Asoka mencari sumber mata air sekaligus mengambil beberapa ubi jalar yang ada di dekat air terjun. Tumpukan ranting kering diikat lantas diletakkan di atas bahu. Pemuda berkuncir kembali ke tempat Fahma berada.
Gadis kecil itu tertidur pulas, pedang Asoka tergeletak di atas tanah lumpur. Usai membersihkan pedang itu, pemuda berkuncir tidak langsung membangunkan adiknya, tapi lebih dulu mencari dua batu berukuran sedang, lalu menghidupkan perapian.
Ubi dibakar apa adanya, tanpa bumbu, tanpa garam. Asoka membangunkan Fahma, menyuruhnya minum dan makan.
“Sesuai dugaanku, dia tidur karena lapar,” batin Asoka. “Perutnya sama longgarnya dengan perutku. Dia mudah lapar, tapi tidak kuat makan banyak.”
Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka jalan kaki menyusuri jalan setapak berlumpur. Asoka menjinjing celananya agar tidak kotor, sementara Fahma masih bergelantung ria di bahu atas Asoka.
Jalanan mulai menanjak,
Matahari beranjak naik, Asoka tidak tidur sama sekali. Dia tidak tega membangunkan Fahma, gadis itu terlihat letih, apalagi perjalanan menuju kaki gunung masih terhitung lama. Asoka lebih dulu mandi untuk melepas penat sekaligus menghilangkan kantuk. “Kakang...” Fahma ternyata sudah bangun, tepat ketika Asoka keluar dari cekungan inti air terjun. Cepat-cepat Asoka menggebrak tanah dan membentuk tembok air. Dengan bantuan ilmu meringankan tubuh, Asoka segera mengambil pakaiannya yang tergantung di atas pohon pisang. “Kenapa tidak bilang kalau sudah bangun?” Asoka mendekati Fahma, wajahnya bersemu merah. “Tadi aku lihat Kakang mandi di sana, sepertinya enak. Tapi Kakang, Ama sempat ngelihat penampakan di tubuh Kakang, sebenarnya apa itu, bentuknya seperti belalai?” Asoka semakin malu, tapi dia coba mengalihkan perhatian. “Itu anugerah yang diciptakan Dewata, tapi hanya orang tertentu yang memilikinya.” “Tapi kenapa bentuknya lucu
Batu besar di tepian sungai jadi perhatian Asoka, ujungnya lumayan runcing, sepertinya cocok jadi tempat istirahat untuk sementara waktu.Ini juga sebagai antisipasi jika pemuda itu tidak sengaja tertidur. Angin berhembus pasti menggoyahkan keseimbangan duduknya, dan ketika dia bangun, dia bisa kembali mengawasi Fahma.Tapi resikonya jika dia duduk di atas batu runcing itu, kemungkinan besar dia akan jatuh jika tidak benar-benar reflek mengatur keseimbangan.“Ah, hanya jatuh, toh bawahku tanah lumpur, bukan bebatuan kasar.” Asoka naik ke atas batu itu.Tak lama, pemuda itu tertidur dengan posisi duduk dan bersandar di batu besar dekat sungai. Angin malam hutan membuat matanya terkantuk-kantuk.Tengah malam, Asoka merasakan dingin menusuk tubuhnya.Hanya menggunakan baju biasa tentu tidak terlalu menghangatkan. Ingin sekali dia membuat api unggun, tapi hal tersebut hanya memancing perhatian hewan buas datang. Api selalu jadi pusat
“Sialan, pendekar bertopeng itu lagi!” Asoka mendesis kesal,Cengkeraman tangan yang kuat sungguh merepotkan Asoka, dia tidak bisa bergerak karena cengkeraman pendekar bertopeng menggunakan kanuragan tingkat tinggi.Semakin merasa terdesak, pemuda berkuncir tidak tahu harus berbuat apa. Dia coba menyelimuti tubuhnya menggunakan zirah api amplifi tiga, tapi tidak mempan. Coba menaikkan kekuatan amplifi apinya, yang ada malah tangan Asoka terbakar.Kulit melepuh terkelupas hingga terlihat daging yang matang menjadi pemandangan indah pertarungan kali ini. Pendekar bertopeng hanya tertawa setelah berhasil membakar lengan kanan Asoka.“Sembuhkan dengan api biru,” ujar Gatra, dia keluar dari tubuh Asoka, lantas bertengger di sebuah pohon sekitar tempat pertarungan.Asoka sangat kesal, tapi dia berusaha meredam emosi.Bagaimanapun juga, bertarung dengan emosi hanya mengakibatkan kekalahan telak. Ini pertemuan keempat antara
Tak terasa, setelah berjalan lama, mereka akhirnya sampai di pintu masuk Hutan Babel daerah kaki gunung.Tubuh Asoka awalnya kaku karena efek samping energi hitam Topus, tapi karena pemanasan bersama pendekar bertopeng, Asoka bisa merasakan otot-ototnya kembali. Yang tadinya kurus dan lemah, kini sedikit berisi dan kuat.Dia mencoba jurus pemecah airnya di sebuah pohon beringin. Hasilnya tidak buruk, tapi masih belum memuaskan.“Kakang, ajari aku jurus itu!” Fahma meloncat-loncat ria, dia kegirangan seperti melihat sebuah mainan baru. Matanya berbinar seolah pukulan pemecah air adalah hal menyenangkan untuk dicoba.“Eh, eh, jangan belajar jurus itu ... lebih baik kau belajar membersihkan kulit singkong, atau mengupas pisang. Siapa tahu suamimu nanti tidak bisa mengupas kulit pisang.”“Pelit!”Gadis kecil itu memanyunkan bibirnya, Asoka hanya menanggapinya dengan kekehan ringan.Hari keempat perjalan
Beberapa menit menysuuri hutan, ada empat gagak hitam besar yang mengintai dari ranting sisi kanan hutan. Sepertinya mereka sudah mengintai lama sejak Asoka dan Fahma masuk ke garis batas tanpa cahaya.“Kakaaaaangg!” Fahma berteriak ketakutan dan mata gagak itu tiba-tiba menyala merah.Asoka reflek melepas selendangnya agar Fahma bisa menutupi matanya dengan selendang tersebut. Usai memastikan gadis kecil itu aman dari jangkauan serangan gagak, Asoka maju tiga langkah, lantas menantang mereka beradu serangan.Ketiganya bertarung melawan Asoka hingga membuat tangannya kembali berdarah. Salah satu paruh gagak berhasil mengoyak punggung tangan kanan Asoka, tapi luka itu tidak bertahan lama. Api biru segera meregenerasi kulit yang koyak.“Dasar bedebah! Kalian tidak lebih pintar dari Gatra!” Teriakan Asoka tak sengaja memancing kekesalan Gatra, roh siluman mustika segera mengambil kayu dan melemparnya ke kepala Asoka.“Pem
Siang setelah menyusuri garis depan Hutan Babel, Asoka kembali dibuat heran. Sama sekali tidak terasa aura pendekar bertopeng, padahal pemuda itu ingin sekali melanjutkan pertarungannya yang dirasa belum selesai.Di kiri-kanan Hutan Babel yang kata Ki Langkir Pamanang adalah hutan angker, tidak sekalipun terasa aura mistis. Siluman dan dedemit penghuni hutan lain tidak terdengar.“Tidak mungkin para siluman bersembunyi, mereka pasti menyerangku jika aku menampakkan diri.” Asoka coba mendeteksi suasana.Lumrahnya, siluman penjaga hutan akan langsung bereaksi begitu merasakan energi manusia di tempat mereka tinggal. Tidak peduli pendekar atau tidak, para siluman akan menyerang tanpa menunggu aba-aba dari raja mereka.Tapi hutan ini berbeda, aura hitam siluman tidak terasa sama sekali. Asoka ingin sekali bertemu salah satu dari mereka, lantas menundukkan mereka dengan haki raja, tapi tidak satu pun siluman muncul.“Apa mungkin hutan
Asoka memandangi Fahma sejenak sambil menyunggingkan senyum kecil. Tapi ketika gadis itu ingin membuka penutup matanya, Asoka segera melarang dengan alasan hal ini merupakan pantangan yang tidak boleh dilakukan Fahma.Seberapa manisnya gadis kecil itu, matanya tetap membuat Asoka takut. Oleh sebab itulah, Asoka menyuruhnya untuk tidak melepaskan penutup matanya.“Mataku seram ya,” sedih Fahma dengan muka cemberut. “Ini kekurangan terbesarku, Kakang. Jangan takut ya, mukaku kan lucu.”Asoka sangat suka dengan keceriaan gadis itu. Dibalik mata kirinya yang agak aneh, wajahnya cukup manis. Kali ini Gatra bisa menahan sifat bodohnya, tidak mimisan ketika Asoka berdiri sembari memegang tangan seorang gadis.Gagak itu cenderung mesum, tapi sangat lemah jika harus bersanding dengan perempuan cantik.Tragedi mimisan sempat terjadi beberapa kali, apalagi ketika Asoka sedang duduk berdua bersama Rara di ruang tabib perguruan. Gatra se
“Kakang, aku takut,” Fahma hampir menangis melihat kebrutalan serangan pendekar tengkorak merah. “Kakek itu bisa mati kalau kena tendangan musuh. Dia dikeroyok lima orang.”Asoka sadar kalau selama ini Fahma tidak pernah melihat kekejaman pendekar yang haus darah. Menurut cerita Ki Langkir, seminggu setelah kelahirannya, ibu Fahma menitipkannya ke Ki Langkir Pamanang agar diramu oleh seorang tabib tua yang dua tahun lalu meninggal.Sebenarnya ibu Fahma tidak tega melakukan hal itu, tapi dia lebih menyesal jika melihat anaknya diasuh oleh orang-orang Sekte Tengkorak Merah dan Perguruan Elang Hitam.Jika itu terjadi, bisa dipastikan gadis kecil itu tidak memiliki masa depan karena dia akan dijadikan budak belia oleh orang-orang aliran hitam. Hal itu sudah terbayang dalam benak ibunda Fahma, dan karena itulah, dia lebih memilih menitipkan putri tunggalnya pada Ki Langkir Pamanang sesaat sebelum meninggal karena racun panah.Bertindak
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As