“Bukankah dia Putri Fahma dari Kerajaan Alingga?” Pangeran Kundalini berbisik kepada Asoka.
“Ssstt...”
“Ada apa?”
Asoka mengehela nafas berat, dia menoleh ke arah Fahma, wajahnya sayup mungkin karena lelah setelah mereka berjalan menyusuri hutan hampir tiga jam lamanya.
Terkadang Asoka menggendong gadis kecil itu, kadang juga menuruti kemauannya untuk duduk sejenak meremajakan kaki.
“Ama istirahat dulu ya, Kakang bertemu raja dulu. Besok pagi kita lanjutkan perjalanan.” Asoka mendekati Fahma, mengelus rambutnya, lantas merayu gadis itu agar mau diajak istirahat di kamar istimewa istana.
“Ta-tapi Ama takut, tempat ini asing bagi Ama, nanti semisal ada orang jahat yang ingin menculik Ama bagaimana?” Fahma merengek selayaknya bocah berusia 13 tahun.
“Dulu Kakang tinggal di sini, semuanya adalah teman-teman Kakang ... atau Ama mau didampingi kakak cantik satu ini? Ama nanti
“Bicara tentang Fahma, bukannya dia bersama Ki Langkir Pamanang?” Pangeran Kundalini kembali memancing perbincangan setelah hening beberapa lama.“Guru Langkir memberiku tugas khusus. Aku harus membawa Fahma ke puncak Gunung Welirang dan mempertemukannya dengan seorang pendekar sakti yang bisa menetralkan kekuatan mata kiri Fahma.”“Kusuma Aji?”“Termasuk juga Ki Kusuma Aji, tapi bukan itu pendekar yang dimaksud Guru Langkir.” Asoka coba mengingat namanya, tapi hasilnya nihil.Mahapatih Abimanyu diminta jalan lebih dulu dan mengabari Raja Syailendra bahwa Asoka dalam perjalanan menuju ruang singgasana. Pria berbaju zirah ringan itu naik ke lantai empat menggunakan ilmu meringankan tubuh, naik melalui tembok-tembok tepi istana.“Aku penasaran, kenapa Fahma dipasrahkan padamu, pasti ada sesuatu yang ingin ditunjukkan Ki Langkir Pamanang.” Pangeran Kundalini masih menelisik maksud diutusnya A
Bayu, Banitura, dan Ki Damawangsa kembali ke perguruan. Asoka dan Fahma berencana menetap sehari di Segoro Kidul, tapi mereka tidak memberitahu Raja Syailendra ataupun Pangeran Kundalini.Jika Asoka menyampaikan hal tersebut, bisa-bisa Raja Syailendra menutup gerbang dan meminta agar Asoka menginap lebih lama lagi.Tujuh pendekar elit istana masih butuh bimbingan Asoka menyempurnakan Formasi Tujuh Melati Putih yang sampai sekarang masih belum layak uji.“Asoka, jika kau berkenan, sore nanti latihlah tujuh pendekar elit istana. Mereka sudah lama menunggumu, tidak ada yang lebih mumpuni menilai formasi mereka kecuali dirimu.” Raja Syailendra memohon pada Asoka.Sesuai jalan pikiran Asoka, dia pasti diminta membantu Ki Sadikin menyempurnakan formasi pendekar elit istana. “Tidak masalah, Paduka, tapi sebelumnya, aku ada satu permohonan.”“Katakan saja!”“Tolong istirahatkan mereka dan beri perintah agar
Sore setelah melatih pendekar elit istana, Asoka lebih dulu menyambangi gubuk Ki Damardjati di tengah Hutan Larangan.Prabu Wusanggeni sedang duduk bertapa menunggui gubuk, menjaga Pusaka Sabuk Zamrud yang tergeletak di atas tanah. Cahaya hijaunya menampar muka Asoka hingga pemuda itu terlempar jauh menabrak sebongkah batu besar.Huek!Asoka muntah darah segar.“Ki Damardjati belum mengizinkanmu masuk ke gubuk ini, tapi kau lancang membuka pintu. Itu hukuman untuk orang yang tidak mengetahui tata krama.” Prabu Wusanggeni berujar tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.Menyadari kesalahan yang dia perbuat, Asoka memilih duduk menunggu sembari mencari goa tempat tinggal Batara Wasjid.Sang raja hutan sedang duduk bersama beberapa siluman lain, mereka saling bertukar cerita mengenai pertempuran Kong melawan siluman naga air Wedara Toya.“Siapa yang menang?” Suara Asoka mengejutkan mereka.Dua ekor siluman har
Tiga belas tahun lalu, berdiri lima kerajaan besar di Jawa, dua di antaranya berada di Jawa Timur.Segoro Kidul dan Alingga hidup damai berdampingan dalam kurun lima dekade terakhir, tidak ada konflik yang terjadi, bahkan hubungan bilateral dua pihak kerajaan terjalin akur.Namun semenjak ada kelompok yang menahbiskan diri mereka sebagai Sekte Tengkorak Merah, dua kerajaan besar itu saling pandang curiga satu sama lain.Berbagai tuduhan dilempar hanya karena kasus pencurian kuda, penyalahgunaan lahan, hingga perusakan kebun yang ada di wilayah luar perbatasan. Mereka saling lempar kesalahan dan sama-sama tak mau mengaku.“Usia kita jauh lebih tua dari Segoro Kidul, kita tidak boleh membiarkan mereka semena-mena. Tanah Argopuro adalah tanah kita, mereka tidak boleh menjarah hasil kebun rakyat, apalagi mengambil ternak dan kuda-kuda terbaik yang akan kita beli.”Raja Mawardi -ayah kandung Fahma -mempersiapkan pasukan untuk berjaga di perb
