Home / Pendekar / Pendekar Pedang Mirabilis / Bab 6. Ingin Berjuang Sendiri

Share

Bab 6. Ingin Berjuang Sendiri

Author: Enday Hidayat
last update Last Updated: 2025-04-05 01:51:01

Percuma kepala kampung memohon ampun, pintu itu sudah ditutup. Pemusnahan klan Adikara adalah jalan kematian bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Banga hanya mengijinkan sembilan istrinya untuk pergi.

Banga bukan iblis, ia menyisakan perempuan untuk hidup, kecuali mereka kadet istana, terpaksa dilenyapkan.

"Sebelum pergi, kalian boleh mengungkapkan perasaan kalian kepada suami jelek ini."

Sembilan perempuan muda itu bergegas mengambil senjata yang berserakan di halaman, dan menghujamkan ke tubuh kepala kampung dengan penuh kebencian.

Banga terpana.

Kepala kampung menemui ajal di tangan istrinya sendiri.

"Aku percaya kalian bukan istri yang mendukung kekejaman kepala kampung, kalian menjadi istri karena keluarga terancam," kata Banga. "Jangan sia-siakan kepercayaanku ini."

"Kami bukan istri mayat keparat itu, kami hanyalah budak nafsu," ujar perempuan tertua. "Kami akan dibunuh jika hamil."

Nasib mereka sungguh malang sekali, batin Banga prihatin. Mereka pasti menyesal berwajah cantik.

"Bawalah harta yang ada untuk kalian kembali ke masyarakat, berdaganglah dengan kongsi klan Adikara."

"Terima kasih, Tuan."

Mereka pergi dengan membawa beberapa kotak kecil berisi barang berharga.

Banga meninggalkan rumah kepala kampung dengan api berkobar-kobar dan asap hitam membumbung tinggi.

Dalam sekejap rumah besar itu ludes dilalap api.

"Aku akan meminta Pak Tua untuk mengelola kampung. Aku kira mereka dapat hidup dengan sejahtera dari hasil berdagang kongsi Adikara."

Banga kembali ke kedai kopi dan menemui Pak Tua. Pria separuh baya itu terkejut saat Banga menyampaikan maksudnya.

"Apakah tuan tidak keliru mengangkat diriku sebagai kepala kampung?" tanya Pak Tua tak percaya. "Pilihlah di antara anak muda itu untuk memimpin kampung, aku cukup berdiri di belakang."

"Terserah Pak Tua mau menunjuk siapa. Terpenting kepala kampung harus mengutamakan kesejahteraan rakyat dengan pengelolaan kongsi klan Adikara secara benar."

"Saya usahakan, Tuan."

"Janganlah melindungi aku jika ada prajurit yang mencari, aku pergi ke utara."

"Baik tuan."

Banga pergi setelah nenyerahkan beberapa plakat kongsi.

Pak Tua menawari kuda untuk tunggangan, Banga menolak.

"Aku merasa bebas jalan kaki."

Banga meninggalkan kedai kopi, pergi ke utara, menelusuri jalan berkerikil. Ia sengaja melewati jalan umum agar mudah ditemukan oleh prajurit kerajaan. Kabar pembumihangusan kediaman kepala kampung tentu sudah tersebar luas.

Banga menunggu kedatangan mereka sehingga tak perlu susah payah datang ke kotaraja.

Banga memasuki hutan yang menjadi perbatasan kampung. Hutan ini adalah tempat persembunyian para perampok yang menjadi momok bagi penduduk.

"Ada orang mengikuti diriku," gumam Banga. "Mereka keliru kalau ingin merampok diriku."

Banga melihat mereka bergerak dengan cepat dari pohon ke pohon. Ia heran mereka belum memperlihatkan diri, padahal sekaranglah waktu yang tepat untuk membegal dirinya.

Ia sudah berada jauh dari perkampungan. Mereka tidak akan mendengar teriakannya jika butuh pertolongan.

Barangkali mereka sudah menyiapkan jebakan di sebuah area.

"Aku minta kalian menunjukkan diri!" teriak Banga habis sabar. "Jangan menunggu aku mendatangi kalian, karena itu berarti kematian!"

