Accueil / Pendekar / Pendekar Pedang Mirabilis / Bab 4. Rumah Terkutuk

Share

Bab 4. Rumah Terkutuk

Auteur: Enday Hidayat
last update Dernière mise à jour: 2025-04-04 22:35:14

Rumah itu sangat megah dengan halaman luas, dikelilingi pagar tinggi dari papan tebal.

Brak!

Banga menendang pintu gerbang sehingga palang pintu patah dan pintu terbuka lebar.

Di dalam sudah menunggu ratusan prajurit dan pendekar. Kepala kampung berdiri dengan congkak di antara barisan prajurit.

Banga tersenyum sinis. "Bagus, kalian sudah kumpul semua, jadi aku bisa menghemat waktu."

"Berani sekali datang ke rumahku," kata kepala kampung. "Kau sudah dihapus dari daftar penduduk, berarti kematian bagimu."

Prajurit siap siaga menunggu perintah.

"Bumi jadi saksi bahwa siang ini kampung ini menjadi daerah tak bertuan," kata Banga. "Cukup sampai di sini kalian menghirup udara bebas."

Kepala kampung tertawa melecehkan.

"Ucapanmu keren sekali. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu sekeren ucapanmu."

"Kepandaianku biasa-biasa saja. Aku kira tidak perlu ilmu tinggi untuk melenyapkan cecunguk macam kalian."

"Serang...!"

Sepuluh prajurit bersenjata tombak maju menyerang. Banga mencabut pedang dan melakukan beberapa gerakan.

Sepuluh prajurit itu bertumbangan, tewas seketika. Kelompok kedua maju dan bernasib sama, mereka tewas tanpa sempat mencabut senjata.

Kelompok ketiga juga bernasib tragis. Mereka tewas dalam segebrakan.

"Aku baru melihat pedang terbuat dari perunggu tapi lebih atos dari baja," kata komandan legiun. "Tombak prajurit sena merupakan campuran besi dan baja, tombak terbaik dari Han Timur, dengan gampangnya dipatahkan."

"Ilmu pedangnya aneh," ujar ketua pendekar. "Apakah ia ksatria dari Han Timur?"

"Pemuda itu bernama Banga Adikara," tukas kepala kampung. "Ahli ilmu kehidupan, ia menempuh pendidikan di Han Timur. Klan Adikara yang tersisa dan menjadi tugas kalian untuk melenyapkan."

Ketua pendekar tersenyum dengan congkak. Pedangnya terbuat dari emas murni. Mana mungkin kalah dengan pedang perunggu!

Ia menjadi ketua pendekar karena pedangnya. Sekali tebas leher kerbau langsung putus saking tajamnya.

Kecongkakan pria separuh baya itu telah menutup matanya akan ketinggian ilmu yang diperlihatkan Banga. Puluhan prajurit sena terkapar mati dalam beberapa gebrakan.

"Ksatria perang bukan keahlian pemuda itu, jadi wajar ilmu pedangnya aneh," ucap kepala kampung. "Ia akan menjadi cendekiawan termasyhur jika menerima pinangan gusti ratu. Bodohnya ia memilih kematian."

Kepala kampung menganggap remeh kemampuan Banga. Sehebat-hebatnya pemuda itu pasti akan mati juga melawan ratusan penjaga keamanan kampung.

"Biarlah ia bersenang-senang dahulu."

Kepala kampung seharusnya menaruh kepedulian melihat korban semakin banyak berjatuhan. Banga menghukum mereka tanpa ampun. Perbuatan mereka sudah melampaui iblis.

Korban bergeletakan di halaman, bahkan terinjak oleh prajurit yang mengepung Banga.

Mereka sama sekali tidak menghormati mayat kawannya.

"Majulah kalian semua!" geram Banga dengan mata menyala-nyala dibakar dendam. "Kalian harus membayar kebiadaban kalian kepada klan Adikara!"

"Kau tidak akan selamat!" teriak komandan legiun. "Menyerahlah! Aku akan mengajukan ampunan pada gusti ratu!"

"Mintalah ampun untuk diri sendiri!"

Banga melompat ke udara lalu berguling beberapa kali dan hinggap di bahu prajurit, bergerak dari satu bahu ke bahu lainnya sambil membabatkan pedang ke prajurit yang menyerangnya.

Korban bergelimpangan, darah berceceran, bahkan banyak prajurit belum menghunuskan tombak sudah meregang nyawa, tanah berubah merah berbau amis.

Pedang kalkolitik menari-nari menebas musuh yang seakan tidak ada habisnya. Para prajurit sena berkepandaian cukup tinggi, tapi bukan lawan berbahaya bagi Banga.

"Prajurit yang mati sudah lebih dari separuh," kata kepala kampung. "Orang-orangmu sudah saatnya turun tangan."

Ketua pendekar memerintahkan beberapa anak buahnya untuk maju. Mereka berlompatan ke halaman mengepung Banga.

Prajurit mundur membentuk lingkaran dengan tombak terhunus. Menutup celah bagi Banga untuk kabur.

"Kalian sudah tidak sabar ingin buru-buru mati," ucap Banga dingin. "Padahal seorang pun tidak akan kubiarkan lolos dari rumah terkutuk ini."

"Jangan berbual setinggi langit," sergah ketua pendekar. "Kakimu masih berpijak di bumi. Lihatlah sekeliling, tak ada jalan untuk melarikan diri. Menyerah adalah pilihan terbaik bagimu."

Banga mendengus sinis. "Janganlah berandai-andai. Aku akan pergi setelah membinasakan manusia keparat seperti kalian."

"Cincang pemuda itu...!"

Para pendekar menyerbu dengan berbagai senjata pusaka. Banga meladeni mereka.

Trang! Trang!

Terdengar bunyi bentrokan pedang kalkolitik dengan senjata pusaka mereka.

Krak! Krak!

Senjata pusaka mereka patah terbabat pedang. Kemudian pemiliknya bertumbangan dengan luka di dada atau leher.

"Apakah benar pemuda itu adalah Banga Adikara?" pandang kepala kampung tak percaya. "Bagaimana seorang ahli kehidupan bisa menjadi ahli pedang?"

Ketua pendekar menjawab dengan enteng, "Pemuda itu hanya beruntung."

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Related chapter

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 5. Menutup Pintu Pertaubatan

    Sasaran pedang kalkolitik bukan hanya pendekar yang mengepung Banga, juga prajurit terdekat yang berusaha menyerang dengan tombak. Mereka begitu sulit menembus pertahanan Banga, padahal ilmu pedangnya biasa saja, bahkan terlihat aneh. Mereka tidak mengenali jurus pedang kalkolitik, jurus itu dinyatakan punah di abad permulaan. "Kepandaian Banga di luar perkiraan kita," ucap komandan legiun. "Ilmu pedangnya luar biasa." Ketua pendekar pun mulai mengakui kehebatan permainan pedang Banga. "Kita kurang jauh berkelana," kata ketua pendekar. "Kita tidak mengetahui ada ksatria mempunyai ilmu pedang aneh." "Banga berasal dari klan Adikara, klan itu banyak melahirkan cendekiawan, bukan ksatria perang," tukas kepala kampung. "Kau sudah merekrut pendekar bodoh, meringkus seorang bocah saja tidak mampu." Kepala kampung sudah membayar mahal mereka untuk menjaga keamanan dirinya. Ketika muncul seorang pengacau, mereka kewalahan. Payah. Kepala kampung menganggap bantuan prajurit dari istan

    Dernière mise à jour : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 6. Ingin Berjuang Sendiri

    Percuma kepala kampung memohon ampun, pintu itu sudah ditutup. Pemusnahan klan Adikara adalah jalan kematian bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Banga hanya mengijinkan sembilan istrinya untuk pergi. Banga bukan iblis, ia menyisakan perempuan untuk hidup, kecuali mereka kadet istana, terpaksa dilenyapkan. "Sebelum pergi, kalian boleh mengungkapkan perasaan kalian kepada suami jelek ini." Sembilan perempuan muda itu bergegas mengambil senjata yang berserakan di halaman, dan menghujamkan ke tubuh kepala kampung dengan penuh kebencian. Banga terpana. Kepala kampung menemui ajal di tangan istrinya sendiri. "Aku percaya kalian bukan istri yang mendukung kekejaman kepala kampung, kalian menjadi istri karena keluarga terancam," kata Banga. "Jangan sia-siakan kepercayaanku ini." "Kami bukan istri mayat keparat itu, kami hanyalah budak nafsu," ujar perempuan tertua. "Kami akan dibunuh jika hamil." Nasib mereka sungguh malang sekali, batin Banga prihatin. Mereka pasti

    Dernière mise à jour : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 7. Bukan Iblis

    Banga menginginkan mereka membangun kembali kejayaan klan Adikara, menguasai perekonomian secara arif. "Pulanglah kalian ke kampung itu. Jadi perampok bukan kebiasaan klan Adikara dalam situasi sesulit apapun. Lebih baik mati kelaparan ketimbang melanggar aturan klan." "Kami merampok bukan mencari makan, untuk balas dendam." "Balas dendam terbaik adalah bangkit kembali secepatnya. Janganlah kalian mengaku klan Adikara demi keamanan kalian. Cukup aku yang menjadi incaran istana." Banga meneruskan perjalanan ke perkampungan di utara. Ia ingin menghancurkan kaki tangan istana dari hirarki yang terendah. Bangunan akan roboh kalau fondasi hancur. Banga menghendaki rakyat bangkit, maka itu ia mengangkat kepala kampung dari kalangan mereka. Kerajaan ini bukan hanya milik bangsawan. Banga keluar dari hutan. Ia tiba di kedai nasi dengan pengunjung sangat ramai. Jam makan siang. "Kekeliruan istana adalah menghentikan perburuan Banga Adikara," kata seorang pendekar sambil menyantap pepes

    Dernière mise à jour : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 8. Jangan Berkorban Untukku

    Banga mencari kedai nasi untuk makan siang. Ia sulit mengisi perut jika di antara pengunjung terdapat kaki tangan istana. Ada kejadian yang melecut nuraninya saat Banga melewati sebuah rumah sederhana, beberapa warga menyaksikan dari rumah masing-masing dengan sinar mata prihatin. Tampak pendekar brewok membawa paksa seorang gadis, sementara ibunya berusaha mempertahankan. "Jangan bawa anakku, Tuan," pinta wanita separuh baya itu. "Kasihanilah anakku, ia akan menikah pekan depan." "Kau seharusnya bangga anakmu menjadi gundik kepala kampung," sergah pendekar berambut gimbal. "Berarti anakmu cantik." "Apalah artinya cantik kalau ia harus mengkhianati kekasihnya?" "Dasar ibu tidak tahu diri!" maki pendekar berjidat nongnong. "Seharusnya kau selamatan seperti ibu lain, bukan menghiba!" Tugas gundik setiap hari berdandan dan hidup dalam kemewahan, mereka bisa membantu keluarganya yang kekurangan karena mendapat harta berlimpah dari kepala kampung. Hadiah mengalir setiap hari kala

    Dernière mise à jour : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 1. Pedang Kalkolitik

    Sebuah pedang terbuat dari perunggu arsenik tertancap di batu hitam, tampak samar dengan gagang berwarna coklat kekuningan di antara bunga mirabilis berwarna kuning yang bermekaran di senja hari. Pedang itu sudah tertancap ribuan tahun. Dahulu banyak tokoh sakti berusaha mencabutnya, pedang itu tak bergeser sedikit pun, akhirnya pedang itu terlupakan. Seorang pemuda tampak berlari ketakutan dari arah lembah, padahal tidak ada yang mengejar. Pedang itu menarik perhatiannya. Ia mencoba mencabutnya. Pedang itu tercabut dengan mudah. Kemudian berkumandang suara di angkasa, "Banga Adikara! Kau datang untuk menjemput takdirmu sebagai pewaris pedang kalkolitik!" Padahal Banga datang ke pegunungan utara karena diperintah ibunya untuk kabur. Awalnya Banga bersikeras menolak. Orang tuanya pasti kena murka Ratu Nayaka kalau ia melarikan diri. Menentang sabda sri ratu berarti siap menerima hukuman terkejam. "Pergilah sejauh-jauhnya!" desak ibunya. "Aku merasa sia-sia melahirkan diri

    Dernière mise à jour : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 2. Tragedi

    "Untuk apa anak itu pulang?" Pemilik kedai kopi yang biasa dipanggil Pak Tua heran melihat kemunculan Banga di ujung kampung dengan pedang kalkolitik di punggung. "Cari mati!" Beberapa warga yang sedang minum kopi meremehkan Banga. "Ia membawa pedang! Apakah ia sudah jadi jagoan?" "Barangkali ia berubah pikiran ingin menjadi pangeran pengganti! Sungguh hina sekali!" "Ia sudah menyia-nyiakan pengorbanan ibunya! Dasar anak durhaka!" Banga berjalan memasuki kedai dan duduk di depan Pak Tua. Ia memesan kopi tubruk. "Sebaiknya kau lekas pergi," kata Pak Tua. "Jangan sia-siakan pengorbanan mereka." "Aku pulang untuk membebaskan orang tuaku," sahut Banga dingin. "Apakah kau ingin mengahalangi diriku?" "Aku bukan menghalangi, aku menghormati bangsawan Adikara meskipun mereka dinistakan." Ucapan pemilik kedai menunjukkan kalau orang tuanya masuk penjara dan disiksa, sampai anaknya bersedia menjadi selir. "Aku tahu orang tuaku berada di penjara bawah tanah yang gelap, mer

    Dernière mise à jour : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 3. Bukan Perampok

    Separuh kampung hangus terbakar, pemandangan yang terlihat hanyalah gundukan abu. Tersisa beberapa gudang rempah dan dikuasai kepala kampung. Licik sekali. Perbuatan mereka sungguh melampaui batas. Mereka tidak layak disebut manusia. "Apa dosa klan Adikara?" keluh Banga pedih. "Bagaimana aku membayar pengorbanan mereka?" Beberapa bangunan baru berdiri, gundukan abu diangkut dengan gerobak. Kepala kampung sudah sewenang-wenang merampas tanah klan Adikara. Para pekerja itu sekedar mencari upah. Mereka tidak bersalah. Tapi Banga perlu menegur mereka. "Siapa yang menyuruh kalian membangun rumah di tanah klan Adikara?" tanya Banga kepada mandor yang mengawasi para pekerja. Pria separuh baya itu memandang heran, tanpa menghentikan hisapan pada tembakau di cangklong panjang. "Siapa kau? Berani sekali bertanya seperti itu." "Jawablah baik-baik, sehingga aku tahu tindakan apa untukmu." Mandor menghentikan hisapannya, ia mendelik, kelihatan sekali ia memandang remeh pemuda di depannya

    Dernière mise à jour : 2025-04-04

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 8. Jangan Berkorban Untukku

    Banga mencari kedai nasi untuk makan siang. Ia sulit mengisi perut jika di antara pengunjung terdapat kaki tangan istana. Ada kejadian yang melecut nuraninya saat Banga melewati sebuah rumah sederhana, beberapa warga menyaksikan dari rumah masing-masing dengan sinar mata prihatin. Tampak pendekar brewok membawa paksa seorang gadis, sementara ibunya berusaha mempertahankan. "Jangan bawa anakku, Tuan," pinta wanita separuh baya itu. "Kasihanilah anakku, ia akan menikah pekan depan." "Kau seharusnya bangga anakmu menjadi gundik kepala kampung," sergah pendekar berambut gimbal. "Berarti anakmu cantik." "Apalah artinya cantik kalau ia harus mengkhianati kekasihnya?" "Dasar ibu tidak tahu diri!" maki pendekar berjidat nongnong. "Seharusnya kau selamatan seperti ibu lain, bukan menghiba!" Tugas gundik setiap hari berdandan dan hidup dalam kemewahan, mereka bisa membantu keluarganya yang kekurangan karena mendapat harta berlimpah dari kepala kampung. Hadiah mengalir setiap hari kala

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 7. Bukan Iblis

    Banga menginginkan mereka membangun kembali kejayaan klan Adikara, menguasai perekonomian secara arif. "Pulanglah kalian ke kampung itu. Jadi perampok bukan kebiasaan klan Adikara dalam situasi sesulit apapun. Lebih baik mati kelaparan ketimbang melanggar aturan klan." "Kami merampok bukan mencari makan, untuk balas dendam." "Balas dendam terbaik adalah bangkit kembali secepatnya. Janganlah kalian mengaku klan Adikara demi keamanan kalian. Cukup aku yang menjadi incaran istana." Banga meneruskan perjalanan ke perkampungan di utara. Ia ingin menghancurkan kaki tangan istana dari hirarki yang terendah. Bangunan akan roboh kalau fondasi hancur. Banga menghendaki rakyat bangkit, maka itu ia mengangkat kepala kampung dari kalangan mereka. Kerajaan ini bukan hanya milik bangsawan. Banga keluar dari hutan. Ia tiba di kedai nasi dengan pengunjung sangat ramai. Jam makan siang. "Kekeliruan istana adalah menghentikan perburuan Banga Adikara," kata seorang pendekar sambil menyantap pepes

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 6. Ingin Berjuang Sendiri

    Percuma kepala kampung memohon ampun, pintu itu sudah ditutup. Pemusnahan klan Adikara adalah jalan kematian bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Banga hanya mengijinkan sembilan istrinya untuk pergi. Banga bukan iblis, ia menyisakan perempuan untuk hidup, kecuali mereka kadet istana, terpaksa dilenyapkan. "Sebelum pergi, kalian boleh mengungkapkan perasaan kalian kepada suami jelek ini." Sembilan perempuan muda itu bergegas mengambil senjata yang berserakan di halaman, dan menghujamkan ke tubuh kepala kampung dengan penuh kebencian. Banga terpana. Kepala kampung menemui ajal di tangan istrinya sendiri. "Aku percaya kalian bukan istri yang mendukung kekejaman kepala kampung, kalian menjadi istri karena keluarga terancam," kata Banga. "Jangan sia-siakan kepercayaanku ini." "Kami bukan istri mayat keparat itu, kami hanyalah budak nafsu," ujar perempuan tertua. "Kami akan dibunuh jika hamil." Nasib mereka sungguh malang sekali, batin Banga prihatin. Mereka pasti

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 5. Menutup Pintu Pertaubatan

    Sasaran pedang kalkolitik bukan hanya pendekar yang mengepung Banga, juga prajurit terdekat yang berusaha menyerang dengan tombak. Mereka begitu sulit menembus pertahanan Banga, padahal ilmu pedangnya biasa saja, bahkan terlihat aneh. Mereka tidak mengenali jurus pedang kalkolitik, jurus itu dinyatakan punah di abad permulaan. "Kepandaian Banga di luar perkiraan kita," ucap komandan legiun. "Ilmu pedangnya luar biasa." Ketua pendekar pun mulai mengakui kehebatan permainan pedang Banga. "Kita kurang jauh berkelana," kata ketua pendekar. "Kita tidak mengetahui ada ksatria mempunyai ilmu pedang aneh." "Banga berasal dari klan Adikara, klan itu banyak melahirkan cendekiawan, bukan ksatria perang," tukas kepala kampung. "Kau sudah merekrut pendekar bodoh, meringkus seorang bocah saja tidak mampu." Kepala kampung sudah membayar mahal mereka untuk menjaga keamanan dirinya. Ketika muncul seorang pengacau, mereka kewalahan. Payah. Kepala kampung menganggap bantuan prajurit dari istan

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 4. Rumah Terkutuk

    Rumah itu sangat megah dengan halaman luas, dikelilingi pagar tinggi dari papan tebal. Brak! Banga menendang pintu gerbang sehingga palang pintu patah dan pintu terbuka lebar. Di dalam sudah menunggu ratusan prajurit dan pendekar. Kepala kampung berdiri dengan congkak di antara barisan prajurit. Banga tersenyum sinis. "Bagus, kalian sudah kumpul semua, jadi aku bisa menghemat waktu." "Berani sekali datang ke rumahku," kata kepala kampung. "Kau sudah dihapus dari daftar penduduk, berarti kematian bagimu." Prajurit siap siaga menunggu perintah. "Bumi jadi saksi bahwa siang ini kampung ini menjadi daerah tak bertuan," kata Banga. "Cukup sampai di sini kalian menghirup udara bebas." Kepala kampung tertawa melecehkan. "Ucapanmu keren sekali. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu sekeren ucapanmu." "Kepandaianku biasa-biasa saja. Aku kira tidak perlu ilmu tinggi untuk melenyapkan cecunguk macam kalian." "Serang...!" Sepuluh prajurit bersenjata tombak maju menyerang. Banga mencabut

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 3. Bukan Perampok

    Separuh kampung hangus terbakar, pemandangan yang terlihat hanyalah gundukan abu. Tersisa beberapa gudang rempah dan dikuasai kepala kampung. Licik sekali. Perbuatan mereka sungguh melampaui batas. Mereka tidak layak disebut manusia. "Apa dosa klan Adikara?" keluh Banga pedih. "Bagaimana aku membayar pengorbanan mereka?" Beberapa bangunan baru berdiri, gundukan abu diangkut dengan gerobak. Kepala kampung sudah sewenang-wenang merampas tanah klan Adikara. Para pekerja itu sekedar mencari upah. Mereka tidak bersalah. Tapi Banga perlu menegur mereka. "Siapa yang menyuruh kalian membangun rumah di tanah klan Adikara?" tanya Banga kepada mandor yang mengawasi para pekerja. Pria separuh baya itu memandang heran, tanpa menghentikan hisapan pada tembakau di cangklong panjang. "Siapa kau? Berani sekali bertanya seperti itu." "Jawablah baik-baik, sehingga aku tahu tindakan apa untukmu." Mandor menghentikan hisapannya, ia mendelik, kelihatan sekali ia memandang remeh pemuda di depannya

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 2. Tragedi

    "Untuk apa anak itu pulang?" Pemilik kedai kopi yang biasa dipanggil Pak Tua heran melihat kemunculan Banga di ujung kampung dengan pedang kalkolitik di punggung. "Cari mati!" Beberapa warga yang sedang minum kopi meremehkan Banga. "Ia membawa pedang! Apakah ia sudah jadi jagoan?" "Barangkali ia berubah pikiran ingin menjadi pangeran pengganti! Sungguh hina sekali!" "Ia sudah menyia-nyiakan pengorbanan ibunya! Dasar anak durhaka!" Banga berjalan memasuki kedai dan duduk di depan Pak Tua. Ia memesan kopi tubruk. "Sebaiknya kau lekas pergi," kata Pak Tua. "Jangan sia-siakan pengorbanan mereka." "Aku pulang untuk membebaskan orang tuaku," sahut Banga dingin. "Apakah kau ingin mengahalangi diriku?" "Aku bukan menghalangi, aku menghormati bangsawan Adikara meskipun mereka dinistakan." Ucapan pemilik kedai menunjukkan kalau orang tuanya masuk penjara dan disiksa, sampai anaknya bersedia menjadi selir. "Aku tahu orang tuaku berada di penjara bawah tanah yang gelap, mer

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 1. Pedang Kalkolitik

    Sebuah pedang terbuat dari perunggu arsenik tertancap di batu hitam, tampak samar dengan gagang berwarna coklat kekuningan di antara bunga mirabilis berwarna kuning yang bermekaran di senja hari. Pedang itu sudah tertancap ribuan tahun. Dahulu banyak tokoh sakti berusaha mencabutnya, pedang itu tak bergeser sedikit pun, akhirnya pedang itu terlupakan. Seorang pemuda tampak berlari ketakutan dari arah lembah, padahal tidak ada yang mengejar. Pedang itu menarik perhatiannya. Ia mencoba mencabutnya. Pedang itu tercabut dengan mudah. Kemudian berkumandang suara di angkasa, "Banga Adikara! Kau datang untuk menjemput takdirmu sebagai pewaris pedang kalkolitik!" Padahal Banga datang ke pegunungan utara karena diperintah ibunya untuk kabur. Awalnya Banga bersikeras menolak. Orang tuanya pasti kena murka Ratu Nayaka kalau ia melarikan diri. Menentang sabda sri ratu berarti siap menerima hukuman terkejam. "Pergilah sejauh-jauhnya!" desak ibunya. "Aku merasa sia-sia melahirkan diri

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status