Empat orang pria berseragam prajurit itu hanya mengangguk pelan dan berdiri sebelum memberikan salam perpisahan pada Surya Yudha. Gelapnya malam membuat mereka tak dapat melihat wajah Surya Yudha yang mulai pucat dengan bibir yang membiru. Hanya saja, mereka sedikit curiga ketika mendengar Surya Yudha menjawab dengan suara bergetar."Jendral Muda, apa anda baik-baik saja?" Seorang prajurit mendekati Surya Yudha dengan khawatir.Surya Yudha mengangguk pelan, "Aku baik-baik saja, aku hanya sedik-"Surya Yudha tak dapat melanjutkan kata-katanya, dari mulutnya menggelegak busa berwarna putih yang bercampur darah. Prajurit yang berdiri di di hadapan Surya Yudha langsung menopang tubuh Surya Yudha yang hampir ambruk."Jendral muda!" teriak Prajurit tersebut dengan panik. Tiga prajurit yang sempat terpaku karena hal tersebut ikut mendekati Surya Yudha dan memeriksa kondisinya. "Anda terluka?" Seorang prajurit menarik tangan Surya Yudha dari tempayan dan memeriksanya. Begitu melihat dua
Akhirnya Surya Yudha hanya bisa pasrah ketika Gendon memaksanya ikut ke barak prajurit puting beliung. Surya Yudha menunggang kuda bersama seorang prajurit yang menjaganya karena Gendon meminta dia tidak banyak bergerak. Setelah beberapa waktu berkuda, akhirnya enam orang itu sampai di barak prajurit Puting beliung. Gerbang utama dibuka, seorang prajurit bertanya. "Siapa mereka berdua?""Putra Panglima Besar Indra Yudha, Tuan Muda Surya Yudha. Kami bertemu di jalan dan Tuan Muda tidak memiliki tempat untuk beristirahat."Prajurit yang sedang berjaga mengangguk paham. Dia hanya pernah melihat Surya Yudha sekali, itu pun dari jarak yang terlalu jauh sehingga dia tidak dapat melihat wajah Surya Yudna dengan jelas.Akhirnya prajurit tersebut mempersilakan mereka berenam masuk.Satu dari enam orang tersebut melapor pada pimpinan mereka, Jendral muda Rangga Malela sementara lima lainnya menunggu di dekat lapangan latihan.Surya Yudha merasa tubuhnya sudah tak maruan dan ingin segera me
Surya Yudha telah selesai diobati. Rangga Malela ingin bertanya lebih jauh pada Gendon tapi pemuda tersebut menolak dengan alasan sudah terlalu lelah.Rangga Malela memaklumi kondisi Gendon dan meminta pemuda tersebut segera beristirahat karena dia sudah menyiapkan dipan tambahan di ruangan yang sama dengan Surya Yudha. Gendon segera menyetujuinya karena tubuhnya sudah kelelahan. Rangga Malela yang ruangannya dipakai oleh Surya Yudha dan Gendon memilih untuk tetap terjaga karena hari sebentar lagi terang.Dia kembali mengingat bagaimana Gendon yang dimatanya terlihat seperti pemuda bodoh tak berguna begitu terampil ketika mengobati Surya Yudha. Bahkan, ketika Ki Sentot mengganggunya dengan beberapa pertanyaan, Gendon dengan sabar menjawabnya satu persatu.Rangga Malela dan Surya Yudha memang bukanlah kawan akrab. Tetapi mereka sama-sama pemuda yang cemerlang di dunia militer sehingga menyandang gelar jendral muda di usia yang terbilang muda.Jendral muda merupakan sebuah gelar, bukan
Surya Yudha duduk saling berhadapan dengan Rangga Malela. Di tepi lapangan latihan, mereka berdua memperhatikan setiap prajurit yang sedang berlatih."Jadi sesulit itu menjadi pengawal Putra Mahkota?" tanya Rangga Malela. "Hm?" Surya Yudha menaikan alisnya karena tidak mengira Rangga Malela akan bertanya seperti itu."Aku tahu bagaimana sikap calon raja kita. Dia memang loyal tetapi seringkali mengambil keputusan ceroboh.""Rangga, apa dirimu tidak khawatir ada yang mengadu? Kepalamu bisa saja menggelinding jika Baginda tahu ucapanmu barusan."Rangga Malela tersenyum tipis. "Itu semua memang fakta. Jika ada yang melaporkan hal ini dan aku dihukum mati, maka aku menerimanya asalkan tidak dipecat sebagai prajurit.""Rupanya kau lebih takut kehilangan jabatan daripada nyawa. Baru kali ini aku bertemu dengan orang sepertimu."Surya Yudha dan Rangga Malela tertawa karena merasa ucapan Surya Yudha cukup menggelitik hati. "Lebih tepatnya kebanggaan, bukan jabatan."Surya Yudha mengangguk b
Pasukan puting beliung merupakan pasukan perbatasan yang seharusnya memiliki peralatan terlengkap. Sebagai garda terdepan, mereka harus memiliki prajurit yang tangguh dan senjata yang mumpuni untuk mempertahankan negeri dari serangan luar. Hal ini tentu saja membuat Surya Yudha bingung. "Kenapa pasukan Puting Beliung belum mendapat senjata terbaru?" Rangga Malela mengembuskan napasnya berat. "Surya, mungkin kau belum tahu, tetapi semenjak kepergianmu dari kamp puting beliung, semuanya berubah. Kami tidak didukung dengan senjata yang baik.""Kalian tidak mengajukan bantuan?""Tentu saja sudah, tetapi hingga saat ini, hanya senjata kuno yang mulai usang saja yang mereka kirimkan. Aku berniat pergi ke ibukota, akan tetapi situasi tidak memungkinkan untuk aku pergi."Surya Yudha mengerutkan keningnya. Dia merasa jika tempat ini menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Tidak ada laporan penyerangan atau penyusupan yang dilakukan oleh musuh, seperti yang dulu sering terjadi. "Bukankah saat i
Jamuan makan berlangsung hingga larut malam. Mereka berpesta arak dan kambing bakar sebagai kudapan. "Surya, cobalah arak ini. Ini adalah arak terbaik yang pernah aku minum," ucap Rangga Malela yang wajahnya mulai memerah karena mabuk. Surya Yudha menerima guci arak tersebut dan meneguknya dalam satu tegukan besar. Keningnya berkerut saat tidak merasakan perbedaan apapun dengan arak yang biasa dia minum. "Rangga, kau pasti bercanda. Aku tidak merasakan perbedaan apapun.""Tentu saja kau tidak akan bisa merasakannya. Yang kumaksud terenak bukanlah rasanya, tetapi suasana dan momentumnya!" balas Rangga Malela. "Kau ingat kapan terakhir kali kita minum?"Surya Yudha mengangguk. "Itu ... sudah lama sekali!"Gendon berkali-kali mengingatkan Surya Yudha agar tidak minum terlalu banyak karena kondisinya yang belum pulih, tetapi pemuda itu terus meneguk arak bahkan langsung dari gucinya. Waktu sudah lewat dari tengah malam, jamuan makan juga sudah berakhir. Para perwira militer tersebut
Pagi-pagi sekali Surya yudha sudah bangun dan membereskan sisa api unggun semalam dan menguburnya dengan tanah. Gendon juga sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan. Setelah mengisi perut, mereka kembali berkuda menuju timur tempat Kota Sewu Geni berada. Matahari terasa begitu terik, walau hari masih pagi, tetapi suhu di tempat ini lebih panas dari wilayah Nara Artha manapun. Keringat membasahi wajah Surya Yudha meskipun dia sudah berkali-kali menyekanya. Mereka sudah sampai di Kota Sewu Geni, meski berada di wilayah perbatasan, tetapi kota ini terbilang cukup makmur. "Den, kita langsung ke Padepokan Raga Geni atau mau ke mana dulu?" "Kita langsung saja." Surya Yudha memperhatikan sekitar, tidak ada yang tampak mencurigakan sehingga dia memutuskan untuk langsung menuju Padepokan Raga Geni yang berada di puncak gunung Agni. Kuda yang mereka tunggangi ditambatkan di kaki gunung karena medan yang tidak memungkinkan untuk dilewati dengan berkuda. "Den, Gendon haus."Surya Yudha me
Sebuah mata air berbentuk seperti sumur, tidak terlalu luas, hanya seluas rangkulan orang dewasa. Airnya sangat jernih hingga batuan di dasarnya bisa terlihat dengan jelas. Gendon yang sudah kehausan segera menubruk mata air tersebut dan menceburkan wajahnya ke dalam. "Ah! Segar!" Gendon menyeka wajahnya yang basah oleh air dan mempersilakan Surya Yudha untuk minum dari mata air tersebut. "Den, airnya sangat segar. Ayo minum, dijamin langsung seger!" Surya Yudha meraup air dari dalam mata air dengan kedua tangannya dan meneguknya perlahan. Rasa dahaga yang diam-diam menyiksanya sirna seketika saat air tersebut membasahi tenggorokannya. "Benar-benar segar!" ucap Surya Yudha dengan menganggukan kepalanya berkali-kali. "Saudara Jenggala, apa kau juga ingin minum?"Jenggala menggeleng. "Kalau begitu, kita langsung saja naik," ucap Surya Yudha yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Jenggala. Ketiga pemuda itu melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Agni. Biasanya puncak gun
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo
Sore harinya, di penginapan tempat Surya Yudha menginap, pemuda itu berkumpul bersama rekan-rekannya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Wajah mereka terlihat serius. "Candrika dan Paman Mahasura tetap di sini. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon selama beberapa hari." "Apa yang ingin kau lakukan, Surya?" Candrika bertanya dengan penasaran."Aku harus pergi ke suatu tempat. Kalian berdua jangan khawatir.""Kalian ingin melakukan penyerangan?" tanya Mahasura. Surya Yudha menggeleng. "Tidak. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon untuk mengambil sesuatu. Kalian jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Tatapan Mahasura beralih pada Banyulingga. "Ke mana kalian akan pergi? Jawab aku!"Banyulingga menelan ludahnya. Dia tidak menyangka pria yang pagi ini masih terlihat lemah saat ini tampak mengerikan."Ka-kami ...." Banyulingga tergagap, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Surya Yudha yang melihat Banyulingga ketakutan tertawa. Dia lantas berkata lada Mahasur
Ada beberapa kedai arak di pasar budak. Namun, hanya ada satu yang selalu buka sementara yang lainnya hanya buka ketika senja datang. Surya Yudha memasuki kedai arak bersama Gendon dan Banyulingga. Kedatangan mereka menarik perhatian terutama Gendon yang mengeluarkan aroma obat dari tubuhnya, ciri khas para tabib. Surya Yudha mengajak mereka ke lantai dua kedai tersebut dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Di lantai tersebut, hanya ada kelompok Surya Yudha. Suasana kedai tersebut juga sangat tenang tidak seperti kedai arak di malam hari.Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Tuan-tuan ingin pesan apa?" "Dua guci arak beras, daging dan kacang rebus." Surya Yudha menjawab dengan cepat. Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanan. "Den bagus, kita mau cari informasi gimana? Ini masih sepi, lagipula kita datang kepagian." Gendon berkata dan diangguki Banyulingga. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan."Mata Surya Yudha menerawang ke luar, memandang
Surya Yudha mendapat informasi tambahan mengenai pasar budak. Ternyata pasar budak dikuasai oleh sebuah organisasi yang bernama kelompok Harimau Besi. Pemuda itu juga mengetahui markas besar Harimau Besi."Bagus. Kita bisa melakukan penyerangan malam ini juga." Mahasura berdehem. Seolah menujukkan ketidaksetujuannya. Meski dia seorang budak, tetapi setelah mendapat nasihat bertubi-tubi dari Gendon, akhirnya Mahasura mau menerima identitasnya dulu, sebagai Paman dari Surya Yudha. "Paman, ada apa? Kau tidak setuju?" tanya Surya Yudha. "Surya, menyerang Markas Harimau Besi saat malam hari adalah ide paling buruk yang kita miliki." Mahasura berkata dengan tenang. Dia mengambil sebuah kendi dan meletakannya di atas meja. "Mereka sangat aktif pada malam hari. Kekuatan mereka berkumpul saat malam tiba. Menyerang saat tengah hari adalah pilihan terbaik." Mahasura mengambil sebuah cangkir dan meletakannya di bagian utara kendi."Ini adalah pintu utama yang dijaga oleh Harimau utara. Aku t
"Tuan, ada orang yang ingin bertemu dengan anda. Kami sudah berusaha untuk tetap menjaga ketenangan anda, tetapi mereka mengatakan jika anda akan menerima mereka dengan baik." Meski pelayan itu berkata dengan penuh senyuman, tetapi getaram di tangannya menunjukkan jika dia sedang gugup.Sementara itu, mendengar penjelasan pelayan itu, Surya Yudha mulai menebak-nebak siapakah orang yang ingin menemuinya itu. "Baiklah, aku akan menemui mereka."Pelayan itu mengangguk dan pergi. Surya Yudha juga turun mengikuti pelayan itu. Ketika sampai di lantai dasar, dia melihat dua orang yang sangat dia kenal. Yang satu terlihat ceria dan yang lainnya tampak kesal. "Den bagus!" Begitu melihat kedatangan Surya Yudha, pemuda bertubuh gempal itu segera berteriak memanggilnya. Surya Yudha tersenyum tipis. Sudah cukup lama sejak mereka terakhir kali bertemu. "Den bagus, wah den bagus keliatan makin gagah saja." Gendon menghampiri Surya Yudha dengan wajah cerianya. "Den bagus apa kabar?" "Sangat
Mahasura tentu saja bingung dengan reaksi yang Surya Yudha tunjukkan. Meski tidak tahu teknik apa yang pemuda itu gunakan, tetapi dia adalah orang yang paling tahu tentang akibat dari teknik tersebut. Dia yakin jika Surya Yudha baru saja memindahkan sedikit racun dari tubuhnya. Walau racun yang berpindah hanya sedikit, tetapi itu sudah mengurangi rasa sakit yang Mahasura derita, dan itu berarti rasa sakit itu berpindah pada Surya Yudha. Mahasura memang tahu jika ada teknik yang bisa menetralisir racun menggunakan tenaga dalam. Namun, dibutuhkan keahlian khusus dan tenaga dalam yang tinggi untuk bisa melakukannya. Selain itu, menetralkan tenaga dalam dan memindahkannya adalah hal yang sama sekali berbeda.Dia ingin bertanya tentang teknik yang baru saja Surya Yudha gunakan. Namun, dia tidak berani bertanya karena merasa tidak memiliki hak. Melihat kebingungan di wajah Mahasura, Surya Yudha tersenyum tipis. "Paman, tenang saja. Aku sudah menguasai teknik ini, jadi jangan khawatir te
Meski disebut sebagai pasar Budak, tetapi sebenarnya tempat ini layak disebut sebagai kota kecil. Ada banyak penginapan dan kedai makanan yang buka di tempat ini. Suasananya pun tak kalah ramai dengan kota kecil di wilayah lain Jalu Pangguruh. Surya Yudha membawa Banyulingga dan budak yang baru saja dia beli ke sebuah penginapan. Pemuda itu menyewa sebuah lantai di penginapan khusus untuk mereka bertiga. Dia sengaja menyewa satu lantai karena tidak ingin diganggu. Di dalam kamar terbesar di penginapan itu, tiga orang pria duduk melingkar di meja. Salah satu pemuda menatap nanar pria yang lain seperti ingin menangis. "Paman ... Paman Mahasura. Kami mencarimu ke seluruh hutan bahkan menyusuri jurang." Air mata Surya Yudha menetes. Budak yang baru saja dia beli adalah Mahasura, salah satu orang yang melatih Surya Yudha hingga menjadi petarung yang tangguh. Setahun lalu, Mahasura mendapat misi penting dari kerajaan. Namun, misi tersebut gagal dan semua orang di dalamnya mati. Surya Y
Surya Yudha kembali mengatur napasnya yang terengah-engah. Dengan menggunakan sebelah tangannya, Surya Yudha menyeka keringatnya. Melihat kondisi Banyulingga sekarang, dia merasa puas. "Bagaimana? Kau masih meremehkan pil milikku?" ucap Surya Yudha mengejek. Banyulingga menggeleng. "Aku berharap ini adalah kebodohanku yang terakhir." "Aku juga berharap seperti itu." Surya Yudha mengangguk setuju. Hal itu malah membuat Banyulingga tersenyum kecut. Saat Surya Yudha sudah mendapat kembali tenaganya, dia menemukan ada sesuatu yang aneh. Sebelumnya dia mengetahui jika Cakra miliknya tersegel oleh sesuatu yang berbentuk seperti cincin berwarna ungu pekat. Namun, saat ini cincin itu tampak retak seolah dikikis oleh sesuatu. 'Baiji, apa kau bisa menjelaskan ini kepadaku?' [Menjelaskan apa?]'Cakra milikku. Segelnya seperti retak.'[Bukankah itu bagus? Kau bisa menggunakan tenaga dalammu lagi jika bisa menghancurkan segel tersebut.]Surya Yudha tersenyum senang. Apa itu berarti dia tidak
Banyulingga menatap Surya Yudha dengan cemas. "Ada apa? Kenapa kau di sini?" tanya Surya Yudha keheranan saat melihat Banyulingga yang seperti menunggunya. "Kau sudah empat hari bertapa tapi tidak bangun-bangun. Kau bilang hanya memulihkan energi, kenapa begitu lama?""Empat hari?" Surya Yudha terkejut saat mengetahui waktu yang dia habiskan. "Gawat! Aku menghabiskan terlalu banyak waktu. Kita harus pergi ke pasar budak saat ini juga!"Surya Yudha bergegas bangkit dan menyiapkan kelengkapannya. Namun, suara Banyulingga berhasil menghentikannya. "Candrika tidak akan membiarkan kita pergi sebelum memeriksa kondisimu." "Aku baik-baik saja. Aku sudah sangat sehat." Surya Yudha menunjukkan tubuhnya. Dia memang tampak sangat sehat sekarang. Tanpa berkata-kata lagi, Surya Yudha mencengkeram bahu Banyulingga. Pemuda itu mengerahkan sumber energinya ke kaki dan melompat hingga keluar dari tempat itu. Ketika tubuhnya masih berada di udara, Surya Yudha bersiul. Ringkikan kuda menyahuti si