Lima orang pemuda berlompatan ke jalan berkerikil di depan Banga.

"Maafkan kami mengganggu kenyamanan perjalanan dirimu," kata seorang pemuda. "Kami adalah pelajar yang baru pulang dari kerajaan Han Timur, dan menemukan klan Adikara sudah habis dibantai."

"Ada kepentingan apa kalian dengan klan Adikara?"

"Kami adalah klan Adikara yang baru pulang menimba ilmu dari Han Barat. Kami kekurangan orang untuk balas dendam. Maka itu kami menjadi perampok untuk bangsawan pendukung istana. Kami tidak ingin mereka hidup tenang."

Banga senang ada klan Adikara yang masih hidup. Berarti mereka dapat menyelamatkan klan terbesar di provinsi ini dari kepunahan.

Banga sempat cemas klan Adikara akan musnah pada generasi selanjutnya. Ia sudah bertekad hidup sendiri untuk mengurangi risiko. Anak dan istri pasti jadi korban kekejaman prajurit.

"Perampok bukan pilihan klan Adikara. Mereka pandai berbisnis. Jadi janganlah kalian mengada-ada."

"Kami menginginkan kaki tangan istana hidup menderita. Kemampuan kami baru sebatas membalas dendam secara sembunyi-sembunyi."

Kemudian pemuda itu menunjukkan markah klan Adikara untuk menghilangkan keraguan Banga. Markah itu terbuat dari emas murni dengan gambar bunga melati.

"Aku menyerahkan kongsi kepada Pak Tua. Kalian bisa mengambil alih kongsi dan kepala kampung, aku optimis kampung akan maju di tangan yang tepat."

"Kami ingin berjuang bersamamu kalau diperkenankan."

"Aku ingin berjuang sendiri. Bukan tidak butuh bantuan, untuk meminimalkan risiko. Aku tidak mau menempatkan kalian dalam bahaya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 7. Bukan Iblis

    Banga menginginkan mereka membangun kembali kejayaan klan Adikara, menguasai perekonomian secara arif. "Pulanglah kalian ke kampung itu. Jadi perampok bukan kebiasaan klan Adikara dalam situasi sesulit apapun. Lebih baik mati kelaparan ketimbang melanggar aturan klan." "Kami merampok bukan mencari makan, untuk balas dendam." "Balas dendam terbaik adalah bangkit kembali secepatnya. Janganlah kalian mengaku klan Adikara demi keamanan kalian. Cukup aku yang menjadi incaran istana." Banga meneruskan perjalanan ke perkampungan di utara. Ia ingin menghancurkan kaki tangan istana dari hirarki yang terendah. Bangunan akan roboh kalau fondasi hancur. Banga menghendaki rakyat bangkit, maka itu ia mengangkat kepala kampung dari kalangan mereka. Kerajaan ini bukan hanya milik bangsawan. Banga keluar dari hutan. Ia tiba di kedai nasi dengan pengunjung sangat ramai. Jam makan siang. "Kekeliruan istana adalah menghentikan perburuan Banga Adikara," kata seorang pendekar sambil menyantap pepes

    Last Updated : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 8. Jangan Berkorban Untukku

    Banga mencari kedai nasi untuk makan siang. Ia sulit mengisi perut jika di antara pengunjung terdapat kaki tangan istana. Ada kejadian yang melecut nuraninya saat Banga melewati sebuah rumah sederhana, beberapa warga menyaksikan dari rumah masing-masing dengan sinar mata prihatin. Tampak pendekar brewok membawa paksa seorang gadis, sementara ibunya berusaha mempertahankan. "Jangan bawa anakku, Tuan," pinta wanita separuh baya itu. "Kasihanilah anakku, ia akan menikah pekan depan." "Kau seharusnya bangga anakmu menjadi gundik kepala kampung," sergah pendekar berambut gimbal. "Berarti anakmu cantik." "Apalah artinya cantik kalau ia harus mengkhianati kekasihnya?" "Dasar ibu tidak tahu diri!" maki pendekar berjidat nongnong. "Seharusnya kau selamatan seperti ibu lain, bukan menghiba!" Tugas gundik setiap hari berdandan dan hidup dalam kemewahan, mereka bisa membantu keluarganya yang kekurangan karena mendapat harta berlimpah dari kepala kampung. Hadiah mengalir setiap hari kala

    Last Updated : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 1. Pedang Kalkolitik

    Sebuah pedang terbuat dari perunggu arsenik tertancap di batu hitam, tampak samar dengan gagang berwarna coklat kekuningan di antara bunga mirabilis berwarna kuning yang bermekaran di senja hari. Pedang itu sudah tertancap ribuan tahun. Dahulu banyak tokoh sakti berusaha mencabutnya, pedang itu tak bergeser sedikit pun, akhirnya pedang itu terlupakan. Seorang pemuda tampak berlari ketakutan dari arah lembah, padahal tidak ada yang mengejar. Pedang itu menarik perhatiannya. Ia mencoba mencabutnya. Pedang itu tercabut dengan mudah. Kemudian berkumandang suara di angkasa, "Banga Adikara! Kau datang untuk menjemput takdirmu sebagai pewaris pedang kalkolitik!" Padahal Banga datang ke pegunungan utara karena diperintah ibunya untuk kabur. Awalnya Banga bersikeras menolak. Orang tuanya pasti kena murka Ratu Nayaka kalau ia melarikan diri. Menentang sabda sri ratu berarti siap menerima hukuman terkejam. "Pergilah sejauh-jauhnya!" desak ibunya. "Aku merasa sia-sia melahirkan diri

    Last Updated : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 2. Tragedi

    "Untuk apa anak itu pulang?" Pemilik kedai kopi yang biasa dipanggil Pak Tua heran melihat kemunculan Banga di ujung kampung dengan pedang kalkolitik di punggung. "Cari mati!" Beberapa warga yang sedang minum kopi meremehkan Banga. "Ia membawa pedang! Apakah ia sudah jadi jagoan?" "Barangkali ia berubah pikiran ingin menjadi pangeran pengganti! Sungguh hina sekali!" "Ia sudah menyia-nyiakan pengorbanan ibunya! Dasar anak durhaka!" Banga berjalan memasuki kedai dan duduk di depan Pak Tua. Ia memesan kopi tubruk. "Sebaiknya kau lekas pergi," kata Pak Tua. "Jangan sia-siakan pengorbanan mereka." "Aku pulang untuk membebaskan orang tuaku," sahut Banga dingin. "Apakah kau ingin mengahalangi diriku?" "Aku bukan menghalangi, aku menghormati bangsawan Adikara meskipun mereka dinistakan." Ucapan pemilik kedai menunjukkan kalau orang tuanya masuk penjara dan disiksa, sampai anaknya bersedia menjadi selir. "Aku tahu orang tuaku berada di penjara bawah tanah yang gelap, mer

    Last Updated : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 3. Bukan Perampok

    Separuh kampung hangus terbakar, pemandangan yang terlihat hanyalah gundukan abu. Tersisa beberapa gudang rempah dan dikuasai kepala kampung. Licik sekali. Perbuatan mereka sungguh melampaui batas. Mereka tidak layak disebut manusia. "Apa dosa klan Adikara?" keluh Banga pedih. "Bagaimana aku membayar pengorbanan mereka?" Beberapa bangunan baru berdiri, gundukan abu diangkut dengan gerobak. Kepala kampung sudah sewenang-wenang merampas tanah klan Adikara. Para pekerja itu sekedar mencari upah. Mereka tidak bersalah. Tapi Banga perlu menegur mereka. "Siapa yang menyuruh kalian membangun rumah di tanah klan Adikara?" tanya Banga kepada mandor yang mengawasi para pekerja. Pria separuh baya itu memandang heran, tanpa menghentikan hisapan pada tembakau di cangklong panjang. "Siapa kau? Berani sekali bertanya seperti itu." "Jawablah baik-baik, sehingga aku tahu tindakan apa untukmu." Mandor menghentikan hisapannya, ia mendelik, kelihatan sekali ia memandang remeh pemuda di depannya

    Last Updated : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 4. Rumah Terkutuk

    Rumah itu sangat megah dengan halaman luas, dikelilingi pagar tinggi dari papan tebal. Brak! Banga menendang pintu gerbang sehingga palang pintu patah dan pintu terbuka lebar. Di dalam sudah menunggu ratusan prajurit dan pendekar. Kepala kampung berdiri dengan congkak di antara barisan prajurit. Banga tersenyum sinis. "Bagus, kalian sudah kumpul semua, jadi aku bisa menghemat waktu." "Berani sekali datang ke rumahku," kata kepala kampung. "Kau sudah dihapus dari daftar penduduk, berarti kematian bagimu." Prajurit siap siaga menunggu perintah. "Bumi jadi saksi bahwa siang ini kampung ini menjadi daerah tak bertuan," kata Banga. "Cukup sampai di sini kalian menghirup udara bebas." Kepala kampung tertawa melecehkan. "Ucapanmu keren sekali. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu sekeren ucapanmu." "Kepandaianku biasa-biasa saja. Aku kira tidak perlu ilmu tinggi untuk melenyapkan cecunguk macam kalian." "Serang...!" Sepuluh prajurit bersenjata tombak maju menyerang. Banga mencabut

    Last Updated : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 5. Menutup Pintu Pertaubatan

    Sasaran pedang kalkolitik bukan hanya pendekar yang mengepung Banga, juga prajurit terdekat yang berusaha menyerang dengan tombak. Mereka begitu sulit menembus pertahanan Banga, padahal ilmu pedangnya biasa saja, bahkan terlihat aneh. Mereka tidak mengenali jurus pedang kalkolitik, jurus itu dinyatakan punah di abad permulaan. "Kepandaian Banga di luar perkiraan kita," ucap komandan legiun. "Ilmu pedangnya luar biasa." Ketua pendekar pun mulai mengakui kehebatan permainan pedang Banga. "Kita kurang jauh berkelana," kata ketua pendekar. "Kita tidak mengetahui ada ksatria mempunyai ilmu pedang aneh." "Banga berasal dari klan Adikara, klan itu banyak melahirkan cendekiawan, bukan ksatria perang," tukas kepala kampung. "Kau sudah merekrut pendekar bodoh, meringkus seorang bocah saja tidak mampu." Kepala kampung sudah membayar mahal mereka untuk menjaga keamanan dirinya. Ketika muncul seorang pengacau, mereka kewalahan. Payah. Kepala kampung menganggap bantuan prajurit dari istan

    Last Updated : 2025-04-04

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 8. Jangan Berkorban Untukku

    Banga mencari kedai nasi untuk makan siang. Ia sulit mengisi perut jika di antara pengunjung terdapat kaki tangan istana. Ada kejadian yang melecut nuraninya saat Banga melewati sebuah rumah sederhana, beberapa warga menyaksikan dari rumah masing-masing dengan sinar mata prihatin. Tampak pendekar brewok membawa paksa seorang gadis, sementara ibunya berusaha mempertahankan. "Jangan bawa anakku, Tuan," pinta wanita separuh baya itu. "Kasihanilah anakku, ia akan menikah pekan depan." "Kau seharusnya bangga anakmu menjadi gundik kepala kampung," sergah pendekar berambut gimbal. "Berarti anakmu cantik." "Apalah artinya cantik kalau ia harus mengkhianati kekasihnya?" "Dasar ibu tidak tahu diri!" maki pendekar berjidat nongnong. "Seharusnya kau selamatan seperti ibu lain, bukan menghiba!" Tugas gundik setiap hari berdandan dan hidup dalam kemewahan, mereka bisa membantu keluarganya yang kekurangan karena mendapat harta berlimpah dari kepala kampung. Hadiah mengalir setiap hari kala

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 7. Bukan Iblis

    Banga menginginkan mereka membangun kembali kejayaan klan Adikara, menguasai perekonomian secara arif. "Pulanglah kalian ke kampung itu. Jadi perampok bukan kebiasaan klan Adikara dalam situasi sesulit apapun. Lebih baik mati kelaparan ketimbang melanggar aturan klan." "Kami merampok bukan mencari makan, untuk balas dendam." "Balas dendam terbaik adalah bangkit kembali secepatnya. Janganlah kalian mengaku klan Adikara demi keamanan kalian. Cukup aku yang menjadi incaran istana." Banga meneruskan perjalanan ke perkampungan di utara. Ia ingin menghancurkan kaki tangan istana dari hirarki yang terendah. Bangunan akan roboh kalau fondasi hancur. Banga menghendaki rakyat bangkit, maka itu ia mengangkat kepala kampung dari kalangan mereka. Kerajaan ini bukan hanya milik bangsawan. Banga keluar dari hutan. Ia tiba di kedai nasi dengan pengunjung sangat ramai. Jam makan siang. "Kekeliruan istana adalah menghentikan perburuan Banga Adikara," kata seorang pendekar sambil menyantap pepes

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 6. Ingin Berjuang Sendiri

    Percuma kepala kampung memohon ampun, pintu itu sudah ditutup. Pemusnahan klan Adikara adalah jalan kematian bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Banga hanya mengijinkan sembilan istrinya untuk pergi. Banga bukan iblis, ia menyisakan perempuan untuk hidup, kecuali mereka kadet istana, terpaksa dilenyapkan. "Sebelum pergi, kalian boleh mengungkapkan perasaan kalian kepada suami jelek ini." Sembilan perempuan muda itu bergegas mengambil senjata yang berserakan di halaman, dan menghujamkan ke tubuh kepala kampung dengan penuh kebencian. Banga terpana. Kepala kampung menemui ajal di tangan istrinya sendiri. "Aku percaya kalian bukan istri yang mendukung kekejaman kepala kampung, kalian menjadi istri karena keluarga terancam," kata Banga. "Jangan sia-siakan kepercayaanku ini." "Kami bukan istri mayat keparat itu, kami hanyalah budak nafsu," ujar perempuan tertua. "Kami akan dibunuh jika hamil." Nasib mereka sungguh malang sekali, batin Banga prihatin. Mereka pasti

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 5. Menutup Pintu Pertaubatan

    Sasaran pedang kalkolitik bukan hanya pendekar yang mengepung Banga, juga prajurit terdekat yang berusaha menyerang dengan tombak. Mereka begitu sulit menembus pertahanan Banga, padahal ilmu pedangnya biasa saja, bahkan terlihat aneh. Mereka tidak mengenali jurus pedang kalkolitik, jurus itu dinyatakan punah di abad permulaan. "Kepandaian Banga di luar perkiraan kita," ucap komandan legiun. "Ilmu pedangnya luar biasa." Ketua pendekar pun mulai mengakui kehebatan permainan pedang Banga. "Kita kurang jauh berkelana," kata ketua pendekar. "Kita tidak mengetahui ada ksatria mempunyai ilmu pedang aneh." "Banga berasal dari klan Adikara, klan itu banyak melahirkan cendekiawan, bukan ksatria perang," tukas kepala kampung. "Kau sudah merekrut pendekar bodoh, meringkus seorang bocah saja tidak mampu." Kepala kampung sudah membayar mahal mereka untuk menjaga keamanan dirinya. Ketika muncul seorang pengacau, mereka kewalahan. Payah. Kepala kampung menganggap bantuan prajurit dari istan

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 4. Rumah Terkutuk

    Rumah itu sangat megah dengan halaman luas, dikelilingi pagar tinggi dari papan tebal. Brak! Banga menendang pintu gerbang sehingga palang pintu patah dan pintu terbuka lebar. Di dalam sudah menunggu ratusan prajurit dan pendekar. Kepala kampung berdiri dengan congkak di antara barisan prajurit. Banga tersenyum sinis. "Bagus, kalian sudah kumpul semua, jadi aku bisa menghemat waktu." "Berani sekali datang ke rumahku," kata kepala kampung. "Kau sudah dihapus dari daftar penduduk, berarti kematian bagimu." Prajurit siap siaga menunggu perintah. "Bumi jadi saksi bahwa siang ini kampung ini menjadi daerah tak bertuan," kata Banga. "Cukup sampai di sini kalian menghirup udara bebas." Kepala kampung tertawa melecehkan. "Ucapanmu keren sekali. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu sekeren ucapanmu." "Kepandaianku biasa-biasa saja. Aku kira tidak perlu ilmu tinggi untuk melenyapkan cecunguk macam kalian." "Serang...!" Sepuluh prajurit bersenjata tombak maju menyerang. Banga mencabut

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 3. Bukan Perampok

    Separuh kampung hangus terbakar, pemandangan yang terlihat hanyalah gundukan abu. Tersisa beberapa gudang rempah dan dikuasai kepala kampung. Licik sekali. Perbuatan mereka sungguh melampaui batas. Mereka tidak layak disebut manusia. "Apa dosa klan Adikara?" keluh Banga pedih. "Bagaimana aku membayar pengorbanan mereka?" Beberapa bangunan baru berdiri, gundukan abu diangkut dengan gerobak. Kepala kampung sudah sewenang-wenang merampas tanah klan Adikara. Para pekerja itu sekedar mencari upah. Mereka tidak bersalah. Tapi Banga perlu menegur mereka. "Siapa yang menyuruh kalian membangun rumah di tanah klan Adikara?" tanya Banga kepada mandor yang mengawasi para pekerja. Pria separuh baya itu memandang heran, tanpa menghentikan hisapan pada tembakau di cangklong panjang. "Siapa kau? Berani sekali bertanya seperti itu." "Jawablah baik-baik, sehingga aku tahu tindakan apa untukmu." Mandor menghentikan hisapannya, ia mendelik, kelihatan sekali ia memandang remeh pemuda di depannya

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 2. Tragedi

    "Untuk apa anak itu pulang?" Pemilik kedai kopi yang biasa dipanggil Pak Tua heran melihat kemunculan Banga di ujung kampung dengan pedang kalkolitik di punggung. "Cari mati!" Beberapa warga yang sedang minum kopi meremehkan Banga. "Ia membawa pedang! Apakah ia sudah jadi jagoan?" "Barangkali ia berubah pikiran ingin menjadi pangeran pengganti! Sungguh hina sekali!" "Ia sudah menyia-nyiakan pengorbanan ibunya! Dasar anak durhaka!" Banga berjalan memasuki kedai dan duduk di depan Pak Tua. Ia memesan kopi tubruk. "Sebaiknya kau lekas pergi," kata Pak Tua. "Jangan sia-siakan pengorbanan mereka." "Aku pulang untuk membebaskan orang tuaku," sahut Banga dingin. "Apakah kau ingin mengahalangi diriku?" "Aku bukan menghalangi, aku menghormati bangsawan Adikara meskipun mereka dinistakan." Ucapan pemilik kedai menunjukkan kalau orang tuanya masuk penjara dan disiksa, sampai anaknya bersedia menjadi selir. "Aku tahu orang tuaku berada di penjara bawah tanah yang gelap, mer

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 1. Pedang Kalkolitik

    Sebuah pedang terbuat dari perunggu arsenik tertancap di batu hitam, tampak samar dengan gagang berwarna coklat kekuningan di antara bunga mirabilis berwarna kuning yang bermekaran di senja hari. Pedang itu sudah tertancap ribuan tahun. Dahulu banyak tokoh sakti berusaha mencabutnya, pedang itu tak bergeser sedikit pun, akhirnya pedang itu terlupakan. Seorang pemuda tampak berlari ketakutan dari arah lembah, padahal tidak ada yang mengejar. Pedang itu menarik perhatiannya. Ia mencoba mencabutnya. Pedang itu tercabut dengan mudah. Kemudian berkumandang suara di angkasa, "Banga Adikara! Kau datang untuk menjemput takdirmu sebagai pewaris pedang kalkolitik!" Padahal Banga datang ke pegunungan utara karena diperintah ibunya untuk kabur. Awalnya Banga bersikeras menolak. Orang tuanya pasti kena murka Ratu Nayaka kalau ia melarikan diri. Menentang sabda sri ratu berarti siap menerima hukuman terkejam. "Pergilah sejauh-jauhnya!" desak ibunya. "Aku merasa sia-sia melahirkan diri

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status