Tepat ketika sosok berpakaian putih-putih itu mendarat, batang pohon randu itu tumbang dan jatuh berdebam ke tanah. Bumi bergetar hebat. Debu-debu kontan membubung tinggi memenuhi sekitarnya. Sedang Dewa Abadi tampak masih tegak di tempatnya. Sedikit pun juga tidak terpengaruh oleh keadaan di belakangnya. Kepalanya mendongak tinggi-tinggi menatap angkasa raya dengan kedua bibir bergetar.
Bulan purnama di atas sana tetap bermuram durja oleh awan kelabu yang membungkusnya. Berjuta bintang di angkasa pun sepertinya malas tersenyum.
"Oh..., Dewata...! Kenapa jalan hidupku demikian buruk? Apa salahku, Dewata? Apa karena aku mempelajari Kitab ‘Sukma Abadi’ yang membuat aku begini? Tapi, bukankah Kau tahu! Ilmu yang ku peroleh ini hanya untuk membela jalan-Mu, jalan kebenaran? Lantas, kenapa di saat aku ingin menemui-Mu, malah ini yang ku peroleh?" keluh Dewa Abadi dalam hati, seolah-olah ingin menyesali kiprahnya di rimba persilatan.
Namun apa yan
Kening Baraka bertautan ketika mendengar suara cempreng dalam bentuk nyanyian yang tak enak didengar. Seketika matanya tertuju ke ujung jalan setapak sana. Tampak seorang lelaki tua tengah melenggang santai dengan tongkat terantuk-antuk. Usia lelaki itu kira-kira tujuh puluh tahun. Rambutnya yang panjang tampak awut-awutan tak terawat. Wajahnya kasar penuh tonjolan daging. Sedang tubuhnya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna biru."Siapakah kakek tua berpakaian biru ini? Rasa-rasanya aku belum pernah mengenalnya...," tanya Baraka dalam hati.Dan begitu langkah si tua berpakaian biru makin dekat, Baraka pun hanya membiarkan Saja. Tak ada keinginan untuk menggoda. Ia malah lebih senang menikmati angin semilir yang mengelus-elus tubuhnya.Namun rupanya tidak demikian halnya sang kakek. Begitu berada di depan pemuda dari Lembah Kera, sejenak langkahnya berhenti. Sepasang matanya yang berwarna kelabu pun terus perhatikan Baraka dengan seksama."Sempru
"Hea...! Hea...!"Peramal Darah berkah-kali mencoba dengan jurus-jurus tipuan. Namun, sayangnya Baraka selalu saja dapat menghindarinya dengan mudah. Malah kalau si pemuda itu mau, tak jarang banyak kesempatan lowong untuk melancarkan serangan balik. Maka, hal ini pulalah yang membuat kemarahan Peramal Darah makin menggelegak."Setan alas! Jangan dikira kau sudah di atas angin hingga tak mau balas seranganku, Bocah! Bagaimanapun juga, kau harus modar di tangan ku, Bocah! Heaaa...!"Peramal Darah terus menekan pertahanan Baraka. Tangan kanannya membentuk cengkeraman berkelebatan hebat siap meremukkan batok kepala Baraka. Sedang tangan kirinya yang terkepal erat, siap pula mendaratkan bogem mentah."Hea...! Hea...!""Ah...! Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? Kenapa kau berhasrat sekali dengan nyawaku. Padahal di antara kita tidak ada silang sengketa. Apa tidak sebaiknya kita selesaikan urusan sampai di sini?" ujar Baraka sambil terus berkelebatan meng
Sementara tak jauh dari tempat si gadis berlatih berdiri tegak seorang lelaki setengah baya yang tengah mengamati. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk penuh kagum, pertanda puas dengan jurus-jurus yang diperagakan si gadis."Bagus, bagus! Tak kusangka kau dapat menguasai jurus-jurus 'Pedang Kupu-kupu Hitam'-ku dengan baik, Ningrum. Aku si Raja Pedang Kupu-kupu, bangga sekali mempunyai murid sepertimu," puji lelaki setengah baya itu.Dia adalah seorang lelaki berusia lima puluh lima tahun. Wajahnya berbentuk persegi penuh dengan kumis dan jenggot. Sepasang matanya tajam, menyimpan ketelengasan yang nyaris tersembunyi. Rambutnya panjang dikuncir sebagian ke belakang.Sedang tubuhnya yang tinggi besar dibalut pakaian ringkas berwarna kuning."Terima kasih, Guru. Semua ini tak lepas dari bimbingan Guru," sahut gadis cantik yang dipanggil Ningrum itu merendah.Lelaki setengah baya bertubuh tinggi besar yang berjuluk Raja Pedang Kupu-kupu ini tertawa ge
"Pertanyaanmu aneh, Orang Tua Sinting. Mana mungkin ada orang terlahir bersama seekor naga, bisa mati emaknya karena mengeluarkan naga dari lubang lahirnya" jawab Raja Pedang Kupu-kupu, seenaknya."Kukira jawabanku pun sama dengan Guru, Orang Tua. Sepanjang umur hidupku, rasanya belum pernah aku mendengar orang yang dilahirkan bersama naga," timpal Ningrum."Baiklah kalau kalian memang tidak tahu. Tapi, apakah barangkali kalian dapat membantuku pada siapa aku bertanya?""Keparat! Sudah kubilang tidak tahu, masih saja mengumbar bacot. Apa kau pikir aku takut mendengar nama besarmu, he?!" bentak Raja Pedang Kupu-kupu mengkelap bukan main."Terserah apa katamu. Yang jelas, aku tidak ingin bermusuhan denganmu," jawab Dewa Abadi enteng."Setan alas! Aku jadi ingin lihat apa kehebatanmu juga, sehebat bacotmu?!"Si Raja Pedang Kupu-kupu langsung melompat menyerang dengan jurus-jurus ganas. Dewa Abadi mengeluh dalam hati. Tentu saja ia tidak ingin m
"Sulit! Bagaimana mungkin aku dapat menemukan anak manusia yang kumaksudkan? Dari sekian banyak tokoh dunia persilatan yang sempat kumintai keterangan, tak ada satu pun juga memberikan keterangan pasti. Ah...! Jangan-jangan kabar gaib yang kuterima hanyalah mimpi kosong belaka. Kalau iya, ah...! Bagaimana aku dapat menemukan jalan kematian? Oh...!" keluh Dewa Abadi merasa galau.Dan baru saja lelaki tua ini mengeluh begitu, mendadak pendengarannya yang tajam menangkap gerakan halus di belakang jauh dari tempatnya berlari. Tanpa banyak cakap segera langkahnya dihentikan. Sementara sepasang pendengarannya makin dipertajam."Hm...! Kalau pendengaranku tidak salah, langkah-langkah halus yang terdengar terdiri dari dua orang. Dan kini mereka tengah berdiri di balik rindangnya sebuah pohon depan sana. Ya ya ya...! Sebaiknya aku ke sana. Siapa tahu mereka dapat memberikan keterangan," pikir Dewa Abadi.Saat itu pula Dewa Abadi pun segera meloncat ke atas pohon. Lalu de
Iblis Muka Bayi sejenak mengalihkan pandang matanya ke arah Iblis Pocong. Dan seperti diberi aba-aba, mendadak kedua tokoh sesat itu tertawa bergelak."Heran heran! Beraninya kau mengumbar suara demikian nyaringnya. Apa matamu sudah lamur tengah berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Iblis Pocong lagi.Dewa Abadi mengulas senyum. Tampak sekali kalau ia tidak gentar menghadapi kedua tokoh sesat di hadapannya."Kau akan menyesal seumur hidup berani bertindak lancang di hadapan Dewa Abadi!" sahut Dewa Abadi, tak kalah gertak.Kali ini rasa kaget Iblis Pocong dan Iblis Muka Bayi tak dapat dibayangkan lagi mendengar nama Dewa Abadi disebut. Namun kekagetan mereka hanya sebentar. Setelah dapat mengendalikan perasaan, kedua orang tua itu pun lantas tertawa bergelak. Sebagai tokoh tua dunia persilatan, mereka jelas pernah mendengar tokoh sakti tanpa tanding yang bergelar Dewa Abadi, walau belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi sifat mereka yang sombong mengalahkan
Iblis Pocong dan Iblis Muka Bayi yang nyalinya sudah ciut, mendapat kenyataan kalau kesaktian Dewa Abadi amat tinggi, sejenak saling berpandangan. "Mana sudi aku memberi keterangan padamu, Dewa Abadi! Tanyakan saja pada arwah-arwah gentayangan hutan ini!" sahut Iblis Muka Bayi, ketus.Dewa Abadi tersenyum arif. Tentu saja ia masih ingin membutuhkan keterangan dari Iblis Pocong dan Iblis Muka Bayi. Maka tanpa menghiraukan ocehan Iblis Muka Bayi, Dewa Abadi melangkah tenang mendekati."Maaf! Bukannya aku yang menyakiti kalian. Tapi, apakah kalian tidak ingin memberitahuku, pada siapa aku harus bertanya?" ucap Dewa Abadi penuh tekanan. Kedua matanya menyorot tajam, penuh perbawa menggetarkan.Iblis Pocong dan Iblis Muka Bayi seketika makin ciut nyalinya. Mereka tidak menyangka kalau Dewa Abadi memiliki perbawa demikian hebatnya. Maka begitu melihat kedua bola mata lelaki arif itu, tak urung hati mereka bergetar."Mana aku tahu? Kenapa kau tidak tanyakan saja
"Hm...! Aku yakin, tentu pemuda sakti itu yang dimaksudkannya," gumam Peramal Darah seperti pada diri sendiri."Siapa bocah sakti yang kau maksudkan, Peramal Darah?" tanya Dewa Abadi tak sabar."Namanya Baraka, gelarnya Pendekar Kera Sakti!" sahut Peramal Darah dengan sepasang mata menerawang.Sejenak tubuh Dewa Abadi tergetar hebat begitu mendengar julukan anak manusia yang terlahir bersama Naga. Dan sejenak itu pula kepalanya mengangguk-angguk dengan senyum tipis terkembang di bibir keriputnya."Ya ya ya...! Kukira ucapannya benar adanya. Aku harus secepatnya dapat menemukan pemuda itu," gumam Dewa Abadi dengan kepala mengangguk-angguk. "Kalau begitu, kuucapkan terima kasih atas keteranganmu."Baru saja Dewa Abadi akan berkelebat meninggalkan tempat itu, tiba-tiba...."Dasar orang tua tak tahu diri! Tadi kau ragukan ramalanku. Tapi, begitu kutunjukkan siapa pemuda yang kau cari, kau malah seenak perutmu akan meninggalkan aku. Apa itu