Setiap hari yang dilakukannya hanyalah berada di depan pintu gerbang Perguruan Bambu Wulung, berdiri mematung seharian penuh, tidak makan dan tidak minum. Jika dipaksa, paling banter satu sendok tidak lebih. Nilasari berdiri mematung seolah menantikan sang adik pasti kembali di sisinya. Dalam hitungan hari, minggu, bulan telah dilalui, hingga tepat dua tahun Nilasari dengan setia menunggu kedatangan Ningrum ditempat yang sama. Hanya kalau sudah tidak kuat berdiri dan lelah yang teramat sangat, Nilasari jatuh tertidur di tempat itu.
Rangga Wulung sendiri sudah merasa putus asa melihat penderitaan batin istrinya, terlebih lagi pada kehamilan istrinya yang pertama sempat mengalami keguguran, membuatnya semakin mengkhawatirkan kondisi kesehatan istrinya yang semakin lama semakin menurun. Segala macam bujukan sudah ia gunakan, tapi membuat niat Nilasari tidak pudar sedikit pun. Namun sebagai suami yang bijak, Rangga Wulung maklum dengan apa yang dialami Nilasari tercinta. Untungla
“Bagaimana, ya…,” Rangga Wulung ragu-ragu.“Jangan terlalu lama berpikir seperti itu, Kang!” usik Baraka pada pemuda kekar yang saat itu mengenakan pakaian lurik, sehingga nampak seperti rakyat biasa.“Baik… baik. ” Rangga Wulung menyerah.Mereka pun menjalankan pedati ke sudut dekat kedai makan, tidak jauh dari panggung itu. Sebentar kemudian, pedati itu ditambatkan di situ. Dalam hati Rangga Wulung, setelah mereka cukup puas melihat keramaian itu, barulah akan mencari bahan keperluan sehari-hari.“Ingat, jangan coba macam-macam!” pesan Rangga Wulung tatkala mereka turun dari pedati. Baraka hanya mengacungkan satu ibu jarinya seraya mencibir. Seakan-akan, dia meyakinkan Rangga Wulung agar tak perlu khawatir dengan dirinya. Kerumunan orang makin padat saat mereka telah bergabung. Banyak dari mereka yang hadir berpakaian seperti layaknya orang persilatan. Beberapa orang menyandang pedang, sebagi
“Apa kau sudah gila?! Aku jelas bukan tandingan orang itu…,” sentak Rangga Wulung.Belum lagi Rangga Wulung sempat menarik keluar Baraka dari kerumunan, kembali terdengar jeritan menggiriskan dari atas panggung. Rupanya seorang lagi menemui kematian di tangan Jari Setan. Dan Rangga Wulung makin tidak betah untuk tetap di sana. Agak kasar dan tergesa, ditariknya tangan Baraka.“Ayo!, Kita pergi dari sini Baraka!’ seru Rangga Wulung seraya menarik kuat-kuat pergelangan tangan yang dipegangnya.Rangga Wulung terkejut bukan main! Ternyata yang ditariknya bukan lagi tangan Baraka, melainkan tangan seorang laki-laki tua. Rangga Wulung hanya bisa mendengus kesal. Rupanya pada saat dia terpana barusan, Baraka sempat menukar tangannya dengan tangan seorang aki yang kebetulan berada di dekatnya. Tentu orang tua keriput itu mengamuk sejadi-jadinya. Bibirnya yang sudah berlipat keriput seperti kain lusuh, menyemburkan makian pedas, tepat di de
Degh…!“Aaakh…!”Satu tamparan dengan punggung tangan telak sekali mendarat di wajah Jari Setan. Di iringi jerit kesakitan tubuh Ki Bayuganda terpental keras, melayang bagai tanpa bobot.Dari mulutnya, tersembur percikan merah yang menciprati sebagian penonton. Ketika jatuh berdebum di tanah, barulah orang-orang tahu kalau Ki Bayuganda atau si Jari Setan-lah yang melayang. Dan ketika menyentuh tanah, dia sudah kehilangan nyawa. Matilah tokoh kejam itu di tangan orang anak tanggung yang tak pernah sedikitpun disebut-sebut dalam rimba persilatan."Hidup Baraka...! Hidup Baraka...!""Hidup Baraka...!"-o0o-SENJA mulai meremang di Perguruan Bambu Wulung. Di depan padepokan, tampak Baraka tengah termenung. Memang, setelah menamatkan riwayat Jari Setan, pikirannya mulai dirasuki keinginan untuk menjajal keanehan yang terjadi tiba-tiba dalam dirinya, terutama mengenai kedahsyatan tenaganya sekarang. Baraka tidak be
Keduanya terus saling melumat dan tenggelam dialam cinta birahi mereka, sosok Ningrum yang sejak tadi membelakangi Baraka kini sudah berbalik menghadap Baraka dan sudah memeluk leher Baraka dengan erat. Baraka sendiri tampak sudah menarik erat tubuh Ningrum kedalam pelukan hangatnya, kedua muda mudi ini terlihat begitu menikmati apa yang mereka lakukan. Rasa rindu, cinta dan nafsu birahi sudah bercampur menjadi satu. Setelah cukup lama saling melumat, akhirnya keduanya saling melepas dengan bibir tersenyum.-o0o-Ketika malam telah merayap. Dan ketika Baraka terlelap. Orang tua berpakaian serba putih itu datang lagi dalam mimpi Baraka. Kalau saja anak muda dari Lembah Kera ini pernah mengenal atau pernah melihat Ki Ageng Buana yang kesohor itu, sudah tentu akan langsung mengenali gambaran seseorang yang muncul dalam mimpinya.Dengan senyum berwibawa, Ki Ageng Buana dalam mimpi itu membelai-belai rambut Baraka. ”Pergilah kau ke Gunung Batu. Temui wanita-wan
”Maaf, aku salah masuk... ” kata Baraka beranjak pergi (masa’ sudah jalan sejauh itu, baru ngomong kalau kesasar, hehehe... ! kacau! Kacau!). Bagaimana tidak beranjak pergi, karena pilar tunggal penyangga langitnya sudah menggeliat bangun karena melihat pemandangan yang memang sanggup membuatnya pilar tunggal penyangga langitnya bangun tanpa dipaksa.”Malu-maluin aja ni otong,” pikir Baraka sambil balik badan. ”Liat gadis sedikit licin saja, maunya nyodok melulu.” Gadis bergaun putih berjalan mendekat lalu tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya.”Kau sudah bangun?” katanya lembut sambil menyentuh tangan kiri pemuda dari Lembah Kera.Baraka kembali memutar tubuh. Jarak keduanya cuma setengah jangkauan saja.”Ya ampun! Mantap bener ni cewek,” pikir Baraka rada jorok sambil mengamati gadis di depannya. Katanya kemudian, lalu katanya dengan sedikit nyengir kuda. ”Apakah... kalian semu
Plok! Plok! Plok!Serentak ke sepuluh dara lainnya bangun dan berdiri di belakang Dara Emas. Mendadak Dara Emas duduk berlutut dengan kepala tertunduk."Salam hormat kepada Tuan Majikan!" kata ke sepuluh dara itu serempak.Baraka kaget!Sontak ia berdiri dan matanya memandang berkeliling, namun tidak ada satu pun di tempat itu kecuali mereka berdelapan."Kalian bicara kepadaku?" tanya Baraka, heran."Benar, Tuan Majikan!" kembali suara serempak terdengar."Tapi... aku bukan majikan kalian!?" tanya Baraka semakin heran."Sekarang ini, Tuan adalah majikan kami," sahut Dara Emas, mewakili teman-temannya."Waduh... tidak bisa, tidak bisa! Aku bukan siapa-siapa kalian," kembali Baraka menolak. Lucunya, pilar tunggal penyangga langit si pemuda tetap tegak menantang!"Meski bukan siapa-siapa, Tuan tetaplah majikan kami," ujar Dara Hijau.Baraka meringis untuk beberapa saat, lalu bertanya,”Apa sudah tidak bis
"Ehhmm... gitu ya..” kata mereka berdua serempak.Lalu secara bersamaan pula...Cupp!Ciuman mesra mendarat di pipi kanan-kiri Baraka."Gimana, masih pusing?" tanya Dara Hitam sambil melepas jeweran.Baraka hanya haha-hihi saja sambil mengusap telinga dan pipi bergantian.“Aduh, gimana, ya!?"“Uuuhh, bilang saja kalau mau nambah!" seru Dara Jingga.Cupp, cupp!"Udah deh... udah... ampe sesak napas, nih!?" sahut Baraka dengan terengah-engah, lalu katanya, ”Terus, kalau kalian sudah kalah, apa yang harus kulakukan!?"“Nah… karena kau sudah menjadi majikan kami, apa pun yang kau inginkan dari kami bersepuluh, apa pun itu, kami akan melaksanakan dengan patuh. Meski nyawa kami bersepuluh kau minta sekaligus, Sepuluh Dara Ghaib tidak akan menolak sedikitpun!" ucap tegas Dara Emas.“Kalau nyawa … enggaklah. Aku tidak sekejam itu," seloroh Baraka dengan mulut monyon
“Siapa kakek gurumu Baraka?”“Ki Ageng Buana...”“Ki Ageng Buana!” seru Nyi Naga Geni terkejut. “Pendekar Kilat Buana yang kesohor itu?!” sambung Nyi Naga Geni lagi. Wajah Nyi Naga Geni tampak berubah saat melihat wajah Baraka menggeleng.“Setahuku, di tanah Jawa ini. Ki Ageng Buana hanya satu”“Benar nyai, kakek guru, Ki Ageng Buana memang hanya satu, tapi julukannya Pendekar Kilat Buana, tidak pakai yang kesohor” kata Baraka tersenyum simpul.Gurauan Baraka membuat semua murid-murid Perguruan Naga Kencana menjadi senyum-senyum sendiri, bahkan sampai terdengar ada yang cekikan sambil menahan tawa. Nyi Naga Geni sendiri hanya geleng-geleng kepala saat menyadari kalau pemuda yang ada dihadapannya ini memang suka bercanda.“Sekarang, coba kau ceritakan sedikit tentang dirimu, Baraka” pinta Nyi Naga Geni.Baraka menghela nafas, dan ; “Aku berasal da
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p
Orang pertama yang menghadapi Baraka adalah Tongkang Lumut yang bersenjata rencong terselip di depan perutnya. Yang lain mundur, memberikan tempat untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai buka kuda-kudanya, tapi Baraka malahan menggaruk-garuk pantatnya dengan seenaknya saja. Ketenangan itu sengaja dipamerkan Baraka untuk membuat ciut nyali lawannya, sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan, tapi punya sisi menguntungkan bagi Baraka.Tongkang Lumut rendahkan kakinya. Kedua tangan terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar pertanda tenaga dalam mulai disalurkan pada tangan tersebut. Tangan kirinya menghadang di depan dada. Menggenggam keras dan kuat sekali.Slaaap...!Tiba-tiba Tongkang Lumut bagai menghilang dari hadapan Baraka. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat di belakang Baraka dalam jarak satu jangkauan tangan. Tentu saja punggung Pendekar Kera Sakti dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu. Menyadari h
JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai Tengkorak Liar. Anak buahnya pernah berhadapan dengan Baraka ketika Baraka selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat berhadapan dengan Baraka. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi.Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu-abu. Badannya masih tegap, walau tak
Kini kelihatannya Ki Bwana Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Baraka yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha sakti itu. Ki Bwana Sekarat bertanya pada pemuda dari lembah kera itu, "Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?""Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."Ki Bwana Sekarat kerutkan dahi, pandangi Baraka penuh curiga dan keheranan."Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Rawana Baka atau Siluman Selaksa Nyawa!"Baraka tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"Segera raut wajah Ki Bwana Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?""Benar!" lalu Baraka pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya.
Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun."Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun walau orang itu berilmu tinggi."Baraka memandangi alam sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya hijau semua. Mulut Baraka pun menggumam heran. "Luar biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?""Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'.""Aneh sekali namanya itu?""Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."Gelak tawa Baraka terlepas tak terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!""Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan dia!""Menakj
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Bwana Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI Bwana Sekarat menjawab, "Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Baraka dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan berilmu tinggi!""Jaga bicaramu agar jangan menyinggung perasaanku, Bwana Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima.Ki Bwana Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak Baraka dan berkata, "Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!""Ki Bwana Sekarat, apa maksud Ki Bwana Sekarat datang menemuiku di sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Kayangan?"Mendengar nama Puri Gerbang Kayangan disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa Baraka adalah orang Puri Gerbang Kayangan. Noda merah di kening Baraka sudah dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mer
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu."Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?""Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu meludahi wajah Rajang Lebong. Tet
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian