Share

Bab 2. Tragedi

Penulis: Enday Hidayat
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-04 17:09:24

"Untuk apa anak itu pulang?"

Pemilik kedai kopi yang biasa dipanggil Pak Tua heran melihat kemunculan Banga di ujung kampung dengan pedang kalkolitik di punggung.

"Cari mati!"

Beberapa warga yang sedang minum kopi meremehkan Banga.

"Ia membawa pedang! Apakah ia sudah jadi jagoan?"

"Barangkali ia berubah pikiran ingin menjadi pangeran pengganti! Sungguh hina sekali!"

"Ia sudah menyia-nyiakan pengorbanan ibunya! Dasar anak durhaka!"

Banga berjalan memasuki kedai dan duduk di depan Pak Tua. Ia memesan kopi tubruk.

"Sebaiknya kau lekas pergi," kata Pak Tua. "Jangan sia-siakan pengorbanan mereka."

"Aku pulang untuk membebaskan orang tuaku," sahut Banga dingin. "Apakah kau ingin mengahalangi diriku?"

"Aku bukan menghalangi, aku menghormati bangsawan Adikara meskipun mereka dinistakan."

Ucapan pemilik kedai menunjukkan kalau orang tuanya masuk penjara dan disiksa, sampai anaknya bersedia menjadi selir.

"Aku tahu orang tuaku berada di penjara bawah tanah yang gelap, mereka diikat di palang kayu dengan sedikit makanan."

"Orang tuamu tidak ditahan. Satu pun klan Adikara tidak ada yang ditahan."

Banga memandang bingung. "Apa maksudmu, Pak Tua?"

"Klan Adikara dimusnahkan. Aku tidak tahu apakah ada yang berhasil meloloskan diri, selain dirimu."

"Dimusnahkan...?"

Banga hampir tak percaya mendengarnya. Sebuah kebiadaban yang sangat sulit diterima daya nalar.

Ratu Nayaka telah melakukan kesalahan besar dengan membantai klan Adikara.

Tubuh Banga terasa panas terbakar amarah.

"Laki-laki dihukum digantung, perempuan digagahi secara bergilir lalu dibunuh, bahkan ibumu diikat terlentang di alun-alun kampung untuk digagahi pria yang lewat sampai mati. Separuh kampung habis dibakar, dan itu adalah rumah klan Adikara."

Banga sulit membayangkan kebiadaban yang terjadi. Ia sampai memecahkan gelap kopi yang dipegangnya karena dendam memuncak.

Matanya berkobar-kobar dibakar api kebencian. Dada hampir meledak menahan kemarahan yang menggelegak.

"Jangan sampai kalian terlibat di dalamnya, sebab kampung akan kehilangan penduduk," geram Banga sambil meremas gelas sampai menjadi abu. "Adakah di antara kalian yang berpesta pora dalam pemusnahan klanku?"

"Tidak ada."

Pak Tua tampak ngeri melihat kemurkaan Banga, juga simpati. Kemurkaan tiada arti.

Mereka trauma dengan peristiwa itu, bahkan menutup pintu dan jendela karena tak sanggup menyaksikan.

Mereka berharap penguasa langit menghentikan kekejian itu, namun tak kunjung datang.

"Maafkan kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami memintamu segera pergi bukan lantaran benci, kau adalah satu-satunya klan Adikara yang tersisa, kau perlu membangun kekuatan untuk menghentikan kebengisan Ratu Nayaka. Klan Adikara tidak boleh musnah, kami yakin dari klan itu akan lahir ksatria besar yang menggantikan ratu durjana."

"Ksatria besar itu sudah lahir."

Pak Tua memandang dengan riak-riak harapan yang membuncah.

"Siapakah gerangan?"

"Aku."

Keluhan kekecewaan meluncur dari mulut Pak Tua, menghempaskan harapan yang sempat melambung. Banga membunuh semut saja tidak pernah.

Kerjanya hanya menulis dan menciptakan filsafat indah.

"Bagaimana kongsi dagang klan Adikara?" tanya Banga.

"Usaha keluargamu diambil alih kepala kampung sebagai kaki tangan istana."

"Ia adalah orang pertama yang mati."

Pak Tua semakin iba melihat kedunguan pemuda itu. Dendam kesumat telah menutup akal sehatnya. Ia butuh kekuatan besar untuk merobohkan tirani, butuh ksatria-ksatria pemberani.

Pernah terjadi pemberontakan, Ratu Nayaka melenyapkan mereka secara brutal dan bengis.

Sejak pemberontakan berdarah itu, belum ada lagi ksatria memimpin pergerakan untuk menggulingkan sri ratu.

"Aku tahu pedangmu sangat bagus, bahkan mata tuaku baru melihat pedang yang demikian indah. Tapi kau bukan siapa-siapa tanpa bantuan para ksatria gagah berani. Kau bisa minta bantuan pendekar dari kerajaan Han Timur, kau pernah belajar bertahun-tahun di sana."

Ksatria dan para pendekar di wilayah ini kecut untuk membangun kekuatan, kaki tangan istana bukan hanya memburu mereka, juga menghabisi keluarga.

Mereka perlu mengungsikan seluruh keluarga ke luar wilayah sebelum melakukan perjuangan, dan itu mustahil.

Orang sebatang kara adalah sosok yang diharapkan menjadi pejuang, namun menjadi ksatria membutuhkan proses rumit dan berat.

"Pergilah ke negeri Han, mintalah bantuan pada Kaisar Shun. Bukan datang sendiri seperti ini. Perjuanganmu akan berhenti di kampung ini. Kau takkan pernah mencapai istana."

"Mengapa Pak Tua berpikir demikian?"

"Kampung ini adalah salah satu kampung dengan kekuatan terbaik, kepala kampung didukung ratusan prajurit sena dan pendekar kelas satu."

Kepala kampung adalah pimpinan terendah dalam hirarki kekuasaan, di bawah koordinasi kepala distrik, kemudian adipati dan gubernur.

Kepala kampung adalah pimpinan terkejam dalam memperlakukan rakyat. Kenyamanan hidup hanya milik para saudagar dan bangsawan karena upeti besar.

Perlindungan tidak berlaku kalau sabda ratu sudah keluar, dan itulah yang terjadi pada klan Adikara.

"Datanglah suatu hari nanti dengan para ksatria dan pendekar untuk membalas kekejian mereka atas klan Adikara."

"Aku sudah datang hari ini. Aku meminta bantuanmu untuk mengelola kongsi dagang klan Adikara, sebab besok kepala kampung dan kaki tangannya sudah lenyap dari muka bumi."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 3. Bukan Perampok

    Separuh kampung hangus terbakar, pemandangan yang terlihat hanyalah gundukan abu. Tersisa beberapa gudang rempah dan dikuasai kepala kampung. Licik sekali. Perbuatan mereka sungguh melampaui batas. Mereka tidak layak disebut manusia. "Apa dosa klan Adikara?" keluh Banga pedih. "Bagaimana aku membayar pengorbanan mereka?" Beberapa bangunan baru berdiri, gundukan abu diangkut dengan gerobak. Kepala kampung sudah sewenang-wenang merampas tanah klan Adikara. Para pekerja itu sekedar mencari upah. Mereka tidak bersalah. Tapi Banga perlu menegur mereka. "Siapa yang menyuruh kalian membangun rumah di tanah klan Adikara?" tanya Banga kepada mandor yang mengawasi para pekerja. Pria separuh baya itu memandang heran, tanpa menghentikan hisapan pada tembakau di cangklong panjang. "Siapa kau? Berani sekali bertanya seperti itu." "Jawablah baik-baik, sehingga aku tahu tindakan apa untukmu." Mandor menghentikan hisapannya, ia mendelik, kelihatan sekali ia memandang remeh pemuda di depannya

