Ia pun menahan tenaga dalamnya agar tidak mudah terlepas sebelum cincin itu diarahkan pada sasarannya. Nyai Betari Ayu tenangkan diri dan tetap bisu sebelum kedua lawannya bergerak.
Mata Betari Ayu tak pernah lepas dari gerak kewaspadaan. Karenanya, ketika Maharani tebarkan kipasnya dalam gerakan kecil, Betari Ayu cepat hadangkan tangan kiri ke depan untuk menahan pukulan jarak jauh yang dilepas kan secara diam-diam itu.
Deeb...!
Pukulan itu bisa tertahan. Maharani mundur setindak karena tersentak. Tapi dari cincin di tangan kirinya melesat sinar menyilaukan ke arah samping secara tak sengaja. Sinar itu mengenai seorang lawan yang sedang berhadapan dengan Selendang Maut.
Melihat kilatan sinar menyilaukan dari cincin itu, maka Maharani dan Putri Alam Baka terbelalak seketika. Karena mereka melihat ada satu orang lagi yang rubuh dalam keadaan tubuh bolong karena terkena tembusan sinar putih menyilaukan itu.
Orang yang rubuh dan menjadi korban kedua a
Entah mereka bersembunyi atau melarikan diri, yang jelas suasana di situ kembali sepi. Hanya langkah-langkah kaki Selendang Maut dan Peri Malam saja yang tampak melesat ke sana-sini mencari lawan yang perlu ditumbangkan.Peri Malam terluka di lengan sisi kirinya. Darah mengucur dari luka senjata tajam. Tapi ia tidak menghiraukan. Justru semangatnya kian bertambah.Selendang Maut terluka di dada kiri. Biru lebam dada itu. Tapi agaknya ia juga tidak menghiraukan lukanya, ia masih tetap memburu mangsa yang perlu ditumbangkan dengan selendang pusakanya.Suasana lenggang menimbulkan suara langkah jelas dari bangsal pertemuan sebuah pedang disambarnya dan berdenting memecah sepi. Kedua wajah cepat berpaling ke arah suara itu.Peri Malam dan Selendang Maut sama siapnya menghadapi serangan dari arah itu. Tapi ternyata yang muncul adalah Nyai Betari Ayu dengan mata bergerak liar mencari lawannya.Ketika mata itu bertatap pandang dengan mata Peri Malam dan S
Cepat-cepat ia lompatkan tubuh dan bersalto dua kali. Tubuh Nyai Lembah Asmara mendahului gerakan Pendekar Kera Sakti yang meluncur ke bawah tebing. Sebatang ranting kering dipakai berpijak kaki Nyai Lembah Asmara. Ranting itu seharusnya patah, tapi karena ilmu peringan tubuh yang digunakan Nyai Lembah Asmara cukup tinggi, sehingga ia bisa berdiri dengan tenang di atas ranting kering yang besarnya dua kali ukuran lidi.Tubuh Pendekar Kera Sakti yang meluncur ke bawah itu ditangkap oleh kedua tangan Nyai Lembah Asmara. Andai tidak, tubuh Pendekar Kera Sakti akan jatuh ke jurang yang cukup dalam. Mungkin juga Baraka akan mati dihujam bambu-bambu runcing yang sengaja dipasang oleh Nyai Lembah Asmara sebagai jebakan para musuh yang hendak menyerangnya dari atas bukit.Sentakan halus kaki Nyai Lembah Asmara segera membuat tubuhnya melesat ke atas sambil menopang tubuh Baraka. Kini, ia berhasil membawa Pendekar Kera Sakti ke tanah sedikit datar dan aman dari bahaya kemiringa
"Lekaslah naik sebelum aku sempat jatuh, Nyai!"Takut Pendekar Kera Sakti jatuh, Nyai Lembah Asmara pun segera melompat menyongsong gerakan tubuh Pendekar Kera Sakti yang mulai limbung ke depan. Tangan Pendekar Kera Sakti bergerak-gerak mencari keseimbangan sambil berseru. "Eee, eh eh eh...!""Awas, Baraka...!"Nyai Lembah Asmara makin berseru cemas. Ketika tubuhnya mendekati Pendekar Kera Sakti, tiba-tiba Baraka jatuh ke depan. Tangannya bergerak-gerak bagai ingin mencari pegangan."Waaaoow...!"Baraka berteriak dalam nada kegirangan. Tubuhnya beradu dengan tubuh Nyai Lembah Asmara di udara. Tangan Baraka cepat bergerak dan mengenai dada Nyai Lembah Asmara.Plak plak plak...!Lalu, Nyai Lembah Asmara tersentak ke belakang dalam keadaan terbang, Baraka jatuh ke bawah dalam keadaan terguling dua kali. Ia jatuh terduduk sambil mengerang kesakitan memegangi pinggangnya."Aduh. sakitnya punggungku...!" Rintihnya pelan.Tetap
Betari Ayu sempat kaget dan punya perasaan tak suka mendengarnya. Ia palingkan wajah dan cemberut. Pendekar Kera Sakti tertawa terkekeh-kekeh. Tapi tawanya menjadi hilang ketika ia melihat jari tengah tangan kanan Betari Ayu mengenakan cincin bermata putih berlian. Pendekar Kera Sakti terbayang penuturan dari gurunya tentang ciri-ciri Cincin Manik Bidari. Dan, saat itulah mata Pendekar Kera Sakti terbelalak melihat Cincin Manik Bidari ada di tangan Nyai Betari Ayu."Haruskah aku bertarung dengannya merebut cincin itu?!" Pikir Pendekar Kera Sakti dengan hati gundah gulana.-o0o-SUARA DERU yang timbul dari hembusan angin itu menandakan di tengah samudera telah terjadi badai lautan yang melemparkan gulungan-gulungan ombak. Ketika sampai di tepi pantai, gulungan ombak itu sudah menjadi anak ombak. Tak begitu besar, namun cukup kuat berdebur menghantam bebatuan ataupun tebing karang. Hembusan angin laut yang masih terasa kencang itu menerpa dua waj
Peri Malam melihat pukulannya nyasar ke sebongkah batu dan batu itu menjadi terbelah tiga bagian. Selendang Maut melihat tenaga dalam yang keluar dari ujung selendangnya mengenai bongkahan akar pohon kering, dan akar pohon itu menjadi hangus seketika.Kini keduanya sama-sama di atas pohon beda dahan. Keduanya sama-sama siap lancarkan serangan lagi. Tapi sebelumnya Peri Malam berkata dengan sungging senyum sinisnya. "Kulunakkan pukulanku, karena aku masih memberimu kesempatan untuk berpikir dalam menghadapiku. Sekali lagi kuingatkan, aku bukan lawan tandingmu, Selendang Maut!""Kupikir memang benar, aku bukan lawan tandingmu. Karena kau merasa tak akan bisa mengungguli ilmuku, sehingga kau hanya bisa berkoar-koar seperti itu sejak dulu!"Hinaan balik itu membuat hati Peri Malam makin menggeram. Tapi hatinya berkata. "Memang kuakui dia punya ilmu lumayan tinggi. Kalau pertarungan ini kulakukan sekarang juga, aku atau dia yang kalah, dan hal itu akan menguntungkan
Selendang Maut tarik napas panjang, lalu berkata. "Seingatku sudah dua kali kita bentrok gara-gara lelaki dan cinta.""Apakah menurutmu kita ini perempuan-perempuan bodoh? Apakah menurutmu kita ini wanita yang dungu, yang mau diperbudak oleh ketampanan seorang lelaki sehingga mau-maunya bertaruh nyawa untuk mendapatkannya?""Mungkin juga," Jawab Selendang Maut kecil sekali. Tangannya masih memainkan daun-daun pohon yang dicabut-cabut tepiannya."Apakah menurutmu, seorang perempuan mempertaruhkan nyawa untuk seorang lelaki itu adalah tindakan yang keliru?""Tergantung lelakinya," Jawab Selendang Maut."Kalau lelakinya punya cinta dan kesetiaan kepada kita, nyawa yang dipertaruhkan adalah suatu kemuliaan yang tinggi dari seorang wanita.""Tapi jika ternyata Pendekar Kera Sakti tidak mencintai satu di antara kita, apakah kita harus tetap bertaruhkan nyawa, saling bertarung dan saling berusaha membunuh?""Itu yang kupikirkan sejak tadi, P
"Tapi di tanganmu mereka mati, Bangsat!" Bentak Selendang Maut. Rupanya ia semakin terpancing dendam kesumatnya hingga bergegas untuk melepas kain selendang pusakanya."Tahan...!"Peri Malam mencoba menengahi perselisihan itu dengan maju satu tindak berada di antara Perawan Sesat dan Selendang Maut. Peri Malam pun ucapkan kata. "Kalau kalian berdua punya perhitungan pribadi, lakukan perhitungan itu setelah kita selesaikan masalah Baraka!"Perawan Sesat tarik napas sesaat, lalu berkata dengan suara serak. "Aku tak keberatan kalau memang kau ngotot ingin nuntut balas padaku, Selendang Maut! Aku siap menghadapimu kapan saja! Tapi jangan salahkan diriku jika kau harus kehilangan kepalamu!"Selendang Maut menggeram. Matanya menyipit benci saat ia ucapkan kata. "Kalau bukan karena tujuan yang sama, sudah kuhancurkan mulut busukmu itu, Perawan Sesat!"Peri Malam menyahut. "Hancurkan nanti saja!"Akhirnya Selendang Maut kendurkan ketegangannya. Mata
GEMERISIK dedaunan bambu dihembus angin siang. Gemerisik itu masuk ke telinga Pendekar Kera Sakti ibarat musik penghantar duka. Gundukan tanah di depannya masih dipandangi dengan wajah duka. Gundukan tanah itu adalah kuburan bagi si pelayan setia gurunya. Baraka memberi nama pada kayu patok kuburan itu dengan tulisan besar. Sugiri. Di bawahnya ada tulisan kecil yang berbunyi. Lahir tak diketahui, mati pun tak diketahui."Kalau saja aku tidak terbujuk oleh anggapan tentang Hyun Jelita di Bukit Garinda, Paman Sugiri tak akan mati di sana. Kasihan Paman Sugiri, ia mati hanya untuk membela diriku yang tak berharga ini. Mudah-mudahan arwahnya diterima di sisi Dewata," Kata hati Pendekar Kera Sakti yang segera bergegas bangkit dari kesedihan. Ia tak berlarut-larut tenggelam dalam perasaan duka atas kematian Pujangga Kramat.Baraka memakamkan jenazah Pujangga Kramat di Bukit Kayangan, tak jauh dari pancuran air yang menjadi pintu masuk menuju persinggahan Setan Bodong. Sayang