Tak terasa, setelah berjalan lama, mereka akhirnya sampai di pintu masuk Hutan Babel daerah kaki gunung.
Tubuh Asoka awalnya kaku karena efek samping energi hitam Topus, tapi karena pemanasan bersama pendekar bertopeng, Asoka bisa merasakan otot-ototnya kembali. Yang tadinya kurus dan lemah, kini sedikit berisi dan kuat.
Dia mencoba jurus pemecah airnya di sebuah pohon beringin. Hasilnya tidak buruk, tapi masih belum memuaskan.
“Kakang, ajari aku jurus itu!” Fahma meloncat-loncat ria, dia kegirangan seperti melihat sebuah mainan baru. Matanya berbinar seolah pukulan pemecah air adalah hal menyenangkan untuk dicoba.
“Eh, eh, jangan belajar jurus itu ... lebih baik kau belajar membersihkan kulit singkong, atau mengupas pisang. Siapa tahu suamimu nanti tidak bisa mengupas kulit pisang.”
“Pelit!”
Gadis kecil itu memanyunkan bibirnya, Asoka hanya menanggapinya dengan kekehan ringan.
Hari keempat perjalan
Beberapa menit menysuuri hutan, ada empat gagak hitam besar yang mengintai dari ranting sisi kanan hutan. Sepertinya mereka sudah mengintai lama sejak Asoka dan Fahma masuk ke garis batas tanpa cahaya.“Kakaaaaangg!” Fahma berteriak ketakutan dan mata gagak itu tiba-tiba menyala merah.Asoka reflek melepas selendangnya agar Fahma bisa menutupi matanya dengan selendang tersebut. Usai memastikan gadis kecil itu aman dari jangkauan serangan gagak, Asoka maju tiga langkah, lantas menantang mereka beradu serangan.Ketiganya bertarung melawan Asoka hingga membuat tangannya kembali berdarah. Salah satu paruh gagak berhasil mengoyak punggung tangan kanan Asoka, tapi luka itu tidak bertahan lama. Api biru segera meregenerasi kulit yang koyak.“Dasar bedebah! Kalian tidak lebih pintar dari Gatra!” Teriakan Asoka tak sengaja memancing kekesalan Gatra, roh siluman mustika segera mengambil kayu dan melemparnya ke kepala Asoka.“Pem
Siang setelah menyusuri garis depan Hutan Babel, Asoka kembali dibuat heran. Sama sekali tidak terasa aura pendekar bertopeng, padahal pemuda itu ingin sekali melanjutkan pertarungannya yang dirasa belum selesai.Di kiri-kanan Hutan Babel yang kata Ki Langkir Pamanang adalah hutan angker, tidak sekalipun terasa aura mistis. Siluman dan dedemit penghuni hutan lain tidak terdengar.“Tidak mungkin para siluman bersembunyi, mereka pasti menyerangku jika aku menampakkan diri.” Asoka coba mendeteksi suasana.Lumrahnya, siluman penjaga hutan akan langsung bereaksi begitu merasakan energi manusia di tempat mereka tinggal. Tidak peduli pendekar atau tidak, para siluman akan menyerang tanpa menunggu aba-aba dari raja mereka.Tapi hutan ini berbeda, aura hitam siluman tidak terasa sama sekali. Asoka ingin sekali bertemu salah satu dari mereka, lantas menundukkan mereka dengan haki raja, tapi tidak satu pun siluman muncul.“Apa mungkin hutan
Asoka memandangi Fahma sejenak sambil menyunggingkan senyum kecil. Tapi ketika gadis itu ingin membuka penutup matanya, Asoka segera melarang dengan alasan hal ini merupakan pantangan yang tidak boleh dilakukan Fahma.Seberapa manisnya gadis kecil itu, matanya tetap membuat Asoka takut. Oleh sebab itulah, Asoka menyuruhnya untuk tidak melepaskan penutup matanya.“Mataku seram ya,” sedih Fahma dengan muka cemberut. “Ini kekurangan terbesarku, Kakang. Jangan takut ya, mukaku kan lucu.”Asoka sangat suka dengan keceriaan gadis itu. Dibalik mata kirinya yang agak aneh, wajahnya cukup manis. Kali ini Gatra bisa menahan sifat bodohnya, tidak mimisan ketika Asoka berdiri sembari memegang tangan seorang gadis.Gagak itu cenderung mesum, tapi sangat lemah jika harus bersanding dengan perempuan cantik.Tragedi mimisan sempat terjadi beberapa kali, apalagi ketika Asoka sedang duduk berdua bersama Rara di ruang tabib perguruan. Gatra se
“Kakang, aku takut,” Fahma hampir menangis melihat kebrutalan serangan pendekar tengkorak merah. “Kakek itu bisa mati kalau kena tendangan musuh. Dia dikeroyok lima orang.”Asoka sadar kalau selama ini Fahma tidak pernah melihat kekejaman pendekar yang haus darah. Menurut cerita Ki Langkir, seminggu setelah kelahirannya, ibu Fahma menitipkannya ke Ki Langkir Pamanang agar diramu oleh seorang tabib tua yang dua tahun lalu meninggal.Sebenarnya ibu Fahma tidak tega melakukan hal itu, tapi dia lebih menyesal jika melihat anaknya diasuh oleh orang-orang Sekte Tengkorak Merah dan Perguruan Elang Hitam.Jika itu terjadi, bisa dipastikan gadis kecil itu tidak memiliki masa depan karena dia akan dijadikan budak belia oleh orang-orang aliran hitam. Hal itu sudah terbayang dalam benak ibunda Fahma, dan karena itulah, dia lebih memilih menitipkan putri tunggalnya pada Ki Langkir Pamanang sesaat sebelum meninggal karena racun panah.Bertindak
Asoka segera memasang kuda-kuda, dia merasakan apa yang Fahma rasakan. Tapi sebelum pemuda itu bergerak, Gatra lebih dulu mengingatkan.“Kau tidak bisa melihatnya, Soka. Meskipun memiliki mata batin pendekar naga, matamu tidak bisa disejajarkan dengan mata gadis itu. Roh merah yang menyerangmu adalah arwah gentayangan korban yang dibunuh orang-orang tengkorak merah.”Suara telanan ludah terdengar singkat, Asoka tidak paham bagaimana dia bisa melawan roh merah itu seorang diri, sementara Gatra terikat janji dengan Ki Langkir Pamanang bahwa gagak itu tidak boleh membantu Asoka sebelum pemuda berkuncir menginjakkan kaki di padepokan.“Guru, bagaimana kau bisa tahu tentang mata aneh milik Fahma? Kau jangan-jangan mengintip Fahma pas lagi mandi atau tidur ya, mengaku sajalah!” Asoka tiba-tiba tersenyum aneh.“Matamu! Aku sudah hidup 500 tahun lebih lama darimu, Bodoh! Mana ada aku mata keranjang, melihat perempuan cantik saja aku
Karena merasa terancam, Asokasegera lari menuju arah berlawanan. Dia tidak ingin tertangkap oleh pria itu. Fahmadigendongnya menghadap belakang."Tetap tutup matamu, Adik!Dia bukan pendekar abal-abal. Jangan kau tatap matanya atau kau bisa pingsan karena tidak kuat menahan aura intimidasinya! Tangkupkan tanganmu ke muka dan tetap bersandar di bahuku!”Mereka terus berlari dan berlari, tanpa tahu tujuan harus kemana. Energi kuat yang tadi dirasakan Asoka, terasa semakin dekat. Jaraknya hanya beberapa tombak."Sial! Apa yang harus aku lakukan, Guru?" Tanya Asokasembari tetap berlari, tapi sayangnya, Gatra tidak mau membantu Asoka, meski hanya memberi solusi atas permasalahan ini.“Dia sedang bertarung, tapi kenapa dia mengejarku? Apa dia tidak khawatir dengan murid padepokan? Lima anggota sekte masih ada di sana, dan dia mengabaikan mereka begitu saja?”Pertanyaan demi pertanyaan terus terngiang di benak
Malik dan empat anak buahnya tahu jikatingkat kependekaran Kusuma lebih tinggidari tingkat kependekaran mereka. Tapi anehnya,mereka tetap nekat menyerang karena yakin akan menang jika bertarung lima lawan satu. “Sungguh keputusan bodoh! Bahkan sepuluh pendekar kahyangan awal tidak bisa mengalahkan seorang pendekar tingkat naga!” Kusuma membatin, dia siap melontarkan semburan api. “Awas dia dari atas!” Malik menghentak tanah dengan kaki kanan, dia menerbangkan empat anak buahnya ke empat arah berbeda. Mereka memulai serangan pertama dengan Malik menjadi pusat formasi. - Sirkel Ranjau Abang -Formasinya sangat apik,Kusuma sampai dibuat tertegun. Padahal, lima tahun lalu formasi tersebut masih belum sempurna dan sangat kacau. Hanya butuh waktu lima tahun, Malik dan empat anak buahnya berhasil menyempurnakan formasi yang menggunakan elemen api amplifi empat itu. Kelimanya maju bersamaan dari segala sisi, mengincar tengkuk, l
Beberapa menit berlalu.Enam orang di depan aula padepokan terus beradu kesaktian, lima orang pendekar kahyangan awal, melawan satu orang pendekar naga.Ledakan demi ledakan terjadi, beberapa siluman yang tadi sempat terlihat mengintip dari kejauhan, mendadak hilang karena begitu dahsyatnya efek samping pertarungan mereka.“Teknik Tengkorak Merah - Api Jayandaru!”Malik beserta empat anggota sekte yang lain menyemburkan api kuning dari mulut mereka. Semburan api itu sedikit berbeda karena mereka membubuhkan jarum-jarum kecil yang ditembakkan di sela-sela menyemburkan api.Kusuma menghentakkan kakinya ke tanah dan membuat tameng untuk berlindung dari serangan api tengkorak merah.“Perisai Batangkup! Keluarlah, iblis api Kaja!”Sosok burung elang membawa pecut listrik keluar dari punggung Kusuma, pria itu berteriak keras menahan sakit. Satu pecutan Kaja menimbulkan gelombang energi raksasa. Beberapa atap gubu
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As