"Raja, Pangeran Lan Feiyu mengirim pesan bahwa kerajaan Api akan datang menyerang," ucap Wangga pada Angkara.
"Sejak bertahun-tahun, Raja Ambira ingin mengakusisi tanah kekuasaan Lembah. Sekarang mereka berulah lagi," jelas Wangga lagi.
"Siapkan pasukan!" titah Angkara.
"Pangeran bilang besok malam Ambira akan sampai."
Angkara menganggukkan kepalanya. Lan Feiyu selalu tahu siapa saja yang akan menyerang kerajaan mereka. Dengan ilmu yang dimilikinya membuat Lan Feiyu cukup peka bila ada serangan. Musuh pun tidak akan bertahan lama bila Lan Feiyu ikut dalam peperangan. Dulu sebelum ada Lan Feiyu, Angkara membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyatakan keberhasilannya. Namun saat Lan Feiyu tumbuh dewasa, tidak butuh waktu lama, musuh sudah berjatuhan bersimbah darah.
"Pangeran akan datang membantu, tapi dengan syarat," ujar Wangga menundukkan kepalanya.
"Syarat apa yang diajukan?"
"Setelah memenangkan peperangan, Pangeran akan benar-benar pergi dari Istana. Tidak mau dinobatkan sebagai raja," jawab Wangga.
"Kita hadapi serangan dari Kerajaan Api sendiri. Kita tidak butuh bantuan Lan Feiyu. Setelah peperangan selesai, bawa paksa Lan Feiyu untuk menghadapku," ucap Angkara.
"Anda yakin? Selama ini kita selalu mengandalkan Pangeran," ucap Wangga.
"Yakin," jawab Angkara dengan tegas.
Angkara menuju ke halaman depan istana lembah untuk menyiapkan pasukan. Kabar bahwa Lan Feiyu tidak ikut serta di peperangan bagai hembusan air panas yang membuat rasa percaya diri mereka runtuh. Lan Feiyu terbiasa ikut dalam setiap peperangan hingga tidak ada yang bisa mengalahkan pasukan kuat Raja Angkara. Namun untuk pertama kalinya semuanya berbeda.
Satu malam satu hari pasca diterimanya surat dari Lan Feiyu, pasukan Kerajaan Api datang menghadap kerajaan lembah. Raja Ambira menunggangi kuda putihnya, menjalankan memasuki gerbang megah istana lembah. Raja Angkara sudah menyambut di depan dengan pasukan yang berjejer rapi di belakangnya. Pedang berada di tangan kirinya mengisyaratkan siap berperang.
"Selamat datang Raja Ambira," ucap Angkara dengan tatapan yang menghunus tajam.
"Serahkan separuh tanah kekuasaan Lembah pada Api!" ucap Ambira tanpa berbasa-basi.
"Kamu mau menjarah dengan hormat hingga ijin dahulu?" tanya Angkara.
"Serang!" teriak Ambira dengan kencang.
Dua pasukan berbaju putih dan merah saling menyerang satu sama lain dengan senjata yang mereka bawa. Pun dengan Kedua raja yang saling berhadapan. Ambira turun dari kudanya dan mengayunkan pedagnya pada Angkara. Angkara balik menyerang Ambira. Dua raja dari kerajaan Lembah dan Api saling menyerang menumbangkan satu sama lain.
Para prajurit beradu pedang dan kekuatan mereka. Anak-anak, para perempuan penduduk istana bersembunyi di tempat khusus. Penjarahan seperti ini bukan sekali dilakukan. Tanah kekuasaan Angkara yang luas membuat kerajaan lain ingin mengakusisinya. Belum lagi kekayaan Kerajaan Lembah juga yang paling diincar. Untuk meluaskan kekuasaannya, musuh berbondong datang untuk mencapai tujuan mereka.
Banyak yang sudah berguguran setelah terompet tanda perang dimulai. Suara ayunan pedang, pukulan dan kekuatan sihir beradu jadi satu. Banyak prajurit yang tumbang dengan darah yang menyembur dari mana saja.
