Asap kebiruan itu makin tebal membungkus diri Pragulo. Semua mundur menjauh sambil tutup hidung dengan tangan mengikuti Dewa Racun. Tetapi, Ratu Pekat tidak mau mundur bahkan melancarkan pukulan cambuk birunya lagi.
Duarrr...!
Cahaya sembur biru kilat mengenai tubuh Pragulo. Tetapi tubuh itu tidak lenyap seperti pohon tadi. Tubuh itu tetap bergerak pelan mendorong tangannya ke atas. Ratu Pekat menjadi tegang melihat pukulan 'Cambuk Biru'-nya tidak mempan untuk Pragulo. Tapi sang Ratu semakin penasaran.
"Cepat ambil sang Ratu!" teriak Dewa Racun dari kejauhan. "Sekali dia sentakkan tangannya, Racun Pemunah Bangkai akan menyebar!"
Wuuttt... wuttt...!
Pendekar Kera Sakti bergerak cepat menyambut sang Ratu dan membawanya pergi menjauh. Pragulo seperti orang kesurupan, masih tetap berdiri dengan gerakan berotot dan asap makin banyak mengepul dari tubuhnya. Tangannya sudah hampir disentakkan ke depan. Tetapi, Pendekar Kera Sakti cepat bergerak kedepan. B
Seorang lelaki bercelana merah tanpa mengenakan baju, telah berdiri dengan tegak bagai menantang keributan. Orang itu bertubuh kurus sekali, seperti tidak mempunyai daging lagi kecuali tulang yang dibungkus kulit. Rambutnya yang panjang berwarna abu-abu meriap dipermainkan angin pantai, sebagian mata cekungnya tertutup helai-helai rambut. Tangannya lurus ke samping bawah kanankiri, tanpa ada kesan ingin mencabut senjata cakra di pinggangnya. Orang itu tak lain adalah Tengkorak Terbang, si penjaga pantai di bawah kekuasaan Ratu Pekat. Melihat orang mirip tengkorak hidup itu berdiri di perahunya, perempuan tersebut segera serukan kata, “Tinggalkan perahuku atau kuhantam kau dari sini!"Tengkorak Terbang diam saja, tak memberi jawaban apa pun, tapi ia tidak mau beranjak pergi dari atas perahu. Matanya yang cekung itu hanya menatap penuh sinar permusuhan, sehingga perempuan itu pun segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya lewat sodokan tangan kanannya yang bertelapak terbuk
Tawa perempuan berwajah lonjong itu makin terdengar jelas. Tapi tawa itu sendiri cepat terhenti setelah ia menyadari beberapa helai rambutnya ada yang rontok, terbang terbawa angin. Badai Kelbu menjadi kaget melihat rambutnya mudah terbawa angin, ia berkata dalam hatinya, "Kurang ajar! Rupanya tendangan kakinya yang menampar wajahku tadi benar-benar dialiri tenaga dalam yang cukup besar. Panas masih kurasakan di sekitar kepala dan panas itu membuat rambutku menjadi rontok! Edan! Harus segera kulawan rasa panas ini memakai hawa dinginku, biar tak menjadi botak kepalaku karena kehilangan banyak rambut!"Rupanya di seberang sana, Tengkorak Terbang juga sedang memejamkan mata dalam sikap berdiri dan menundukkan kepala, ia mencoba mengobati luka dalamnya dengan tahan napas beberapa saat. Dan Badai Kelabu pun buru-buru menyalurkan hawa dinginnya di kepala untuk meredam hawa panas yang hampir merontokkan rambutnya itu.Kejap berikutnya, mereka berdua sudah kembali sama-sama s
Dalam keadaan kritis begitu, Tengkorak Terbang cepat mencabut senjata cakranya yang berujung bergerigi. Senjata itu dipegang menggunakan dua tangan, bagian ujungnya dihadapkan ke depan. Tetapi kaki Tengkorak Terbang mulai terangkat-angkat karena hempasan angin kencang yang hampir menerbangkan tubuhnya."Hiaaaahh...!" Tengkorak Terbang pekikkan suara nyaringnya yang kering dan sember itu. Roda bergerigi di ujung senjata cakra berputar cepat bagaikan baling-baling. Kecepatan putaran gerigi itu memercikkan api merah. Api itu menyembur ke depan, semakin lama semakin besar dan membuat tubuh Tengkorak Terbang mulai terbebas dari tekanan angin badai.Sementara itu, di seberang sana Badai Kelabu masih bertahan melepaskan kekuatan badainya dengan lebih besar lagi melalui kedua telapak tangannya yang terbuka dan ujung telapaknya menghadap ke tanah. Tangan itu pun gemetar bagai menerima tekanan yang membalik dari percikan bunga-bunga api senjata cakra itu.Tubuh Tengkorak
"Semakin cantik dan hebat kau, Badai Kelabu!" puji Ratu Pekat yang rambutnya sudah mulai ditaburi uban walau tak terlalu banyak."Jangan puji aku demikian, Nyai. Aku sedang bersedih, dan menjadi lebih sedih lagi setelah mendengar cerita dari Cempaka Ungu tentang musibah yang melanda Istana Cambuk Biru ini.""Ya, aku pun ikut sedih. Tapi masa berkabungku ini tak mau kubuat berlarut-larut. Semua sudah menjadi takdir Dewata. Dan... oh, tentunya kau sudah mengenal kedua tamuku ini, Badai Kelabu," sambil Ratu Pekat menunjuk Pendekar Kera Sakti dan Dewa Racun.Badai Kelabu memandang kepada Dewa Racun, lalu menatap Pendekar Kera Sakti beberapa saat lamanya. Hatinya berdebar-debar menerima senyuman Baraka, si murid Setan Bodong itu, yang berdiri dengan tenang, kedua tangan terlipat di dada, mengenakan pakaian rompi kulit ular emas.Cempaka Ungu menjadi tak enak hati melihat Badai Kelabu menatap Pendekar Kera Sakti tiada berkedip, ia segera palingkan pandang denga
"Karena...Pusaka Tombak Kematian adalah jenis pusaka yang sulit dicari tandingannya, tak bisa dikalahkan dengan pusaka apa pun juga. Dia mempunyai sifat dan gerakan yang berbeda dari pusaka-pusaka pada umumnya."Pendekar Kera Sakti garuk-garuk kepalanya di depan mereka tanpa rasa canggung ataupun malu-malu, ia kelihatan orang yang paling berwajah tenang dan lugu, walau sudah mendengar banyak tentang keganasan Pusaka Tombak Kematian di tangan Tapak Baja. Bahkan Dewa Racun sendiri kelihatan gelisah memikirkannya, Cempaka Ungu tampak cemas memikirkan nasib istananya yang bisa direbut dengan mudah oleh Tapak Baja.Selewat hening sekejap, Ratu Pekat bertanya kepada Badai Kelabu, "Lantas apa maksudmu datang kemari, Badai Kelabu?""Guru terluka oleh pusaka itu. Dalam waktu sesingkat mungkin aku harus mencari obat untuk menyembuhkan luka Guru. Menurut Guru, hanya ada satu cara yang bisa menyembuhkan lukanya, yaitu dengan menggunakan sebuah batu yang bernama Batu Galih B
"Badai Kelabu! Jika aku terpaksa membunuhmu, bukan karena aku tidak menghargai persahabatan kita selama ini, tapi karena aku mempertahankan batu pusakaku ini! Jangan kau salahkan diriku jika nyawamu sampai melayang, karena kau tak mau mengikuti saranku untuk segera pulang ke Pulau Hitam!""Nyai Ratu," kata Badai Kelabu dengan berdiri tegak siap menyerang, "Sejujurnya kukatakan, aku cukup senang dan gembira menerima tantanganmu! Kalau toh aku harus mati, biarlah aku mati lebih dulu daripada mati setelah guruku!""Baiklah! Kau rupanya lebih senang mati di tanganku daripada mati di tangan orang lain. Hiaaat...!"Ratu Pekat kembali sentakkan tangannya dari bawah ke atas depan, dan Badai Kelabu cepat hentakkan kaki, tubuhnya melenting di udara. Kejap berikut, tubuh itu sudah berdiri tegak menghindari pukulan jarak jauhnya Ratu Pekat.Tangan Badai Kelabu segera bergerak memutar ke belakang keduanya, lalu seperti melepas burung ia lepaskan pukulan 'Badai Gunung'
"Berselisih!" bentak Dewa Racun. "Pertarungan bisa terjadi!""Jadi, maksudmu kita harus memihak salah satu dari mereka. Tidak, Dewa Racun! Aku tidak mau mencampuri urusan orang lain, kecuali hanya sebagai pihak penengah! Tugas kita di sini hanya menjaga serangan dari Siluman Selaksa Nyawa yang bisa datang sewaktu-waktu. Tapi sampai lima hari kita di pulau ini, tak ada utusan dari Siluman Selaksa Nyawa yang datang menyerang. Berarti kita harus segera berangkat ke Pulau Serindu. Aku sudah tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan Hyun Jelita, nyai gustimu itu, Dewa Racun. Aku tak mau ikut campur urusan Badai Kelabu dan Ratu Pekat!""Mak... mak... mak....""Makan.""Maksudnya!" sentak Dewa Racun. Biasanya jika dia kesulitan mengucap satu kata, jika sudah ditebak oleh orang lain, kata-kata yang akan diucapkan segera dapat ditemukan dan dilontarkan. Tapi jika orang lain itu salah menebak apa yang ingin diucapkan, Dewa Racun sering merasa dongkol hatinya.
Sinar merah yang terkena kibasan tangan Baraka itu membalik, yang semula besarnya seperti sebatang lidi, kini menjadi lebih besar lagi, tiga kali lipat dari besar semula. Kecepatan geraknya pun melebihi kecepatan semula. Hampir saja Mata Elang tak sempat menghindari serangan yang membalik ke arahnya jika tubuhnya tidak disentakkan oleh tangan Cempaka Ungu dengan sekuat tenaga.Brakkk...! Prokkk...!Tubuh Mata Elang yang didorong keras oleh Cempaka Ungu terlempar dan membentur reruntuhan bekas pintu gerbang. Pelipisnya menghantam kuat sebuah benda keras, dan akhirnya berdarah, ia menyeringai sambil memegangi pelipisnya. Sedangkan sinar merah yang membalik itu juga hampir saja mengenai tangan Cempaka Ungu saat gadis itu mendorong tubuh Mata Elang. Untung Cempaka Ungu cepat menarik tangannya dan berguling ke arah samping, sehingga sinar merah itu menghantam tiang penyangga atap di serambi samping. Tiang sebesar tiga pelukan manusia itu menjadi gompal pada bagian salah sat