Pertempuran masih berlanjut dengan sengit. Raja Angkara kembali bangkit, orang yang menjabat sebagai tahta tertinggi di kerajaan itu mengambil pedangnya. Raja Angkara berlari menghampiri Raja Ambira. Raja Angkara menyabet Ambira dengan pedangnya hingga Ambira kembali jatuh. Ambira tergeletak di tanah, darah segar keluar dari bibirnya.
Angkara menginjak dada Ambira kencang membuat darah di mulut Ambira kembali keluar. Ambira sudah berada di ujung batas saat Angkara meletakkan pedang tepat ke arah jantungnya."Kamu yang menguji kesabaranku, Ambira. Sejak dulu kamu mengusik kerajaan Lembah yang bahkan tidak pernah sejengkal pun menginjak tanah kekuasaan Api," ucap Angkara.
"Bersiaplah Ambira," ujar Angkara menusukkan pedang tepat ke jantung Ambira.
Suara teriakan menggelegar terdengar kencang. Yan Lixin menolehkan kepalanya, pria itu berteriak nyaring melihat ayahnya tergeletak dengan darah yang mengalir dari berbagai arah. Yan Lixin menatap sekelilingnya, semua prajurit sudah tidak bernyawa. Yan Lixin berlari menghampiri ayahnya, tapi tendangan kuat ia dapatkan dari raja Angkara membuat tubuhnya terpental kencang. Tubuh Lan Yixin menubruk tembok pembatas dan tersungkur ke sana. Yan Lixin menyemburkan darahnya hingga mengenai seluruh bajunya.
Lan Feiyu menatap seluruh prajurit Api yang mati tanpa sisa. Pria itu kembali menyarungkan pedangnya, menatap Raja Angkara yang juga menatapnya.
"Wangga, bawa Raja ke dalam dan obati lukanya," titah Lan Feiyu.
Angkara menghentikan Wangga yang akan mendekat, Angkara berjalan tertarih mendekati anaknya. Lan Feiyu tidak sampai hati melihat ayahnya terluka parah. Lan Feiyu berjalan mendekati sang ayah juga. Tangan Lan Feiyu memegang tangan ayahnya yang penuh darah.
"Feiyu, terimakasih," ucap Angkara.
"Sudah semestinya," jawab Feiyu.
"Feiyu, soal kamu-"
"Aku akan mengambil syarat dari perjanjian kita. Aku tidak akan mengambil Tahta Raja," sela Feiyu dengan cepat.
"Hem." Raja Angkara mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku hanya minta restu dari ayah," ujar Feiyu menundukkan kepalanya.
"Jalanlah ke arah barat, ada padepokan bernama Mata Air sama seperti padepokan tempatmu. Terletak di Kota Papilio. Padepokan itu sudah hancur karena perebutan kekuasaan. Bangun padepokan itu kembali bersama Guru Li Ren. Guru Li Ren guru ayah dulu, mengabdilah padanya," ucap Angkara.
"Baik, ayah," jawab Feiyu. Feiyu merendahkan tubuhnya, pria itu meminta restu pada sang ayah dengan bersujud di bawah kaki ayahnya.
Tidak ada pilihan lain untuk Angkara kecuali memenuhi syarat anaknya. Seorang ksatria sejati tidak mengingkari janjinya. Lan Feiyu sudah membantunya, kini ada harga yang harus dia bayar.
"Berdirilah, nak!" titah Angkara. Lan Feiyu segera berdiri.
Lan Feiyu menatap istana yang masih berdiri megah, pria itu membuka kepalan tangannya. cahaya biru muncul dari sana. Angkara menatap sang anak dan sedikit memundurkan tubuhnya.
"Aku akan melindungi istana ini, tidak ada yang bisa masuk kecuali keluarga Lan," ujar Feiyu melemparkan cahaya biru itu ke istana. Cahaya biru yang terlempar menyebar ke seluruh istana. Angkara menatap istananya yang kini dikelilingi cahaya berwarna biru.
"Sabana, aku serahkan padepokan Mata Air padamu. Jaga mereka, jaga keluarga Lan, jangan biarkan perempuan dan anak-anak kecil menderita. Untuk Aixing ikut aku ke Papilio," kata Feiyu. Sabana dan Aixing menganggukkan kepalanya.
Lan Feiyu segera menjauhi ayahnya, meninggalkan Angkara, Wangga dan Sabana. Aixing mengikuti gurunya, ia sudah berjanji untuk terus mengabdi di mana pun gurunya berada.
Angkara menjatuhkan air matanya melihat kepergian anaknya. Putra satu-satunya yang selalu ia banggakan. Seketika penyesalan merasuki diri Angkara. Kutukan sudah keluar dari bibirnya, tapi anaknya masih menyelematkan istana.
"Aku mencabut kutukanku," batin Angkara memejamkan matanya.
****
Bertahun-tahun kemudian ....
Lan Feiyu membuka matanya dengan pelan tatkala selesai bermeditasi. Pria itu menurunkan kakinya dan berdiri dengan pelan. Lan Feiyu sudah berada di Kota Papilio, satu tahun yang lalu ia datang dan menemukan guru Li Ren dan membangun sama-sama padepokan Mata Air. Penerimaan murid baru pun sudah berlalu satu bulan yang lalu.
Di perjalanannya dari tanah kelahirannya ke kota Papilio, Lan Feiyu melakukan beberapa kali persinggahan dan membangun padepokan. Hingga pada akhirnya ia sampai di Mata Air. Mengabdikan diri pada Guru Li Ren.
Lan Feiyu mengambil satu buku di sampingnya, pria itu membuka halaman pertama dan membacanya. Hari-hari Lan Feiyu terasa indah dan lebih menyenangkan saat berada di Papilio. Tidak ada desakan menjadi raja, tidak ada desakan harus ini harus itu. Inilah hidup yang sebenarnya ia inginkan.
Di sisi lain, di balik danau kupu-kupu yang ada tidak jauh dari Padepokan Mata Air, ada seorang gadis yang tengah mengasah kemampuan pedangnya. Gadis itu menyabetkan pedang dan melompat dari satu batu ke batu lain dengan cekatan. Namun, saat melihat buah apel berwarna merah membuat fokus gadis itu teralih. Yan Zai Ziliu tersenyum miring, terbang mendekati pohon apel dan mengacungkan pedangnya ke arah sana.
"Akhhh kena kau," teriak Yan Zai Ziliu kencang tatkala pedangnya mengenai dua buah apel sekaligus. Yan Zai Ziliu atau biasa dipanggil Ziliu mendarat di tanah dengan sempurna seraya menangkap dua buah apelnya. Pedang yang tadi terlempar, dengan sendirinya masuk ke sarung pedangnya yang terselip di tubuh samping Ziliu.
Gadis dengan perawakan tinggi ramping, hidung mancung dan kulit seputih susu, terlihat sangat cantik apalagi rambut panjangnya. Gadis itu bernama Yan Zai Ziliu, seorang anak raja yang harus terdampar di kota Papilio. Yan Zai Ziliu tersenyum senang karena berhasil mendapatkan apel. Gadis itu membawa apelnya ke babatuan, merebahkan dirinya seraya memakan apelnya.
Setiap harinya, Yan Zai Ziliu akan belajar ilmu bela diri di tengah hutan Kota Papilio yang berada di balik danau kupu-kupu. Gadis itu belajar ilmu pedang dan mempunyai kekuatan cambuk emas yang tersimpan di dalam tangannya. Kekuatan dari keluarga Yan Zai Ziliu yang ditinggalkan untuk gadis itu. Yan Zai Ziliu sangat ingin mempelajari berbagai ilmu bela diri, sejak kecil ia hidup tertindas bersama sang ibu. Yan Zai Ziliu ingin menjadi kultivator hebat yang bisa menumpas segala ketidak adilan. Namun, sampai saat ini ia hanya bisa menguasai ilmu pedang dan cambuk emas. Untuk ilmu lainnya ia belum menguasainya.
"Hah, Andai padepokan Mata Air menerimaku," ucap Zizi dengan lesu. Zizi membuang biji apelnya ke sembarang arah.
Zizi sangat ingin berguru di Padepokan Mata Air. Namun ia tidak diterima di sana karena ia tidak mempunyai Adamas Core, atau semacam inti Berlian yang tertanam di tubuh, yang bisa digunakan untuk mengisi sumber kekuatan."Akhhhh ...." Zizi berteriak frustasi seraya berdiri. Terkadang Zizi merasa dunia tidak adil padanya. Ia hidup tertindas bersama sang ibu.
Yan Zai Ziliu lahir dan besar di tanah terpencil, berusaha hidup di tengah gunjingan orang-orang karena ibunya melahirkannya tanpa suami. Saat ia kecil ia berusaha menghidupi dirinya sendiri karena kakak laki-lakinya pergi entah kemana. Saat ia berusia lima tahun, kakak laki-lakinya pergi dari rumah, membawa pedangnya dan berkelana untuk mencari ilmu bela diri tanpa mengajaknya.
Kakaknya hanya meninggalkan seruling kecil untuknya. Seruling biasa yang biasa ia mainkan saat pikirannya mulai memberontak tentang keadilan. ZIzi menuju ke danau kupu-kupu, menuju ke jembatan di tengah danau yang dipenuhi bunga kertas di samping kanan kirinya.
Zizi mengambil seruling dari samping tubuhnya, mendekatkan ke bibirnya. Belum jua seruling itu ia tiup, anak-anak kecil penduduk samping danau segera mendekatinya. Kupu-kupu, capung dan burung cinta juga terbang mendekat ke gadis cantik itu. Di mana ada Yan Zai Ziliu, di situ ada aura cinta yang bertebaran di sekitarnya.
Lan Feiyu berjalan-jalan ke danau kupu-kupu. Sejak satu tahun yang lalu, ia ingin mendatangi dan singgah di danau yang terkenal dengan danau paling bening di kota Papilio itu. Namun ia tidak kunjung ada waktu untuk datang karena kesibukannya di padepokan. Guru Li Ren mengajarinya ilmu khusus dan mengharuskannya bermeditasi. Juga, banyaknya peraturan di Padepokan Mata Air yang harus ia patuhi.Hari ini Lan Feiyu mempunyai kesempatan untuk keluar. Dengan membawa pedang putihnya, Lan Feiyu berjalan pelan menuju ke danau Kupu-kupu. Baju putihnya dan ikat putih di tangannya membuat orang segan dengannya karena ikat putih di tangan itu melambangkan kehormatan seorang guru.Angin segar berhembus menerpa tubuh Lan Feiyu, rambut panjangnya tampak berkibar dengan indah. Saat kakinya menuju di pinggiran danau, matanya menangkap jembatan yang penuh dengan bunga kertas di kanan kirinya. Juga anak-anak kecil berkerumun di sana sembari tertawa riang. Lan Feiyu mambalikkan
Suara sabetan pedang yang beradu dengan angin terdengar sangat kencang di heningnya suasana di balik danau. Zizi berlatih pedang seorang diri, gadis itu tampak cekatan menggerakkan pedangnya. Yang menjadi korban Zizi adalah pohon-pohon kering yang tidak ada daunnya. ZIzi membabat habis pohon kering dengan lemparan pedangnya. Gadis itu benar-benar belum memikirkan cara yang tepat bagaimana bisa masuk ke Padepokan Mata Air. Guru Li Ren tidak akan membiarkan orang sepertinya masuk.Zizi melemparkan pedangnya ke pohon kering yang berada di ujung danau. Belum sempat pedangnya sampai, sebuah pedang lain menepis pedang Zizi hingga pedang Zizi jatuh ke tanah. Zizi menarik pedangnya dari kejauhan, pedang itu kembali sendiri ke tempatnya yang terselip di samping tubuh Zizi.Zizi menolehkan kepalanya, seorang pria berdiri tidak jauh darinya pun juga tengah menatapnya. Melihat itu, Zizi kembali menarik pedangnya, gadis itu berlari mengacungkan pedangnya. Pria asing itu
"Eh Lan Feiyu, ternyata kamu guru di padepokan Mata Air," ucap Zizi memukul pundak Lan Feiyu dengan pelan. Lan Feiyu sedikit menjauhkan tubuhnya."Kenapa kamu tidak masukin aku saja ke sana? Lan Feiyu, aku janji akan belajar dengan giat. Memberantas kejahatan dan melakukan kebaikan," ucap Zizi lagi meletakkan telapak tangannya di samping wajah seolah bersumpah."Lan Feiyu, bukan kah prinsip di Mata Air begitu? Angkat aku jadi muridmu, aku akan mengabdi padamu. Lan Feiyu, jadikan aku muridmu, ya." Zizi terus merengek meminta diangkat menjadi murid. Gadis itu memegang erat tangan Lan Feiyu dan menggoyang-goyangkan tangannya."Lan Feiyu!" panggil Zizi karena Lan Feiyu masih belum mengeluarkan sepatah kata pun."Tidak," jawab Lan Feiyu."Lan Feiyu, apa bedanya aku dengan murid yang lain?""Kamu tidak mempunyai-""Ya ya aku tahu aku tidak mempunyai Adamas Core. Hari ini juga, aku akan berangkat ke Gunung
Lan Feiyu kembali ke Padepokan Mata Air. Saat ini Lan Feiyu, Aixing dan Li Ren tengah berada di aula hening tempat mereka mengadakan perbincangan. Tidak hanya mereka bertiga, ada juga Li Haoxi, anak pertama dan satu-satunya dari guru Li Ren."Sejak satu bulan yang lalu, Yu Yulong mengirimkan mata-mata untuk mengawasi padepokan Mata Air," ucap Li Haoxi."Mereka mengirimkan burung kenari yang membuat gaduh di belakang padepokan," tambah pria itu."Kita bisa membunuhnya sekarang," ujar Aixing. Lan Feiyu menyenggol bahu Aixing kencang membuat Aixing mengatupkan bibirnya."Sebaiknya kita mengatur strategi untuk menangkap burung itu," ucap Li Haoxi."Tapi burung itu dikendalikan oleh Yu Yulong. Percuma kita menangkapnya kalau roh yang dikirim Yu Yulong diambil kembali," jelas Lan Feiyu.Li Ren menatap muridnya, pria paruh baya itu setuju dengan ucapan Lan Feiyu. Yu Yulong adalah pemimpin Sekte Yu, salah satu sek
Hari ini Lan Feiyu mulai melakukan perjalanannya untuk mendapatkan Lempeng Vi. Dengan Aixing dan Li Haoxi, Lan Feiyu mulai meninggalkan padepokan Mata Air. Lempeng Vi harus segera ditemukan dan disegel menjadi satu agar tidak menimbulkan perpecahan. Menghancurkan lempeng Vi menjadi delapan bagian nyatanya bukanlah pilihan yang tepat, karena lempeng itu masih bisa disatukan meski sudah dihancurkan menjadi delapan. Andai saat itu lempeng dihancurkan sampai menjadi abu, mungkin tidak akan ada peperangan yang dasyat. Lan Feiyu tidak akan membiarkan hal itu kembali terjadi.Prinsip Sekte Li, menegakkan kebenaran, menjaga perdamaian, melindungi yang lemah, kemanusiaan di atas segalanya, memerangi kebathilan, melakukan kebaikan. Untuk itu mereka akan mencari Lempeng Vi. Saat keluar mencari lempeng Vi, mereka sadar akan bahaya apa saja yang akan menghadang mereka. Namun, mereka seorang ksatria, tidak ada rasa takut sedikit pun selama mereka menegakkan kebaikan."Lan Feiy
Li Haoxi, Lan Feiyu dan Aixing sampai di daerah Saxum yang artinya daerah Batu. Di daerah terpencil itu ada gua batu raksaksa di sudut daerahnya. Semakin berbaya tempat, semakin aman tempat itu. Lan Feiyu yakin kalau tempat-tempat yang berbahaya adalah tempat di mana Lempeng Vi berada."Ada bahaya ... ada bahaya ...." Suara teriakan warga dari arah utara terdengar sangat kencang. Beberapa warga berlari sembari membawa obor di tangannya. Hari sudah mulai gelap, dan banyak anak-anak kecil menangis karena ketakutan."Tunggu!" Lan Feiyu menghentikan satu pria yang tengah berlari. Pria itu menepis tangan Lan Feiyu."Cepat, kita tidak ada waktu lagi, kita harus lari," ujar orang itu dengan panik. Lan Feiyu kembali meraih tangan pria itu saat pria itu akan berlari."Ada apa? kenapa mereka kabur?" tanya Lan Feiyu."Batu raksaksa di gua batu hidup lagi," jawabnya menepis tangan Lan Feiyu dan kembali kabur.Suara ri
Li Haoxi masih menyerang Xi Lang yang semakin membabi buta. Xi Lang seorang Villain yang licin bak belut. Xi Lang bisa menyamar menjadi apa saja dengan mantra sihir yang dia punyai. Xi Lang terus menyabetkan pedangnya pada Li Haoxi, beberapa kali juga pria itu melepas sihirnya untuk Tuan Muda Li. Li Haoxi menghindari beberapa serangan dan membalas serangan Xi Lang. Sesekali Li Haoxi menatap ke belakang, melihat Lan Feiyu dan Aixing yang menuju ke gua batu. Bagaimana pun juga Lempeng Vi harus cepat ditemukan dan disegel."Menyerah saja, Li Haoxi!" ucap Xi Lang tersenyum sinis. Senyum sinis dan tawa menyebalkan menjadi ciri khas Xi Lang."Kenapa tidak kamu saja yang menyerah, Xi Lang," jawab Li Haoxi."Bedebah!""Aku sudah sering mendapatkan gangguan darimu. Untuk ke sekian kali aku akan meladenimu," ujar Li Haoxi melemparkan pedang ke perut Xi Lang. Xi Lang ingin menghindar, tapi kalah cepat dengan pedang Li Haoxi yang menggores per
Xi Lang menatap Kai An Yu yang mengobati perutnya dengan telaten. Setelah menaburkan obat, Kai An Yu mengambil selembar kain untuk menutupi tubuh Xi Lang. "Lukamu akan sembuh dalam waktu satu minggu. Untuk sementara berbaringlah di sini, aku akan membereskan mayat keluargaku," ucap Kai An Yu.Xi Lang tidak bersuara, pria itu masih menatap Kai An Yu yang wajahnya tampak sayu. Meski perempuan itu mengusung senyum, terlihat sekali mata Kai An Yu berkaca-kaca. Kai An Yu keluar dar rumahnya, ada beberapa warga yang sudah membantu menyingkirkan mayat-mayat yang sudah tidak bernyawa. Kai An Yu menatap ayahnya, ayahnya lah dalang di balik orang-orang tidak bersalah yang saat ini mati. Dulu ibunya juga menjadi korban keserakahan ayahnya hingga ibunya meninggal saat ia masih berusia lima tahun. Kai An Yu dibesarkan oleh ayahnya, saat remaja Kai An Yu memutuskan untuk menjadi Kultivator wanita. Kai An Yu ikut pemburuan malam bersama ayah dan para klan Kai. Dan sebelum kejadian ini