Esok telah tiba, waktunya pamit pada para petinggi istana.Asoka dan Fahma harus cepat-cepat meneruskan perjalanan mereka karena dalam waktu dekat, pemuda berkuncir butuh waktu untuk mempersiapkan diri dalam Turnamen Neraka Bumi.Pertama-tama, keduanya berkunjung ke ruangan tabib, pamit sekaligus mengucap terima kasih atas ramuan matahari merah yang selama ini disuguhkan.“Hati-hati, perjalananmu pasti tidak berjalan mulus. Sekte Tengkorak Merah sudah menunggumu di tengah hutan. Itu hanya firasat, tapi aku yakin, mereka sudah menyiapkan tim khusus untuk memburu gadis yang ada di sampingmu.”Pesan terakhir sang tabib akan selalu diingat Asoka, pemuda itu diberi sebuah mustika berbentuk serupa sirip ikan. Dia diminta mengantar mustika itu ke sebuah padepokan yang letaknya ada di tengah Hutan Babel.“Fahma aku bawa lebih dulu berkeliling istana.” Ki Langkir Pamanang tiba-tiba datang menghampiri Asoka di istana Segoro Kidul.
Sebelum pergi dari Segoro Kidul, Asoka menyempatkan diri untuk berkunjung ke alun-alun perbatasan. Di sana, para warga sudah menunggu dan membentuk barisan panjang.Orang-orang yang tinggal di alun-alun merasa kehilangan. Asoka menenangkan mereka. Dia mengungkapkan semua keluh kesah yang selama ini dirasakan rakyat kecil dan miskin.“Raja Syailendra akan berubah. Hidup kalian akan terjamin setelah ini. Tapi maaf, aku harus pergi secepat ini karena ada tujuan lain yang menanti.” Asoka melepas syal merah yang sudah menemaninya mengembara selama tiga tahun, memberikan barang kesayangannya pada kepala desa tanpa garis.Asoka bagi mereka adalah sosok pahlawan.Di saat para petinggi istana tidak menghiraukan keadaan desa tanpa garis, Asoka bersama Pangeran Kundalini mengunjungi markas perampok yang ada di Selatan alun-alun. Mereka mendengar keluhan para perampok.Ternyata semua perampok itu nekat melakukan kejahatan demi bisa berdialog dengan
Baru beberapa langkah, dirinya merasakan sebuah energi kuat dari sisi Barat. Sepertinya energi itu berasal dari arah Gunung Welirang. Dari pancarannya, Asoka bisa menebak orang sakti yang dimaksud Ki Langkir Pamanang adalah seorang tabib penganut aliran putih.Khawatir dengan keadaan Fahma, pemuda berkuncir tidak langsung pergi mencari sumber air. Dia putar balik guna memastikan gadis itu baik-baik saja.Dari kejauhan, Asoka melihat Fahma sedang asik bermain gambar di tanah becek dekat pohon randu. Asoka tersenyum. Dia melangkah lebih jauh, mencari air untuk Fahma.Tapi di tengah jalan, dia bertemu dengan pendekar bertopeng dengan pakaian serba hitam. “Sial, kenapa harus bertemu anggota sekte!”Asoka dibuat repot dengan serangan orang tersebut.Serangan pedang Asoka bisa dibaca, pemuda berkuncir terpaksa menggunakan gerakan yang dia pelajari dari Ki Saptajaya, tapi lagi-lagi, pria bertopeng itu berhasil menangkis serangan pamungkas deng
Asoka mencari sumber mata air sekaligus mengambil beberapa ubi jalar yang ada di dekat air terjun. Tumpukan ranting kering diikat lantas diletakkan di atas bahu. Pemuda berkuncir kembali ke tempat Fahma berada.Gadis kecil itu tertidur pulas, pedang Asoka tergeletak di atas tanah lumpur. Usai membersihkan pedang itu, pemuda berkuncir tidak langsung membangunkan adiknya, tapi lebih dulu mencari dua batu berukuran sedang, lalu menghidupkan perapian.Ubi dibakar apa adanya, tanpa bumbu, tanpa garam. Asoka membangunkan Fahma, menyuruhnya minum dan makan.“Sesuai dugaanku, dia tidur karena lapar,” batin Asoka. “Perutnya sama longgarnya dengan perutku. Dia mudah lapar, tapi tidak kuat makan banyak.”Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka jalan kaki menyusuri jalan setapak berlumpur. Asoka menjinjing celananya agar tidak kotor, sementara Fahma masih bergelantung ria di bahu atas Asoka.Jalanan mulai menanjak,
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As