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 4. Rumah Terkutuk

    Rumah itu sangat megah dengan halaman luas, dikelilingi pagar tinggi dari papan tebal. Brak! Banga menendang pintu gerbang sehingga palang pintu patah dan pintu terbuka lebar. Di dalam sudah menunggu ratusan prajurit dan pendekar. Kepala kampung berdiri dengan congkak di antara barisan prajurit. Banga tersenyum sinis. "Bagus, kalian sudah kumpul semua, jadi aku bisa menghemat waktu." "Berani sekali datang ke rumahku," kata kepala kampung. "Kau sudah dihapus dari daftar penduduk, berarti kematian bagimu." Prajurit siap siaga menunggu perintah. "Bumi jadi saksi bahwa siang ini kampung ini menjadi daerah tak bertuan," kata Banga. "Cukup sampai di sini kalian menghirup udara bebas." Kepala kampung tertawa melecehkan. "Ucapanmu keren sekali. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu sekeren ucapanmu." "Kepandaianku biasa-biasa saja. Aku kira tidak perlu ilmu tinggi untuk melenyapkan cecunguk macam kalian." "Serang...!" Sepuluh prajurit bersenjata tombak maju menyerang. Banga mencabut

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 5. Menutup Pintu Pertaubatan

    Sasaran pedang kalkolitik bukan hanya pendekar yang mengepung Banga, juga prajurit terdekat yang berusaha menyerang dengan tombak. Mereka begitu sulit menembus pertahanan Banga, padahal ilmu pedangnya biasa saja, bahkan terlihat aneh. Mereka tidak mengenali jurus pedang kalkolitik, jurus itu dinyatakan punah di abad permulaan. "Kepandaian Banga di luar perkiraan kita," ucap komandan legiun. "Ilmu pedangnya luar biasa." Ketua pendekar pun mulai mengakui kehebatan permainan pedang Banga. "Kita kurang jauh berkelana," kata ketua pendekar. "Kita tidak mengetahui ada ksatria mempunyai ilmu pedang aneh." "Banga berasal dari klan Adikara, klan itu banyak melahirkan cendekiawan, bukan ksatria perang," tukas kepala kampung. "Kau sudah merekrut pendekar bodoh, meringkus seorang bocah saja tidak mampu." Kepala kampung sudah membayar mahal mereka untuk menjaga keamanan dirinya. Ketika muncul seorang pengacau, mereka kewalahan. Payah. Kepala kampung menganggap bantuan prajurit dari istan

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 6. Ingin Berjuang Sendiri

    Percuma kepala kampung memohon ampun, pintu itu sudah ditutup. Pemusnahan klan Adikara adalah jalan kematian bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Banga hanya mengijinkan sembilan istrinya untuk pergi. Banga bukan iblis, ia menyisakan perempuan untuk hidup, kecuali mereka kadet istana, terpaksa dilenyapkan. "Sebelum pergi, kalian boleh mengungkapkan perasaan kalian kepada suami jelek ini." Sembilan perempuan muda itu bergegas mengambil senjata yang berserakan di halaman, dan menghujamkan ke tubuh kepala kampung dengan penuh kebencian. Banga terpana. Kepala kampung menemui ajal di tangan istrinya sendiri. "Aku percaya kalian bukan istri yang mendukung kekejaman kepala kampung, kalian menjadi istri karena keluarga terancam," kata Banga. "Jangan sia-siakan kepercayaanku ini." "Kami bukan istri mayat keparat itu, kami hanyalah budak nafsu," ujar perempuan tertua. "Kami akan dibunuh jika hamil." Nasib mereka sungguh malang sekali, batin Banga prihatin. Mereka pasti

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 7. Bukan Iblis

    Banga menginginkan mereka membangun kembali kejayaan klan Adikara, menguasai perekonomian secara arif. "Pulanglah kalian ke kampung itu. Jadi perampok bukan kebiasaan klan Adikara dalam situasi sesulit apapun. Lebih baik mati kelaparan ketimbang melanggar aturan klan." "Kami merampok bukan mencari makan, untuk balas dendam." "Balas dendam terbaik adalah bangkit kembali secepatnya. Janganlah kalian mengaku klan Adikara demi keamanan kalian. Cukup aku yang menjadi incaran istana." Banga meneruskan perjalanan ke perkampungan di utara. Ia ingin menghancurkan kaki tangan istana dari hirarki yang terendah. Bangunan akan roboh kalau fondasi hancur. Banga menghendaki rakyat bangkit, maka itu ia mengangkat kepala kampung dari kalangan mereka. Kerajaan ini bukan hanya milik bangsawan. Banga keluar dari hutan. Ia tiba di kedai nasi dengan pengunjung sangat ramai. Jam makan siang. "Kekeliruan istana adalah menghentikan perburuan Banga Adikara," kata seorang pendekar sambil menyantap pepes

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 8. Jangan Berkorban Untukku

    Banga mencari kedai nasi untuk makan siang. Ia sulit mengisi perut jika di antara pengunjung terdapat kaki tangan istana. Ada kejadian yang melecut nuraninya saat Banga melewati sebuah rumah sederhana, beberapa warga menyaksikan dari rumah masing-masing dengan sinar mata prihatin. Tampak pendekar brewok membawa paksa seorang gadis, sementara ibunya berusaha mempertahankan. "Jangan bawa anakku, Tuan," pinta wanita separuh baya itu. "Kasihanilah anakku, ia akan menikah pekan depan." "Kau seharusnya bangga anakmu menjadi gundik kepala kampung," sergah pendekar berambut gimbal. "Berarti anakmu cantik." "Apalah artinya cantik kalau ia harus mengkhianati kekasihnya?" "Dasar ibu tidak tahu diri!" maki pendekar berjidat nongnong. "Seharusnya kau selamatan seperti ibu lain, bukan menghiba!" Tugas gundik setiap hari berdandan dan hidup dalam kemewahan, mereka bisa membantu keluarganya yang kekurangan karena mendapat harta berlimpah dari kepala kampung. Hadiah mengalir setiap hari kala

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 1. Pedang Kalkolitik

    Sebuah pedang terbuat dari perunggu arsenik tertancap di batu hitam, tampak samar dengan gagang berwarna coklat kekuningan di antara bunga mirabilis berwarna kuning yang bermekaran di senja hari. Pedang itu sudah tertancap ribuan tahun. Dahulu banyak tokoh sakti berusaha mencabutnya, pedang itu tak bergeser sedikit pun, akhirnya pedang itu terlupakan. Seorang pemuda tampak berlari ketakutan dari arah lembah, padahal tidak ada yang mengejar. Pedang itu menarik perhatiannya. Ia mencoba mencabutnya. Pedang itu tercabut dengan mudah. Kemudian berkumandang suara di angkasa, "Banga Adikara! Kau datang untuk menjemput takdirmu sebagai pewaris pedang kalkolitik!" Padahal Banga datang ke pegunungan utara karena diperintah ibunya untuk kabur. Awalnya Banga bersikeras menolak. Orang tuanya pasti kena murka Ratu Nayaka kalau ia melarikan diri. Menentang sabda sri ratu berarti siap menerima hukuman terkejam. "Pergilah sejauh-jauhnya!" desak ibunya. "Aku merasa sia-sia melahirkan diri

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-04

Bab terbaru

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 8. Jangan Berkorban Untukku

    Banga mencari kedai nasi untuk makan siang. Ia sulit mengisi perut jika di antara pengunjung terdapat kaki tangan istana. Ada kejadian yang melecut nuraninya saat Banga melewati sebuah rumah sederhana, beberapa warga menyaksikan dari rumah masing-masing dengan sinar mata prihatin. Tampak pendekar brewok membawa paksa seorang gadis, sementara ibunya berusaha mempertahankan. "Jangan bawa anakku, Tuan," pinta wanita separuh baya itu. "Kasihanilah anakku, ia akan menikah pekan depan." "Kau seharusnya bangga anakmu menjadi gundik kepala kampung," sergah pendekar berambut gimbal. "Berarti anakmu cantik." "Apalah artinya cantik kalau ia harus mengkhianati kekasihnya?" "Dasar ibu tidak tahu diri!" maki pendekar berjidat nongnong. "Seharusnya kau selamatan seperti ibu lain, bukan menghiba!" Tugas gundik setiap hari berdandan dan hidup dalam kemewahan, mereka bisa membantu keluarganya yang kekurangan karena mendapat harta berlimpah dari kepala kampung. Hadiah mengalir setiap hari kala

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 7. Bukan Iblis

    Banga menginginkan mereka membangun kembali kejayaan klan Adikara, menguasai perekonomian secara arif. "Pulanglah kalian ke kampung itu. Jadi perampok bukan kebiasaan klan Adikara dalam situasi sesulit apapun. Lebih baik mati kelaparan ketimbang melanggar aturan klan." "Kami merampok bukan mencari makan, untuk balas dendam." "Balas dendam terbaik adalah bangkit kembali secepatnya. Janganlah kalian mengaku klan Adikara demi keamanan kalian. Cukup aku yang menjadi incaran istana." Banga meneruskan perjalanan ke perkampungan di utara. Ia ingin menghancurkan kaki tangan istana dari hirarki yang terendah. Bangunan akan roboh kalau fondasi hancur. Banga menghendaki rakyat bangkit, maka itu ia mengangkat kepala kampung dari kalangan mereka. Kerajaan ini bukan hanya milik bangsawan. Banga keluar dari hutan. Ia tiba di kedai nasi dengan pengunjung sangat ramai. Jam makan siang. "Kekeliruan istana adalah menghentikan perburuan Banga Adikara," kata seorang pendekar sambil menyantap pepes

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 6. Ingin Berjuang Sendiri

    Percuma kepala kampung memohon ampun, pintu itu sudah ditutup. Pemusnahan klan Adikara adalah jalan kematian bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Banga hanya mengijinkan sembilan istrinya untuk pergi. Banga bukan iblis, ia menyisakan perempuan untuk hidup, kecuali mereka kadet istana, terpaksa dilenyapkan. "Sebelum pergi, kalian boleh mengungkapkan perasaan kalian kepada suami jelek ini." Sembilan perempuan muda itu bergegas mengambil senjata yang berserakan di halaman, dan menghujamkan ke tubuh kepala kampung dengan penuh kebencian. Banga terpana. Kepala kampung menemui ajal di tangan istrinya sendiri. "Aku percaya kalian bukan istri yang mendukung kekejaman kepala kampung, kalian menjadi istri karena keluarga terancam," kata Banga. "Jangan sia-siakan kepercayaanku ini." "Kami bukan istri mayat keparat itu, kami hanyalah budak nafsu," ujar perempuan tertua. "Kami akan dibunuh jika hamil." Nasib mereka sungguh malang sekali, batin Banga prihatin. Mereka pasti

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 5. Menutup Pintu Pertaubatan

    Sasaran pedang kalkolitik bukan hanya pendekar yang mengepung Banga, juga prajurit terdekat yang berusaha menyerang dengan tombak. Mereka begitu sulit menembus pertahanan Banga, padahal ilmu pedangnya biasa saja, bahkan terlihat aneh. Mereka tidak mengenali jurus pedang kalkolitik, jurus itu dinyatakan punah di abad permulaan. "Kepandaian Banga di luar perkiraan kita," ucap komandan legiun. "Ilmu pedangnya luar biasa." Ketua pendekar pun mulai mengakui kehebatan permainan pedang Banga. "Kita kurang jauh berkelana," kata ketua pendekar. "Kita tidak mengetahui ada ksatria mempunyai ilmu pedang aneh." "Banga berasal dari klan Adikara, klan itu banyak melahirkan cendekiawan, bukan ksatria perang," tukas kepala kampung. "Kau sudah merekrut pendekar bodoh, meringkus seorang bocah saja tidak mampu." Kepala kampung sudah membayar mahal mereka untuk menjaga keamanan dirinya. Ketika muncul seorang pengacau, mereka kewalahan. Payah. Kepala kampung menganggap bantuan prajurit dari istan

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 4. Rumah Terkutuk

    Rumah itu sangat megah dengan halaman luas, dikelilingi pagar tinggi dari papan tebal. Brak! Banga menendang pintu gerbang sehingga palang pintu patah dan pintu terbuka lebar. Di dalam sudah menunggu ratusan prajurit dan pendekar. Kepala kampung berdiri dengan congkak di antara barisan prajurit. Banga tersenyum sinis. "Bagus, kalian sudah kumpul semua, jadi aku bisa menghemat waktu." "Berani sekali datang ke rumahku," kata kepala kampung. "Kau sudah dihapus dari daftar penduduk, berarti kematian bagimu." Prajurit siap siaga menunggu perintah. "Bumi jadi saksi bahwa siang ini kampung ini menjadi daerah tak bertuan," kata Banga. "Cukup sampai di sini kalian menghirup udara bebas." Kepala kampung tertawa melecehkan. "Ucapanmu keren sekali. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu sekeren ucapanmu." "Kepandaianku biasa-biasa saja. Aku kira tidak perlu ilmu tinggi untuk melenyapkan cecunguk macam kalian." "Serang...!" Sepuluh prajurit bersenjata tombak maju menyerang. Banga mencabut

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 3. Bukan Perampok

    Separuh kampung hangus terbakar, pemandangan yang terlihat hanyalah gundukan abu. Tersisa beberapa gudang rempah dan dikuasai kepala kampung. Licik sekali. Perbuatan mereka sungguh melampaui batas. Mereka tidak layak disebut manusia. "Apa dosa klan Adikara?" keluh Banga pedih. "Bagaimana aku membayar pengorbanan mereka?" Beberapa bangunan baru berdiri, gundukan abu diangkut dengan gerobak. Kepala kampung sudah sewenang-wenang merampas tanah klan Adikara. Para pekerja itu sekedar mencari upah. Mereka tidak bersalah. Tapi Banga perlu menegur mereka. "Siapa yang menyuruh kalian membangun rumah di tanah klan Adikara?" tanya Banga kepada mandor yang mengawasi para pekerja. Pria separuh baya itu memandang heran, tanpa menghentikan hisapan pada tembakau di cangklong panjang. "Siapa kau? Berani sekali bertanya seperti itu." "Jawablah baik-baik, sehingga aku tahu tindakan apa untukmu." Mandor menghentikan hisapannya, ia mendelik, kelihatan sekali ia memandang remeh pemuda di depannya

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 2. Tragedi

    "Untuk apa anak itu pulang?" Pemilik kedai kopi yang biasa dipanggil Pak Tua heran melihat kemunculan Banga di ujung kampung dengan pedang kalkolitik di punggung. "Cari mati!" Beberapa warga yang sedang minum kopi meremehkan Banga. "Ia membawa pedang! Apakah ia sudah jadi jagoan?" "Barangkali ia berubah pikiran ingin menjadi pangeran pengganti! Sungguh hina sekali!" "Ia sudah menyia-nyiakan pengorbanan ibunya! Dasar anak durhaka!" Banga berjalan memasuki kedai dan duduk di depan Pak Tua. Ia memesan kopi tubruk. "Sebaiknya kau lekas pergi," kata Pak Tua. "Jangan sia-siakan pengorbanan mereka." "Aku pulang untuk membebaskan orang tuaku," sahut Banga dingin. "Apakah kau ingin mengahalangi diriku?" "Aku bukan menghalangi, aku menghormati bangsawan Adikara meskipun mereka dinistakan." Ucapan pemilik kedai menunjukkan kalau orang tuanya masuk penjara dan disiksa, sampai anaknya bersedia menjadi selir. "Aku tahu orang tuaku berada di penjara bawah tanah yang gelap, mer

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 1. Pedang Kalkolitik

    Sebuah pedang terbuat dari perunggu arsenik tertancap di batu hitam, tampak samar dengan gagang berwarna coklat kekuningan di antara bunga mirabilis berwarna kuning yang bermekaran di senja hari. Pedang itu sudah tertancap ribuan tahun. Dahulu banyak tokoh sakti berusaha mencabutnya, pedang itu tak bergeser sedikit pun, akhirnya pedang itu terlupakan. Seorang pemuda tampak berlari ketakutan dari arah lembah, padahal tidak ada yang mengejar. Pedang itu menarik perhatiannya. Ia mencoba mencabutnya. Pedang itu tercabut dengan mudah. Kemudian berkumandang suara di angkasa, "Banga Adikara! Kau datang untuk menjemput takdirmu sebagai pewaris pedang kalkolitik!" Padahal Banga datang ke pegunungan utara karena diperintah ibunya untuk kabur. Awalnya Banga bersikeras menolak. Orang tuanya pasti kena murka Ratu Nayaka kalau ia melarikan diri. Menentang sabda sri ratu berarti siap menerima hukuman terkejam. "Pergilah sejauh-jauhnya!" desak ibunya. "Aku merasa sia-sia melahirkan diri

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status