Wira berenang secepat mungkin, bergerak menuju dasar sungai di mana akar-akar tanaman berada. Ia menyerang dinding akar dengan kuku beracun, tetapi akar tanaman justru menepis serang-serangannya.“Terkutuk!” Wira melompat mundur, menepis serangan seraya terus bergerak. “Akar-akar tanaman itu sangat menjengkelkan. Mereka terus tumbuh dan bisa bergerak bisa. Aku tidak mungkin berada di dalam air selamanya karena aku harus mengambil napas.”Danuseka melesatkan serangan jarak jauh ke arah dinding. Dinding itu terkoyak, tetapi tidak lama setelahnya kembali utuh. Ia mendarat di sebuah batu, menatap sinis Wira.Wira dan Danuseka melompat ketika tanaman rambat menyerang. Beberapa batu seketika hancur berkeping-keping. Di saat yang sama, Darmasena tengah menghindari serangan sekaligus melesatkan serangan pada dinding tanaman.Wira melompat ke atas, muncul dari sela-sela akar, mengambil napas sebanyak-banyaknya. “Aku memiliki rencana untuk menghancurkan dinding tanaman ini.”Wira berenang secep
Langit masih cukup gelap ketika Lingga menggeliat di ranjang. Seekor burung terbang dan hinggap di jendela gubuk yang terbuka. Angin berembus pelan, menerbangkan dedaunan yang kemudian meliuk-liuk di atas sungai yang berarus kencang. Beberapa ikan terlihat mengintip di balik batu, sisanya berenang di air yang deras.Lingga membuka mata perlahan, merenggangkan badan. Ia meneguk minuman, berjalan membuka jendela lebih lebar. “Aku tidur dengan sangat nyenyak semalam. Aku bahkan … aku masih memakai pakaianku yang kemarin.”Lingga menepuk dahi ketika mengingat runtutan kejadian semalam. “Ketika aku selesai berlatih, aku tertidur di sisi sungai. Aku bahkan tidak mandi selepas latihan kemarin. Apakah Guru Tarusbawa yang membawaku ke dalam kamarku?”“Aku harus segera pergi ke sungai dan hutan untuk menyiapkan sarapan. Guru Tarusbawa pasti akan menghukumku jika aku telat.” Lingga bergegas keluar dari gubuk. Ia seketika berhenti ketika melihat Tarusbawa tengah duduk di tengah tanah lapang.Ling
Para gadis yang tengah mandi seketika terkejut ketika melihat sosok asing bertopeng yang muncul di tengah-tengah mereka.Lingga sendiri baru sadar di mana dirinya mendarat setelah melihat para gadis yang menatap ke arahnya. Matanya membulat lebar tanpa berkedip, mengawasi sekeliling. “Kenapa aku berada di sini? Para gadis itu sedang mandi tidak memakai pakaian.”Para gadis sontak berteriak heboh, bergegas mencari kain untuk menutupi tubuh mereka. Sebagian dari mereka memilih untuk bersembunyi di belakang bebatuan atau menyelam.“Siapa kau? Kenapa kau berada di tempat ini?”“Dia pasti ingin mengintip kita mandi!”“Tangkap dia dan habisi dia!”“Jangan biarkan pria itu lolos!”Lingga sontak terkejut, tampak panik saat para gadis terus berteriak sambil melemparkan batu dan serangan. “A-aku harus segera pergi dari tempat ini.”Lingga mengentak tubuh sekuat mungkin, melompat menuju langit, bergerak sangat cepat meninggalkan sungai. “Aku masih saja mudah dibodohi oleh Paman. Jika Guru Ganawi
Sepuluh selendang merah melesat ke arah Lingga secara bersamaan dari arah berbeda. Lingga seketika memutar tubuh sembari menepis serangan. Ia melompat ke atas, menendang selendang-selendang yang mengejarnya.Indra, Meswara, Jaka, dan Arya seketika melesatkan serangan. Lingga kembali menepis semua serangan itu, mengentak tubuh di udara, mendarat di sebuah batu di dekat air terjun.“Penyusup itu cukup hebat. Kita harus segera menangkapnya sebelum dia membuat kekacauan di padepokan,” ujar Meswara.Indra dan Arya berlari ke arah Lingga, melesatkan serangan demi serangan. Lingga melompat dan menendang semua serangan itu ke samping. Ia menahan pukulan Meswara dan Jaka, kemudian melompat ke atas aiar terjun.“Kakang Indra dan yang lain semakin kuat. Aku bisa merasakan ilmu kanuragan mereka yang semakin. Selain itu ….” Lingga menangkap selendang merah yang dilayangkan Sekar Sari dengan satu tangan. “Sekar Sari juga semakin kuat ….”Lingga menendang selendang itu ketika mencium bau terbakar. T
