segera menyimpan ponselnya di atas meja.
Rara bingung, apakah ia harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada bosnya atau tidak. Tapi jika tidak berceritapun, tatapan Rian sekarang tertuju penuh padanya, seolah menuntut jawaban yang sebenarnya.
"Tidak..."
Rara malah salah fokus terhadap wajah Rian yang kini terlihat menawan dari tempatnya duduk, sialan, memang dirinya paling hebat kalau mendeteksi orang tampan. Apalagi jika dari jarak dekat begini, walau Rian galak dan tegas, Rara pasti luluh jika selalu di suguhi pemandangan yang indah seperti ini.
“Rara?” Rian heran, kenapa Rara di tanya tapi tidak menjawab, malah melamun.
“Ah, tidak Pak, tidak ada masalah. Tidak ada apa-apa,” Rara akhirnya menjawab setelah tersadar dari lamunan gilanya, "Aku baik-baik saja."
"Yang aku tanyakan apakah ada hal buruk di rumahmu, bukan tentang keadaan mu sekarang," Rian terlihat kesal pada Rara, "Kalau kau memang sudah jelas baik-baik saja sekarang."
Matanya menangkap tatapan Viona yang entah sejak kapan ada di seberang Rara, sekretaris Rian itu sudah duduk manis di mejanya dan memperhatikan mereka berdua dengan pandangan curiga. Rara yang kadang lamban dalam menanggapi sesuatu, hanya menatap Viona dengan heran.
Viona terus memberikan isyarat kalau dirinya curiga terhadap Rara dan Rian, namun Rara hanya mengernyitkan dahinya dengan heran dan akhirnya membuat Viona menyerah. Wanita itu menepuk dahinya pelan.
“Dasar, Rara tidak peka.” Viona bergumam.
Rian yang mendengar gumaman Viona sedikit terkejut, ia kemudian segera masuk ke dalam ruangannya dengan kaku. Wajahnya mendadak bersemu merah, pria itu malu.
Rara masih dalam kondisi cemas akan keadaan apartemennya. Jam kerjanya sudah selesai sejak satu jam yang lalu tapi gadis itu masih tidak berani untuk mengambil langkah dari ruangannya. Ia masih memikirkan bagaimana jika orang yang mengincarnya itu sedang menunggunya.Bisa jadi orang itu adalah orang jahat yang sudah lama menargetkan Rara. Rara sudah menghubungi pihak apartemen, ia sudah membulatkan tekadnya untuk pindah lagi tapi karena Rara sudah membayar sewa penuh untuk enam bulan ke depan dan menyutujui kontrak, maka dana yang sudah masuk tidak bisa kembali."Aku harus bagaimana sekarang? aku tidak bisa kalau harus menerima kerugian sampai jutaan hanya karena pindah apartemen!" Rara menggerutu sendiri.Rara juga sudah mengadu tentang keamanan apartemen yang sepertinya kurang terjaga sehingga ada yang berusaha membobol pintunya, tapi pihak apartemen tidak bisa memproses aduannya secara langsung karena mereka harus mengecek cctv yang akan memakan waktu.
“Kau tidak pernah mencurigai keamanan di sini sedikitpun? Lihat, semuanya sangat mencurigakan,” Rian baru tau kalau gedung apartemen Rara lingkungannya seperti ini. Rara melihat wajah Rian yang tegas, berjalan di sampingnya dengan langkah yang tidak terlalu cepat seolah mengimbanginya. Sedikitnya rasa cemas Rara berkurang, setelah mereka tiba di depan apartemen Rara, gadis itu mengarahkan flash ponselnya pada gagang pintu. Rian salut, Rara cukup teliti sampai memperhatikan pintunya sedetail itu tapi jika gadis itu sampai memeriksanya dengan detail, berarti kejadian yang di alaminya menakutkan. “Jika tidak ada yang rusak, berarti aman. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, sekarang kau harus tenang dan beristirahat, Rara,” ucap Rian. Rara menoleh, “Tapi aku tidak bisa tenang jika sudah begini.” “Kalau begitu aku akan mampir sebentar, apa kau berkenan?” tanya Rian. Rara seketika terkejut, bos nya akan mampir ke apartemennya ini? Pikirannya
"Hah... Hah... Tidak!"Rara terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia seperti habis lari marathon padahal dirinya hanya bermimpi buruk.Gadis itu masih berbaring dengan mata melotot, keringat membasahi pipinya dan ia merasakan badannya sedikit pegal."Cuma mimpi..." gumamnya sembari perlahan bangun.Rara masih duduk di atas kasurnya, “Aduh, pegal sekali. Kenapa aku mendadak pegal linu begini?”Rara sedikit bergeser sambil memijat punggungnya yang pegal, namun tiba-tiba ia merasa aneh. Ada suara lain, selain suara pergerakan tubuhnya.Gadis itu takut, haruskah ia mengintip ke bawah ranjangnya atau tidak peduli? Rara menyeret pelan tubuhnya dan menurunkan kakinya satu persatu sebelum menyentuh lantai.Ia terdiam lagi, “Sepertinya, tidak ada,” setelah bergumam akhirnya Rara beranjak dengan tenang.Rara melihat wajahnya di cermin, ada bercak keunguan pada lehernya yang membuat dia panik. Ia tidak mer
Rara terduduk lemas di kursinya, perhari ini Karin telah dipecat dan Rara kini di tunjuk untuk menggantikan posisinya. Rara tidak pernah memperkirakan hal ini akan terjadi, selama ini ia selalu menuruti perkataan Karin karena ia merasa posisinya terancam.Rian merupakan CEO yang bijaksana, ia mendengarkan semua penjelasan Rara tentang Karin dan juga mengkonfirmasikan kepada beberapa orang perihal kelakuan Karin. Namun kenaikan jabatan tidak berarti membuat Rara senang.Secara mengejutkan, Rian ingin ruangan Rara pindah, menjadi tepat di depan ruangan Rian, sejajar dengan meja sekretarisnya Rian. Bebannya terasa bertambah berat karena harus berhadapan langsung dengan sang bos setiap hari.“Ra, ingat tugasmu sekarang sudah berubah,” suara Rian tiba-tiba terdengar di dekatnya membuat Rara terkejut bukan main.“B-baik, Pak.”Rian memperhatikan penampilan Rara, dari ujung kepala hingga kaki. Ia kemudian membandingka
“Haruskah itu yang kau pertanyakan? Beruntung Karin memberitahu lokasi apartemenmu. Bagaimana bisa kau bolos bekerja dan meninggalkan tanggung jawab begitu saja?” Rian mengomel tanpa memperhatikan wajah Rara yang pucat dan menyedihkan. “Secara kebetulan aku melihatmu sedang berada di sini, aku baru saja memberimu jabatan dan kau sudah besar kepala, huh.”“M-maafkan saya Pak, saya tidak berniat untuk melepaskan tanggung jawab tapi saya baru saja mengalami kendala di rumah sampai tidak bisa pergi bekerja.” Rara menjelaskan pada Rian yang terjadi.“Beruntung Tuhan mempertemukan kita secara kebetulan di sini saat aku hanya ingin memastikan alamat yang di berikan Karin.” Rian sama sekali tidak melunak, wajahnya masih memiliki emosi.Ia tidak berharap kalau Rian akan mengerti keadaannya hanya saja saat ini Rara sedang putus asa dengan apa yang baru saja ia lalui. Rian memperhatikan wajah Rara dengan seksama, ia tidak ber
“Kau tidak pernah mencurigai keamanan di sini sedikitpun? Lihat, semuanya sangat mencurigakan,” Rian baru tau kalau gedung apartemen Rara lingkungannya seperti ini. Rara melihat wajah Rian yang tegas, berjalan di sampingnya dengan langkah yang tidak terlalu cepat seolah mengimbanginya. Sedikitnya rasa cemas Rara berkurang, setelah mereka tiba di depan apartemen Rara, gadis itu mengarahkan flash ponselnya pada gagang pintu. Rian salut, Rara cukup teliti sampai memperhatikan pintunya sedetail itu tapi jika gadis itu sampai memeriksanya dengan detail, berarti kejadian yang di alaminya menakutkan. “Jika tidak ada yang rusak, berarti aman. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, sekarang kau harus tenang dan beristirahat, Rara,” ucap Rian. Rara menoleh, “Tapi aku tidak bisa tenang jika sudah begini.” “Kalau begitu aku akan mampir sebentar, apa kau berkenan?” tanya Rian. Rara seketika terkejut, bos nya akan mampir ke apartemennya ini? Pikirannya
Rara masih dalam kondisi cemas akan keadaan apartemennya. Jam kerjanya sudah selesai sejak satu jam yang lalu tapi gadis itu masih tidak berani untuk mengambil langkah dari ruangannya. Ia masih memikirkan bagaimana jika orang yang mengincarnya itu sedang menunggunya.Bisa jadi orang itu adalah orang jahat yang sudah lama menargetkan Rara. Rara sudah menghubungi pihak apartemen, ia sudah membulatkan tekadnya untuk pindah lagi tapi karena Rara sudah membayar sewa penuh untuk enam bulan ke depan dan menyutujui kontrak, maka dana yang sudah masuk tidak bisa kembali."Aku harus bagaimana sekarang? aku tidak bisa kalau harus menerima kerugian sampai jutaan hanya karena pindah apartemen!" Rara menggerutu sendiri.Rara juga sudah mengadu tentang keamanan apartemen yang sepertinya kurang terjaga sehingga ada yang berusaha membobol pintunya, tapi pihak apartemen tidak bisa memproses aduannya secara langsung karena mereka harus mengecek cctv yang akan memakan waktu.
Alarm berbunyi begitu kencang, Rara membuka matanya dengan paksa. Napasnya terengah-engah dengan keringat dingin mengalir dari kening hingga pipinya. Apa yang terjadi padanya?Rara langsung terduduk dan menyadari kalau dirinya hanya sendirian di kamar, tidak ada pria yang sebelumnya menutupi wajahnya. Gadis itu segera mematikan alarm yang masih menyala, ia tidak melihat ada jejak orang lain di ranjangnya."Hanya mimpi? semua itu hanyalah mimpi?"Rara berpikir lebih keras lagi, apa mungkin yang ia alami senyata itu adalah mimpi semata? Tidak mungkin, ia merasakan segalanya, mulai dari sentuhan, gelombang, dan deru napas pria tersebut. Jika dirinya mengalami delusi parah, maka ia harus segera ke dokter.Setelah merasa dirinya tenang, Rara segera bersiap untuk berangkat bekerja. Ia memiliki kegiatan yang tidak bisa di tunda seenaknya atau ia akan dipecat.“Ya Tuhan!” Rara berjengit, begitu masuk ke dalam kamar mandinya, ia masih bisa meras
“Haruskah itu yang kau pertanyakan? Beruntung Karin memberitahu lokasi apartemenmu. Bagaimana bisa kau bolos bekerja dan meninggalkan tanggung jawab begitu saja?” Rian mengomel tanpa memperhatikan wajah Rara yang pucat dan menyedihkan. “Secara kebetulan aku melihatmu sedang berada di sini, aku baru saja memberimu jabatan dan kau sudah besar kepala, huh.”“M-maafkan saya Pak, saya tidak berniat untuk melepaskan tanggung jawab tapi saya baru saja mengalami kendala di rumah sampai tidak bisa pergi bekerja.” Rara menjelaskan pada Rian yang terjadi.“Beruntung Tuhan mempertemukan kita secara kebetulan di sini saat aku hanya ingin memastikan alamat yang di berikan Karin.” Rian sama sekali tidak melunak, wajahnya masih memiliki emosi.Ia tidak berharap kalau Rian akan mengerti keadaannya hanya saja saat ini Rara sedang putus asa dengan apa yang baru saja ia lalui. Rian memperhatikan wajah Rara dengan seksama, ia tidak ber
Rara terduduk lemas di kursinya, perhari ini Karin telah dipecat dan Rara kini di tunjuk untuk menggantikan posisinya. Rara tidak pernah memperkirakan hal ini akan terjadi, selama ini ia selalu menuruti perkataan Karin karena ia merasa posisinya terancam.Rian merupakan CEO yang bijaksana, ia mendengarkan semua penjelasan Rara tentang Karin dan juga mengkonfirmasikan kepada beberapa orang perihal kelakuan Karin. Namun kenaikan jabatan tidak berarti membuat Rara senang.Secara mengejutkan, Rian ingin ruangan Rara pindah, menjadi tepat di depan ruangan Rian, sejajar dengan meja sekretarisnya Rian. Bebannya terasa bertambah berat karena harus berhadapan langsung dengan sang bos setiap hari.“Ra, ingat tugasmu sekarang sudah berubah,” suara Rian tiba-tiba terdengar di dekatnya membuat Rara terkejut bukan main.“B-baik, Pak.”Rian memperhatikan penampilan Rara, dari ujung kepala hingga kaki. Ia kemudian membandingka
"Hah... Hah... Tidak!"Rara terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia seperti habis lari marathon padahal dirinya hanya bermimpi buruk.Gadis itu masih berbaring dengan mata melotot, keringat membasahi pipinya dan ia merasakan badannya sedikit pegal."Cuma mimpi..." gumamnya sembari perlahan bangun.Rara masih duduk di atas kasurnya, “Aduh, pegal sekali. Kenapa aku mendadak pegal linu begini?”Rara sedikit bergeser sambil memijat punggungnya yang pegal, namun tiba-tiba ia merasa aneh. Ada suara lain, selain suara pergerakan tubuhnya.Gadis itu takut, haruskah ia mengintip ke bawah ranjangnya atau tidak peduli? Rara menyeret pelan tubuhnya dan menurunkan kakinya satu persatu sebelum menyentuh lantai.Ia terdiam lagi, “Sepertinya, tidak ada,” setelah bergumam akhirnya Rara beranjak dengan tenang.Rara melihat wajahnya di cermin, ada bercak keunguan pada lehernya yang membuat dia panik. Ia tidak mer