"Kutukan yang kamu katakan bisa membuat Lan Feiyu menderita suatu saat nanti," ucap Poetry, Permaisuri Sang raja.
Angkara hanya diam, pemegang tahta tertinggi kerajaan itu hanya menatap lurus ke depan seraya menikmati hawa hangat perapian. Saat ini Raja dan istrinya tengah berada di perapian, Angkara mengambil minuman dan meneguknya dengan cepat.
"Tarik kembali kutukanmu. Cepat!" desak Peotry lagi.
"Apa yang sudah keluar dari mulutku tidak bisa keluar lagi," jawab Angkara.
"Kamu sudah melakukan kesalahan besar. Apa kamu tidak ingat, kamu sudah mendapatkan kalung dari Dewa. Apapun yang kamu ucapkan akan benar terjadi. Kalau itu terjadi pada Lan Feiyu, siapa yang akan bertanggung jawab?"
"Lan Feiyu pantas mendapatkannya. Dia Putra satu-satunya keturunanku, tapi tidak pernah mau menuruti perintahku. Sekarang dia sudah pergi dari istana."
"Dia tidak akan pergi. Aku yakin dia masih di sekitar sini, cari dia, ajak pulang!" Poetry terus mendesak suaminya.
Meski perasaan Poetry selalu tergores karena sikap Lan Feiyu, tetapi kalau Feiyu mendapat kutukan, hatinya akan terasa lebih sakit. Selama ini Feiyu tidak pernah menurut bila dinobatkan menjadi raja, tapi Feiyu selalu melindungi istana saat ada kelompok yang mengganggu. Dengan ilmu bela dirinya, Feiyu juga melatih para prajurit hingga prajurit dari kerajaan Lembah menjadi prajurit paling kuat.
Hari ini ia mendengar kutukan dari bibir suaminya membuat perasaannya jauh lebih terluka. Hari sudah gelap, tapi Feiyu tidak menunjukkan batang hidungnya. Suara guntur yang menggelegar membuat Poetry segera menuju ke luar, dengan langkah tergesa-gesa wanita cantik itu keluar ruang perapian. Hujan turun dengan deras dengan kilat yang mmenyambar-nyambar.
"Lan Feiyu, kembalilah," bisik Poetry menatap langit yang sangat gelap. Kilatan petir itu terus menyambar-nyambar membuat Poetry mengeratkan bajunya.
Poetry mendapatkan kutukan dari Dewi Keabadian bahwa dia hanya punya satu anak. Dan saat anak satu-satunya pergi, ia merasa sendirian di sini.
Di sisi lain, Lan Feiyu kembali menyusuri hutan belantara. Seluruh tubuh Lan Feiyu basah kuyup, pria itu menunggangi kudanya dengan pelan. Menikmati air yang membasahi seluruh tubuhnya. Suara gemuruh guntur dan kilatan petir tidak membuat Lan Feiyu takut. Pria itu tidak pernah takut pada apapun.
Sedikit pun Lan Feiyu tidak tertekan dengan kutukan yang digaungkan raja. Lan Feiyu tidak pernah percaya apapun yang keluar dari bibir Sang Raja. Saat ini Lan Feiyu ingin kembali ke balik danau, di mana ada padepokan tempat tinggalnya. Ia membangun padepokan kecil, ada lima puluh murid yang tinggal di sana bersama dirinya.
Lan Feiyu tidak pernah jatuh cinta pada siapapun. Ia juga tidak tahu bagaimana definisi cinta sejati yang dikatakan ayahnya. Baginya, hidup sendiri sudah membuatnya tenang, buat apa harus berpasangan yang belum tentu bisa membuatnya senang juga.
Lan Feiyu sampai di padepokannya. Di sana tampak sepi, hanya ada dua murid yang duduk di depan padepokan sembari menatap hujan dengan pandangan kosong. Pria itu turun dari kudanya dan memasukkan kudanya ke tempat teduh. Lan Feiyu menatap langit yang tampak gelap, dalam kedipan matanya, hujan itu reda seketika. Awan mendung yang membuat suasana gelap berpindah ke arah timur.
Aixing dan Sabana yang tengah duduk memandangi hujan pun dengan spontan menolehkan kepalanya pada Lan Feiyu.
"Guru, kenapa hujannya dihentikan?" tanya Aixing sembari berdiri. Aixing dan Sabana dua murid Lan Feiyu yang paling besar. Mereka yang paling lama ikut dan mengabdi pada Lan Feiyu.
"Sudah cukup kalian menatap hujan," jawab Lan Feiyu. Lan Feiyu mempunyai kekuatan memindahkan hujan. Kini padepokan sudah kering dan awan hitam di langit sudah pergi. Meski langit tetap gelap, setidaknya tidak segelap tadi saat hujan.
"Guru, apakah guru akan meninggalkan kami?" tanya Sabana yang mendekat pada Lan Feiyu.
Keresahan Aixing, Sabana dan lainnya sama. Mereka resah membayangkan Lan Feiyu dinobatkan menjadi raja. Kalau Lan Faiyu menjadi raja, bagaimana nasib semua murid yang bergantung pada Lan Feiyu. Mereka datang dari berbagai daerah dan berguru pada Lan Feiyu, tapi akhir-akhir ini mereka mendengar kabar simpang siur kalau Lan Feiyu akan dinobatkan menjadi raja.
Lan Feiyu menatap Sabana dan Aixing dengan lekat. Mereka berdua dan seluruh murid yang ada di Padepokan Lacus yang didirikan Lan Feiyu lah yang menjadi pertimbangan besar Feiyu untuk menolak menjadi raja. Feiyu tidak bisa melepas anak muridnya yang belum sepenuhnya menguasi ilmu bela diri. Kalau ia menjadi raja, ia tidak bisa mengajar lagi. Dalam hati Lan Feiyu sudah berjanji untuk mengabdikan diri pada orang-orang lemah dan mengajari mereka ilmu bertarung.
"Guru, kami senang dengan penobatan guru menjadi raja," ujar Aixing menundukkan kepalanya.
"Aixing, Sabana, katakan pada teman-teman kalian, aku tidak akan menerima tahta itu," ucap Lan Feiyu.
Angin segar seolah menerjang Aixing dan Sabana, mereka saling berpandangan dan mengusung senyum bahagianya.
"Aku akan terus berada di sini. Bahkan bila aku mati, aku pastikan mati dalam keadaan menjadi guru kalian, bukan Raja kerajaan lembah," ujar Lan Feiyu lagi.
"Terimakasih guru, terimakasih banyak," ucap Aixing dan Sabana dengan kompak. Mereka pamit undur diri untuk masuk dan memberikan kabar penting itu pada teman-temannya.
Sesaat muridnya pergi, Lan Feiyu mengusung senyum tipisnya. Pria itu kembali menatap langit malam yang gelap. Ia sudah mendedikasikan dirinya di padepokan, ia tidak akan mengingkari sumpahnya sendiri. Pun bila ia tidak memiliki pasangan selama seribu tahun kedepan, itu tidak menjadi masalahnya.
Setelah puas memandangi langit, Lan Feiyu segera pergi ke kamarnya. Pria itu menuju ke meja besar di mana ada kertas yang membentang lebar. Di kertas itu ada gambaran tangan Lan Feiyu. Pria itu mengambil bulu burung dara dan mencelupkan ke tinta, menggoreskan ke kertas itu. Raut Lan Feiyu tampak serius, matanya menatap tajam setiap goresan yang ia ciptakan.
"Akhh," pekik Lan Feiyu saat tangannya kehilangan kendali, satu helai bulu itu terlepas dari tangannya.
Lan Feiyu terdiam sejenak, matanya terpejam dan menajamkan telinganya. Lan Feiyu sangat peka dengan suara-suara yang ada di sekitarnya, pun dari jarak ratusan kilo meter. Pria itu mempunyai kemampuan yang lebih dari manusia lain.
Suara segerombol kuda yang berlari menginjak tanah dan dedaunan kering terdengar di telinga Lan Feiyu. Pria itu semakin menajamkan pendengarannya.
"Sabana, Aixing!" panggil Lan Feiyu dengan kencang. Tidak menunggu waktu lama, dua muridnya segera menghadap.
"Kirimkan pesan ke istana, ada kerajaan lain yang datang menyerang. Suruh Wexian untuk mengirimkan ini ke istana," ucap Lan Feiyu menggulung kertas lebarnya dan memberikan pada Aixing. Aixing menerimanya.
"Kerajaan mana yang menyerang, Guru?" tanya Sabana.
"Kerajaan Api," jawab Lan Feiyu mengepalkan tangannya dengan kuat. Lan Feiyu memukulkan kepalan tangannya ke meja, membuat meja besar itu retak hingga tidak butuh waktu lama terbelah menjadi beberapa bagian.
"Raja, Pangeran Lan Feiyu mengirim pesan bahwa kerajaan Api akan datang menyerang," ucap Wangga pada Angkara."Sejak bertahun-tahun, Raja Ambira ingin mengakusisi tanah kekuasaan Lembah. Sekarang mereka berulah lagi," jelas Wangga lagi."Siapkan pasukan!" titah Angkara."Pangeran bilang besok malam Ambira akan sampai."Angkara menganggukkan kepalanya. Lan Feiyu selalu tahu siapa saja yang akan menyerang kerajaan mereka. Dengan ilmu yang dimilikinya membuat Lan Feiyu cukup peka bila ada serangan. Musuh pun tidak akan bertahan lama bila Lan Feiyu ikut dalam peperangan. Dulu sebelum ada Lan Feiyu, Angkara membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyatakan keberhasilannya. Namun saat Lan Feiyu tumbuh dewasa, tidak butuh waktu lama, musuh sudah berjatuhan bersimbah darah."Pangeran akan datang membantu, tapi dengan syarat," ujar Wangga menundukkan kepalanya."Syarat apa yang diajukan?""Setelah memena
Pertempuran masih berlanjut dengan sengit. Raja Angkara kembali bangkit, orang yang menjabat sebagai tahta tertinggi di kerajaan itu mengambil pedangnya. Raja Angkara berlari menghampiri Raja Ambira. Raja Angkara menyabet Ambira dengan pedangnya hingga Ambira kembali jatuh. Ambira tergeletak di tanah, darah segar keluar dari bibirnya.Angkara menginjak dada Ambira kencang membuat darah di mulut Ambira kembali keluar. Ambira sudah berada di ujung batas saat Angkara meletakkan pedang tepat ke arah jantungnya."Kamu yang menguji kesabaranku, Ambira. Sejak dulu kamu mengusik kerajaan Lembah yang bahkan tidak pernah sejengkal pun menginjak tanah kekuasaan Api," ucap Angkara."Bersiaplah Ambira," ujar Angkara menusukkan pedang tepat ke jantung Ambira.Suara teriakan menggelegar terdengar kencang. Yan Lixin menolehkan kepalanya, pria itu berteriak nyaring melihat ayahnya tergeletak dengan darah yang mengalir dari berbagai arah. Yan Lixin me
Lan Feiyu berjalan-jalan ke danau kupu-kupu. Sejak satu tahun yang lalu, ia ingin mendatangi dan singgah di danau yang terkenal dengan danau paling bening di kota Papilio itu. Namun ia tidak kunjung ada waktu untuk datang karena kesibukannya di padepokan. Guru Li Ren mengajarinya ilmu khusus dan mengharuskannya bermeditasi. Juga, banyaknya peraturan di Padepokan Mata Air yang harus ia patuhi.Hari ini Lan Feiyu mempunyai kesempatan untuk keluar. Dengan membawa pedang putihnya, Lan Feiyu berjalan pelan menuju ke danau Kupu-kupu. Baju putihnya dan ikat putih di tangannya membuat orang segan dengannya karena ikat putih di tangan itu melambangkan kehormatan seorang guru.Angin segar berhembus menerpa tubuh Lan Feiyu, rambut panjangnya tampak berkibar dengan indah. Saat kakinya menuju di pinggiran danau, matanya menangkap jembatan yang penuh dengan bunga kertas di kanan kirinya. Juga anak-anak kecil berkerumun di sana sembari tertawa riang. Lan Feiyu mambalikkan
Suara sabetan pedang yang beradu dengan angin terdengar sangat kencang di heningnya suasana di balik danau. Zizi berlatih pedang seorang diri, gadis itu tampak cekatan menggerakkan pedangnya. Yang menjadi korban Zizi adalah pohon-pohon kering yang tidak ada daunnya. ZIzi membabat habis pohon kering dengan lemparan pedangnya. Gadis itu benar-benar belum memikirkan cara yang tepat bagaimana bisa masuk ke Padepokan Mata Air. Guru Li Ren tidak akan membiarkan orang sepertinya masuk.Zizi melemparkan pedangnya ke pohon kering yang berada di ujung danau. Belum sempat pedangnya sampai, sebuah pedang lain menepis pedang Zizi hingga pedang Zizi jatuh ke tanah. Zizi menarik pedangnya dari kejauhan, pedang itu kembali sendiri ke tempatnya yang terselip di samping tubuh Zizi.Zizi menolehkan kepalanya, seorang pria berdiri tidak jauh darinya pun juga tengah menatapnya. Melihat itu, Zizi kembali menarik pedangnya, gadis itu berlari mengacungkan pedangnya. Pria asing itu
"Eh Lan Feiyu, ternyata kamu guru di padepokan Mata Air," ucap Zizi memukul pundak Lan Feiyu dengan pelan. Lan Feiyu sedikit menjauhkan tubuhnya."Kenapa kamu tidak masukin aku saja ke sana? Lan Feiyu, aku janji akan belajar dengan giat. Memberantas kejahatan dan melakukan kebaikan," ucap Zizi lagi meletakkan telapak tangannya di samping wajah seolah bersumpah."Lan Feiyu, bukan kah prinsip di Mata Air begitu? Angkat aku jadi muridmu, aku akan mengabdi padamu. Lan Feiyu, jadikan aku muridmu, ya." Zizi terus merengek meminta diangkat menjadi murid. Gadis itu memegang erat tangan Lan Feiyu dan menggoyang-goyangkan tangannya."Lan Feiyu!" panggil Zizi karena Lan Feiyu masih belum mengeluarkan sepatah kata pun."Tidak," jawab Lan Feiyu."Lan Feiyu, apa bedanya aku dengan murid yang lain?""Kamu tidak mempunyai-""Ya ya aku tahu aku tidak mempunyai Adamas Core. Hari ini juga, aku akan berangkat ke Gunung
Lan Feiyu kembali ke Padepokan Mata Air. Saat ini Lan Feiyu, Aixing dan Li Ren tengah berada di aula hening tempat mereka mengadakan perbincangan. Tidak hanya mereka bertiga, ada juga Li Haoxi, anak pertama dan satu-satunya dari guru Li Ren."Sejak satu bulan yang lalu, Yu Yulong mengirimkan mata-mata untuk mengawasi padepokan Mata Air," ucap Li Haoxi."Mereka mengirimkan burung kenari yang membuat gaduh di belakang padepokan," tambah pria itu."Kita bisa membunuhnya sekarang," ujar Aixing. Lan Feiyu menyenggol bahu Aixing kencang membuat Aixing mengatupkan bibirnya."Sebaiknya kita mengatur strategi untuk menangkap burung itu," ucap Li Haoxi."Tapi burung itu dikendalikan oleh Yu Yulong. Percuma kita menangkapnya kalau roh yang dikirim Yu Yulong diambil kembali," jelas Lan Feiyu.Li Ren menatap muridnya, pria paruh baya itu setuju dengan ucapan Lan Feiyu. Yu Yulong adalah pemimpin Sekte Yu, salah satu sek
Hari ini Lan Feiyu mulai melakukan perjalanannya untuk mendapatkan Lempeng Vi. Dengan Aixing dan Li Haoxi, Lan Feiyu mulai meninggalkan padepokan Mata Air. Lempeng Vi harus segera ditemukan dan disegel menjadi satu agar tidak menimbulkan perpecahan. Menghancurkan lempeng Vi menjadi delapan bagian nyatanya bukanlah pilihan yang tepat, karena lempeng itu masih bisa disatukan meski sudah dihancurkan menjadi delapan. Andai saat itu lempeng dihancurkan sampai menjadi abu, mungkin tidak akan ada peperangan yang dasyat. Lan Feiyu tidak akan membiarkan hal itu kembali terjadi.Prinsip Sekte Li, menegakkan kebenaran, menjaga perdamaian, melindungi yang lemah, kemanusiaan di atas segalanya, memerangi kebathilan, melakukan kebaikan. Untuk itu mereka akan mencari Lempeng Vi. Saat keluar mencari lempeng Vi, mereka sadar akan bahaya apa saja yang akan menghadang mereka. Namun, mereka seorang ksatria, tidak ada rasa takut sedikit pun selama mereka menegakkan kebaikan."Lan Feiy
Li Haoxi, Lan Feiyu dan Aixing sampai di daerah Saxum yang artinya daerah Batu. Di daerah terpencil itu ada gua batu raksaksa di sudut daerahnya. Semakin berbaya tempat, semakin aman tempat itu. Lan Feiyu yakin kalau tempat-tempat yang berbahaya adalah tempat di mana Lempeng Vi berada."Ada bahaya ... ada bahaya ...." Suara teriakan warga dari arah utara terdengar sangat kencang. Beberapa warga berlari sembari membawa obor di tangannya. Hari sudah mulai gelap, dan banyak anak-anak kecil menangis karena ketakutan."Tunggu!" Lan Feiyu menghentikan satu pria yang tengah berlari. Pria itu menepis tangan Lan Feiyu."Cepat, kita tidak ada waktu lagi, kita harus lari," ujar orang itu dengan panik. Lan Feiyu kembali meraih tangan pria itu saat pria itu akan berlari."Ada apa? kenapa mereka kabur?" tanya Lan Feiyu."Batu raksaksa di gua batu hidup lagi," jawabnya menepis tangan Lan Feiyu dan kembali kabur.Suara ri