“Kau tidak pernah mencurigai keamanan di sini sedikitpun? Lihat, semuanya sangat mencurigakan,” Rian baru tau kalau gedung apartemen Rara lingkungannya seperti ini.
Rara melihat wajah Rian yang tegas, berjalan di sampingnya dengan langkah yang tidak terlalu cepat seolah mengimbanginya. Sedikitnya rasa cemas Rara berkurang, setelah mereka tiba di depan apartemen Rara, gadis itu mengarahkan flash ponselnya pada gagang pintu.
Rian salut, Rara cukup teliti sampai memperhatikan pintunya sedetail itu tapi jika gadis itu sampai memeriksanya dengan detail, berarti kejadian yang di alaminya menakutkan.
“Jika tidak ada yang rusak, berarti aman. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, sekarang kau harus tenang dan beristirahat, Rara,” ucap Rian.
Rara menoleh, “Tapi aku tidak bisa tenang jika sudah begini.”
“Kalau begitu aku akan mampir sebentar, apa kau berkenan?” tanya Rian.
Rara seketika terkejut, bos nya akan mampir ke apartemennya ini? Pikirannya langsung berantakan. Rara sedang mengingat-ingat apakah di dalam berantakan atau tidak, karena ia malu jika keadaan rumahnya seperti kapal pecah.
“Aku akan menemanimu sebentar, sekalian mengecek juga mungkin aku bisa membantu sedikit masalahmu," Rian meneruskan.
"T-tapi aku berbenah, keadaan di dalam pasti berantakan," Rara mencoba untuk menolak Rian secara halus.
Rian hanya mengernyitkan dahinya, ia tidak suka dengan penolakan Rara. Rian hanya berniat membantu, tidak ada niatan lain.
"Hanya mengecek, mungkin aku bisa membantu untuk itu, akan lebih baik jika ada aku bukan?"
Rara menghela napasnya, ia menyerah dengan sikap bersikeras bosnya ini. Lalu setelah ia pikir sejenakpun, ucapan Rian memang benar.
"Baiklah, baik."
Rian tersenyum kecil ketika Rara mengizinkannya masuk ke dalam. Rara yang masuk lebih dulu, melangkah perlahan dengan mata yang was-was, ia gugup dan cukup takut walau ada Rian bersamanya.
Kondisi rumahnya cukup membuat Rara sendiri tercengang, seingatnya ia belum sempat membereskan beberapa bagian rumahnya karena ia langsung berangkat bekerja tadi pagi. Rapi, bersih dan wangi, kondisi rumahnya sekarang seperti itu.
"Ini yang kau bilang belum sempat berbenah? Kau rajin sekali," Rian memuji.
Pria itu melangkah lebih dulu memeriksa seluruh bagian rumah, sementara Rara masih terdiam di ruang tengah. Dia bingung, di sisi lain ia senang rumahnya rapi tanpa ia harus lelah membereskannya, tapi ini artinya ada seseorang yang berhasil memasuki rumahnya.
"Semuanya aman, tidak ada jejak apapun," ucap Rian, "Aku sudah memeriksa semuanya."
Rara tersadar dari pemikirannya, "Kalau begitu, apa kau mau minum teh atau kopi?"
"Oh, tentu saja aku mau kopi jika kau memilikinya," Rian begitu percaya diri, ia sangat senang ketika Rara menawarkan minuman untuknya. Itu artinya, ia tidak akan sebentar berada di sini.
Walaupun pikirannya sedang campur aduk, tapi Rara tidak ingin sampai Rian tau kalau ada yang tidak beres di sini. Maka dari itu Rara berusaha terlihat baik-baik saja.
Untuk beberapa menit setelah Rara selesai menjamu Rian, mereka berdua saling terdiam dan tidak ada satupun yang membuka pembicaraan. Rara bingung harus bicara apa karena ia takut salah bicara dengan bosnya itu.
Sementara Rian, ia merasa kaku sekarang, entah kenapa otaknya tidak berjalan dengan semestinya saat situasi seperti ini.
Perlahan Rian meilirik ke arah Rara yang ternyata sudah tertidur dalam keadaan duduk. Rian seketika bernapas lega, pria itu sudah bingung mencari topik pembicaraan.
"Ra?" suara Rian sedikit kencang memanggil Rara, ia melakukannya hanya untuk mengetes seberapa terlelapnya gadis itu.
Rara sama sekali tidak terusik, gadis itu masih tidur dalam posisi tersebut. Rian tidak tega melihat Rara tidur di sofa dalam posisi seperti itu.
"Ra... aku pamit pulang," suara Rian tidak terlalu kencang, pria itu membenarkan posisi tidur Rara pada soaf tersebut.
Rian juga memberanikan diri untuk mengambil selimut dari kamar Rara, menyelimuti gadis itu agar tidurnya lebih nyenyak.
"Mimpi indah Ra, agar kau bisa fokus bekerja besok," Rian berbisik sambil tersenyum setelahnya, pria itu pun pergi, ia tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi di sana karena jantung Rian tiba-tiba berdetak lebih kencang dari biasanya, tangannya juga mulai gemetar setelah ia membenarkan posisi tidur Rara.
...
"Drrttt... Drrtttt..."
"Hm..." Rara menggeliat di atas kasurnya kemudian meringis setelah matanya terbuka sempurna, gadis itu mematikan alarm dari ponselnya yang terus berdering. Badannya terasa pegal-pegal ketika berusaha untuk bangun dan duduk.
"Kenapa aku tidur di sini? Bukankah tengah malam aku masih tidur di sofa?" Rara terkejut menyadari dirinya berada dalam kamar.
Seingatnya ketika dirinya terbangun tengah malam tadi, ia masih tidur di sofa. Ia juga sempat mengecek kondisi rumahnya sebentar untuk memastikan apakah Rian benar-benar sudah pulang atau tidak, tapi pagi ini ia tiba-tiba ada di kamarnya.
"Apa aku tidur sambil berjalan?" Rara bergumam sambil bangkit dari kasurnya, kemudian alisnya kemballi tertaut karena heran.
Kasurnya terlihat sangat berantakan, seolah Rara tidak tidur sendirian di sana. Gadis itu dengan berat menelan ludahnya sendiri dan berusaha untuk tenang.
Namun, lagi-lagi Rara merasa panik, ia mendengar suara gemericik air dari kamar mandinya. Ada yang sedang mandi di sana atau ini hanya pendengarannya saja yang berlebihan?
"Ku harap aku salah dengar," Rara bergumam lagi.
Gadis itu segera mengecek kamar mandirnya sambil mengendap-endap. Ia masih mendengar suara gemericik air dengan jelas. Rara tau mengintip itu tidak baik tapi kali ini ia harus melakukannya demi keselamatannya.
Rara terkejut bukan main ketika pintu kamar mandi tidak terkunci dan ia bisa mengintip dengan jelas siapa yang ada di dalam. Matanya terbelalak lebar ketika melihat ada seorang pria yang sedang mandi di bawah shower air panas milik Rara.
Rara segera lari menuju kamarnya, ia mengambil ponselnya yang tertinggal di sana dalam keadaan panik. Ada seorang pria asing di dalam rumahnya yang sudah jelas pria itu sama sekali bukan Rian.
"Rian... angkat, aku mohon angkat..." air mata Rara sudah hampir tak terbendung, gadis itu tidak bisa memikirkan apapun selain menelpon Rian yang mungkin ia pikir bisa membantunya.
Seketika setelah menunggu Rian yang tak kunjung mengangka teleponnya, Rara merasa bodoh, harusnya ia menelpon polisi atau sekuriti gedung apartemennya ini untuk meminta bantuan.
Rara tidak tau pria yang tadi sedang mandi di kamar mandinya, kini sudah berada tepat di belakang Rara dan sudah siap akan memukul gadis itu.
'BUGH!!'
Belum sempat Rara berbalik, pria itu sudah memukul Rara hingga gadis itu tak sadarkan diri. Sementara ponselnya sudah terhubung dengan panggilan pada Rian. Di seberang sana, Rian terus menerus mengatakan halo namun tak ada yang menjawab.
"Hah... Hah... Tidak!"Rara terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia seperti habis lari marathon padahal dirinya hanya bermimpi buruk.Gadis itu masih berbaring dengan mata melotot, keringat membasahi pipinya dan ia merasakan badannya sedikit pegal."Cuma mimpi..." gumamnya sembari perlahan bangun.Rara masih duduk di atas kasurnya, “Aduh, pegal sekali. Kenapa aku mendadak pegal linu begini?”Rara sedikit bergeser sambil memijat punggungnya yang pegal, namun tiba-tiba ia merasa aneh. Ada suara lain, selain suara pergerakan tubuhnya.Gadis itu takut, haruskah ia mengintip ke bawah ranjangnya atau tidak peduli? Rara menyeret pelan tubuhnya dan menurunkan kakinya satu persatu sebelum menyentuh lantai.Ia terdiam lagi, “Sepertinya, tidak ada,” setelah bergumam akhirnya Rara beranjak dengan tenang.Rara melihat wajahnya di cermin, ada bercak keunguan pada lehernya yang membuat dia panik. Ia tidak mer
Rara terduduk lemas di kursinya, perhari ini Karin telah dipecat dan Rara kini di tunjuk untuk menggantikan posisinya. Rara tidak pernah memperkirakan hal ini akan terjadi, selama ini ia selalu menuruti perkataan Karin karena ia merasa posisinya terancam.Rian merupakan CEO yang bijaksana, ia mendengarkan semua penjelasan Rara tentang Karin dan juga mengkonfirmasikan kepada beberapa orang perihal kelakuan Karin. Namun kenaikan jabatan tidak berarti membuat Rara senang.Secara mengejutkan, Rian ingin ruangan Rara pindah, menjadi tepat di depan ruangan Rian, sejajar dengan meja sekretarisnya Rian. Bebannya terasa bertambah berat karena harus berhadapan langsung dengan sang bos setiap hari.“Ra, ingat tugasmu sekarang sudah berubah,” suara Rian tiba-tiba terdengar di dekatnya membuat Rara terkejut bukan main.“B-baik, Pak.”Rian memperhatikan penampilan Rara, dari ujung kepala hingga kaki. Ia kemudian membandingka
“Haruskah itu yang kau pertanyakan? Beruntung Karin memberitahu lokasi apartemenmu. Bagaimana bisa kau bolos bekerja dan meninggalkan tanggung jawab begitu saja?” Rian mengomel tanpa memperhatikan wajah Rara yang pucat dan menyedihkan. “Secara kebetulan aku melihatmu sedang berada di sini, aku baru saja memberimu jabatan dan kau sudah besar kepala, huh.”“M-maafkan saya Pak, saya tidak berniat untuk melepaskan tanggung jawab tapi saya baru saja mengalami kendala di rumah sampai tidak bisa pergi bekerja.” Rara menjelaskan pada Rian yang terjadi.“Beruntung Tuhan mempertemukan kita secara kebetulan di sini saat aku hanya ingin memastikan alamat yang di berikan Karin.” Rian sama sekali tidak melunak, wajahnya masih memiliki emosi.Ia tidak berharap kalau Rian akan mengerti keadaannya hanya saja saat ini Rara sedang putus asa dengan apa yang baru saja ia lalui. Rian memperhatikan wajah Rara dengan seksama, ia tidak ber
Alarm berbunyi begitu kencang, Rara membuka matanya dengan paksa. Napasnya terengah-engah dengan keringat dingin mengalir dari kening hingga pipinya. Apa yang terjadi padanya?Rara langsung terduduk dan menyadari kalau dirinya hanya sendirian di kamar, tidak ada pria yang sebelumnya menutupi wajahnya. Gadis itu segera mematikan alarm yang masih menyala, ia tidak melihat ada jejak orang lain di ranjangnya."Hanya mimpi? semua itu hanyalah mimpi?"Rara berpikir lebih keras lagi, apa mungkin yang ia alami senyata itu adalah mimpi semata? Tidak mungkin, ia merasakan segalanya, mulai dari sentuhan, gelombang, dan deru napas pria tersebut. Jika dirinya mengalami delusi parah, maka ia harus segera ke dokter.Setelah merasa dirinya tenang, Rara segera bersiap untuk berangkat bekerja. Ia memiliki kegiatan yang tidak bisa di tunda seenaknya atau ia akan dipecat.“Ya Tuhan!” Rara berjengit, begitu masuk ke dalam kamar mandinya, ia masih bisa meras
Rara masih dalam kondisi cemas akan keadaan apartemennya. Jam kerjanya sudah selesai sejak satu jam yang lalu tapi gadis itu masih tidak berani untuk mengambil langkah dari ruangannya. Ia masih memikirkan bagaimana jika orang yang mengincarnya itu sedang menunggunya.Bisa jadi orang itu adalah orang jahat yang sudah lama menargetkan Rara. Rara sudah menghubungi pihak apartemen, ia sudah membulatkan tekadnya untuk pindah lagi tapi karena Rara sudah membayar sewa penuh untuk enam bulan ke depan dan menyutujui kontrak, maka dana yang sudah masuk tidak bisa kembali."Aku harus bagaimana sekarang? aku tidak bisa kalau harus menerima kerugian sampai jutaan hanya karena pindah apartemen!" Rara menggerutu sendiri.Rara juga sudah mengadu tentang keamanan apartemen yang sepertinya kurang terjaga sehingga ada yang berusaha membobol pintunya, tapi pihak apartemen tidak bisa memproses aduannya secara langsung karena mereka harus mengecek cctv yang akan memakan waktu.
“Kau tidak pernah mencurigai keamanan di sini sedikitpun? Lihat, semuanya sangat mencurigakan,” Rian baru tau kalau gedung apartemen Rara lingkungannya seperti ini. Rara melihat wajah Rian yang tegas, berjalan di sampingnya dengan langkah yang tidak terlalu cepat seolah mengimbanginya. Sedikitnya rasa cemas Rara berkurang, setelah mereka tiba di depan apartemen Rara, gadis itu mengarahkan flash ponselnya pada gagang pintu. Rian salut, Rara cukup teliti sampai memperhatikan pintunya sedetail itu tapi jika gadis itu sampai memeriksanya dengan detail, berarti kejadian yang di alaminya menakutkan. “Jika tidak ada yang rusak, berarti aman. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, sekarang kau harus tenang dan beristirahat, Rara,” ucap Rian. Rara menoleh, “Tapi aku tidak bisa tenang jika sudah begini.” “Kalau begitu aku akan mampir sebentar, apa kau berkenan?” tanya Rian. Rara seketika terkejut, bos nya akan mampir ke apartemennya ini? Pikirannya
Rara masih dalam kondisi cemas akan keadaan apartemennya. Jam kerjanya sudah selesai sejak satu jam yang lalu tapi gadis itu masih tidak berani untuk mengambil langkah dari ruangannya. Ia masih memikirkan bagaimana jika orang yang mengincarnya itu sedang menunggunya.Bisa jadi orang itu adalah orang jahat yang sudah lama menargetkan Rara. Rara sudah menghubungi pihak apartemen, ia sudah membulatkan tekadnya untuk pindah lagi tapi karena Rara sudah membayar sewa penuh untuk enam bulan ke depan dan menyutujui kontrak, maka dana yang sudah masuk tidak bisa kembali."Aku harus bagaimana sekarang? aku tidak bisa kalau harus menerima kerugian sampai jutaan hanya karena pindah apartemen!" Rara menggerutu sendiri.Rara juga sudah mengadu tentang keamanan apartemen yang sepertinya kurang terjaga sehingga ada yang berusaha membobol pintunya, tapi pihak apartemen tidak bisa memproses aduannya secara langsung karena mereka harus mengecek cctv yang akan memakan waktu.
Alarm berbunyi begitu kencang, Rara membuka matanya dengan paksa. Napasnya terengah-engah dengan keringat dingin mengalir dari kening hingga pipinya. Apa yang terjadi padanya?Rara langsung terduduk dan menyadari kalau dirinya hanya sendirian di kamar, tidak ada pria yang sebelumnya menutupi wajahnya. Gadis itu segera mematikan alarm yang masih menyala, ia tidak melihat ada jejak orang lain di ranjangnya."Hanya mimpi? semua itu hanyalah mimpi?"Rara berpikir lebih keras lagi, apa mungkin yang ia alami senyata itu adalah mimpi semata? Tidak mungkin, ia merasakan segalanya, mulai dari sentuhan, gelombang, dan deru napas pria tersebut. Jika dirinya mengalami delusi parah, maka ia harus segera ke dokter.Setelah merasa dirinya tenang, Rara segera bersiap untuk berangkat bekerja. Ia memiliki kegiatan yang tidak bisa di tunda seenaknya atau ia akan dipecat.“Ya Tuhan!” Rara berjengit, begitu masuk ke dalam kamar mandinya, ia masih bisa meras
“Haruskah itu yang kau pertanyakan? Beruntung Karin memberitahu lokasi apartemenmu. Bagaimana bisa kau bolos bekerja dan meninggalkan tanggung jawab begitu saja?” Rian mengomel tanpa memperhatikan wajah Rara yang pucat dan menyedihkan. “Secara kebetulan aku melihatmu sedang berada di sini, aku baru saja memberimu jabatan dan kau sudah besar kepala, huh.”“M-maafkan saya Pak, saya tidak berniat untuk melepaskan tanggung jawab tapi saya baru saja mengalami kendala di rumah sampai tidak bisa pergi bekerja.” Rara menjelaskan pada Rian yang terjadi.“Beruntung Tuhan mempertemukan kita secara kebetulan di sini saat aku hanya ingin memastikan alamat yang di berikan Karin.” Rian sama sekali tidak melunak, wajahnya masih memiliki emosi.Ia tidak berharap kalau Rian akan mengerti keadaannya hanya saja saat ini Rara sedang putus asa dengan apa yang baru saja ia lalui. Rian memperhatikan wajah Rara dengan seksama, ia tidak ber
Rara terduduk lemas di kursinya, perhari ini Karin telah dipecat dan Rara kini di tunjuk untuk menggantikan posisinya. Rara tidak pernah memperkirakan hal ini akan terjadi, selama ini ia selalu menuruti perkataan Karin karena ia merasa posisinya terancam.Rian merupakan CEO yang bijaksana, ia mendengarkan semua penjelasan Rara tentang Karin dan juga mengkonfirmasikan kepada beberapa orang perihal kelakuan Karin. Namun kenaikan jabatan tidak berarti membuat Rara senang.Secara mengejutkan, Rian ingin ruangan Rara pindah, menjadi tepat di depan ruangan Rian, sejajar dengan meja sekretarisnya Rian. Bebannya terasa bertambah berat karena harus berhadapan langsung dengan sang bos setiap hari.“Ra, ingat tugasmu sekarang sudah berubah,” suara Rian tiba-tiba terdengar di dekatnya membuat Rara terkejut bukan main.“B-baik, Pak.”Rian memperhatikan penampilan Rara, dari ujung kepala hingga kaki. Ia kemudian membandingka
"Hah... Hah... Tidak!"Rara terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia seperti habis lari marathon padahal dirinya hanya bermimpi buruk.Gadis itu masih berbaring dengan mata melotot, keringat membasahi pipinya dan ia merasakan badannya sedikit pegal."Cuma mimpi..." gumamnya sembari perlahan bangun.Rara masih duduk di atas kasurnya, “Aduh, pegal sekali. Kenapa aku mendadak pegal linu begini?”Rara sedikit bergeser sambil memijat punggungnya yang pegal, namun tiba-tiba ia merasa aneh. Ada suara lain, selain suara pergerakan tubuhnya.Gadis itu takut, haruskah ia mengintip ke bawah ranjangnya atau tidak peduli? Rara menyeret pelan tubuhnya dan menurunkan kakinya satu persatu sebelum menyentuh lantai.Ia terdiam lagi, “Sepertinya, tidak ada,” setelah bergumam akhirnya Rara beranjak dengan tenang.Rara melihat wajahnya di cermin, ada bercak keunguan pada lehernya yang membuat dia panik. Ia tidak mer