"Akhhh!" teriak Raja Angkara saat kakinya tersabet pedang. Angkara menatap Ambira dengan tajam.
"Satu luka dibalas dengan dua luka," ucap Angkara mendesis. Angkara masih bisa berdiri, pria itu menerjang Ambira dan menyerang Ambira dengan membabi buta.
Sampai titik darah penghabisan, ia akan menjaga kerajaannya. Tidak akan ia beri kesempatan satu orang pun untuk mengambil alih kekuasaannya. Angkara melibaskan pedangnya tepat mengenai tangan kiri Ambira. Ambira jatuh terduduk, hal itu tidak disia-siakan oleh Angkara. Angkara mengacungkan pedangnya ke leher Ambira.
"Menyerah saja, Ambira," ucap Angakara dengan senyum menghiasi wajahnya.
"Sampai mati aku tidak akan menyerah," desis Ambira meraih pedangnya yang terjatuh.
"Begitu pun dengan kamu, sampai titik darah penghabisan, aku tidak akan membiarkanmu memasuki serambi istana," jawab Angkara mengayunkan pedangnya pada kepala Ambira.
Prang!
Bugh!
Suara dua pedang yang beradu dan tendangan terdengar sangat keras. Angkara jatuh telentang karena tendangan yang sangat kuat. Darah segar keluar dari mulutnya.
Seorang pria berambut panjang dengan baju merah berdiri mengacungkan pedangnya pada Angkara. Pria itu yang menghadang pedang dan menendang Raja Angkara.
"Yan Lixin," desis Angkara tatkala melihat Yan Lixin berdiri tegap di depannya. Yan Lixin menganut ilmu sihir hitam yang sangat mematikan.
Yan Lixin hanya pantas disandingkan dengan Lan Feiyu, karena kedua pangeran itu memiliki kekuatan yang imbang. Bedanya Yan Lixin menganut ilmu hitam, sedangkan Yan Feiyu menganut ilmu putih.
Yan Lixin membuka tangannya, asap hitam keluar dari sana. Asap hitam mengepul dan berbau anyir darah. Yan Lixin melemparnya ke udara, tidak menunggu waktu lama para prajurit tumbang dengan tubuh yang terlempar. Angkara memundurkan tubuhnya.
"Panggil Lan Feiyu!" pinta Angkara dalam hati yang dapat ditangkap Wangga. Wangga segera mengirimkan isyaratnya pada Lan Feiyu.
Di sisi lain, Lan Feiyu tengah berdiri di depan padepokan dengan mata yang terus menatap ke langit. Di sampingnya Sabana dan Axian berdiri sembari membawa pedangnya masing-masing.
"Guru, Wangga memberikan isyarat kalau mereka kuwalahan," ucap Sabana.
"Apa kita ikut ke sana?" tanya Axian.
"Tidak perlu," jawab Lan Feiyu.
"Tapi guru, bau anyir darahnya sampai ke sini. Pasukan Lembah sudah banyak yang tumbang," ujar Axian.
"Tidak perlu," jawab Lan Feiyu lagi.
Lan Feiyu masih menatap langit. Ia tidak bermaksud mengabaikan Raja Angkara. Hanya saja, terkadang untuk mencapai suatu tujuan, harus ada rasa egois meski sedikit. Lan Feiyu memejamkan matanya. Tatkala mata itu terpejam, Lan Feiyu mendengat isyarat dari ayahnya.
"Aku akan mengambulkan permintaanmu. Aku tidak akan memaksamu menjadi raja. Datanglah, mereka sudah mulai menjarah istana dan ada perempuan juga anak kecil di sana."
Lan Feiyu membuka matanya, pria itu melompat dan terbang bersama angin. Sabana dan Axian pun demikian, kedua pria itu segera melompat dan terbang menyusul gurunya.
Suara pedang dan teriakan dari kedua belah prajurit masih terdengar nyaring. Begitu pun dengan Yan Lixin yang berusaha menumbangkan Angkara. Darah segar sudah membasahi Angkara, tapi Angkara tidak selemah itu. Angkara masih berusaha menyerang meski tenaganya sudah habis-habisan.
"Datanglah ke neraka, Angkara!" teriak Lixin menyabetkan cambuk sihirnya ke Angkara.
"Arghhh!" Angkara berteriak kencang, tubuhnya berguling hingga darah yang ada di tubunya bercampur dengan tanah.
Lixin tersenyum penuh kemenangan. Pria itu kembali mengacungkan cambuknya. Namun terhenti saat angin berhembus dengan kencang menerbangkan pedang-pedang para prajurit yang terjatuh. Ratusan pedang itu berdiri dan menyerang pasukan Api dengan membabi buta. Yan Lixin mencoba menajamkan penglihatannya. Matanya membulat saat melihat Lan Feiyu terjun bebas dari atas hingga tepat berdiri di tanah. Lan Feiyu berdiri tegap, mengangkat pedangnya bersiap menyerang Yan Lixin.
Melihat Feiyu yang mengeluarkan pedang, Lixin pun mengangkat tangannya, mengeluarkan ilmu sihirnya.
"Yan Lixin, ternyata kamu hanya seorang pengecut," ucap Lan Feifei.
"Bedebah, kau," jawab Lixin."Aku menggunakan pedang, dan kamu menggunakan ilmu sihir?" tanya Feiyu.
Lixin menurunkan tangannya. Pria itu menarik pedangnya yang ada di tubuh belakangnya. Lixin maju menyerang Lan Feiyu. Dengan cekatan Lan Feiyu menghadang pedang Lixin, pria itu balas menyerang Yan Lixin. Melihat banyaknya prajurit yang mati dan bercucuran darah, Lan Feiyu tampak beringas menyerang Yan Lixin. Semua pedang yang sudah diberi ilmu sihir Lan Feiyu menyerang habis prajurit dari kerajaan Api. Tidak butuh waktu lama, tidak ada satu pun prajurit yang tersisa.
Pertumpahan darah kali ini terasa lebih menghancurkan daripada peperangan yang lalu-lalu. Lixin mencoba membalas serangan Lan Feiyu. Diam-diam pria itu menggunakan ilmu sihirnya di pedang juga. Namun, semua terpatahkan dengan kekuatan Lan Feiyu.Pertempuran masih berlanjut dengan sengit. Raja Angkara kembali bangkit, orang yang menjabat sebagai tahta tertinggi di kerajaan itu mengambil pedangnya. Raja Angkara berlari menghampiri Raja Ambira. Raja Angkara menyabet Ambira dengan pedangnya hingga Ambira kembali jatuh. Ambira tergeletak di tanah, darah segar keluar dari bibirnya.Angkara menginjak dada Ambira kencang membuat darah di mulut Ambira kembali keluar. Ambira sudah berada di ujung batas saat Angkara meletakkan pedang tepat ke arah jantungnya."Kamu yang menguji kesabaranku, Ambira. Sejak dulu kamu mengusik kerajaan Lembah yang bahkan tidak pernah sejengkal pun menginjak tanah kekuasaan Api," ucap Angkara."Bersiaplah Ambira," ujar Angkara menusukkan pedang tepat ke jantung Ambira.Suara teriakan menggelegar terdengar kencang. Yan Lixin menolehkan kepalanya, pria itu berteriak nyaring melihat ayahnya tergeletak dengan darah yang mengalir dari berbagai arah. Yan Lixin me
Lan Feiyu berjalan-jalan ke danau kupu-kupu. Sejak satu tahun yang lalu, ia ingin mendatangi dan singgah di danau yang terkenal dengan danau paling bening di kota Papilio itu. Namun ia tidak kunjung ada waktu untuk datang karena kesibukannya di padepokan. Guru Li Ren mengajarinya ilmu khusus dan mengharuskannya bermeditasi. Juga, banyaknya peraturan di Padepokan Mata Air yang harus ia patuhi.Hari ini Lan Feiyu mempunyai kesempatan untuk keluar. Dengan membawa pedang putihnya, Lan Feiyu berjalan pelan menuju ke danau Kupu-kupu. Baju putihnya dan ikat putih di tangannya membuat orang segan dengannya karena ikat putih di tangan itu melambangkan kehormatan seorang guru.Angin segar berhembus menerpa tubuh Lan Feiyu, rambut panjangnya tampak berkibar dengan indah. Saat kakinya menuju di pinggiran danau, matanya menangkap jembatan yang penuh dengan bunga kertas di kanan kirinya. Juga anak-anak kecil berkerumun di sana sembari tertawa riang. Lan Feiyu mambalikkan
Suara sabetan pedang yang beradu dengan angin terdengar sangat kencang di heningnya suasana di balik danau. Zizi berlatih pedang seorang diri, gadis itu tampak cekatan menggerakkan pedangnya. Yang menjadi korban Zizi adalah pohon-pohon kering yang tidak ada daunnya. ZIzi membabat habis pohon kering dengan lemparan pedangnya. Gadis itu benar-benar belum memikirkan cara yang tepat bagaimana bisa masuk ke Padepokan Mata Air. Guru Li Ren tidak akan membiarkan orang sepertinya masuk.Zizi melemparkan pedangnya ke pohon kering yang berada di ujung danau. Belum sempat pedangnya sampai, sebuah pedang lain menepis pedang Zizi hingga pedang Zizi jatuh ke tanah. Zizi menarik pedangnya dari kejauhan, pedang itu kembali sendiri ke tempatnya yang terselip di samping tubuh Zizi.Zizi menolehkan kepalanya, seorang pria berdiri tidak jauh darinya pun juga tengah menatapnya. Melihat itu, Zizi kembali menarik pedangnya, gadis itu berlari mengacungkan pedangnya. Pria asing itu
"Eh Lan Feiyu, ternyata kamu guru di padepokan Mata Air," ucap Zizi memukul pundak Lan Feiyu dengan pelan. Lan Feiyu sedikit menjauhkan tubuhnya."Kenapa kamu tidak masukin aku saja ke sana? Lan Feiyu, aku janji akan belajar dengan giat. Memberantas kejahatan dan melakukan kebaikan," ucap Zizi lagi meletakkan telapak tangannya di samping wajah seolah bersumpah."Lan Feiyu, bukan kah prinsip di Mata Air begitu? Angkat aku jadi muridmu, aku akan mengabdi padamu. Lan Feiyu, jadikan aku muridmu, ya." Zizi terus merengek meminta diangkat menjadi murid. Gadis itu memegang erat tangan Lan Feiyu dan menggoyang-goyangkan tangannya."Lan Feiyu!" panggil Zizi karena Lan Feiyu masih belum mengeluarkan sepatah kata pun."Tidak," jawab Lan Feiyu."Lan Feiyu, apa bedanya aku dengan murid yang lain?""Kamu tidak mempunyai-""Ya ya aku tahu aku tidak mempunyai Adamas Core. Hari ini juga, aku akan berangkat ke Gunung
Lan Feiyu kembali ke Padepokan Mata Air. Saat ini Lan Feiyu, Aixing dan Li Ren tengah berada di aula hening tempat mereka mengadakan perbincangan. Tidak hanya mereka bertiga, ada juga Li Haoxi, anak pertama dan satu-satunya dari guru Li Ren."Sejak satu bulan yang lalu, Yu Yulong mengirimkan mata-mata untuk mengawasi padepokan Mata Air," ucap Li Haoxi."Mereka mengirimkan burung kenari yang membuat gaduh di belakang padepokan," tambah pria itu."Kita bisa membunuhnya sekarang," ujar Aixing. Lan Feiyu menyenggol bahu Aixing kencang membuat Aixing mengatupkan bibirnya."Sebaiknya kita mengatur strategi untuk menangkap burung itu," ucap Li Haoxi."Tapi burung itu dikendalikan oleh Yu Yulong. Percuma kita menangkapnya kalau roh yang dikirim Yu Yulong diambil kembali," jelas Lan Feiyu.Li Ren menatap muridnya, pria paruh baya itu setuju dengan ucapan Lan Feiyu. Yu Yulong adalah pemimpin Sekte Yu, salah satu sek
Hari ini Lan Feiyu mulai melakukan perjalanannya untuk mendapatkan Lempeng Vi. Dengan Aixing dan Li Haoxi, Lan Feiyu mulai meninggalkan padepokan Mata Air. Lempeng Vi harus segera ditemukan dan disegel menjadi satu agar tidak menimbulkan perpecahan. Menghancurkan lempeng Vi menjadi delapan bagian nyatanya bukanlah pilihan yang tepat, karena lempeng itu masih bisa disatukan meski sudah dihancurkan menjadi delapan. Andai saat itu lempeng dihancurkan sampai menjadi abu, mungkin tidak akan ada peperangan yang dasyat. Lan Feiyu tidak akan membiarkan hal itu kembali terjadi.Prinsip Sekte Li, menegakkan kebenaran, menjaga perdamaian, melindungi yang lemah, kemanusiaan di atas segalanya, memerangi kebathilan, melakukan kebaikan. Untuk itu mereka akan mencari Lempeng Vi. Saat keluar mencari lempeng Vi, mereka sadar akan bahaya apa saja yang akan menghadang mereka. Namun, mereka seorang ksatria, tidak ada rasa takut sedikit pun selama mereka menegakkan kebaikan."Lan Feiy
Li Haoxi, Lan Feiyu dan Aixing sampai di daerah Saxum yang artinya daerah Batu. Di daerah terpencil itu ada gua batu raksaksa di sudut daerahnya. Semakin berbaya tempat, semakin aman tempat itu. Lan Feiyu yakin kalau tempat-tempat yang berbahaya adalah tempat di mana Lempeng Vi berada."Ada bahaya ... ada bahaya ...." Suara teriakan warga dari arah utara terdengar sangat kencang. Beberapa warga berlari sembari membawa obor di tangannya. Hari sudah mulai gelap, dan banyak anak-anak kecil menangis karena ketakutan."Tunggu!" Lan Feiyu menghentikan satu pria yang tengah berlari. Pria itu menepis tangan Lan Feiyu."Cepat, kita tidak ada waktu lagi, kita harus lari," ujar orang itu dengan panik. Lan Feiyu kembali meraih tangan pria itu saat pria itu akan berlari."Ada apa? kenapa mereka kabur?" tanya Lan Feiyu."Batu raksaksa di gua batu hidup lagi," jawabnya menepis tangan Lan Feiyu dan kembali kabur.Suara ri
Li Haoxi masih menyerang Xi Lang yang semakin membabi buta. Xi Lang seorang Villain yang licin bak belut. Xi Lang bisa menyamar menjadi apa saja dengan mantra sihir yang dia punyai. Xi Lang terus menyabetkan pedangnya pada Li Haoxi, beberapa kali juga pria itu melepas sihirnya untuk Tuan Muda Li. Li Haoxi menghindari beberapa serangan dan membalas serangan Xi Lang. Sesekali Li Haoxi menatap ke belakang, melihat Lan Feiyu dan Aixing yang menuju ke gua batu. Bagaimana pun juga Lempeng Vi harus cepat ditemukan dan disegel."Menyerah saja, Li Haoxi!" ucap Xi Lang tersenyum sinis. Senyum sinis dan tawa menyebalkan menjadi ciri khas Xi Lang."Kenapa tidak kamu saja yang menyerah, Xi Lang," jawab Li Haoxi."Bedebah!""Aku sudah sering mendapatkan gangguan darimu. Untuk ke sekian kali aku akan meladenimu," ujar Li Haoxi melemparkan pedang ke perut Xi Lang. Xi Lang ingin menghindar, tapi kalah cepat dengan pedang Li Haoxi yang menggores per