Indra, Meswara, Jaka, dan Arya sontak terkejut.“Apakah itu benar, Lingga?” tanya Indra memastikan.“Itu sama sekali tidak benar, Kakang. Aku tidak pernah mengintip para gadis mandi. Paman Limbur Kancana sengaja menjatuhkanku di sungai untuk mengerjaiku,” ujar Lingga.Sekar Sari menatap sinis Lingga. “Benarkah? Kau pernah mengintip para gadis mandi ketika kau masih menjadi murid padepokan dulu.”“Aku tidak berbohong.” Lingga mengawasi sekeliling. “Dasar Paman. Dia sengaja membuatku berada dalam masalah,” gumamnya.Ganawirya mengamati Lingga saksama, menoleh pada Sekar Sari.Sekar Sari mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin batu berwarna merah tua. “Kau berkata jujur, Kakang.”“Apa itu, Sekar Sari?” Lingga bertanya.“Aku menciptakan liontin yang mampu menilai seseorang berbohong atau berkata jujur. Jika batu merah ini bercahaya, maka orang itu berbohong.” Sekar Sari memasukkan kembali liontin itu ke dalam selendangnya. “Sayangnya, liontin ini masih belum sempurna. Aku harus menyempu
Lingga menyambut kedatangan Geni, Jaya, dan Barma. “Aku mendapatkan waktu libur selama dua hari. Aku akan menghabiskan waktu di sini.”“Lihatlah dirimu sekarang, Lingga. Kau bertambah tinggi dan gagah.” Geni menyentuh bahu dan lengan Lingga. “Kau pasti berlatih sangat keras.”“Aku senang kau berkunjung ke padepokan, Lingga,” ujar Jaya.“Hei, tunggu. Bukankah pakaian ini adalah pakaian yang dikenakan oleh pengitip tadi?” Barma tiba-tiba tertawa. “Kau pasti yang sudah mengintip para gadis, Lingga.”“Benarkah?” Geni dan Jaya tersenyum lebar.“Kau memang mesum, Lingga.” Geni tertawa. “Kau juga mengintip Sekar Sari saat kau pertama kali datang ke padepokan ini.”“Paman Limbur Kancana mengerjaiku. Dia tiba-tiba saja menjatuhkanku di tengah sungai saat para gadis mandi. Aku terkejut dan segera pergi.”“Kau pasti melihat tubuh para gadis itu, bukan?”Lingga tiba-tiba menunduk. “Aku tidak sengaja melihatnya.”“Lingga.” Para murid padepokan yang lain terdiam di dekat pintu dan teras. Mereka ber
Para gadis terus membicarakan Lingga di ruang makan. Beberapa di antara mereka bahkan mengintip Lingga melalui dinding kayu yang terbuka. Rasa penasaran mereka semakin besar dari waktu ke waktu.“Mereka sangat berisik. Aku tidak bisa menikmati makanan ini.” Sekar Sari memutar bola mata. “Aku sejujurnya ingin berbincang banyak hal dengan Kakang Lingga. Dia hanya memiliki wkatu libur selama dua hari. Akan tetapi, aku memiliki banyak pekerjaan sekarang, dan Guru Ganawirya tidak akan membiarkanku berleha-leha. Ini membuatku sangat jengkel.”Di saat yang sama, para pemuda juga memperhatikan Lingga, berbisik-bisik.“Hei, dengarkan aku,” ujar seorang murid tabib yang baru datang dengan suara berbisik. “Aku mendengar jika pemuda itu adalah mantan murid padepokan di tempat ini. Dia pergi berkelana sesuai perintah Guru Ganawirya.”“Ah, pantas saja dia sangat akrab dengan para murid padepokan serta Kakang Indra dan yang lain,” sahut seroang murid dengan mulut yang sibuk mengunyah makanan.“Dia t
Wira, Danuseka, dan Darmasena terbaring tak sadarkan diri setelah bertarung nyaris semalam. Ketiga tergeletak di atas tanah dengan luka di hampir sekujur tubuh mereka. Tanah dan dinding tampak retak, begitupun dengan bebatuan.Jatna dan Ratih Ningsih mengamati dari atas sebuah batu, duduk bersila. Keduanya menguji kemmpuan Wira, Danuseka, dan Darmasena hingga waktu berakhir.“Mereka gagal dalam menjalankan ujian terakhir, tetapi aku harus mengakui kesungguhan tekad mereka,” uajr Jatna seraya berdiri di atas batu, tersenyum.Jatna menoleh pada Wira, melompat turun. “Aku harus memuji penampilan Wira kali ini. Dialah yang paling banyak berubah selama dalam pertarungan. Dia berpikir cerdik dengan mengalahkan penjara akar tanaman itu dari bawah sungai. Dia juga membantu Danuseka dan Darmasena dengan memberikan banyak celah untuk menyerang. Sebagai pemuda sombong dengan harga diri yang sangat tinggi, dia pasti merasa harga dirinya terluka karena harus bekerja sama dengan dua orang yang dibe