Secara cepat Tunggulsaka bersalto melompati tubuh Olengpati. Kedua kaki Tunggulsaka menapak tepat di belakang Olengpati. Dengan gerak cepat pula, pedang Tunggulsaka tersebut menempel di leher Olengpati. Pedang menyilang di depan leher Olengpati. Tubuh Tunggulsaka berada di belakang pimpinan perampok itu. Gerakan kecil saja dari pedang di tangan Tunggulsaka bisa berakibat sangat buruk bagi Olengpati!
”Suruh anak buahmu mundur dan meninggalkan hutan ini!” perintah Tunggulsaka dengan nada lirih dan dingin. ”Kalau tidak mau menyuruh mereka mundur, kepalamu akan berada di telapak kakimu! Setelah itu, seluruh anggota gerombolan perampok itu akan kutumpas dengan pedangku, sendirian!”
Kali ini Tunggulsaka benar-benar berada di atas angin. Bukan sekadar terlihat seperti berada di atas angin. Namun benar-benar memegang kendali pertarungan. Tunggulsaka, senapati andalan Kerajaan Karangtirta mempunyai dua kemenangan. Kemenangan pertama, dia menang untuk memenggal kepala Olengpati kalau pimpinan perampok itu tidak mau memundurkan anak buahnya. Kemenangan kedua, kalau dia telah membunuh Olengpati, maka dengan pedangnya, seluruh gerombolan perampok bisa dia tumpas habis.
“Aku tidak membual atau omong kosong, Olengpati,” kata Tunggulsaka lirih dekat telinga sang pimpinan gerombolan perampok yang meresahkan rakyat. “Tadi aku tidak bisa membantai ana buahmu karena aku harus sibuk bertarung melawanmu. Kalau kamu sudah mati, seberapa pun banyak nak buahmu, bisa kubinasakan. Dengan dibantu sisa-sisa para prajuritku, pemusnahan anak buahmu akan lebih cepat.”
Olengpati terdiam selama beberapa saat. Sebagai seorang kesatria, tentu dia tidak mudah menyerah terhadap tekanan musuh. Mestinya dirinya lebih memilih mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu.
Dalam konteks kekesatriaan, harga diri adalah nyawa. Nyawa adalah harga diri. Seseorang sudah tidak layak disebut kesatria ketika dirinya tidak berani menempuh resiko terberat dalam peperangan, yakni kehilangan nyawa.
Petarung, prajurit, atau pun pendekar yang telah kehilangan jiwa kesatria maka sudah tidak ada harga diri lagi. Diri tidak harga. Pribadi tidak punya harga diri lagi. Manakala tidak ada harga diri sama saja harganya dengan orang yang tak berjiwa, orang yang tak bernyawa.
”Hei, rupanya kamu licik juga, Senapati Tunggulsaka!” ejek Olengpati dengan perasaan kesal. Kesal karena dirinya terpojokkan dalam situasi sulit. Situasi yang memaksa dirinya untuk memilih dua hal yang sama-sama beresiko. Pilihan pertama, menyerah, maka dirinya akan tetap hidup. Namun kalau dirinya menyerah, maka wibawanya sebagai pimpinan perampok, akan hilang. Bisa saja nanti anak buahnya sudah menaruh kepercayaan lagi padanya. Atau setidaknya kurang percaya lagi pada Olengpati. Pilihan kedua, dirinya melawan, akibatnya bisa fatal. Dirinya bisa mati karena terkeana goresan pedang lawan pada lehernya.
“Liciknya di mana?” tanya Tunggulsaka. “Bukankah caramu menjebak kami di hutan ini lebih licik dari yang sedang kulakukan sekarang?”
“Hemmm…, apa kamu kira aku takut dengan ancaman ini?” lanjut Olengpati dalam bentuk pertanyaan. “Kamu menyangka aku takut lalu menyerah begitu saja?”
Rupanya Olengpati masih melakukan gertak sambal dalam situasi seperti ini. Batin Tunggulsaka. Dalam keadaan hampir mati saja masih berani-beraninya menggertak. Kalau aku tega, sudah kupenggal leher pembuat onar di Kerajaan Karangtirta ini!
”Kuhitung sampai tiga,” pada akhirnya Tunggulsaka mengambil sikap tegas. “Kalau anak buahmu belum meninggakan tempat ini, kamu akan mampus sekarang juga!”
Olengpati mengamati anak buahnya yang masih siaga dengan senjata masing-masing. Dia menunggu perintah dari Olengpati. Apa saja yang diperintahkan Olengpati, akan dilakukan secara bersama-sama.
Selama beberapa saat suasana senyap. Semua diam. Semua saling menunggu. Olengpati menunggu Tunggulsaka menghitung sampai tiga hitungan, Tunggulsaka menunggu keputusan Olengpati. Tunggulsaka menginginkan Olengpati mengikuti keinginannya dari pada mati secara nista.
Tiba-tiba Olengpati mengangguk kepada anak buahnya. Itu merupakan perintah melalui isyarat. Anak buah Olengpati menangkap maksud Olengpati. Dalam sekejapan mata, seluruh gerombolan Olengpati berkelebat cepat meninggalkan arel pertempuran. Mereka lenyap masuk ke hutan Rukem. Lenyap tanpa jejak sedikit pun.
“Bagus karena kamu mengikuti keinginanku,” kata Tunggulsaka sambil melepaskan ancamannya. Dia berjalan memutari Olengpati dari sisi kanan lalu berhenti di depan Olengpati. Mereka berdiri berhadapan.
”Para prajurit Karangtirta, cepat tinggalkan tempat ini!” perintah Tunggulsaka. ”Kita kembali ke istana! Ini tempat kita.”
Serentak pasukan yang tersisa kembali ke Kerajaan Karangtirta. Mereka bergegas meninggalkan belantara setelah terlepas dari bahaya.
Setelah semua prajurit meninggalkan areal, tinggal Tunggulsaka dan Olengpati yang berdiri berhadap-hadapan.
“Olengpati…, sebaiknya kamu urungan niatmu bersama para pemberontak itu untuk merebut tahta dari Raja Tiyasa!” bujuk Tunggulsaka dengan nada penuh wibawa. “Sehebat apa pun kalian, kami sebagai abdi Kerajaan Karangtirta tidak akan tinggal diam. Kami akan sekuat tenaga bahu-membahu menghadapi kalian, para pemberontak.”
“Niat kami ingin menurunkan Raja Tiyasa bukan sekedar ingin mendapatkankekuasaan semata,” Olengpati memberikan alasan. “Tapi ada alasan lain yang lebih utama.”
“Alasan apa?”
“Raja Tiyasa tidak becus menjadi pemimpin.”
“O…, begitu alasanmu. Apa yang mendasari pendapatmu bahwa Paduka Raja Tiyasa tidak mampu menjadi peminpin di Kerajaan Karangtirta?”
“Banyak sekali alasannya. Aku tidak bisa mengungkapkan semua alaannya.”
“Kalau tidak bisa mengungkapkan semua alasan, coba sebutkan satu saja alasanmu!”
“Alasan yang tidak bisa dibantah, sejak Raja Tiyasa menjadi raja, banyak rakyat Kerajaan Karangtirta yang menderita. Banyak rakyat yang sengsara di bawah kekuasaan Raja Tiyasa.”
“O…, alasannya itu. Alasanmu itu berdasarkan kenyataan ataukah hanya karena pendapatmu sendiri?”
Olengpati terdiam. Sulit untuk menjawab pertanyaan Tunggulsaka.
“Kalau Tiyasa tidak becus menjadi raja, maka yang akan memberontak pertama kali adalah rakyat Karangtirta. Aku yang akan memimpin pemberontakan kalau Raja Tiyasa tidak bisa menyejahterakan rakyat Karangtirta.”
“Olengpati, jangan sok membela rakyat Karangtirta!” tegas dan jelas kata Tunggulsaka. “Yang tahu keadaan Karangtirta itu aku. Kamu dan para perampok itu orang mana? Apa kalian pernah tinggal di Karangtirta dalam waktu lama? Aku tahu kok, kalian hanya haus harta dan kekuasaan. Bukan ingin membela rakyat. Gaya kalian sok membela rakyat, tapi sebenarnya hanya membela kepentingan kalian sendiri, yaitu kepentingan untuk meraih kekuasaan sebagai sarana menumpuk harta dan kekayaan.”
Tanpa berkata sepatah kata pun, Olengpati meninggalkan Tunggulsaka.
Tunggulsaka pun segera menuju istana Kerajaan Karangtirta.
Sampai di istana Karangtirta, hari sudah malam. Tunggulsaka dan beberapa prajurit yang masih tersisa menghadap ke istana. Namun saat itu Raja Tiyasa belum pulang dari Perguruan Ngondang. Minta nasehat pada Ki Panutas. Guru sang raja saat masih muda.
Baru pada pagi harinya Tiyasa pulang. Langsung mengadakan pertemuan penting dengan para punggawanya. Tampak dalam pertemuan itu antara lain: Pangeran Banaswarih ~ putra mahkota kerajaan, Patih Ganggayuda, Senapati Tunggulsaka, Lunjak, Bandem, dan beberapa punggawa yang lain.
”Senapati Tunggulsaka, bagaimana hasil penyelidikanmu ke perbatasan?” tanya Raja Tiyasa.
”Mohon ampun, Paduka Raja,” kata Tunggulsaka, ”hamba gagal melakukan tugas ini.”
Lalu Tunggulsaka menceritakan apa yang telah dia alami kemarin.
Tiyasa menghela napas. Ada beban berat tersimpan di dada. Sulit baginya untuk mulai berkata kepada Tunggulsaka. Senapati Karangtirta muda usia yang sangat setia pada raja. Dalam melaksanakan tugas selalu berhasil. Hanya kali ini mengalami kegagalan.
”Maaf, Paduka, hamba ingin mengemukakan pendapat,” kata Patih Ganggayuda.
”Silakan, Ganggayuda!”
”Kegagalan pasukan kita menumpas gerombolan perampok itu semata-mata karena kesalahan Senapati Tunggulsaka,” kata Ganggayuda bernada tajam.
”Maksudnya bagaimana?”
”Begini, paduka raja, sebelum berangkat ke perbatasan, hamba sebenarnya sudah melarang sang senapati. Tetapi dia nekat. Nekat yang tidak menggunakan perhitungan matang. Dia belum tahu persis bagaimana kekuatan lawan. Sebenarnya hamba sudah melarang sang senapati. Tetapi dia nekat, tidak menggunakan perhitungan matang. Dia belum tahu persis bagaimana kekuatan lawan. Seberapa besar kekuatan para perampok yang berada di perbatasan. Dalam keadaan belum tahu keadaan lawan, dia tetap bertindak. Akhirnya..., begitulah, banyak prajurit kita mati sia-sia dihabisi gerombolan perampok...!”
Merah telinga Tunggulsaka demi mendengar cercaan yang begitu keras dari Ganggayuda. Umpama tidak dibatasi sopan-santun, pasti sudah dia tantang patih Kerajaan Karangtirta. Patih yang dia curigai telah menjalin hubungan saling menguntungkan dengan gerombolan perampok yang dipimpin Olengpati.
”Maafkan atas kesalahan hamba ini, Paduka Raja,” kata Tunggulsaka. Tanpa menghiraukan perkataan Ganggayuda. ”Hanya Paduka Raja yang berhak memberi maaf atau tidak kepada hamba. Hanya Paduka Raja yang berhak memberi hukuman bila hamba bersalah. Orang lain selain Paduka Raja, tidak termasuk dalam pemikiran hamba.”
”Benar kata Senapati, Ayahanda,” kata Banaswarih. ”Sekarang semua tergantung pada Ayahanda untuk menentukan kebijakan.”
Tiyasa masih diam. Berpikir keras. Menimbang-nimbang secara matang sebelum mengambil sebuah keputusan.
*
Raja Tiyasa memperhatikan Tunggulsaka yang terlihat keruh wajahnya. Tunggulsaka terlihat sedang menahan amarah. Senapati unggulan Kerajaan Karangtirta ini terlihat gusar atas kata-kata yang dilontarkan Patih Ganggayuda. Sebagai seorang senapati, Tunggulsaka memang merasa menyesal dan sedih atas kegagalan yang dialaminya. Namun mestinya Ganggayuda tidak lantas mencerca dan merendahkan Tunggulsaka. Ganggayuda tidak perlu memojokkan Tunggulsaka. Sesama punggawa Kerajaan Karangtirta mestinya saling membantu, saling membesarkan hati, dan saling menghibur di kala ada punggawa yang mengalami kesedihan atau pun kegagalan dalam tugasnya. Dalam lubuk yang terdalam, rasa mangkel Tunggulsaka sedikit terobati setelah Tunggulsaka menyatakankepada Raja Tiyasa bahwa yang dia dengar hanya sang raja, bukan yang lainnya. Tentu saja, Tunggulsaka tidak akan mendengar atau pun memperhatikan kata-kata Ganggayuda. Aku tak perlu mendengar kata-kata Ganggayuda yang sok tahu. Begitu batin Tunggulsaka. Ganggay
Menik Sarasti berlalu. Wanita muda nan cantik penggoda syahwat pria itu meninggalkan Ganggayuda di ruang tamu. Dia lenyap dari pandangan mata Ganggayuda, tetapi lekuk tubuh indahnya telah tertanam dalam di lubuk hati patih Karangtirta. Benar-benar dia cantik dan menggairahkan. Kata Ganggayuda dalam hatinya. Dia berdiri mengamati ruang tamu. Sayang sekali akhir-akhir ini aku tidak bisa menikmatinya. Situasi di Karangtirta yang makin sulit ditebak arahnya, membuatku makin sibuk saja. Ganggayuda duduk di kursi ukir. Dia mengitarkan pandangan ke seluruh ruang. Ruangan yang mewah dengan perabot mahal. Patih Karangtirta itu memang ingin memanjakan istri simpanannya. Rumah untuk Menik Sarasti terlihat sederhana kalau dilihat dari luar. Namun mewah di dalamnya. Benar-benar Ganggayuda sangat memperhatikan Menik Sarasti. “Kemewahan yang kuberikan ini sebanding dengan kecantikan Menik Sarasti,” gumam Ganggayuda. “Wanita cantik layak diberi segala kemewahan yang ada di dunia. Perhiasan, uang,
Pasir yang diinjak tiga pembokong itu tak bersuara sama sekali. Ketiga orang yang ingin menyerang dari belakang itu merasa mereka bakalan dengan mudah menghabisi Tunggulsaka. Mereka yakin sebentar lagi bekas Senapati Tunggulsaka akan terbujur kaku di atas pasir Pantai Utara. Secara serentak Jegonglopo dan dua kawannya mengayunkan golok masing-masing sekuat tenaga untuk mencincang tubuh Tunggulsaka. Jegonglopo ingin membelah kepala, dua temannya ingin memangkas bahu kanan dan bahu kiri Tunggulsaka! Wut! Wuut! Wuuut! Tiga golok tajam berkilat-kilat terayun kuat menuju sasaran. Trang!!! Pedang terpegang kuat di tangan kanan Tunggulsaka menangkis tiga golok secara bersamaan. Benturan keras terjadi. Jegonglopo dan dua anak buahnya terdorong mundur beberapa tombak sambil tetap memagang golok masing-masing yang hampir lepas dari genggaman! Ketiga pembokong terlongong. Mereka berdiri tegak dalam keadaan bengong. Mulut menganga, mata membelalak
Jegonglopo berusaha melihat walau pandangannya kabur. Pandangan Jegonglopo kabur akibat tendangan Tunggulsaka yang mengena perutnya. Sesaat setelah terkena tendangan, Jegonglopo merasakan sakit yang tak tertahankan. Dia mundur beberapa langkah, terhuyung, lalu terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut dengan tangan kiri. Tangan kanan masih memegang senjata saktinya.Saking menahan rasa sakit yang mendera, seluruh tubuh terasa lunglai. Mata pun berkurang keawasannya. Pandangan mata jadi kabur. Dia masih terhuyung sambil terus menjauhi musuh. Dalam kondisi seperti saat ini bila Tunggulsaka mau, bisa membunuh Jegonglopo dengan sekali tebasan keris saktinya.Tunggulsaka bukan tandinganku. Begitu kata hati Jegonglopo yang paling jujur. Mestinya yang melawan Tunggulsaka secara langsung adalah Olengpati atau Gusti Patih Ganggayuda.Tunggulsaka berdiri tegar menunggu dengan sabar dan tenang sampai lawannya siap untuk bertarung lagi. Tunggulsaka selalu
