"Baraka ... hidupku ... tidak ... lama lagi ... "
"Ningrum, aku yakin kau pasti sembuh!" potong Baraka dengan cepat.
Ningrum menggeleng dengan lemah. "Percuma aku hidup... kalau keadaanku seperti ini Baraka"
Baraka hanya diam tak menjawab ucapan Ningrum. Sementara Ningrum mulai menangis terisak-isak dipelukan Baraka, menyesali nasib dan dirinya saat ini.
Tak lama kemudian, Baraka tiba juga ditepian sebuah danau yang bening yang ada dipinggiran hutan situ waras.
“Untuk apa kita kemari Baraka?”
“Dewa Abadi bilang di dasar danau ini ada sebuah lorong goa yang di dalamnya juga ada sebuah kolam kecil”
“Memangnya kenapa Baraka?”
“Dewa Abadi bilang, air di danau itu bisa mengobati keadaanmu saat ini Ningrum” kata Baraka lagi hingga membuat wajah Ningrum berubah.
“B..be...benarkah Baraka?”
“Aku juga tidak tau Ningrum, tapi lebih baik kita memastikannya dari
"Hemm ... disini ada lorong lagi. Masuk atau tidak, ya?" gumamnya, "...ah ...bodo amat! Paling-paling juga mampus."Setelah mengambil keputusan bulat, Baraka memasuki lorong yang tidak diketahui seberapa dalam dan bahaya yang akan dihadapinya. Setelah berjalan dua tombak lebih, ia mendapati sebuah ruangan yang cukup besar dan lebar.“Anginnya bertiup kencang. Pasti ini sebuah ruang atau goa yang cukup besar."Baru saja berjalan beberapa langkah.Kruukk! Krukkk!“Aduh... perutku minta jatah." Keluhnya sambil duduk bersandar di dekat pintu gua. "Mau makan apa di tempat seperti ini?"Saat Baraka ingin menyandarkan tangannya, tanpa sengaja tangan kanannya menyentuh sesuatu yang menggantung berada persis sejangkauan di depannya.“Eh ... apa itu tadi?"Hidung sedikit mengendus-endus, mirip sekali dengan hidung anjing yang membau daging."Baunya harum sekali."“Apa ini?" Tangan kanannya memegang-m
Konon katanya, saat belum menjadi seorang dewa dan menjadi pemimpin para dewa di istana langit. Sang Hyang Guru Dewa terlebih dahulu harus menjalani takdirnya menjadi seorang manusia hingga akhirnya Sang Hyang Guru Dewa berhasil meraih takdirnya untuk menjadi seorang dewa. Ini semua berkat kesaktian yang dimilikinya, satu diantaranya adalah Tenaga Sakti Kuasa Dewata dan Si Penakluk Hawa. Meski saat itu baru mencapai tingkat ke tujuh dari Ilmu "Tenaga Sakti Kuasa Dewata", tapi sudah bisa membuat Sang Hyang Guru Dewa disejajarkan dengan tokoh-tokoh tingkat atas dan para dewa yang ada di istana langit. Sampai pada akhirnya, Sang Hyang Guru Dewa menghilang dari percaturan dunia persilatan, moksa naik ke istana langit untuk menjadi seorang dewa dan sekarang mencapai tingkat tertinggi dari istana langit. Menjadi Sang Hyang Guru Dewa.-o0o-SEMBILAN hari sembilan malam lamanya Baraka terbujur pingsan di tempat itu. Pada hari ke sembilan, tubuh si pemuda mu
Yang terlihat dimata Baraka sekarang bukanlah sosok tua renta yang sebelumnya terbaring lemah tak berdaya dengan kulit tipis kering sekedar membalut tulang, bukan sosok bertubuh keriput seperti nenek-nenek menjelang ajal dan juga bukan sosok gadis pesakitan. Kini yang terbaring di atas Batu Pualam Hitam adalah sesosok gadis cantik jelita berkulit putih mulus tinggi semampai. Sepasang bibir merah merekah alami terukir indah di mulut, sedang diatasnya terdapat sebentuk hidung mancung ditingkahi dengan pipi kemerah-merahan. Sepasang mata gadis secantik bidadari tersebut masih tertutup rapat dalam masa tidur panjangnya. Dada membusung di balik baju yang dipakai terlihat turun naik dengan lembut, bagai tanda kehidupan tetap berada di raga cantik Ningrum.Kecantikan dan keagungan Ningrum benar-benar sempurna, bagaikan seorang bayi yang terlahir kembali untuk ke dua kalinya! Baraka sendiri sampai terpesona melihat aura keagungan yang terpancar dari raga tidur Ningrum."Bukan
Tiba-tiba saja Ningrum meringsut mendekat kearah Baraka dan menjatuhkan kepalanya didadanya seraya berkata ; “Itu artinya, kakang tidak boleh jauh-jauh dari Ningrum, selamanya berada disisi Ningrum”Lagi-lagi wajah Baraka berubah mendengar kata-kata lembut itu. Ningrum mengangkat wajahnya dan memandang lekat-lekat kearah kedua mata Baraka. Mata indah yang baru Ningrum sadari, “Ternyata kedua mata kang Baraka berwarna biru... Indah sekali” batinnya.“Ningrum...” ucapan lembut Baraka menyadarkan Ningrum dari lamunannya yang terkagum-kagum melihat kedua bola mata biru milik Baraka.“Oh.. Eh iya kang” kata Ningrum dengan terbata-bata.“Melamunkan apa sih, pasti melamun jorok”“Iihhh... kakang!," sahut Ningrum sambil melayangkan cubitan mesra.Pasangan muda mudi ini saling canda tawa. Keakraban dan kemesraan begitu cepat terjalin diantara keduanya sampai malam menjelang.&nb
NINGRUM tiba-tiba tersentak bangun dari tidurnya, dirinya yang saat itu berada dipelukan, gerakan tiba-tiba Ningrum, tentu saja membuat Baraka ikut terbangun. “Ada apa Ningrum?”“Aku bermimpi bertemu Dewa Abadi lagi kang”“Mimpi apa?” tanya Baraka dengan kening berkerut.Bukannya menjawab Baraka, Ningrum justru bangkit dari rebahannya, meraih pakaiannya dan mengenakannya kembali dihadapan Baraka yang masih menatapnya dengan penuh makna. Ningrum kemudian turun dari ranjang batu beralaskan tikar yang terbuat dari daun kelapa itu. Lalu berjalan kearah salah satu obor yang menerangi tempat itu. Baraka ikut bangkit dan kembali mengenakan celananya. Lalu berjalan kearah Ningrum dan kini keduanya sudah berdiri didepan salah satu obor yang menerangi tempat itu.Baraka tampak bingung melihat kearah Ningrum yang tampak dengan khusuk memperhatikan dinding yang ada dihadapannya. Ingin ber
Ningrum menyeruak keluar dari bawah air, rambut hitam panjangnya telah basah sempurna hingga membentuk sebuah caping legam di atas kepala. Air bening bagai memenuhi seraut wajah cantik memukau terus mengalir turun ke leher jenjang, meluncur cepat di atas sepasang bukit-bukit kenyal nan padat di dadanya. Beberapa butiran sisanya tertahan di ujung-ujung bukit kembar. Kelopak matanya berkerejap pelan meruntuhkan tetesan air, ujung hidungnya yang bangir serta sudut-sudut bibirnya yang memerah muda begitu basah menawan.Ningrum tersenyum manis kepada seorang pemuda yang duduk menjuntai kaki dimasukkan ke dalam air di atas batu di pinggir kolam. Pemuda yang tak lain Baraka membalas senyum Ningrum tanpa melepaskan pandangan mata ke tubuh indah Ningrum yang kini muncul perlahan-lahan dari dalam air. Mula-mula hanya senyum dan wajah manis yang tampak. Berikutnya leher jenjang keluar dari permukaan air, diikuti membawa serta pemandangan menakjubkan dari dada montok menantang yang basah
Setiap hari yang dilakukannya hanyalah berada di depan pintu gerbang Perguruan Bambu Wulung, berdiri mematung seharian penuh, tidak makan dan tidak minum. Jika dipaksa, paling banter satu sendok tidak lebih. Nilasari berdiri mematung seolah menantikan sang adik pasti kembali di sisinya. Dalam hitungan hari, minggu, bulan telah dilalui, hingga tepat dua tahun Nilasari dengan setia menunggu kedatangan Ningrum ditempat yang sama. Hanya kalau sudah tidak kuat berdiri dan lelah yang teramat sangat, Nilasari jatuh tertidur di tempat itu.Rangga Wulung sendiri sudah merasa putus asa melihat penderitaan batin istrinya, terlebih lagi pada kehamilan istrinya yang pertama sempat mengalami keguguran, membuatnya semakin mengkhawatirkan kondisi kesehatan istrinya yang semakin lama semakin menurun. Segala macam bujukan sudah ia gunakan, tapi membuat niat Nilasari tidak pudar sedikit pun. Namun sebagai suami yang bijak, Rangga Wulung maklum dengan apa yang dialami Nilasari tercinta. Untungla
“Bagaimana, ya…,” Rangga Wulung ragu-ragu.“Jangan terlalu lama berpikir seperti itu, Kang!” usik Baraka pada pemuda kekar yang saat itu mengenakan pakaian lurik, sehingga nampak seperti rakyat biasa.“Baik… baik. ” Rangga Wulung menyerah.Mereka pun menjalankan pedati ke sudut dekat kedai makan, tidak jauh dari panggung itu. Sebentar kemudian, pedati itu ditambatkan di situ. Dalam hati Rangga Wulung, setelah mereka cukup puas melihat keramaian itu, barulah akan mencari bahan keperluan sehari-hari.“Ingat, jangan coba macam-macam!” pesan Rangga Wulung tatkala mereka turun dari pedati. Baraka hanya mengacungkan satu ibu jarinya seraya mencibir. Seakan-akan, dia meyakinkan Rangga Wulung agar tak perlu khawatir dengan dirinya. Kerumunan orang makin padat saat mereka telah bergabung. Banyak dari mereka yang hadir berpakaian seperti layaknya orang persilatan. Beberapa orang menyandang pedang, sebagi
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern