Pagi-pagi sekali Surya yudha sudah bangun dan membereskan sisa api unggun semalam dan menguburnya dengan tanah. Gendon juga sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan. Setelah mengisi perut, mereka kembali berkuda menuju timur tempat Kota Sewu Geni berada. Matahari terasa begitu terik, walau hari masih pagi, tetapi suhu di tempat ini lebih panas dari wilayah Nara Artha manapun. Keringat membasahi wajah Surya Yudha meskipun dia sudah berkali-kali menyekanya. Mereka sudah sampai di Kota Sewu Geni, meski berada di wilayah perbatasan, tetapi kota ini terbilang cukup makmur. "Den, kita langsung ke Padepokan Raga Geni atau mau ke mana dulu?" "Kita langsung saja." Surya Yudha memperhatikan sekitar, tidak ada yang tampak mencurigakan sehingga dia memutuskan untuk langsung menuju Padepokan Raga Geni yang berada di puncak gunung Agni. Kuda yang mereka tunggangi ditambatkan di kaki gunung karena medan yang tidak memungkinkan untuk dilewati dengan berkuda. "Den, Gendon haus."Surya Yudha me
Sebuah mata air berbentuk seperti sumur, tidak terlalu luas, hanya seluas rangkulan orang dewasa. Airnya sangat jernih hingga batuan di dasarnya bisa terlihat dengan jelas. Gendon yang sudah kehausan segera menubruk mata air tersebut dan menceburkan wajahnya ke dalam. "Ah! Segar!" Gendon menyeka wajahnya yang basah oleh air dan mempersilakan Surya Yudha untuk minum dari mata air tersebut. "Den, airnya sangat segar. Ayo minum, dijamin langsung seger!" Surya Yudha meraup air dari dalam mata air dengan kedua tangannya dan meneguknya perlahan. Rasa dahaga yang diam-diam menyiksanya sirna seketika saat air tersebut membasahi tenggorokannya. "Benar-benar segar!" ucap Surya Yudha dengan menganggukan kepalanya berkali-kali. "Saudara Jenggala, apa kau juga ingin minum?"Jenggala menggeleng. "Kalau begitu, kita langsung saja naik," ucap Surya Yudha yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Jenggala. Ketiga pemuda itu melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Agni. Biasanya puncak gun
Di dalam pondok sederhana yang berada di puncak Gunung Agni, di atas sebuah dipan, seorang pria terlihat sedang bermeditasi. Pakaian pria tersebut seluruhnya berwarna merah, dari jubah hingga ikat kepala, seluruhnya berwarna merah. Tubuhnya diselimuti cahaya merah yang memancarkan aura mengerikan. Dia adalah Ki Joko Suseno, mahaguru di Padepokan Raga Geni. Ketika dia sedang larut dalam meditasinya, dia merasakan aura kuat yang mendekati tempat tinggalnya. Aura tersebut terasa begitu kuat hingga membuat tubuhnya bergetar. Ki Joko membuka matanya perlahan, manik matanya yang berwarna hitam legam seperti langit malam, memancarkan aura kematian yang mengerikan, seolah dia sudah membunuh ratusan ribu jiwa dengan menggunakan tangannya. "Aura ini ... ini bukanlah aura kematian, tetapi mengapa aura ini tampak sangat kuat?" Deg!Jantung Ki Joko berdegup kencang. Dalam pikirannya tiba-tiba terpikir sebuah hal. "Apakah ... ini aura keturunan Dewa?"Dengan sebuah gerakan tangan mengibas, tub
"Jadi kau adalah cucu Ki Arya Saloka?" tanya Ki Joko. Surya Yudha mengangguk. "Benar, mahaguru. Beliau adalah Eyangku."Ki Joko menghampiri Surya Yudha, memegang kedua bahunya dan memintanya untuk bangun. "Bangkitlah, kau sudah berlutut terlalu lama.""Terima kasih, Mahaguru.""Panggil saja Ki Joko. Ki Arya Saloka merupakan kawanku." "Baik, Ki Joko."Surya Yudha cukup kesulitan saat berdiri karena terlalu lama berlutut yang menyebabkan kakinya menjadi mati rasa. 'Ternyata tidak memiliki tenaga dalam sungguh merepotkan. Baru berlutut beberapa jam kakiku sudah lemas. Bagaimana jika aku mendapat hukuman untuk berlutut hingga berhari-hari?'Gendon membantu Surya Yudha, tetapi segera ditepis oleh pemuda itu karena masih kesal. Sementara itu, Surya Yudha menjadi merasa canggung karena perlakuan Ki Joko terlihat tidak tulus. Dia merasa perhatian yang Ki Joko berikan karena dia adalah Cucu dari seorang Ki Arya Saloka. Mata Surya Yudha saat ini lebih terbuka, ternyata kekuatan dan kekuasaan
Matahari terus bergerak ke barat, semburat jingga di langit barat mulai pudar digantikan dengan kepekatan malam. Kerimbunan hutan di gunung Agni serta kegelapan malam rupanya cukup menyulitkan Surya Yudha dan Gendon saat menuruni puncak agni. Untung saja ketika mereka naik, Surya Yudha meninggalkan jejak sehingga keduanya cukup terbantu. "Den, kenapa kita tidak menginap di tempat Jenggala saja?" tanya Gendon. "Tidak.""Iya, kenapa tidak gitu maksud Gendon. Kan kita bisa irit tenaga sekaligus mengenal lingkungan Raga Geni.""Pertama, aku tidak ingin merepotkan Jenggala. Kedua, aku belum menjadi murid resmi di sana sehingga kita tidak bisa melakukan hal sesuka hati kita. Jika Ki Joko mengizinkan kita menginap, dia tidak akan meminta kita kembali ke sana, tetapi langsung mempersilakan kita untuk tinggal." "Oh jadi gitu toh." Surya Yudha terperanjat setelah menyadari sebuah hal. 'Sial, kenapa aku jawab pertanyaan dia? Kenapa sulit sekali untuk marah kepadanya.'"Den, tadi sebelum kita
Setelah Ndaru dan kawan-kawannya pergi, Gendon memapah Surya Yudha dan mendudukannya di bawah pohon besar."Tuan muda, biarkan Gendon memeriksa Tuan Muda." Gendon lantas memasukan sebuah pil ke mulut Surya Yudha dan menyalurkan tenaga dalamnya agar khasiat pil tersebut segera terasa. Dalam beberapa tarikan napas, Surya Yudha merasa lukanya membaik. Gendon lantas menarik kembali tenaga dalamnya. "Lukanya tidak membahayakan nyawa den bagus. Tapi den bagus harus tetep istirahat ya. Setelah minum ini, rasa panas di dada akan berkurang."Gendon memberikan sebuah botol kecil yang berisi beberapa pil kepada Surya Yudha. Surya Yudha menerimanya dan meminun satu butir, botol tersebut lalu dia simpan di balik ikat pinggangnya. "Terima kasih.""Tidak perlu berterima kasih, Den Bagus."Surya Yudha membetulkan posisi duduknya. "Gendon, aku ingin mengatakan sesuatu.""Ada apa, Den bagus? Apa ada yang masih sakit?" tanya Gendon penasaran. Surya Yudha menggeleng. "Setelah melihatmu tadi, aku sem
Malam ini puncak Gunung Agni sepi, tidak seperti biasanya di mana tempat itu akan selalu ramai oleh para anggotanya. Lentera-lentera telah padam, hawa panas yang terpancar dari kawah Agni sedikit mereda, tergantikan oleh semilir angin yang terasa hangat ketika menyapu kulit.Salah satu pondok di Puncak Gunung Agni masih terang dengan suara raungan yang terdengar samar. "Ndaru, lihatlah, luka ini melepuh dan mulai menjalar kemana-mana."Pemuda yang sedang bermeditasi di sudut ruangan membuka matanya perlahan, wajahnya tampak pucat, pandangannya terkunci pada sosok yang baru saja berbicara padanya. "Obat yang aku berikan tidak mempan?" tanya Ndaru dengan suara lemah. Di ruangan ini, sejujurnya dialah yang terluka paling parah akibat pertempurannya dengan Gendon. "Obat yang kau berikan hanya mengurangi rasa terbakarnya, tetapi tidak menghentikan penyebaran racunnya. Jika seperti ini terus, mereka akan mati kesakitan saat matahari tenggelam esok hari."Ndaru mengangguk, paham dengan ko
Satu mimggu berlalu dengan cepat. Hari ini adalah hari di mana pendaftaran masuk padepokan Raga Geni dibuka. Fajar menyingsing di langit timur, udara mulai memanas. Surya Yudha keluar dari bak mandi lalu segera berpakaian. Setelah memakan kudapan yang diberikan pihak penginapan, Surya Yudha meninggalkan tempat tersebut, menuju Gunung Agni. Meskipun hari belum terlalu siang, tetapi udara sudah sangat menyengat. "Sudah seminggu aku di tempat ini, tetapi tubuhku belum juga terbiasa."Surya Yudha terus mengayunkan kakinya menuju Gunung Agni. Menurut informasi yang kemarin dia dapat dari penginapan, ujian masuk padepokan Raga Geni biasanya dilakukan saat senja hingga malam hari. Karena ujian ini dibuka setiap bulan, hanya ada belasan orang yang akan mengikuti ujian ini setiap bulannya. Namun, ada waktu-waktu tertentu di mana ujian akbar dibuka dan menerima puluhan murid sekaligus. Tapi sayang, ujian akbar baru dibuka dua tahun lalu, jadi untuk menunggu ujian akbar selanjutnya, masih h
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo
Sore harinya, di penginapan tempat Surya Yudha menginap, pemuda itu berkumpul bersama rekan-rekannya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Wajah mereka terlihat serius. "Candrika dan Paman Mahasura tetap di sini. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon selama beberapa hari." "Apa yang ingin kau lakukan, Surya?" Candrika bertanya dengan penasaran."Aku harus pergi ke suatu tempat. Kalian berdua jangan khawatir.""Kalian ingin melakukan penyerangan?" tanya Mahasura. Surya Yudha menggeleng. "Tidak. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon untuk mengambil sesuatu. Kalian jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Tatapan Mahasura beralih pada Banyulingga. "Ke mana kalian akan pergi? Jawab aku!"Banyulingga menelan ludahnya. Dia tidak menyangka pria yang pagi ini masih terlihat lemah saat ini tampak mengerikan."Ka-kami ...." Banyulingga tergagap, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Surya Yudha yang melihat Banyulingga ketakutan tertawa. Dia lantas berkata lada Mahasur
Ada beberapa kedai arak di pasar budak. Namun, hanya ada satu yang selalu buka sementara yang lainnya hanya buka ketika senja datang. Surya Yudha memasuki kedai arak bersama Gendon dan Banyulingga. Kedatangan mereka menarik perhatian terutama Gendon yang mengeluarkan aroma obat dari tubuhnya, ciri khas para tabib. Surya Yudha mengajak mereka ke lantai dua kedai tersebut dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Di lantai tersebut, hanya ada kelompok Surya Yudha. Suasana kedai tersebut juga sangat tenang tidak seperti kedai arak di malam hari.Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Tuan-tuan ingin pesan apa?" "Dua guci arak beras, daging dan kacang rebus." Surya Yudha menjawab dengan cepat. Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanan. "Den bagus, kita mau cari informasi gimana? Ini masih sepi, lagipula kita datang kepagian." Gendon berkata dan diangguki Banyulingga. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan."Mata Surya Yudha menerawang ke luar, memandang
Surya Yudha mendapat informasi tambahan mengenai pasar budak. Ternyata pasar budak dikuasai oleh sebuah organisasi yang bernama kelompok Harimau Besi. Pemuda itu juga mengetahui markas besar Harimau Besi."Bagus. Kita bisa melakukan penyerangan malam ini juga." Mahasura berdehem. Seolah menujukkan ketidaksetujuannya. Meski dia seorang budak, tetapi setelah mendapat nasihat bertubi-tubi dari Gendon, akhirnya Mahasura mau menerima identitasnya dulu, sebagai Paman dari Surya Yudha. "Paman, ada apa? Kau tidak setuju?" tanya Surya Yudha. "Surya, menyerang Markas Harimau Besi saat malam hari adalah ide paling buruk yang kita miliki." Mahasura berkata dengan tenang. Dia mengambil sebuah kendi dan meletakannya di atas meja. "Mereka sangat aktif pada malam hari. Kekuatan mereka berkumpul saat malam tiba. Menyerang saat tengah hari adalah pilihan terbaik." Mahasura mengambil sebuah cangkir dan meletakannya di bagian utara kendi."Ini adalah pintu utama yang dijaga oleh Harimau utara. Aku t
"Tuan, ada orang yang ingin bertemu dengan anda. Kami sudah berusaha untuk tetap menjaga ketenangan anda, tetapi mereka mengatakan jika anda akan menerima mereka dengan baik." Meski pelayan itu berkata dengan penuh senyuman, tetapi getaram di tangannya menunjukkan jika dia sedang gugup.Sementara itu, mendengar penjelasan pelayan itu, Surya Yudha mulai menebak-nebak siapakah orang yang ingin menemuinya itu. "Baiklah, aku akan menemui mereka."Pelayan itu mengangguk dan pergi. Surya Yudha juga turun mengikuti pelayan itu. Ketika sampai di lantai dasar, dia melihat dua orang yang sangat dia kenal. Yang satu terlihat ceria dan yang lainnya tampak kesal. "Den bagus!" Begitu melihat kedatangan Surya Yudha, pemuda bertubuh gempal itu segera berteriak memanggilnya. Surya Yudha tersenyum tipis. Sudah cukup lama sejak mereka terakhir kali bertemu. "Den bagus, wah den bagus keliatan makin gagah saja." Gendon menghampiri Surya Yudha dengan wajah cerianya. "Den bagus apa kabar?" "Sangat
Mahasura tentu saja bingung dengan reaksi yang Surya Yudha tunjukkan. Meski tidak tahu teknik apa yang pemuda itu gunakan, tetapi dia adalah orang yang paling tahu tentang akibat dari teknik tersebut. Dia yakin jika Surya Yudha baru saja memindahkan sedikit racun dari tubuhnya. Walau racun yang berpindah hanya sedikit, tetapi itu sudah mengurangi rasa sakit yang Mahasura derita, dan itu berarti rasa sakit itu berpindah pada Surya Yudha. Mahasura memang tahu jika ada teknik yang bisa menetralisir racun menggunakan tenaga dalam. Namun, dibutuhkan keahlian khusus dan tenaga dalam yang tinggi untuk bisa melakukannya. Selain itu, menetralkan tenaga dalam dan memindahkannya adalah hal yang sama sekali berbeda.Dia ingin bertanya tentang teknik yang baru saja Surya Yudha gunakan. Namun, dia tidak berani bertanya karena merasa tidak memiliki hak. Melihat kebingungan di wajah Mahasura, Surya Yudha tersenyum tipis. "Paman, tenang saja. Aku sudah menguasai teknik ini, jadi jangan khawatir te
Meski disebut sebagai pasar Budak, tetapi sebenarnya tempat ini layak disebut sebagai kota kecil. Ada banyak penginapan dan kedai makanan yang buka di tempat ini. Suasananya pun tak kalah ramai dengan kota kecil di wilayah lain Jalu Pangguruh. Surya Yudha membawa Banyulingga dan budak yang baru saja dia beli ke sebuah penginapan. Pemuda itu menyewa sebuah lantai di penginapan khusus untuk mereka bertiga. Dia sengaja menyewa satu lantai karena tidak ingin diganggu. Di dalam kamar terbesar di penginapan itu, tiga orang pria duduk melingkar di meja. Salah satu pemuda menatap nanar pria yang lain seperti ingin menangis. "Paman ... Paman Mahasura. Kami mencarimu ke seluruh hutan bahkan menyusuri jurang." Air mata Surya Yudha menetes. Budak yang baru saja dia beli adalah Mahasura, salah satu orang yang melatih Surya Yudha hingga menjadi petarung yang tangguh. Setahun lalu, Mahasura mendapat misi penting dari kerajaan. Namun, misi tersebut gagal dan semua orang di dalamnya mati. Surya Y
Surya Yudha kembali mengatur napasnya yang terengah-engah. Dengan menggunakan sebelah tangannya, Surya Yudha menyeka keringatnya. Melihat kondisi Banyulingga sekarang, dia merasa puas. "Bagaimana? Kau masih meremehkan pil milikku?" ucap Surya Yudha mengejek. Banyulingga menggeleng. "Aku berharap ini adalah kebodohanku yang terakhir." "Aku juga berharap seperti itu." Surya Yudha mengangguk setuju. Hal itu malah membuat Banyulingga tersenyum kecut. Saat Surya Yudha sudah mendapat kembali tenaganya, dia menemukan ada sesuatu yang aneh. Sebelumnya dia mengetahui jika Cakra miliknya tersegel oleh sesuatu yang berbentuk seperti cincin berwarna ungu pekat. Namun, saat ini cincin itu tampak retak seolah dikikis oleh sesuatu. 'Baiji, apa kau bisa menjelaskan ini kepadaku?' [Menjelaskan apa?]'Cakra milikku. Segelnya seperti retak.'[Bukankah itu bagus? Kau bisa menggunakan tenaga dalammu lagi jika bisa menghancurkan segel tersebut.]Surya Yudha tersenyum senang. Apa itu berarti dia tidak
Banyulingga menatap Surya Yudha dengan cemas. "Ada apa? Kenapa kau di sini?" tanya Surya Yudha keheranan saat melihat Banyulingga yang seperti menunggunya. "Kau sudah empat hari bertapa tapi tidak bangun-bangun. Kau bilang hanya memulihkan energi, kenapa begitu lama?""Empat hari?" Surya Yudha terkejut saat mengetahui waktu yang dia habiskan. "Gawat! Aku menghabiskan terlalu banyak waktu. Kita harus pergi ke pasar budak saat ini juga!"Surya Yudha bergegas bangkit dan menyiapkan kelengkapannya. Namun, suara Banyulingga berhasil menghentikannya. "Candrika tidak akan membiarkan kita pergi sebelum memeriksa kondisimu." "Aku baik-baik saja. Aku sudah sangat sehat." Surya Yudha menunjukkan tubuhnya. Dia memang tampak sangat sehat sekarang. Tanpa berkata-kata lagi, Surya Yudha mencengkeram bahu Banyulingga. Pemuda itu mengerahkan sumber energinya ke kaki dan melompat hingga keluar dari tempat itu. Ketika tubuhnya masih berada di udara, Surya Yudha bersiul. Ringkikan kuda menyahuti si