Purwo adalah kadipaten yang letaknya ada di ujung Tenggara pulau Jawa.
Selama delapan tahun terakhir, kadipaten ini dipimpin seorang sakti bernama Lenong Panama, kebijakannya selalu membela rakyat, bahkan pedagang-pedagang Tiongkok tidak berani melakukan transaksi dengan pedagang lokal karena tegasnya kebijakan pria paruh baya itu.
Dari semua kebijakan yang tertulis, ada tiga peraturan yang tidak boleh dilanggar masyarakat Purwo, terutama yang berkaitan dengan pribadi Lenong Panama.
Aturan pertama, semua masyarakat Purwo tidak boleh memberitahu bahwa Lenong Panama adalah pemimpin kadipaten Purwo. Dan jika ada yang bertanya siapa pemimpinnya, mereka harus menyebut nama lain yang sudah disepakati.
Aturan kedua, identitas Lenong Panama hanya diketahui oleh orang-orang Purwo saja, tidak lebih. Informasi tentang siapa sebenarnya Lenong Panama adalah rahasia mutlak warga Purwo dan Ikatan Pendekar Nusantara.
Aturan ketiga, siapapun yang melanggar dua atur
“Jangan dibuka kalau keadaan benar-benar darurat. Ingat, Soka, kaki gunung Welirang, tempat itu yang harus kau jadikan acuan.”Ucapan Ki Langkir Pamanang terus terngiang dalam telinga Asoka, dia merasa ada yang aneh dengan bingkisan itu. Getaran yang dihasilkan terasa semakin kuat, bingkisan itu mulai condong ke sebuah tempat misterius di tengah hutan.“Pasti ada yang mengintaiku,” batin Asoka. “Fahma, tetaplah berdiri di belakangku, ada tiga orang bersembunyi di balik bebatuan goa.”Dua pedang melesat dari balik semak belukar.Asoka berhasil berkelit, tapi pelipisnya tergores. Dia merintih pelan saat melihat ada bercak darah yang mengalir melalui pipi, lalu menetes ke kerikil kecil di atas tanah.Fahma yang melihat itu, terketuk hatinya. Dia membuka ikatan hitam yang menutupi mata kiri, mengeluarkan sinar kebiruan yang langsung menjahit luka di pelipis kanan Asoka.“Apa yang kau lakukan? Ki Langkir
Pemuda itu sempat terlempar karena tendangan musuh menggunakan kanuragan tingkat tinggi, tapi dengan cepat dia membentuk perisai tameng energi untuk melindungi punggungnya.Tiga pohon tumbang akibat bertabrakan langsung dengan punggung Asoka.“Cih, guru tidak memberitahuku kalau mereka adalah pengguna elemen tanah!”Pemuda kuncir kesal karena dia tidak menyangka musuhnya adalah pengguna elemen amplifi tiga.Elemen api amplifi lima tidak cukup kuat menembus perisai tanah. Serangan api lemah terhadap pertahanan tanah, dan itu dimanfaatkan musuh untuk memancing amarah Asoka.“Hesa, maafkan aku, energi mereka tidak mudah dideteksi.”Gatra keluar dari tubuh Asoka dengan wujud gagak kecil.“Pinjamkan aku sedikit energi lagi, Guru!”Perut Asoka serasa terbakar, empat persen energi Bunar Kumbara masuk ke dalam tubuhnya. Zirah api seperti tulang-belulang terbentuk menyelimuti tubuh Asoka.- Perisai N
Pria berpakaian merah itu hanya tertawa, dia sudah tahu, ada gagak yang selalu menemani Asoka ke manapun dia pergi.Sejauh mengabdi sebagai tangan kanan Ki Seno Aji bersama Prabu Wusanggeni, Ki Langkir Pamanang dianggap sebagai murid paling sukses sampai-sampai dinobatkan sebagai orang terkuat keempat di Ikatan Pendekar Nusantara, tepat di atas Lenong Panama.“Aku pendekar naga spesialis mata, kau tidak perlu cemas, aku bisa melihat di mana gagak itu berada. Toh sebelum mustika merah diwariskan padamu, aku sudah lebih dulu akrab dengan Gatra, waktu kau masih berada di Perguruan Kabut Butana.”Seraya menunggu dua anggota laskar itu siuman, Asoka diminta mencari kayu bakar dan memburu dua ayam hutan yang tadi terlihat berkeliaran di sekitar goa. Perut Fahma berbunyi beberapa kali, pertanda jika gadis itu lapar.Di saat Asoka pergi, Ki Langkir Pamanang meminta Fahma mendekat, lantas menanyai gadis itu. “Kenapa kau melanggar aturan yang suda
Fahma masuk lebih dulu, disusul Asoka dan Ki Langkir Pamanang. Dua pria ikat kepala merah nampaknya tidak suka melihat kehadiran Langkir Pamanang, seolah ada dendam kesumat yang tertanam di benak mereka.Keduanya diinterogasi dan diminta mengaku di mana markas Laskar Tengkorak Merah berada, namun mereka tidak bergeming, tetap mempertahankan pendirian.“Katakan atau kubunuh!” Asoka coba mengancam, tapi keduanya malah pingsan.Ki Langkir Pamanang meminta Fahma dan Asoka mundur beberapa langkah, dia membuka Tameng Api karena sadar ada hal tidak enak terasa di dalam goa.“Menangislah, Langkir! Kau tidak akan pernah bisa menemukanku! Markasku adalah tempat paling aman untuk membangun pasukan. Tunggu aku dua tahun lagi ... hahahaha!”Kesadaran dua anggota laskar tiba-tiba hilang, suara mereka berubah seperti ada yang mengontrol pikiran mereka dari jauh. Usai mengucapkan pesan terakhir, tubuh keduanya semakin membesar dan membesar.
Asoka menyempatkan diri mampir ke istana Segoro Kidul sebelum melanjutkan perjalanan menuju Hutan Babel di kaki Gunung Welirang.Penyambutan istimewa dilakukan oleh para prajurit, mereka sangat bahagia melihat Asoka hadir kembali di tengah-tengah istana. Tiga buah kuda terbaik disiapkan, Asoka berhak memilih kuda mana yang ingin dia tunggangi.“Silakan, Tuan, Raja Syailendra dan Pangeran Kundalini pasti bahagia mengetahui Anda datang ke istana.” Semua prajurit berbaris di belakang Asoka, mengikuti tapak kuda pemuda itu.“Mereka berdua tidak tahu jika aku datang, kan?” Asoka bertanya pada beberapa prajurit, semua kompak menggelengkan kepala. “Syukurlah, aku bisa memberi mereka kejutan.”Di gerbang depan, dekat sungai buas, nampak Tomina dan enam pendekar elit sedang berlatih melawan siluman buaya penjaga gerbang istana.Mahapatih Abimanyu merasakan energi dahsyat dari kejauhan. Rapat dibubarkan seketika, dia seger
“Bukankah dia Putri Fahma dari Kerajaan Alingga?” Pangeran Kundalini berbisik kepada Asoka.“Ssstt...”“Ada apa?”Asoka mengehela nafas berat, dia menoleh ke arah Fahma, wajahnya sayup mungkin karena lelah setelah mereka berjalan menyusuri hutan hampir tiga jam lamanya.Terkadang Asoka menggendong gadis kecil itu, kadang juga menuruti kemauannya untuk duduk sejenak meremajakan kaki.“Ama istirahat dulu ya, Kakang bertemu raja dulu. Besok pagi kita lanjutkan perjalanan.” Asoka mendekati Fahma, mengelus rambutnya, lantas merayu gadis itu agar mau diajak istirahat di kamar istimewa istana.“Ta-tapi Ama takut, tempat ini asing bagi Ama, nanti semisal ada orang jahat yang ingin menculik Ama bagaimana?” Fahma merengek selayaknya bocah berusia 13 tahun.“Dulu Kakang tinggal di sini, semuanya adalah teman-teman Kakang ... atau Ama mau didampingi kakak cantik satu ini? Ama nanti
“Bicara tentang Fahma, bukannya dia bersama Ki Langkir Pamanang?” Pangeran Kundalini kembali memancing perbincangan setelah hening beberapa lama.“Guru Langkir memberiku tugas khusus. Aku harus membawa Fahma ke puncak Gunung Welirang dan mempertemukannya dengan seorang pendekar sakti yang bisa menetralkan kekuatan mata kiri Fahma.”“Kusuma Aji?”“Termasuk juga Ki Kusuma Aji, tapi bukan itu pendekar yang dimaksud Guru Langkir.” Asoka coba mengingat namanya, tapi hasilnya nihil.Mahapatih Abimanyu diminta jalan lebih dulu dan mengabari Raja Syailendra bahwa Asoka dalam perjalanan menuju ruang singgasana. Pria berbaju zirah ringan itu naik ke lantai empat menggunakan ilmu meringankan tubuh, naik melalui tembok-tembok tepi istana.“Aku penasaran, kenapa Fahma dipasrahkan padamu, pasti ada sesuatu yang ingin ditunjukkan Ki Langkir Pamanang.” Pangeran Kundalini masih menelisik maksud diutusnya A
Bayu, Banitura, dan Ki Damawangsa kembali ke perguruan. Asoka dan Fahma berencana menetap sehari di Segoro Kidul, tapi mereka tidak memberitahu Raja Syailendra ataupun Pangeran Kundalini.Jika Asoka menyampaikan hal tersebut, bisa-bisa Raja Syailendra menutup gerbang dan meminta agar Asoka menginap lebih lama lagi.Tujuh pendekar elit istana masih butuh bimbingan Asoka menyempurnakan Formasi Tujuh Melati Putih yang sampai sekarang masih belum layak uji.“Asoka, jika kau berkenan, sore nanti latihlah tujuh pendekar elit istana. Mereka sudah lama menunggumu, tidak ada yang lebih mumpuni menilai formasi mereka kecuali dirimu.” Raja Syailendra memohon pada Asoka.Sesuai jalan pikiran Asoka, dia pasti diminta membantu Ki Sadikin menyempurnakan formasi pendekar elit istana. “Tidak masalah, Paduka, tapi sebelumnya, aku ada satu permohonan.”“Katakan saja!”“Tolong istirahatkan mereka dan beri perintah agar
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As