Kulit tubuhnya kuning langsat, tapi mulus tanpa cacat tanpa goresan apa pun. Jubahnya yang tanpa lengan menampakkan kulit tangannya yang lembut seperti kulit bayi, tanpa ada bekas suntikan cacar di ujung lengannya. Tinggi gadis itu lumayan, tidak terlalu jangkung, tidak terlalu pendek. Pokoknya serasi dengan bentuk tubuhnya yang sekal, padat, dan kencang. Sangat kontras dengan wujud sang ayah yang angker mirip kuburan para zombi.
"Kamu nggak perlu murung lagi, Sanjung Jelita. Sekarang kita sudah punya kunci menuju keinginanmu. Kitab Jayabadra sudah kita peroleh. Tinggal bagaimana ketekunanmu mempelajari Ilmu 'Pintu Tiga Alam' itu. Nanti Ayah akan membantumu dalam mempelajari ilmu tersebut."
Sang putri berkata, "Terima kasih, Ayah. Ayah selalu menuruti keinginanku."
"Karena sejak kematian Ibumu, kaulah satu-satunya buah hatiku, Sanjung Jelita. Anak semata sapi harus disayang setulus hati," kata Raja Kala Coro dengan suaranya yang besar.
Mereka duduk di ban
Akhirnya, Blaaab...! Cahaya itu padam, wujud kupu-kupu berubah menjadi Baraka. Satu lagi kesaktian yang diajarkan oleh Raja Kera Putih diperlihatkan oleh Baraka, nama ilmu itu adalah ilmu ‘72 Perubahan’.Pemuda itu cengar-cengir, duduk di atas ranjang di samping sang putri. Tangannya memainkan ujung hidung sang putri. Bibirnya disentuh-sentuh oleh jari telunjuk Baraka. Dagunya juga dimainkan, dan akhirnya merayap sampai ke dada. Sang putri kaget lalu terbangun."Hahh...?!" ia terpekik tertahan den lompat dari tempat tidur. Matanya membelalak tegang melihat sesosok pemuda berpakaian kumal ada di atas ranjangnya. Tentu saja sang putri berdebar-debar ketakutan dan merasa dongkol."Siii... siapa kau?""Namaku Baraka," jawab Baraka dengan kalem. Ia turun dari ranjang, Sanjung Jelita mundur ketakutan."Keluar, atau kupanggilkan pengawal biar kau ditangkap?!""Jangan dong. Aku suka di sini kok.""Nggak
Sampai pada malam keempat, akhirnya sang putri berkata dengan sangat terpaksa, sebab didesak oleh kebutuhan batiniahnya."Aku tak mau hanya dalam mimpi. Aku ingin mimpi itu menjadi kenyataan.""Berarti kita harus menikah.""Aku bersedia. Sangat bersedia!" jawabnya menggebu-gebu, sudah tak memikirkan malu-maluin lagi."Kapan kau akan melamarku?""Esok siang aku akan menghadap ayahmu," jawab Baraka."Apakah kau berani? Ayahku Raja Dedemit!""Demi mendapatkan dirimu, tak ada yang membuatku takut sedikit pun! Biar ayahmu Raja Dedemit, aku tak gentar melamarmu.""Oh, Baraka...," Sanjung Jelita jatuhkan kepala ke dada Baraka. "Kau memang pria idaman yang mampu membangkitkan semangat cintaku. Lamarlah aku secepatnya! Jika ayahku tak izinkan kita kawin, kita lari dari Pulau Dedemit!"Maka Baraka memberanikan diri menghadap Raja Kala Coro. Ia muncul bukan dari kamar sang putri, melainkan berubah menjadi kupu-kupu dulu, kemudian t
Panglima Morang terkapar di atas pohon besar, tersangkut di sana tak bergerak. Tapi suara erangannya terdengar samar-samar. Tubuhnya yang hitam menjadi putih karena kulitnya terkelupas saat terkena hantaman sinar keemasan tadi. Sinar itulah yang dinamakan sinar pukulan 'Tenaga Matahari Merah'. Kalau orang biasa kena sinar itu, habis sudah. Bukan hanya mati, tapi malah sulit dikubur karena menjadi serpihan-serpihan kecil seperti serat abon.Raja Kala Coro merinding melihat panglimanya tersangkut di atas pohon besar tanpa daya lagi. Ia segera dekati Baraka dan memandang dengan mata menjadi merah."Kurang ajar! Kau mampu membuat panglimaku tumbang begitu, ya?! Sekarang coba kau hadapi hewan peliharaanku ini!" kata Raja Kala Coro seraya mengangkat satu tangannya keatas. Tangan kanan dengan telapak tangan yang menggenggam.“Mukade Chōrō! Keluarlah!” teriak Raja Kala Coro dengan sangat keras hingga membuat tempat itupun bergoncang dibuatnya. Ditempatnya
“Sial!” maki Baraka dengan cepat bangkit dari jatuhnya sambil mengusap darah yang merembes dimulutnya.Tak ada waktu untuk mengeluh. Baraka dengan cepat menghimpun tenaganya. Tangan sebelah kanan telah berubah menjadi merah penuh 'Tenaga Inti Panas'! Sedang tangan kirinya berubah menjadi keputihan penuh 'Tenaga Inti Dingin'.“Heaaa...!"Wesss! Wesss!Kedua tangannya yang terangkum pukulan 'Tenaga Inti Panas’ dan ‘Tenaga Inti Dingin’ mengibas, memapak.Mukade Chōrō terlihat langsung menutupi wajahnya dengan ekor panjangnya.Derrr! Derrr!Akibat yang ditimbulkan sungguh hebat bukan main. Terdengar ledakan keras. Udara di sekitar tempat itu jadi panas dan dingin. Pohon-pohon pun menjadi layu dan membeku!Sementara itu tubuh Mukade Chōrō terlempar beberapa tombak ke belakang. Baraka yang melihat hal itu, segera memburu kedepan.“Heaaa...!"
Baraka segera berkonsentrasi, seluruh pikiran serta panca inderanya dipusatkan ke satu titik dalam benak. Hawa sakti dari Ilmu Angin Es Dan Api warisan Eyang Jaya Dwipa ini akan dipusatkan pada kedua tangannya. Maka perubahan pun terjadi. Rambut si pemuda yang berwarna hitam tersebut berubah menjadi putih. Rambut tersebut berumbai-umbai seolah terlihat bagai jilatan lidah petir.Brett...!Tiba-tiba saja sosok Baraka berubah, tubuhnya yang kekar semakin bertambah kekar besar, otot-otot diseluruh tubuhnya terlihat seakan ingin keluar. Peningkatan tenaga yang sangat luar biasa dapat Bintang rasakan dari tubuh Baraka. Tubuh Baraka seakan mengembang 2x lipat dari keadaan sebelumnya, bahkan pakaian yang dikenakannya langsung robek dibagian atas karena tak kuasa menahan pengembangan otot kekar ditubuh Baraka.Tiba-tiba saja sosok Baraka berubah, tubuhnya yang kekar semakin bertambah kekar besar, otot-otot diseluruh tubuhnya terlihat seakan ingin keluar. Peningkatan ten
Sebenarnya siapakah lelaki berpakaian putih-putih itu? Mengapa ia bersemadi di dalam batang pohon?Sejarah rimba persilatan sebenarnya pernah mencatat adanya seorang tokoh sakti yang jarang sekali menemui lawan tanding. Ia berjuluk Dewa Abadi. Tak seorang pun tahu, siapa nama aslinya. Yang jelas, Dewa Abadi adalah tokoh besar yang namanya sempat tercatat oleh para pujangga di tanah Jawa ini. Banyak mitos yang juga mengatakan kalau Dewa Abadi sebenarnya adalah seorang dewa.Hanya beberapa gelintir orang saja yang sanggup menandingi kesaktian Dewa Abadi. Dengan ajian 'Sukma Abadi' yang dimilikinya, justru membuat tokoh sakti itu kebingungan. Akibat memiliki ajian 'Sukma Abadi'-nya, Dewa Abadi ini menemui kesulitan untuk menemui kematian! Kini lawan-lawan yang bisa menandingi kesaktiannya satu demi satu sudah minggat ke alam lain, sehingga Dewa Abadi jadi kebingungan sendiri. Tidak ada kawan apalagi lawan.Dengan cara bertapa di dalam celah batang pohon, Dewa Abadi
Tepat ketika sosok berpakaian putih-putih itu mendarat, batang pohon randu itu tumbang dan jatuh berdebam ke tanah. Bumi bergetar hebat. Debu-debu kontan membubung tinggi memenuhi sekitarnya. Sedang Dewa Abadi tampak masih tegak di tempatnya. Sedikit pun juga tidak terpengaruh oleh keadaan di belakangnya. Kepalanya mendongak tinggi-tinggi menatap angkasa raya dengan kedua bibir bergetar.Bulan purnama di atas sana tetap bermuram durja oleh awan kelabu yang membungkusnya. Berjuta bintang di angkasa pun sepertinya malas tersenyum."Oh..., Dewata...! Kenapa jalan hidupku demikian buruk? Apa salahku, Dewata? Apa karena aku mempelajari Kitab ‘Sukma Abadi’ yang membuat aku begini? Tapi, bukankah Kau tahu! Ilmu yang ku peroleh ini hanya untuk membela jalan-Mu, jalan kebenaran? Lantas, kenapa di saat aku ingin menemui-Mu, malah ini yang ku peroleh?" keluh Dewa Abadi dalam hati, seolah-olah ingin menyesali kiprahnya di rimba persilatan.Namun apa yan
Kening Baraka bertautan ketika mendengar suara cempreng dalam bentuk nyanyian yang tak enak didengar. Seketika matanya tertuju ke ujung jalan setapak sana. Tampak seorang lelaki tua tengah melenggang santai dengan tongkat terantuk-antuk. Usia lelaki itu kira-kira tujuh puluh tahun. Rambutnya yang panjang tampak awut-awutan tak terawat. Wajahnya kasar penuh tonjolan daging. Sedang tubuhnya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna biru."Siapakah kakek tua berpakaian biru ini? Rasa-rasanya aku belum pernah mengenalnya...," tanya Baraka dalam hati.Dan begitu langkah si tua berpakaian biru makin dekat, Baraka pun hanya membiarkan Saja. Tak ada keinginan untuk menggoda. Ia malah lebih senang menikmati angin semilir yang mengelus-elus tubuhnya.Namun rupanya tidak demikian halnya sang kakek. Begitu berada di depan pemuda dari Lembah Kera, sejenak langkahnya berhenti. Sepasang matanya yang berwarna kelabu pun terus perhatikan Baraka dengan seksama."Sempru