Sore setelah melatih pendekar elit istana, Asoka lebih dulu menyambangi gubuk Ki Damardjati di tengah Hutan Larangan.
Prabu Wusanggeni sedang duduk bertapa menunggui gubuk, menjaga Pusaka Sabuk Zamrud yang tergeletak di atas tanah. Cahaya hijaunya menampar muka Asoka hingga pemuda itu terlempar jauh menabrak sebongkah batu besar.
Huek!
Asoka muntah darah segar.
“Ki Damardjati belum mengizinkanmu masuk ke gubuk ini, tapi kau lancang membuka pintu. Itu hukuman untuk orang yang tidak mengetahui tata krama.” Prabu Wusanggeni berujar tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.
Menyadari kesalahan yang dia perbuat, Asoka memilih duduk menunggu sembari mencari goa tempat tinggal Batara Wasjid.
Sang raja hutan sedang duduk bersama beberapa siluman lain, mereka saling bertukar cerita mengenai pertempuran Kong melawan siluman naga air Wedara Toya.
“Siapa yang menang?” Suara Asoka mengejutkan mereka.
Dua ekor siluman har
Tiga belas tahun lalu, berdiri lima kerajaan besar di Jawa, dua di antaranya berada di Jawa Timur.Segoro Kidul dan Alingga hidup damai berdampingan dalam kurun lima dekade terakhir, tidak ada konflik yang terjadi, bahkan hubungan bilateral dua pihak kerajaan terjalin akur.Namun semenjak ada kelompok yang menahbiskan diri mereka sebagai Sekte Tengkorak Merah, dua kerajaan besar itu saling pandang curiga satu sama lain.Berbagai tuduhan dilempar hanya karena kasus pencurian kuda, penyalahgunaan lahan, hingga perusakan kebun yang ada di wilayah luar perbatasan. Mereka saling lempar kesalahan dan sama-sama tak mau mengaku.“Usia kita jauh lebih tua dari Segoro Kidul, kita tidak boleh membiarkan mereka semena-mena. Tanah Argopuro adalah tanah kita, mereka tidak boleh menjarah hasil kebun rakyat, apalagi mengambil ternak dan kuda-kuda terbaik yang akan kita beli.”Raja Mawardi -ayah kandung Fahma -mempersiapkan pasukan untuk berjaga di perb
Esok telah tiba, waktunya pamit pada para petinggi istana.Asoka dan Fahma harus cepat-cepat meneruskan perjalanan mereka karena dalam waktu dekat, pemuda berkuncir butuh waktu untuk mempersiapkan diri dalam Turnamen Neraka Bumi.Pertama-tama, keduanya berkunjung ke ruangan tabib, pamit sekaligus mengucap terima kasih atas ramuan matahari merah yang selama ini disuguhkan.“Hati-hati, perjalananmu pasti tidak berjalan mulus. Sekte Tengkorak Merah sudah menunggumu di tengah hutan. Itu hanya firasat, tapi aku yakin, mereka sudah menyiapkan tim khusus untuk memburu gadis yang ada di sampingmu.”Pesan terakhir sang tabib akan selalu diingat Asoka, pemuda itu diberi sebuah mustika berbentuk serupa sirip ikan. Dia diminta mengantar mustika itu ke sebuah padepokan yang letaknya ada di tengah Hutan Babel.“Fahma aku bawa lebih dulu berkeliling istana.” Ki Langkir Pamanang tiba-tiba datang menghampiri Asoka di istana Segoro Kidul.
Sebelum pergi dari Segoro Kidul, Asoka menyempatkan diri untuk berkunjung ke alun-alun perbatasan. Di sana, para warga sudah menunggu dan membentuk barisan panjang.Orang-orang yang tinggal di alun-alun merasa kehilangan. Asoka menenangkan mereka. Dia mengungkapkan semua keluh kesah yang selama ini dirasakan rakyat kecil dan miskin.“Raja Syailendra akan berubah. Hidup kalian akan terjamin setelah ini. Tapi maaf, aku harus pergi secepat ini karena ada tujuan lain yang menanti.” Asoka melepas syal merah yang sudah menemaninya mengembara selama tiga tahun, memberikan barang kesayangannya pada kepala desa tanpa garis.Asoka bagi mereka adalah sosok pahlawan.Di saat para petinggi istana tidak menghiraukan keadaan desa tanpa garis, Asoka bersama Pangeran Kundalini mengunjungi markas perampok yang ada di Selatan alun-alun. Mereka mendengar keluhan para perampok.Ternyata semua perampok itu nekat melakukan kejahatan demi bisa berdialog dengan
Baru beberapa langkah, dirinya merasakan sebuah energi kuat dari sisi Barat. Sepertinya energi itu berasal dari arah Gunung Welirang. Dari pancarannya, Asoka bisa menebak orang sakti yang dimaksud Ki Langkir Pamanang adalah seorang tabib penganut aliran putih.Khawatir dengan keadaan Fahma, pemuda berkuncir tidak langsung pergi mencari sumber air. Dia putar balik guna memastikan gadis itu baik-baik saja.Dari kejauhan, Asoka melihat Fahma sedang asik bermain gambar di tanah becek dekat pohon randu. Asoka tersenyum. Dia melangkah lebih jauh, mencari air untuk Fahma.Tapi di tengah jalan, dia bertemu dengan pendekar bertopeng dengan pakaian serba hitam. “Sial, kenapa harus bertemu anggota sekte!”Asoka dibuat repot dengan serangan orang tersebut.Serangan pedang Asoka bisa dibaca, pemuda berkuncir terpaksa menggunakan gerakan yang dia pelajari dari Ki Saptajaya, tapi lagi-lagi, pria bertopeng itu berhasil menangkis serangan pamungkas deng
Asoka mencari sumber mata air sekaligus mengambil beberapa ubi jalar yang ada di dekat air terjun. Tumpukan ranting kering diikat lantas diletakkan di atas bahu. Pemuda berkuncir kembali ke tempat Fahma berada.Gadis kecil itu tertidur pulas, pedang Asoka tergeletak di atas tanah lumpur. Usai membersihkan pedang itu, pemuda berkuncir tidak langsung membangunkan adiknya, tapi lebih dulu mencari dua batu berukuran sedang, lalu menghidupkan perapian.Ubi dibakar apa adanya, tanpa bumbu, tanpa garam. Asoka membangunkan Fahma, menyuruhnya minum dan makan.“Sesuai dugaanku, dia tidur karena lapar,” batin Asoka. “Perutnya sama longgarnya dengan perutku. Dia mudah lapar, tapi tidak kuat makan banyak.”Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka jalan kaki menyusuri jalan setapak berlumpur. Asoka menjinjing celananya agar tidak kotor, sementara Fahma masih bergelantung ria di bahu atas Asoka.Jalanan mulai menanjak,
Matahari beranjak naik, Asoka tidak tidur sama sekali. Dia tidak tega membangunkan Fahma, gadis itu terlihat letih, apalagi perjalanan menuju kaki gunung masih terhitung lama. Asoka lebih dulu mandi untuk melepas penat sekaligus menghilangkan kantuk. “Kakang...” Fahma ternyata sudah bangun, tepat ketika Asoka keluar dari cekungan inti air terjun. Cepat-cepat Asoka menggebrak tanah dan membentuk tembok air. Dengan bantuan ilmu meringankan tubuh, Asoka segera mengambil pakaiannya yang tergantung di atas pohon pisang. “Kenapa tidak bilang kalau sudah bangun?” Asoka mendekati Fahma, wajahnya bersemu merah. “Tadi aku lihat Kakang mandi di sana, sepertinya enak. Tapi Kakang, Ama sempat ngelihat penampakan di tubuh Kakang, sebenarnya apa itu, bentuknya seperti belalai?” Asoka semakin malu, tapi dia coba mengalihkan perhatian. “Itu anugerah yang diciptakan Dewata, tapi hanya orang tertentu yang memilikinya.” “Tapi kenapa bentuknya lucu
Batu besar di tepian sungai jadi perhatian Asoka, ujungnya lumayan runcing, sepertinya cocok jadi tempat istirahat untuk sementara waktu.Ini juga sebagai antisipasi jika pemuda itu tidak sengaja tertidur. Angin berhembus pasti menggoyahkan keseimbangan duduknya, dan ketika dia bangun, dia bisa kembali mengawasi Fahma.Tapi resikonya jika dia duduk di atas batu runcing itu, kemungkinan besar dia akan jatuh jika tidak benar-benar reflek mengatur keseimbangan.“Ah, hanya jatuh, toh bawahku tanah lumpur, bukan bebatuan kasar.” Asoka naik ke atas batu itu.Tak lama, pemuda itu tertidur dengan posisi duduk dan bersandar di batu besar dekat sungai. Angin malam hutan membuat matanya terkantuk-kantuk.Tengah malam, Asoka merasakan dingin menusuk tubuhnya.Hanya menggunakan baju biasa tentu tidak terlalu menghangatkan. Ingin sekali dia membuat api unggun, tapi hal tersebut hanya memancing perhatian hewan buas datang. Api selalu jadi pusat
“Sialan, pendekar bertopeng itu lagi!” Asoka mendesis kesal,Cengkeraman tangan yang kuat sungguh merepotkan Asoka, dia tidak bisa bergerak karena cengkeraman pendekar bertopeng menggunakan kanuragan tingkat tinggi.Semakin merasa terdesak, pemuda berkuncir tidak tahu harus berbuat apa. Dia coba menyelimuti tubuhnya menggunakan zirah api amplifi tiga, tapi tidak mempan. Coba menaikkan kekuatan amplifi apinya, yang ada malah tangan Asoka terbakar.Kulit melepuh terkelupas hingga terlihat daging yang matang menjadi pemandangan indah pertarungan kali ini. Pendekar bertopeng hanya tertawa setelah berhasil membakar lengan kanan Asoka.“Sembuhkan dengan api biru,” ujar Gatra, dia keluar dari tubuh Asoka, lantas bertengger di sebuah pohon sekitar tempat pertarungan.Asoka sangat kesal, tapi dia berusaha meredam emosi.Bagaimanapun juga, bertarung dengan emosi hanya mengakibatkan kekalahan telak. Ini pertemuan keempat antara