Menik Sarasti berlalu. Wanita muda nan cantik penggoda syahwat pria itu meninggalkan Ganggayuda di ruang tamu. Dia lenyap dari pandangan mata Ganggayuda, tetapi lekuk tubuh indahnya telah tertanam dalam di lubuk hati patih Karangtirta.
Benar-benar dia cantik dan menggairahkan. Kata Ganggayuda dalam hatinya. Dia berdiri mengamati ruang tamu. Sayang sekali akhir-akhir ini aku tidak bisa menikmatinya. Situasi di Karangtirta yang makin sulit ditebak arahnya, membuatku makin sibuk saja.
Ganggayuda duduk di kursi ukir. Dia mengitarkan pandangan ke seluruh ruang. Ruangan yang mewah dengan perabot mahal. Patih Karangtirta itu memang ingin memanjakan istri simpanannya. Rumah untuk Menik Sarasti terlihat sederhana kalau dilihat dari luar. Namun mewah di dalamnya. Benar-benar Ganggayuda sangat memperhatikan Menik Sarasti.
“Kemewahan yang kuberikan ini sebanding dengan kecantikan Menik Sarasti,” gumam Ganggayuda. “Wanita cantik layak diberi segala kemewahan yang ada di dunia. Perhiasan, uang, perabotan rumah yang bagus-bagus, pakaian indah, dan makanan enak setiap hari sangat pantas diberikan untuk Menik Sarasti.”
Di dinding ruang tamu tergantung lukisan wanita cantik. Lukisan wajah Menik Sarasti yang sedang tersenyum. Pelukis yang mampu melukis persis wajah asli Menik Sarasti berasal dari sebuah desa yang tidak jauh dari kota kerajaan. Ganggayuda membayarnya lebih mahal agar sang pelukis bisa melakukan tugasnya dengan lebih baik. Ganggayuda tidak pernah berhitung tentang pengeluarannya demi memanjakan si istri simpanan.
Wanita yang wajah dalam lukisan ditatap lekat-lekat oleh Ganggayuda, datang bersama Jegonglopo. Jegonglopo ini merupakan sosok laki-laki muda berkumis tebal, berbadan tegap, dan mempunyai mata tajam. Jegonglopo satu dari sekian anak buah andalan Olengpati!
Wajah Ganggayuda terlihat gembira melihat kedatangan Jegonglopo. “Silakan duduk di sini, Jegonglopo!” Ganggayuda menyuruh Jegonglopo duduk di kursi yang ada di depannya.
“Daulat, Gusti Patih,” kata Jegonglopo sambil menunduk hormat. Anak buah Olengpati itupunduduk di kursi, tepat di depan Ganggayuda.
Ganggayuda yang berwajah keras tanpa kumis, menyalami orang yang sudah lama menjadi anak buahnya yang setia. Hanya saja, selama ini Jegonglopo dia suruh menyamar jadi petani desa. Jegonglopo disuruh menyamar sebagai orang biasa. Agar gerak-geriknya tidak mencurigakan orang sekitar, Jegonglopo menyamar jadi petani sesuai dengan saran Ganggayuda.
”Bagaimana kabarmu, Jegonglopo? Baik-baik saja kan?” tanya sang patih setelah keduanya duduk berhadapan di ruang tamu.
Sedangkan Menik Sarasti membuatkan minuman teh hangat untuk mereka. Menik Sarasti juga menghidangkan makanan yang lezat-lezat untuk Ganggayuda dan Jegonglopo.
”Baik, Gusti Patih,” jawab Jegonglopo. “Apa ada tugas baru untuk hamba?”
Menik Sarasti tadi membuat tiga cangkir teh hangat untuk mereka bertiga. Wanita yang menjadi gula-gula itu duduk di samping kiri Ganggayuda.
”Ada,” Ganggayuda menjawab pertanyaan Jegonglopo. “Ada tugas untukmu. Telah ada sebuah rencana yang hubugannya dengan upaya untuk melumpuhkan kekuatan Karangtirta. Untuk melumpuhkan kekuatan yang dimiliki Kerajaan Karangtirta, kita perlu mengurangi kekuatan itu. Ibarat menebang pohon besar. Sebelum menebang pohon besar, lebih dulu kita potongi dahannya satu-persatu. Begitu dahan sudah habis, mudah sekali untuk merobohkan pohon besar itu.”
Ganggayuda menghela napas berat, lanjutnya, ”Kalian sudah tahu tentang Senapati Tunggulsaka kan?”
”Sudah,” sahut Menik Sarasti dan Jegonglopo serentak.
”Apa Senapati Tunggulsaka harus dihabisi, Gusti Patih?” tanya Jegonglopo. Jegonglopo yang tinggal di kota kerajaan, sering melihat sosok Tunggulsaka. Jegonglopo hafal benar wajah dan perawakan Tunggulsaka.
“Harus!” jawab Ganggayuda cepat dan semangat.
“Mengapa Senapati Tunggulsaka, Gusti Patih?”
“Karena Senapati Tunggulsaka merupakan senapati andalan Kerajaan Karangtirta. Tunggulsaka merupakan kekuatan utama selain aku di Kerajaan Karangtirta. Kalau Tunggulsaka bisa kamu habisi, maka lebih mudah bagi kita untuk melaksanakan rencana besar kita.”
Jegonglopo mengangguk-angguk tanda telah mengerti maksud dari Ganggayuda. Rupanya Tunggulsaka merupakan duri dalam daging bagi Ganggayuda. Ganggayuda tentu akan melakukan rencana besarnya lebih awal kalau sudah tidak ada lagi penghalang semacam Tunggulsaka.
Ada semangat pada diri Jegonglopo untuk melaksanakan tugas baru dari Ganggayuda. Ganggayuda tidak pelit dalam menyediakan apa saja demi tercapai keinginannya. Apa saja yang dibutuhkan Jegonglopo, tentu dipenuhi.
“O…, jadi begitu rencananya?” kata Jegonglopo. “Kapan hamba melaksanakan tugas ini, Gusti Patih?”
“Senapati Tunggulsaka harus dilenyapkan secepat-cepatnya. Bila perlu hari ini juga. Jegonglopo, bawa dua anak buahmu!” perintah Ganggayuda. “Cari Senapati Tunggulsaka sampai ketemu. Setelah ketemu, langsung dihabisi!”
“Daulat, Gusti Patih! Kalau begitu, sekarang juga hamba mau ke kasenapaten.”
“Untuk apa?”
“Untuk membunuh Senapati Tunggulsaka.”
“Senapati Tunggulsaka sudah minggat!”
“Minggat? Maksud, Gusti Patih apa? Kok hamba jadi bingung.”
“Kamu bagaimana Jegonglopo?” tiba-tiba Menik Sarasti menyahut. “Kakang Patih Ganggayuda memerintah kamu mencari Senapati Tunggulsaka. Itu artinya Senapati Tunggulsaka sudah tidak ada di Kerajaan Karangtirta lagi.”
“Lha di mana kalau begitu, Gusti Putri?”
Ganggayuda kembali menghela napas berat. “Aku juga tidak tahu di mana keberadaan Tunggulsaka sekarang. Namun ada kabar dari orang-orang kita tentang keberadaan Tunggulsaka. Kamu berangkat dulu ke barak khusus untuk kita itu. Kita matangkan rencana di sana!”
”Kalau begitu, Jegonglopo mohon diri, Gusti Patih,” pamit Jegonglopo sambil menunduk hormat.
Laki-laki berbadan tegap dan besar itu mohon diri. Kemudian meninggalkan rumah Menik Sarasti. Dia tahu beberapa kali Menik Sarasti mengedipi Ganggayuda. Jegonglopo tanggap atas sikap Menik Sarasti yang telah lama tidak didatangi Ganggayuda.
Sepeninggal Jegonglopo, Menik Sarasti segera mengunci pintu rumah dari dalam. Lalu mengajak Ganggayuda ke kamar tidur.
”Menik Sarasti..., maaf, aku..., aku segera menyusul Jegonglopo,” kata Ganggayuda terbata. ”Aku tak ingin Jegonglopo gagal....”
Tetapi Menik Sarasti telanjur menyumbat bibir sang patih secara bertubi-tubi. Secara membabi buta penuh nafsu.
Sebagai laki-laki setengah baya, Ganggayuda tak bisa dianggap enteng dalam hal bermain asmara. Dia akhirnya malah yang balik menyerbu istri simpanannya itu. Menciumi bibir, leher, hingga dada si wanita muda.
”Kakang akan selalu setia padaku kan?”
”Ya, aku akan selalu setia….”
***
Tunggulsaka sebenarnya sosok manusia setia pada tanah kelahirannya yaitu Karangtirta. Apa saja yang diminta Karangtirta, akan dia penuhi tanpa protes atau pun membangkang. Karangtirta adalah tanah kelahiran Tunggulsaka, sehingga kalau terjadi sesuatu pada Kerajaan Karangtirta, Tunggulsaka tidak akan tinggal dan hanya berpangku tangan.
Namun kali ini benar-benar Tunggulsaka tersinggung atas sikap Raja Tiyasa yang dia rasa kurang tegas terhadap orang yang dicurigai sebagai pemberontak. Tunggulsaka curiga pada Ganggayuda. Gerak-gerik Ganggayuda ada setahun terakhir ini terlihat aneh dan mencurigakan. Maka saat masih menjadi Senapati Kerajaan Karangtirta, Tunggulsaka menyuruh telik sandi untuk mengamati gerak-gerik Ganggayuda.
Sayang sekali, telik sandi suruhan Tunggulsaka belum menemukan bukti atas kecurigaan Tunggulsaka. Belum ada bukti kalau Ganggayuda melakukan gerakan-gerakan untuk melakukan pemberontakan.
“Sungguh sial nasibku,” gumam Tunggulsaka saat meninggalkan Istana Kerajaan Karangtirta menuju ke arah utara. “Untuk mencari bukti keterlibatan Ganggayuda dalam kasak-kusuk pemberontakan di Kerajaan Karangtirta, tidak mudah. Aku belum bisa menemukannya. Malah kini aku dipermalukan Ganggayuda.”
Tunggulsaka berdiri di tepi pantai, Pantai Utara. Tubuh tegapnya berdiri tegak. Wajahnya yang berkumis kelihatan resah. Resah bukan karena memikirkan kedudukan pribadinya telah dia lepaskan tanpa persetujuan Raja Tiyasa. Dia tak peduli walau dirinya menjadi rakyat jelata asal kerajaan kembali aman. Buat apa dirinya mempunyai kedudukan tetapi tidak mampu berbuat banyak bagi kerajaan sesuai kedudukannya? Untuk itulah, lebih baik dia meletakkan kedudukannya. Walau dirinya sekarang jadi rakyat kembali tanpa menyandang kepangkatan sebagai senapati, tapi tetap bertekad untuk menumpas gerombolan Olengpati.
Dengan posisiku rakyat jelata, aku bebas mau berbuat apa saja untuk menumpas Olengpati dan gerombolannya. Tekad Tunggulsaka dalam hati. Bahkan kalau Ganggayuda terbukti terlibat dalam upaya pemberontakan, aku siap menumpasnya!
Tunggulsaka memperhatikan batu karang di kejauhan yang dihantam ombak sepenjang waktu. Namun batu itu tetap tegar berdiri di tempatnya. Tak goyah sedikit pun. Dalam benaknya dia ingin mempunyai prinsip hidup seperti batu karang. Tak mudah goyah walau ombak kehidupan datang menerpa. Tak surut sedikit pun walau banyak tantangan yang bakal dihadapi untuk melenyapkan Olengpati dan gerombolannya.
Ketika Tunggulsaka sedang merenungi tentang nasib Kerajaan Kartangtirta di masa mendatang, diam-diam ada tiga orang berpakaian serba hitam berdiri di belakangnya. Mereka adalah Jegonglopo dan dua temannya. Ketiganya menggenggam golok besar yang tajam berkilat-kilat!
***
Pasir yang diinjak tiga pembokong itu tak bersuara sama sekali. Ketiga orang yang ingin menyerang dari belakang itu merasa mereka bakalan dengan mudah menghabisi Tunggulsaka. Mereka yakin sebentar lagi bekas Senapati Tunggulsaka akan terbujur kaku di atas pasir Pantai Utara. Secara serentak Jegonglopo dan dua kawannya mengayunkan golok masing-masing sekuat tenaga untuk mencincang tubuh Tunggulsaka. Jegonglopo ingin membelah kepala, dua temannya ingin memangkas bahu kanan dan bahu kiri Tunggulsaka! Wut! Wuut! Wuuut! Tiga golok tajam berkilat-kilat terayun kuat menuju sasaran. Trang!!! Pedang terpegang kuat di tangan kanan Tunggulsaka menangkis tiga golok secara bersamaan. Benturan keras terjadi. Jegonglopo dan dua anak buahnya terdorong mundur beberapa tombak sambil tetap memagang golok masing-masing yang hampir lepas dari genggaman! Ketiga pembokong terlongong. Mereka berdiri tegak dalam keadaan bengong. Mulut menganga, mata membelalak
Jegonglopo berusaha melihat walau pandangannya kabur. Pandangan Jegonglopo kabur akibat tendangan Tunggulsaka yang mengena perutnya. Sesaat setelah terkena tendangan, Jegonglopo merasakan sakit yang tak tertahankan. Dia mundur beberapa langkah, terhuyung, lalu terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut dengan tangan kiri. Tangan kanan masih memegang senjata saktinya.Saking menahan rasa sakit yang mendera, seluruh tubuh terasa lunglai. Mata pun berkurang keawasannya. Pandangan mata jadi kabur. Dia masih terhuyung sambil terus menjauhi musuh. Dalam kondisi seperti saat ini bila Tunggulsaka mau, bisa membunuh Jegonglopo dengan sekali tebasan keris saktinya.Tunggulsaka bukan tandinganku. Begitu kata hati Jegonglopo yang paling jujur. Mestinya yang melawan Tunggulsaka secara langsung adalah Olengpati atau Gusti Patih Ganggayuda.Tunggulsaka berdiri tegar menunggu dengan sabar dan tenang sampai lawannya siap untuk bertarung lagi. Tunggulsaka selalu
Ganggayuda dan Jegonglopo bersusah payah berusaha keluar dari seretan ombak. Ombak besar hendak menyeret tubuh dua manusia kejam itu menuju ke tengah lautan. Lautan ingin menelan mereka. Barangkali laut itu tidak suka pada dua manusia yang suka menebar kejahatan itu. Setelah bersusah payah melepaskan diri dari jeratan ombak, mereka berhasil berenang hingga sampai di tepi pantai. “Brengsek! Ajian dari Suro Joyo memang hebat dan sulit ditangkal,” kata Ganggayuda sambil menyeka air dari wajahnya. “Untung saja kita tidak terseret ombak besar. Kalau sampai terseret ombak besar, kita bisa tenggelam dan mati ditelan lautan.” “Ya, kita masih beruntung, Gusti Patih,” Jegonglopo menanggapi. “Kebanyakan musuh Suro Joyo yang terkena Ajian Rajah Cakra Geni menemui kematian. Kita sangat beruntung karena lolos dari kematian ketika kena hantaman Ajian Rajah Cakra Geni.” “Apa benar yang kamu katakan itu Jegonglopo?” “Benar, Gusti Patih. Jati Kawangwang, Riris
Mengancam dan membunuh merupakan ‘pekerjaan’ para gerombolan perampok pimpinan Olengpati. Dengan dia cara itulah mereka mencari makan. Mereka mengumpulkan harta benda dengan cara menakut-nakuti dan meneror korban. Kalau cara pertama, yakni menakut-nakuti dan meneror gagal, maka cara kedua ditempuh, membunuh. Menghilangkan nyawa orang lain untuk mendapatkan hartanya secara paksa. Pakaian warna hitam menjadi ciri khas anak buah Olengpati. Pakaian warna gelap itu memudahkan mereka untuk bersembunyi dan menyusup ke rumah calon korban. Setelah mendapatkan hasil, pakaian hitam itu memudahkan mereka bersembunyi dari kejaran prajurit atau penduduk desa yang punya nyali. Kadang-kadang di sebuah desa ada saja pendekar pemberani yang siap bertarung untuk menghabisi anak buah Olengpati. Malam ini dua anak buah Olengpati telah mengetuk pintu rumah penduduk yang ada di Kota Kerajaan Karangtirta bagian utara. Pemilik rumah membukakan pintu. Dia mengira prajurit Karangtirta yang men
Janurwasis tidak langsung menjawab pertanyaan Wening Kusuma. Dia malah membayangkan kalau dalam waktu dekat nanti bisa bermesraan lebih mendalam dengan gadis cantik itu. Tangan Janurwasis sudah gatal untuk meraba-raba lekuk liku tubuh si gadis. “Janurwasis!” panggil Wening Kusuma dengan nada agak keras. Dia amati kekasihnya itu memandang ke kejauhandengan pandangan kosong. Seperti melamunkan sesuatu. “E…, i-iya…, ya, ya…, ada apa?” Janurwasis gelagapan. “Ada apa, Wening?” “Lho…, kamu ini bagaimana? Lha wong ditanya saja belum menjawab, malah balik bertanya!” “Eh, iya, kamu tadi tanya apa?” “Aku tadi tanya, kabarmu bagaimana setelah kita lama tak jumpa?” ”Baik. Aku baik-baik saja,” jawab Janur singkat. “Selama berpisah denganmu, aku baik-baik saja. Tidak ada sesuatu pun yang buruk terjadi padaku.” Wening Kusuma tersenyum. Lalu senyum-senyum. Wening Kusuma memandangi wajah tampan di depannya dengan senyum-senyum. Senyum W
Janurwasis dan Wening Kusuma mundur beberapa langkah. Mereka menjauhi dua prajurit Karangtirta yang dengan semangatnya menyerang dengan tangan kosong. Dalam pemikiran mereka, tidak ada gunanya bertarung dengan dua prajurit itu. juga tidak ada gunanya melakukan pertarungan melawan Ganggayuda. Ada urusan lebih penting yang mesti didahulukan.“Kita kabur sekarang,” bisik Janurwasis dekat telinga sang kekasih.“Ya, aku sudah siap sekarang,” sahut Wening Kusuma juga dengan berbisik.Ganggayuda pasang kuda-kuda karena melihat gelagat mencurigakan pada Janurwasis dan Wening Kusuma. Ganggayuda curiga kedua orang itu akan meninggalkan arena pertarungan.“Hei, kalian bisik-bisik ada apa?” tanya Ganggayuda dengan nada tinggi. “Kalian mau membuat kerusuhan di Karangtirta?””Maaf, Patih Ganggayuda..., bukan bakat kami membuat kerusuhan,” kata Janurwasis tenang. “Kami ini orang baik-baik yang kebe
Tunggulsaka tersenyum sambil berkata, “Kamu berhak mewarisi tahta Kerajaan Krendobumi karena kamu putra mahkota, tetapi kamu secara halus menolak tahta itu. Dengan kata lain kamu tidak ingin menjadi raja di Kerajaan Krendobumi, padahal sebagai putra mahkota, kamu sudah sepantasnya kelak menjadi raja di Krendobumi.”“Sebaliknya,” lanjut Tunggulsaka, “Patih Ganggayuda, yang tidak berhak jadi raja di Kerajaan Karangtirta, tetapi sangat berkeinginan menjadi raja. Patih Ganggayuda sangat berambisi menjadi raja di Karangtirta. Saking nekatnya, dia ingin melakukan pemberontakan.”Suro Joyo tersenyum setelah mendengar sanjungan Tunggulsaka. Sebagai orang yang biasa memposisikan diri sebagai rakyat jelata, bukan pangeran atau putra mahkota, Suro Joyo kurang nyaman kalau disanjung. Kenapa? Karena yang dia jalani atau lakukan dia anggap sebagai sesuatu yang biasa saja. Bukan istimewa. Bukan sesuatu yang perlu disanjung.”Tunggulsak
Tunggulsaka merasa tidak enak hati terhadap Suro Joyo. Dia merasa terlalu merepotkan orang lain. Bahkan Tunggulsaka merasa dirinya menjadi beban karena keadaan tubuhnya yang belum sembuh aibat luka dalam yang dideritanya.Namun dalam situasi sekarang, Tunggulsaka tidak perlu memikirkan hal yang sepele seperti itu. Ada bahaya yang mengancam mereka. Setidaknya, telah ada percobaan dari orang-orang misterius yang ingin membunuh mereka bertiga.Tunggulsaka menduga bahwa yang ingin membunuh tadi adalah anak buah Olengpati. Olengpati tentunya tidak senang kalau ada orang atau orang-orang yang ingin membantu Tunggulsaka dan Kerajaan Karangtirta dari serangan pemberontak. Olengpati yang berada di barisan pemberontak bisa dipastikan akan menghabisi orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh.Suro Joyo telah mengungkapkan rasa khawatirnya, dia yang mempunyai keinginan menuju Goa Setan. Tanpa berkata-kata lagi, Suro segera memanggul Tunggulsaka untuk dibawa kab
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik