"Lama-lama kesabaranku yang sudah menua habis juga di depanmu jika kau masih membandel begitu, Kebo gagu!" gertak Nyai Perawan Busik dengan sikap mengancam.
"Habiskan!"
"Apanya yang dihabiskan!" bentak sang Nyai jengkel.
"Kesabaranmu!" lalu Malaikat Bisu memberi kode dengan tangannya agar Nyai Perawan Busik maju menyerangnya. Tantangan itu membuat Nyai Perawan Busik mulai putarkan tongkat di atas kepala.
Tiba-tiba muncul tokoh berjubah kuning yang langsung berseru dengan seenaknya, "Siapa pun berhak memperebutkan pusaka itu, Perawan Busik! Kau tak berhak memulangkan siapa saja yang datang kemari, termasuk aku sendiri!"
Tokoh yang muncul dari balik pohon itu berusia sekitar tujuh puluh tahunan. Sebaya dengan usia Nyai Perawan Busik. Dan bagi Baraka dan Dadanila, tokoh yang mengenakan baju compang-camping dengan tongkat merah menyangga tubuhnya itu bukan tokoh asing lagi. Mereka mengenal tokoh itu dengan nama Loan Besi alias Pengemis Sakti Tongkat Me
"Aku pernah dengar nama Sapu Nyawa," kata Dadanila. "Kalau tak salah orang yang berjuluk Sapu Nyawa adalah tokoh sesat yang sudah pensiun dan cenderung buka praktek jadi dukun ilmu hitam. Jika patung itu jatuh ke tangannya, hancurlah seisi dunia ini, karena ia tak pernah berpikir dua kali jika harus lakukan pembantaian terhadap siapa saja! Dia orang yang egois dan ambisius!""Kalau begitu aku harus segera melerai mereka agar jangan sampai timbul pertumpahan darah tanpa arti. Patungnya saja belum tentu ada, masa' harus dipertaruhkan dengan nyawa?""Tidak!" cegah Dadanila. "Jangan ke sana! Sebaiknya tunggu saja di sini dan lihat dulu perkembangannya. Jika benar makam itu mulai punya tanda-tanda mau keluarkan keajaiban, maka kau harus lakukan apa yang menurutmu baik untuk dilakukan. Tapi jika masih belum pasti seperti saat ini, jangan dulu!"Pikir punya pikir, benar juga sih usul Dadanila itu. Baraka harus menahan diri agar tak muncul dengan sia- sia. Namun, niatny
"Cari tempat berlindung!" bisik Baraka kepada Katok Banjir, dan anak itu tiba-tiba lari di balik bebatuan seberang makam. Baraka masih berdiri tegak dan tenang memandangi kehadiran Raga Paksa yang tampak sendirian itu, tapi Baraka yakin orang tersebut tidak datang sendirian. Karena menurut keterangan Katok Banjir tadi, Raga Paksa membawa sejumlah orang untuk mengejar-ngejar Katok Banjir."Dugaanku benar," kata Raga Paksa setelah berhenti di depan Baraka dalam jarak lima langkah."Apa maksudmu, Raga Paksa?!" tegas Baraka dalam bertanya."Anak itu pasti hanya akan menunjukkan makam Patung Dedemit kepadamu. Aku terpaksa menguntitnya agar bisa mengetahui ke mana anak itu membawamu. Ternyata di sini. Dan..., ten- tunya patung itu sudah ada di tanganmu, bukan?!""Bukan!" jawab Baraka tenang dan singkat saja.Raga Paksa melirik ke arah makam yang sudah jebol itu. Senyumnya membias sinis. "Makam itu telah rusak, pasti kau telah membongkarnya dan mengambil
Mata si pemuda dari lembah kera itu mulai terkesiap curiga memandang kemunculan orang tersebut. Ia biarkan orang itu datang mendekatinya dan berhenti di depannya dalam jarak sekitar dua tombak."Apa maksudmu menemuiku di sini, Hantu Cungkring?" tanya Baraka dengan kalem.Ia tahu tokoh tua yang kurus, kempot, dan sedikit bungkuk itu adalah Hantu Cungkring, gurunya Awan Sari. Kali ini Hantu Cungkring tampil tanpa tongkat. Jelas bukan karena menuntut kematian Cungkring Neraka, adik seperguruannya yang tewas di tangan Baraka. Tapi tentunya kedatangan Hantu Cungkring punya hubungan erat dengan Patung Dedemit."Aku tertarik dengan jurus mainanmu tadi, Baraka. Fantas kalau muridku si Awan Sari kalah melawanmu," kata Hantu Cungkring yang tak bisa menyebut huruf 'P', diganti dengan huruf 'F'.Sambungnya lagi dengan sikap acuh tak acuh, "Aku layak menuntut kematian adik ferguruanku itu, juga membalaskan kekalahan muridku. Tafi, kalau fatung itu kau serahkan fadaku,
"Bukankah kau bilang patung itu hanya isapan jempol belaka?""Aku berbohong padamu," kata Pak Tua dengan sedikit nada sesal terdengar di sela ketegasannya."Malam itu sebenarnya malam kemunculan Patung Dedemit. Tidak tepat pada malam purnama seperti yang pernah kugembar-gemborkan kepada mereka dalam keadaan aku sedang mabuk. Jujur saja, memang akulah Layang Petir, murid Iblis Dedemit yang belum tuntas selesaikan pelajaran darinya. Ketika Guru meninggal dia berpesan tentang patung pusaka yang akan muncul dua malam sebelum purnama. Dalam patokan ingatanku patung itu akan muncul pada malam purnama. Soal dua malam sebelumnya tidak pernah kukabarkan kepada siapa pun, karena aku sendiri sempat lupa tentang 'dua malam' tersebut. Aku baru ingat beberapa hari yang lalu, karenanya aku datang ke Bukit Jengkai Demit ini.""Untuk mencari Kozoki Oden?"Pak Tua gelengkan kepala. "Aku tak punya persoafan dengan Kozoki Oden. Aku hanya membohongimu. Aku sengaja menahanmu d
"Hari sudah hampir sore. Apakah kau berani pulang sendiri?""Berani, Kang. Pokoknya asal jangan ketemu orang berpakaian hitam dengan rambut dikuncir. Aku takut kalau lihat orang itu, Kang.""Mengapa takut?""Soalnya tadi malam aku lihat dia lari di kaki bukit ini dan bertarung dengan lawannya. Tapi lawannya tahu-tahu mati sendiri. Padahal orang berkuncir itu hanya memasukkan pisau kecil pada boneka yang dibawanya. Dia sakti sekali, Kang.""Tunggu, tunggu...!" kata Pak Tua. "Boneka kecil seperti apa?! Kau melihat sendiri boneka itu?"."Ya, tapi tak jelas sekali karena cahaya rembulan tidak terlalu terang. Boneka itu sepertinya dari karet, Pak Tua.""Pantas! Itulah yang dinamakan Patung Genit, eh... Patung Dedemit," kata Pak Tua saking gugupnya. "Patung itu memang seperti karet, tapi menurut penjelasan guruku; Iblis Dedemit sendiri, patung tersebut sebenarnya terbuat dari gumpalan daging dan urat-urat tubuhnya yang mengkerut selama sekian tahu
TEBING karang itu cukup curam. Di bawah tebing itu anak-cucu batu karang mencuat runcing, seakan pamer gigi masing-masing. Belum lagi ditambah debur ombak ganas yang menghantam di kaki tebing cukup membuat bulu kuduk meremang tak kenal lelah. Dapat dibayangkan seandainya seseorang jatuh dari atas tebing, pasti raganya akan hancur tercabik-cabik anak cucu si karang kejam itu. Selain raganya hancur tercabik, nyawanya pun pergi tak mau balik. Sebab itulah banyak orang yang malas terjun dari tebing karang yang dikenal bernama: Tebing Selamat Tinggal.Meskipun demikian, toh sore itu ada saja orang yang berdiri di tepian tebing karang tersebut. Orang yang berdiri di pinggiran tebing adalah seorang gadis berpakaian biru muda, lengkap dengan jubah tipisnya yang berwarna kuning gading. Gadis itu berdiri di tepian tebing, hanya satu langkah lagi ia menuju akhirat alias mati dicabik-cabik anak-cucu karang runcing itu.Sepasang mata anak muda berusia sekitar dua puluh tahun memand
Tiba-tiba sang gadis berseru,"Berhenti! Jangan mendekat lagi!""Lho, kenapa?""Aku mau bunuh diri! Aku tak mau kau pegangi saat aku mau melompat nanti!""Kau mau bunuh diri?" Baraka bernada tidak percaya. Sengaja ia bernada begitu, supaya sang gadis mengurungkan niatnya karena tidak dipercaya."Ya, memang aku mau bunuh diri. Kalau kau tidak percaya, lihat nih aku mau melompat ke jurang karang, hiaaah....""Ee, eh... tunggu dulu!" Baraka mau mendekat dengan tangan terulur, tapi gerakannya ragu-ragu dan sang gadispun tak jadi melompat."Apa maksudmu menahan gerakanku!" ketus sang gadis."Jangan bunuh diri, nanti kamu mati lho!""Memang aku kepingin mati!" sahutnya makin ketus. "Lihatlah kalau nggak percaya, satu, dua, ti....""Eeeh... tunggu!" sergah Baraka makin dekat tapi tak berani menyentuh gadis itu.Kulit sang gadis begitu putih dan mulus berkesan lembut, sehingga merasa sangat disayangkan kalau harus
Sebelum hal itu ditanyakan, Rani Adinda berkata lebih dulu, "Apakah kau tahu, siapa Hantu Putih itu?""Aku baru mau tanyakan padamu, apakah Hantu Putih itu benar-benar hantu atau hanya nama julukan saja?""Entahlah. Aku tak jelas. Ayahandaku hanya berkata begitu, lalu beliau tak mau bertemu denganku. Bahkan aku tak diizinkan masuk ke dalam kesultanan.""Mengapa tidak kamu tanyakan kepada gurumu?""Sudah. Tapi guruku tak tahu siapa orang yang menggunakan julukan Hantu Putih itu. Menurut Guru, mungkin yang dimaksud Hantu Putih adalah benar-benar hantu atau mayat yang terbungkus kain kafan dan berkeliaran di mana-mana. Tapi menurut dugaanku yang belum tentu benar, Hantu Putih itu nama julukan seseorang.""Dari mana kau bisa menyimpulkannya begitu?""Kabarnya, ayahku sangat benci dengan Hantu Putih, sebab ibuku jatuh sakit karena rindu ingin jumpa si Hantu Putih itu. Bahkan...," Rani Adinda diam sebentar, seperti ada yang perlu dipertimbangkan.