Ganggayuda dan Jegonglopo bersusah payah berusaha keluar dari seretan ombak. Ombak besar hendak menyeret tubuh dua manusia kejam itu menuju ke tengah lautan. Lautan ingin menelan mereka. Barangkali laut itu tidak suka pada dua manusia yang suka menebar kejahatan itu. Setelah bersusah payah melepaskan diri dari jeratan ombak, mereka berhasil berenang hingga sampai di tepi pantai. “Brengsek! Ajian dari Suro Joyo memang hebat dan sulit ditangkal,” kata Ganggayuda sambil menyeka air dari wajahnya. “Untung saja kita tidak terseret ombak besar. Kalau sampai terseret ombak besar, kita bisa tenggelam dan mati ditelan lautan.” “Ya, kita masih beruntung, Gusti Patih,” Jegonglopo menanggapi. “Kebanyakan musuh Suro Joyo yang terkena Ajian Rajah Cakra Geni menemui kematian. Kita sangat beruntung karena lolos dari kematian ketika kena hantaman Ajian Rajah Cakra Geni.” “Apa benar yang kamu katakan itu Jegonglopo?” “Benar, Gusti Patih. Jati Kawangwang, Riris
Mengancam dan membunuh merupakan ‘pekerjaan’ para gerombolan perampok pimpinan Olengpati. Dengan dia cara itulah mereka mencari makan. Mereka mengumpulkan harta benda dengan cara menakut-nakuti dan meneror korban. Kalau cara pertama, yakni menakut-nakuti dan meneror gagal, maka cara kedua ditempuh, membunuh. Menghilangkan nyawa orang lain untuk mendapatkan hartanya secara paksa. Pakaian warna hitam menjadi ciri khas anak buah Olengpati. Pakaian warna gelap itu memudahkan mereka untuk bersembunyi dan menyusup ke rumah calon korban. Setelah mendapatkan hasil, pakaian hitam itu memudahkan mereka bersembunyi dari kejaran prajurit atau penduduk desa yang punya nyali. Kadang-kadang di sebuah desa ada saja pendekar pemberani yang siap bertarung untuk menghabisi anak buah Olengpati. Malam ini dua anak buah Olengpati telah mengetuk pintu rumah penduduk yang ada di Kota Kerajaan Karangtirta bagian utara. Pemilik rumah membukakan pintu. Dia mengira prajurit Karangtirta yang men
Janurwasis tidak langsung menjawab pertanyaan Wening Kusuma. Dia malah membayangkan kalau dalam waktu dekat nanti bisa bermesraan lebih mendalam dengan gadis cantik itu. Tangan Janurwasis sudah gatal untuk meraba-raba lekuk liku tubuh si gadis. “Janurwasis!” panggil Wening Kusuma dengan nada agak keras. Dia amati kekasihnya itu memandang ke kejauhandengan pandangan kosong. Seperti melamunkan sesuatu. “E…, i-iya…, ya, ya…, ada apa?” Janurwasis gelagapan. “Ada apa, Wening?” “Lho…, kamu ini bagaimana? Lha wong ditanya saja belum menjawab, malah balik bertanya!” “Eh, iya, kamu tadi tanya apa?” “Aku tadi tanya, kabarmu bagaimana setelah kita lama tak jumpa?” ”Baik. Aku baik-baik saja,” jawab Janur singkat. “Selama berpisah denganmu, aku baik-baik saja. Tidak ada sesuatu pun yang buruk terjadi padaku.” Wening Kusuma tersenyum. Lalu senyum-senyum. Wening Kusuma memandangi wajah tampan di depannya dengan senyum-senyum. Senyum W
Janurwasis dan Wening Kusuma mundur beberapa langkah. Mereka menjauhi dua prajurit Karangtirta yang dengan semangatnya menyerang dengan tangan kosong. Dalam pemikiran mereka, tidak ada gunanya bertarung dengan dua prajurit itu. juga tidak ada gunanya melakukan pertarungan melawan Ganggayuda. Ada urusan lebih penting yang mesti didahulukan.“Kita kabur sekarang,” bisik Janurwasis dekat telinga sang kekasih.“Ya, aku sudah siap sekarang,” sahut Wening Kusuma juga dengan berbisik.Ganggayuda pasang kuda-kuda karena melihat gelagat mencurigakan pada Janurwasis dan Wening Kusuma. Ganggayuda curiga kedua orang itu akan meninggalkan arena pertarungan.“Hei, kalian bisik-bisik ada apa?” tanya Ganggayuda dengan nada tinggi. “Kalian mau membuat kerusuhan di Karangtirta?””Maaf, Patih Ganggayuda..., bukan bakat kami membuat kerusuhan,” kata Janurwasis tenang. “Kami ini orang baik-baik yang kebe
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik