Suro Joyo menyusuri perbukitan dengan langkah pasti. Baru saja dia menyelesaikan tugas yang diberikan oleh ayahandanya untuk menumpas Riris Manik. Ayahandanya, Agung Paramarta, penguasa di Kerajaan Krendobumi. Riris Manik pernah melakukan perbuatan yang meresahkan Kerajaan Krendobumi, sehingga Agung Paramarta menugaskan Suro Joyo agar menangkap dan membawanya ke Istana Krendobumi untuk diadili.
Namun Riris Manik malah melarikan diri dan bersembunyi di Pesanggrahan Alas Waru milik Keksi Anjani. Suro Joyo melacak buron sampai ke pesanggrahan milik Keksi Anjani. Dalam upaya menangkap Riris Manik, Suro Joyo bertarung habis-habisan melawan Keksi Anjani dan anak buahnya.
Saat bertarung, Suro Joyo hampir tewas di tangan lawan. Banaswarih, putra mahkota Kerajaan Karangtirta menyelamatkan nyawa Suro Joyo. Kebaikan hati Banaswarih kini akan dia balas dengan kebaikan pula. Suro Joyo yang kini mengenakan pakaian berwarna serba kuning berjalan tegap menuju Karangtirta.
“Aku ingin balas budi pada Pangeran Banaswarih,” gumam Suro Joyo dalam perjalanannya melewati bukit bebatuan. “Kemarin, sebelum kami berpisah, Pangeran Banaswarih minta diriku untuk datang ke Kerajaan Karangtirta. Sepertinya ada bahaya tersembunyi yang mengancam Karangtirta.”
Dugaan Suro Joyo memang tepat. Saat ini kerajaan yang dipimpin Raja Tiyasa sedang berada dalam masa kelam. Masa kelam bukan karena ketidakmampuan sang raja menyejahterakan rakyatnya, tapi karena adanya desas-desus yang membuat rasa cemas.
Rakyat Kerajaan Karangtirta dirundung kecemasan. Kabar tentang pergerakan bawah tanah yang dilakukan orang-orang yang ingin melakuan pemberontakan, membuat rakyat semakin cemas. Para telik sandi, prajurit rahasia Kerajaan Karangtirta telah mengendus adanya pemberontak yang semakin banyak jumlahnya mulai melakukan gerakan-gerakan yang lebih berani. Ada yang berani memaksa penduduk perbatasan mengikuti mereka. Kalau tidak mau mengikuti, dibunuh atau dibantai secara keji!
“Putraku Banaswarih, lakukan apa saja yang perlu kamu lakukan untuk meredam gerak para pemberontak yang mulai berani ngelunjak!” perintah Raja Tiyasa suatu malam. “Kamu ambil tindakan yang tegas. Kalau perlu keras! Siapa saja yang ketahuan mendukung atau malah menjadi pelaku pemberontakan, habisi tanpa perlu diadili!”
“Siap, Ayahanda!” kata Banaswarih.
Malam makin larut. Hanya ada anak dan bapak di pendapa kerajaan yang semakin lengang.
“Bawalah Soka Pratanda ini!” kata Tiyasa sambil menyerahkan logam berbentuk segi empat bergambar simbol Kerajaan Karangtirta. “Simpanlah dengan rapat! Gunakan kalau benar-benar dibutuhkan.”
Banaswarih menerima Soka Pratanda dari Tiyasa. Pemegang logam segi empat itu mendapatkan kepercayaan mutlak dari sang raja. Soka Pratanda hanya satu. Benda berfungsi sebagai ‘pengganti raja’ itu hanya diberikan kepada orang yang dipercaya ketika situasi benar-benar darurat!
“Ayahanda,” kata Banaswarih, “Ananda ingin menyampaikan sesuatu yang mungkin bisa membuat Ayahanda lebih tenang menghadapi situasi sekarang ini.”
“Tentang apa, Banaswarih?” tanya Tiyasa dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
“Ananda telah menyampaikan permintaan bantuan kepada Pangeran Suro Joyo dari Krendobumi. Semoga Pangeran Suro Joyo bisa membantu kita menyelesaikan kemelut yang terjadi di Karangtirta.”
***
Senapati Tunggulsaka bersama puluhan prajuritnya menyusuri perbatasan wilayah Kerajaan Karangtirta dengan Kerajaan Parangbawana. Mereka berjalan dari arah selatan menuju ke utara. Menjelang matahari tegak di atas kepala, Senapati dan para prajurit tersebut sampai di pantai utara.
Menurut kabar dari beberapa telik sandi atau prajurit rahasia yang ditugaskan Tunggulsaka ke seluruh wilayah Karangtirta, ada gerombolan perampok yang bersarang di perbatasan. Gerombolan itu dipimpin Olengpati. Cukup lama mereka bersarang di perbatasan Karangtirta dengan Parangbawana. Kerajaan Karangtirta dan Parangbawana bertetangga baik sejak lama, sejak ratusan tahu silam. Dua kerajaan yang saling membantu bila satu dari keduanya membutuhkan bantuan.
“Apa benar kabar dari telik sandi itu, Senapati?” tanya seorang prajurit kepada Tunggulsaka. Karangtirta
“Aku yakin, benar,” jawab Tunggulsaka yakin. “Memangnya kenapa? Kamu tidak yakin bahwa laporan telik sandi itu benar?”
“Bukan begitu, Senapati. Bisa saja telik sandi salah menyerap kabar, sehingga kurang tepat ketika memberikan laporan.”
Benar juga ya kata prajuritku ini. Kata Tunggulsaka dalam hati. Namanya saja manusia, bisa saja dia salah dalam menyerap warta yang beredar di masyarakat. Wah, kalau prajurit telik sandi salah memberikan laporan, bisa membahayakan Karangtirta.”
Saat ini Tunggulsaka dan para prajuritnya merasakan bahwa keadaan tenang. Kawasan Hutan Ugeran termasuk wilayah Kerajaan Karangtirta dan Hutan Rukem kelihatannya aman-aman saja. Tak ada sesuatu yang mencurigakan. Senapati andalan Karangtirta itu sejenak bertanya-tanya dalam hati. Salahkah berita yang disampaikan para para telik sandi itu? Semoga laporan mereka tidak ada yang salah.
Selama ini para prajurit telik sandi selalu memberikan kabar yang tepat. Mereka memberi laporan padanya setelah melakukan penyelidikan secara sungguh-sungguh. Dalam laporan itu disebutkan bahwa mereka mengetahui tentang kebeadaan gerombolan perampok pimpinan Olengpati bersembunyi di Hutan Rukem, wilayah Parangbawana, dekat perbatasan dengan wilayah Karangtirta.
“Para perampok pimpinan Olengpati itu diduga kuat ada hubugan erat dengan pemberontak yang saat ini sedang menyusun kekuatan. Mereka menyusun kekuatan fisik berupa jumlah pasukan. Mereka juga mengumpulkan uang dan harta untuk membiayai para pemberontak,” kata Tunggulsaka.
“Dengar-dengar, ada anggota pemberontak berani mengancam penduduk perbatasan sini,” kata seorang prajurit yang lain. “Apa benar, Senapati?”
“Ehm…, ya, begitulah laporan yang kuterima. Sebentar…, sebenarnya mereka belum bisa disebut pemberontak,” Tunggulsaka meluruskan kata-kata anak buahnya. “Mereka sekumpulan orang yang sedang menggalang kekuatan. Mereka diduga kuat akan melakukan pemberontakan. Kapan melakukan pemberontakan? Kita tidak tahu.”
“Walau mereka belum melakukan pemberontakan, mereka sudah layak disebut pemberontak. Mereka suka membangkang terhadap semua peraturan yang ada di Kerajaan Karangtirta. Masyarakat Karangtirta yang tidak suka pada kelakuan mereka, sampai ada yang beramai-ramai mengusir orang-orang yang mendukung pemberontak.”
“Mengapa sampai bertindak sepertti itu?”
“Mereka kesal, Senapati. Masyarakat yang tidak suka kepada pendukung pemberontak itu punya alasan yang masuk akal, Senapati.”
“Apa alasannya?”
“Alasannya, para pendukung pemberontak itu cari makan dan menikmati segala hal diberikan pihak Kerajaan Karangtirta, tapi malah suka menjelek-jelekkan Raja Tiyasa dengan alasan ngawur. Alasan yang tidak masuk akal. Mereka hanya asal mangap saja. Asal membuka mulut, tanpa menggunakan otaknya.”
Senapati Tunggulsaka bisa memahami perkataan anak buahnya. Gerombolan Olengpati yang dicurigai ada hubungan dengan para pemberontak bawah tanah, sering membuat keonaran. Mereka membuat keonaran di desa-desa wilayah Karangtirta. Akibat ulah Olengpati dan anak buahnya, desa-desa tersebut tidak aman.
Penduduknya sering berjaga siang malam. Mereka berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang bisa menimpa penduduk desa. Para penduduk sering berjaga semalam suntuk, sehingga paginya mengantuk. Akibatnya mereka bekerja secara malas-malasan pada siang harinya. Hal ini menimbulkan perasaan penduduk tidak tenang, penghasilan mereka dalam bertani juga berkurang.
“Agaknya itulah tujuan Olengpati dan gerombolannya,” kata Tunggulsaka. “Mereka menebar keonaran yang membuat penduduk desa di seluruh wilayah Kerajaan Karangtirta resah. Karena resah, para penduduk menjadi lemah. Baik lemah badannya, juga lemah semangat hidupnya. Hal ini tidak akan kubiarkan terjadi berlarut-larut. Maka aku segera mengambil tidakan. Aku ingin segera menumpas Olengpati dan gerombolannya. Tentu saja yang kulakukan ini atas sepengetahuan Paduka Raja Tiyasa.”
Tunggulsaka tidak ingin penduduk desa atau rakyat jelata dalam keadaan tidak tentram, rasah, dan selalu khawatir sepanjang masa. Kalau rakyat dalam keadaan tidak aman, maka akan meruntuhkan kewibawan Karangtirta.
Maka dari itu, Tunggulsaka mohon ijin Raja Tiyasa yang menjadi orang paling berkuasa di Karangtirta. Tunggulsaka minta ijin untuk menumpas gerombolan Olengpati. Raja Tiyasa mengijinkan. Sehingga saat ini Tunggulsaka dan empat puluhan prajuritnya telah berada di perbatasan.
”Prajurit, berhenti di sini!” kata Tunggulsaka. ”Kita istirahat sebentar.”
”Baiklah, Senapati...,” sahut para prajurit serentak.
Para prajurit segera duduk-duduk di berbagai tempat. Ada yang duduk di bawah pohon besar, ada pula yang duduk di balik batu besar. Mereka duduk sambil menikmati bekal yang mereka bawa dari kerajaan.
”Lunjak, apa pendapatmu tentang situasi di perbatasan ini?” tanya Tunggulsaka setelah makan siang.
“Maaf, Senapati, saya belum punya pendapat,” kata Lunjak.
”Kalau kamu bagaimana, Bandem?” Tunggulsaka bertanya kepada Bandem.
”Menurut saya, ini barangkali cuma jebakan, Senapati,” jawab Bandem.
”Maksudmu?”
”Maksudnya begini, Senapati, Olengpati membuat daerah perbatasan ini seolah-olah aman. Padahal siapa tahu dia dan anak buahnya bersembunyi di sekitar sini. Pada saat rakyat lengah, dia keluar dari persembunyiannya. Mereka lalu merampok harta rakyat secara tiba-tiba dan tak terduga.”
”Ya..., aku juga berpikiran demikian. Cuma sekarang kita bingung mau bertindak apa? Karena kita belum menemukan persis di mana persembunyian mereka.” kata Tunggulsaka sambil menghela napas.
Ketika Tunggulsaka dan kedua anak buahnya sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar teriak kematian dari seorang prajurit yang sedang duduk di bawah pohon besar. Leher prajurit itu tertembus anak panah!
***
Tubuh prajurit yang lehernya tertembus anak panah runtuh ke bumi. Tergeletak dengan mata menatap ke langit. Semua prajurit yang melihat terbelakak kaget. Mereka terlihat panik. Mereka dalam hati terdalam khawatir nasib serupa menimpa mereka.Tunggulsaka segera mendekati tubuh prajurit yang naas tersebut. Dia raba urat nadi di tangan kiri. Sudah tidak ada denyutan.Dia sudah tak ada lagi. Kata Tunggulsaka dalam hati. Lalu dia tutup matanya. Istirahatlah dengan tenang di alam sana, Prajurit. Kami yang masih hidup akan meneruskan kridabaktimu mengabdi pada Kerajaan Karangtirta.Kematian prajurit secara misterius ini membuat prajurit yang lain panik.”Cepat sembunyi! Ayo, cepat sembunyi!” perintah Tunggulsaka.Mereka segera bersembunyi di balik batu atau pohon. Mereka menyebar ke wilayah hutan. Namun sebagian prajurit masih terlihat bingung. Rasa panik membuat sebagian prajurit merasa bingung. Saking bingungnya, sebagian k
Tunggulsaka merenungi kenyataan yang terjadi di kota kerajaan. Ternyata ada mata-mata yang tinggal di wilayah dekat istana. Hal itu tak pernah dia duga sebelumnya. Bahkan tidak pernah terlintas sedikit saja tentang adanya mata-mata yang ada di jantung Kota Kerajaan Karangtirta.Keberadaan mata-mata di dekat Istana Kerajaan Karangtirta sangat membahayakan bagi kelangsungan kekuasaan Raja Tiyasa. Adanya mata-mata, maka gerak apa pun yang akan dilakukan pihak Kerajaan Karangtirta bisa diketahui para pemberontak.Olengpati sebagai pimpinan perampok yang menjalin hubungan rahasia dengan para pemberontak sangat diuntungkan dengan mata-mata ini. Mereka bisa leluasa bergerak di luar sana untuk mengacau. Kalau pihak Kerajaan Karangtirta akan menumpas, Olengpati dan gerombolannya bisa menahan dan menghancurkannya.Brengsek! Ternyata ada mata-mata bagi perampok dan pemberontak. Rutuk Tunggulsaka dalam hati. Kalau aku bisa menemukan, maka aku sendiri yang akan
Secara cepat Tunggulsaka bersalto melompati tubuh Olengpati. Kedua kaki Tunggulsaka menapak tepat di belakang Olengpati. Dengan gerak cepat pula, pedang Tunggulsaka tersebut menempel di leher Olengpati. Pedang menyilang di depan leher Olengpati. Tubuh Tunggulsaka berada di belakang pimpinan perampok itu. Gerakan kecil saja dari pedang di tangan Tunggulsaka bisa berakibat sangat buruk bagi Olengpati!”Suruh anak buahmu mundur dan meninggalkan hutan ini!” perintah Tunggulsaka dengan nada lirih dan dingin. ”Kalau tidak mau menyuruh mereka mundur, kepalamu akan berada di telapak kakimu! Setelah itu, seluruh anggota gerombolan perampok itu akan kutumpas dengan pedangku, sendirian!”Kali ini Tunggulsaka benar-benar berada di atas angin. Bukan sekadar terlihat seperti berada di atas angin. Namun benar-benar memegang kendali pertarungan. Tunggulsaka, senapati andalan Kerajaan Karangtirta mempunyai dua kemenangan. Kemenangan pertama, dia menang unt
Raja Tiyasa memperhatikan Tunggulsaka yang terlihat keruh wajahnya. Tunggulsaka terlihat sedang menahan amarah. Senapati unggulan Kerajaan Karangtirta ini terlihat gusar atas kata-kata yang dilontarkan Patih Ganggayuda. Sebagai seorang senapati, Tunggulsaka memang merasa menyesal dan sedih atas kegagalan yang dialaminya. Namun mestinya Ganggayuda tidak lantas mencerca dan merendahkan Tunggulsaka. Ganggayuda tidak perlu memojokkan Tunggulsaka. Sesama punggawa Kerajaan Karangtirta mestinya saling membantu, saling membesarkan hati, dan saling menghibur di kala ada punggawa yang mengalami kesedihan atau pun kegagalan dalam tugasnya. Dalam lubuk yang terdalam, rasa mangkel Tunggulsaka sedikit terobati setelah Tunggulsaka menyatakankepada Raja Tiyasa bahwa yang dia dengar hanya sang raja, bukan yang lainnya. Tentu saja, Tunggulsaka tidak akan mendengar atau pun memperhatikan kata-kata Ganggayuda. Aku tak perlu mendengar kata-kata Ganggayuda yang sok tahu. Begitu batin Tunggulsaka. Ganggay
Menik Sarasti berlalu. Wanita muda nan cantik penggoda syahwat pria itu meninggalkan Ganggayuda di ruang tamu. Dia lenyap dari pandangan mata Ganggayuda, tetapi lekuk tubuh indahnya telah tertanam dalam di lubuk hati patih Karangtirta. Benar-benar dia cantik dan menggairahkan. Kata Ganggayuda dalam hatinya. Dia berdiri mengamati ruang tamu. Sayang sekali akhir-akhir ini aku tidak bisa menikmatinya. Situasi di Karangtirta yang makin sulit ditebak arahnya, membuatku makin sibuk saja. Ganggayuda duduk di kursi ukir. Dia mengitarkan pandangan ke seluruh ruang. Ruangan yang mewah dengan perabot mahal. Patih Karangtirta itu memang ingin memanjakan istri simpanannya. Rumah untuk Menik Sarasti terlihat sederhana kalau dilihat dari luar. Namun mewah di dalamnya. Benar-benar Ganggayuda sangat memperhatikan Menik Sarasti. “Kemewahan yang kuberikan ini sebanding dengan kecantikan Menik Sarasti,” gumam Ganggayuda. “Wanita cantik layak diberi segala kemewahan yang ada di dunia. Perhiasan, uang,
Pasir yang diinjak tiga pembokong itu tak bersuara sama sekali. Ketiga orang yang ingin menyerang dari belakang itu merasa mereka bakalan dengan mudah menghabisi Tunggulsaka. Mereka yakin sebentar lagi bekas Senapati Tunggulsaka akan terbujur kaku di atas pasir Pantai Utara. Secara serentak Jegonglopo dan dua kawannya mengayunkan golok masing-masing sekuat tenaga untuk mencincang tubuh Tunggulsaka. Jegonglopo ingin membelah kepala, dua temannya ingin memangkas bahu kanan dan bahu kiri Tunggulsaka! Wut! Wuut! Wuuut! Tiga golok tajam berkilat-kilat terayun kuat menuju sasaran. Trang!!! Pedang terpegang kuat di tangan kanan Tunggulsaka menangkis tiga golok secara bersamaan. Benturan keras terjadi. Jegonglopo dan dua anak buahnya terdorong mundur beberapa tombak sambil tetap memagang golok masing-masing yang hampir lepas dari genggaman! Ketiga pembokong terlongong. Mereka berdiri tegak dalam keadaan bengong. Mulut menganga, mata membelalak
Jegonglopo berusaha melihat walau pandangannya kabur. Pandangan Jegonglopo kabur akibat tendangan Tunggulsaka yang mengena perutnya. Sesaat setelah terkena tendangan, Jegonglopo merasakan sakit yang tak tertahankan. Dia mundur beberapa langkah, terhuyung, lalu terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut dengan tangan kiri. Tangan kanan masih memegang senjata saktinya.Saking menahan rasa sakit yang mendera, seluruh tubuh terasa lunglai. Mata pun berkurang keawasannya. Pandangan mata jadi kabur. Dia masih terhuyung sambil terus menjauhi musuh. Dalam kondisi seperti saat ini bila Tunggulsaka mau, bisa membunuh Jegonglopo dengan sekali tebasan keris saktinya.Tunggulsaka bukan tandinganku. Begitu kata hati Jegonglopo yang paling jujur. Mestinya yang melawan Tunggulsaka secara langsung adalah Olengpati atau Gusti Patih Ganggayuda.Tunggulsaka berdiri tegar menunggu dengan sabar dan tenang sampai lawannya siap untuk bertarung lagi. Tunggulsaka selalu
Ganggayuda dan Jegonglopo bersusah payah berusaha keluar dari seretan ombak. Ombak besar hendak menyeret tubuh dua manusia kejam itu menuju ke tengah lautan. Lautan ingin menelan mereka. Barangkali laut itu tidak suka pada dua manusia yang suka menebar kejahatan itu. Setelah bersusah payah melepaskan diri dari jeratan ombak, mereka berhasil berenang hingga sampai di tepi pantai. “Brengsek! Ajian dari Suro Joyo memang hebat dan sulit ditangkal,” kata Ganggayuda sambil menyeka air dari wajahnya. “Untung saja kita tidak terseret ombak besar. Kalau sampai terseret ombak besar, kita bisa tenggelam dan mati ditelan lautan.” “Ya, kita masih beruntung, Gusti Patih,” Jegonglopo menanggapi. “Kebanyakan musuh Suro Joyo yang terkena Ajian Rajah Cakra Geni menemui kematian. Kita sangat beruntung karena lolos dari kematian ketika kena hantaman Ajian Rajah Cakra Geni.” “Apa benar yang kamu katakan itu Jegonglopo?” “Benar, Gusti Patih. Jati Kawangwang, Riris
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik