Mengancam dan membunuh merupakan ‘pekerjaan’ para gerombolan perampok pimpinan Olengpati. Dengan dia cara itulah mereka mencari makan. Mereka mengumpulkan harta benda dengan cara menakut-nakuti dan meneror korban. Kalau cara pertama, yakni menakut-nakuti dan meneror gagal, maka cara kedua ditempuh, membunuh. Menghilangkan nyawa orang lain untuk mendapatkan hartanya secara paksa.
Pakaian warna hitam menjadi ciri khas anak buah Olengpati. Pakaian warna gelap itu memudahkan mereka untuk bersembunyi dan menyusup ke rumah calon korban. Setelah mendapatkan hasil, pakaian hitam itu memudahkan mereka bersembunyi dari kejaran prajurit atau penduduk desa yang punya nyali. Kadang-kadang di sebuah desa ada saja pendekar pemberani yang siap bertarung untuk menghabisi anak buah Olengpati.
Malam ini dua anak buah Olengpati telah mengetuk pintu rumah penduduk yang ada di Kota Kerajaan Karangtirta bagian utara. Pemilik rumah membukakan pintu. Dia mengira prajurit Karangtirta yang mengetuk pintu.
Begitu pintu terbuka, pemilik rumah terbeliak kaget bukan kepalang. Yang diduga berbeda jauh dari yang dilihatnya. Kini yang dilihatnya dua anak buah Olengpati mengarahkan golok mereka ke leher si pemilik rumah.
”Diam di sini dan jangan bergerak sedikit pun!” ancam satu dari dua anak buah Olengpati.
“Kamu juga jangan berteriak atau membuat gerakan yang mencurigakan,” anak buah Olengpati yang kedua menambahkan. “Kalau sampai kamu bergerak, bersuara, atau sampai berani melawan, maka kutebas lehermu!”
Si pemilik rumah tersebut menurut. Hanya diam tanpa melakukan perlawanan demi keselamatan jiwa yang bisa dia lakukan. Melawan sama saja mencari mati. Kalau pun dia punyailmu silat,kalau hanya tataran rendah, akan sia-sia melawan gerombolan perampok yang sudah lebih siap dalam melakukan aksinya.
Terlihat satu dari anak buah Olengpati bersuit. Dalam sekejap berdatangan beberapa teman lain dari segala penjuru. Mereka memasuki rumah korban yang sudah tak berdaya. Para begundal mengambil semua uang dan perhiasan milik si tuan rumah. Dalam beberapa kejapan mata mereka sudah meninggalkan rumah itu setelah menguras harta tuan rumah.
“Ayo cepat kita pergi sebelum ketahuan prajurit!” perintah satu anak buah Olengpati.
Gerombolan perampok lenyap di kegelapan malam. Tinggalah si tuan rumah yang sedih meratapi nasibnya yang malang. Dia menjadi korban perampokan oleh anak buah Olengpati.
Pada malam yang sama terjadi perampokan serupa di semua bagian kota kerajaan. Perampokan besar-besaran terjadi secara serentak. Perampokan yang cepat dan menyeluruh itu merepotkanpara prajurit jaga. Mereka berusaha mengejar para perampok. Namun sungguh aneh dan di luar nalar, setiap dikejar prajurit, para perampok itu tiba-tiba lenyap tak berbekas!
Lenyapnya para perampok itu tanpa jejak sama sekali. Tanpa ada jejak sedikit pun yang bisa digunakan prajurit untuk melacaknya. Para perampok, setelah mendapatkan hasil rampokan, tiba-tiba lenyap bagai ditelan bumi.
“Kemana mereka pergi?” tanya seorang prajurit di tengah kota kepada teman-teman sesama prajurit.
“Apa mereka kabur ke hutan yang ada di luar kota kerajaan?” tanya prajurit lainnya.
“Tidak mungkin!” tegas jawaban prajurit yang lain juga. “Kalau mereka lari keluar dari kota kerajaan, ada penjaga yang bersiaga di perbatasan. Para perampok itu pasti akan ditangkap di perbatasan.”
Ada prajurit ygikut menjelaskan, “Setiap jalan yang digunakan untuk lewat, dijaga ketat oleh puluhan prajutit secara berlapis-lapis. Kalau perampok meninggalkan kota kerajaan pasti bisa diringkus.”
“Kalau begitu, kemana mereka menghilang?” begitu pertanyaan seorang prajurit yang semula diam. “Apakah mereka punya ajian penglemunan, sehingga mereka bisa menghilang? Dengan ajian panglemunan, seseorang dapat lenyap dan tak terlihat oleh orang lain.”
“Kalau ada yang punya jian panglemunan, bisa saja,” seorang prajurit mencoba menjawab. “Tapi…, apa mungkin semua punya ajian panglemunan?”
Selama beberapa saat para prajurit yang berkerumun di tengah kota kerajaan terdiam. Seolah-olah kepala mereka buntu. Tak bisa memecahkan misteri tentang lenyapnya para perampok setelah mendapatkan harta benda dari para korban.
“Apa mungkin di kota kerajaan ini kantongnya?” tanya seorang prajurit yang berdiri sendirian di sudut perempatan.
Semua prajurit menoleh ke arahnya. Mereka tahu yang dimaksud ‘kantong’ itu. Kantong adalah penampung. Kantong adalah tempat persembunyian yang ada dekat rumah korban perampokan. Orang yang menyediakan rumah atau tempat persembunyian pencuri atau perampok ini tentu saja bekerja sama dengan para penjahat itu.
Namun tentang dugaan adanya kantong itu belum bisa dibuktikan. Tidak mudah juga untuk membuktikannya kalau tidak ada pengakuan dari pihak yang menyediakan rumah untuk ‘mengantongi’ para penjahat tersebut.
Akibat peristiwa semalam, keesokan harinya kota kerajaan geger. Para penduduk kota yang semalam dirampok segera melaporkan pada pihak kerajaan tentang jumlah harta mereka yang telah dirampok tadi malam. Sedangkan yang aman dari perampokan kasak-kasuk antartetangga. Pada intinya, mereka khawatir kalau malam berikutnya mendapat giliran dirampok.
“Kalau prajurit dan punggawa kerajaan tidak bisa menangani perampokan, lalu kita harus percaya pada siapa lagi?” tanya seorang ibu-ibu warga masyarakat kepada tetangga.
“Iya, ya, kok kelihatannya prajurit dan punggawa tidak berdaya menghadapi aksi para perampok,” sahut tetangga yang juga seorang ibu, umurnya lebih tua.
“Perampokan yang sebelumnya sudah diberitahukan oleh para perampok saja tidak bisa ditanggulangi, apalagi kalau para perampok itu datang secara tiba-tiba, maka para prajurit tidak mungkin bisa menanggulanginya.”
“Kalau nanti malam terjadi perampokan lagi, maka para prajurit dan punggawa pasti hanya bisa bengong kayak macan ompong. Mereka bakalan tidak bisa ngomong dan hanya ndomblong.”
“Ndomblong itu apa, Mbakyu?”
“Ndomblong itu melongo kayak orang bodoh.”
Karena ketakutan yang berlebihan akibat peristiwa semalam, hari ini tidak ada pedagang yang berani membuka kios atau warungnya. Mereka takut siang ini perampok akan datang lagi untuk mengulangi kesuksesannya tadi malam.
Suasana kota kerajaan seperti dalam keadaan lengang, seperti kota kerajaan yang mati. Kabar ini telah menyebar ke seluruh wilayah kerajaan. Seluruh rakyat Kerajaan Karangtirta semakin resah dan merasa tidak aman.
Dalam suasana seperti itu, di kota kerajaan kedatangan dua sejoli dari arah yang berbeda. Satu seorang laki-laki muda bernama Janurwasis datang dari arah timur. Sedangkan satunya seorang gadis muda berparas cantik bernama Wening Kusuma datang dari arah barat.
Kedua sejoli yang saling cinta itu berpelukan mesra. Rasa rindu yang tertahan selama ini seolah-olah dilebur dalam pelukan yang lama. Pelukan mesra yang lama. Malah sangat lama. Mereka lupa daratan, lupa lautan, dan lupa segalanya. Mereka hanya merasa bahwa dunia seisinya adalah mereka mereka.
Kejadian itu membuat orang-orang yang melihat merasa risih. Namun kedua pendekar muda itu tak peduli pada orang-orang sekitarnya. Pokoknya yang penting mereka suka. Orang lain tak suka, itu urusan orang lain! Mereka berdua saling cinta. Soal orang lain merasa risih atau tidak enak hati melihat kemesraan mereka, tak dipedulikan!
”Janur..., kelihatannya kota kerajaan ini tidak aman,” kata Wening Kusuma setelah melepaskan pelukan sang kekasih.
”Benar katamu, Wening,” sahut Janurwasis. ”Tetapi itu bukan urusan kita. Kita punya urusan lain yang lebih penting. Eh, perutku kok lapar. Ayo kita ke kedai makan itu!”
”Ayo!”
Keduanya masuk kedai dengan bergandengan tangan. Mereka pesan makanan dan minuman. Lalu makan dengan lahapnya. Usai makan, Janurwasis langsung membayar. Beberapa saat keduanya belum meninggalkan kedai karena masih menghabiskan sisa minuman masing-masing.
”Bagaimana kabarmu setelah sekian lama kita berpisah?” tanya Wening Kusuma.
***
Janurwasis tidak langsung menjawab pertanyaan Wening Kusuma. Dia malah membayangkan kalau dalam waktu dekat nanti bisa bermesraan lebih mendalam dengan gadis cantik itu. Tangan Janurwasis sudah gatal untuk meraba-raba lekuk liku tubuh si gadis. “Janurwasis!” panggil Wening Kusuma dengan nada agak keras. Dia amati kekasihnya itu memandang ke kejauhandengan pandangan kosong. Seperti melamunkan sesuatu. “E…, i-iya…, ya, ya…, ada apa?” Janurwasis gelagapan. “Ada apa, Wening?” “Lho…, kamu ini bagaimana? Lha wong ditanya saja belum menjawab, malah balik bertanya!” “Eh, iya, kamu tadi tanya apa?” “Aku tadi tanya, kabarmu bagaimana setelah kita lama tak jumpa?” ”Baik. Aku baik-baik saja,” jawab Janur singkat. “Selama berpisah denganmu, aku baik-baik saja. Tidak ada sesuatu pun yang buruk terjadi padaku.” Wening Kusuma tersenyum. Lalu senyum-senyum. Wening Kusuma memandangi wajah tampan di depannya dengan senyum-senyum. Senyum W
Janurwasis dan Wening Kusuma mundur beberapa langkah. Mereka menjauhi dua prajurit Karangtirta yang dengan semangatnya menyerang dengan tangan kosong. Dalam pemikiran mereka, tidak ada gunanya bertarung dengan dua prajurit itu. juga tidak ada gunanya melakukan pertarungan melawan Ganggayuda. Ada urusan lebih penting yang mesti didahulukan.“Kita kabur sekarang,” bisik Janurwasis dekat telinga sang kekasih.“Ya, aku sudah siap sekarang,” sahut Wening Kusuma juga dengan berbisik.Ganggayuda pasang kuda-kuda karena melihat gelagat mencurigakan pada Janurwasis dan Wening Kusuma. Ganggayuda curiga kedua orang itu akan meninggalkan arena pertarungan.“Hei, kalian bisik-bisik ada apa?” tanya Ganggayuda dengan nada tinggi. “Kalian mau membuat kerusuhan di Karangtirta?””Maaf, Patih Ganggayuda..., bukan bakat kami membuat kerusuhan,” kata Janurwasis tenang. “Kami ini orang baik-baik yang kebe
Tunggulsaka tersenyum sambil berkata, “Kamu berhak mewarisi tahta Kerajaan Krendobumi karena kamu putra mahkota, tetapi kamu secara halus menolak tahta itu. Dengan kata lain kamu tidak ingin menjadi raja di Kerajaan Krendobumi, padahal sebagai putra mahkota, kamu sudah sepantasnya kelak menjadi raja di Krendobumi.”“Sebaliknya,” lanjut Tunggulsaka, “Patih Ganggayuda, yang tidak berhak jadi raja di Kerajaan Karangtirta, tetapi sangat berkeinginan menjadi raja. Patih Ganggayuda sangat berambisi menjadi raja di Karangtirta. Saking nekatnya, dia ingin melakukan pemberontakan.”Suro Joyo tersenyum setelah mendengar sanjungan Tunggulsaka. Sebagai orang yang biasa memposisikan diri sebagai rakyat jelata, bukan pangeran atau putra mahkota, Suro Joyo kurang nyaman kalau disanjung. Kenapa? Karena yang dia jalani atau lakukan dia anggap sebagai sesuatu yang biasa saja. Bukan istimewa. Bukan sesuatu yang perlu disanjung.”Tunggulsak
Tunggulsaka merasa tidak enak hati terhadap Suro Joyo. Dia merasa terlalu merepotkan orang lain. Bahkan Tunggulsaka merasa dirinya menjadi beban karena keadaan tubuhnya yang belum sembuh aibat luka dalam yang dideritanya.Namun dalam situasi sekarang, Tunggulsaka tidak perlu memikirkan hal yang sepele seperti itu. Ada bahaya yang mengancam mereka. Setidaknya, telah ada percobaan dari orang-orang misterius yang ingin membunuh mereka bertiga.Tunggulsaka menduga bahwa yang ingin membunuh tadi adalah anak buah Olengpati. Olengpati tentunya tidak senang kalau ada orang atau orang-orang yang ingin membantu Tunggulsaka dan Kerajaan Karangtirta dari serangan pemberontak. Olengpati yang berada di barisan pemberontak bisa dipastikan akan menghabisi orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh.Suro Joyo telah mengungkapkan rasa khawatirnya, dia yang mempunyai keinginan menuju Goa Setan. Tanpa berkata-kata lagi, Suro segera memanggul Tunggulsaka untuk dibawa kab
”Eit! Tunggu!” Wening Kusuma tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Tangan kanannya telah digandeng Janurwasis.“Ada apa?” Janurwasis merasa heran.“Uang emasnya mau ditinggal di sini?”“Oh iya ya…. Saking senangnya aku dapat gadis cantik macam kamu, sampai melupakan uang emas itu. Secantik apa pun uang emas, masih cantik kamu, Wening.”“Ah…, merayu terus sukanya.”“Tidak. Aku tidak merayu kok. Dirimu benar-benar cantik tiada duanya di dunia ini. Soal kabar miring yang menyatakan bahwa aku menjalin hubungan dengan gadis lain, itu bohong semua.”Wening Kusuma tersenyum senang mendengar kata-kata manis dari Janurwasis.Laki-laki itu segera memanggul peti kecil berisi uang emas yang terbuat dari logam mulia. Siapa pun yang berhasil memiliki uang emas sepenuh peti baja kecil itu, keak akan menjadi orang yang kaya raya.Janurwasis ber
“Aku harus menggunakan pedangku untuk menandingi golok mereka,” gumam Wening Kusuma lirih, yang hanya bisa didengar diri sendiri. “Janurwasis yang tangan kirinya memanggul peti baja kecil masih bisa menandingi keroyokan lawan. Hanya dengan tangan kanannya, mampu memukul dan menendang para pengeroyok. Aku tak sehebat Janurwasis dalam menghadapi anak buah Jegonglopo.”Kenyataannya memang begitu. Janurwasis lebih hebat dibandingkan Wening Kusuma dalam ilmu silat, penggunaan senjata, dan ajian. Kali ini Wening Kusuma memang harus mengakui bahwa laki-laki yang sangat dia cintai itu bisa diandalkan untuk menghadapi lawan. Berapa pun jumlah lawan, Janurwasis masih mampu mengatasi. Sehebat apa pun para pengeroyok itu, Janurwasis bisa mencederai beberapa orang di antara mereka.Wening Kusuma merasa bangga memiliki kekasih sehebat Janurwasis. Selama berada di sampingnya, Wening Kusuma merasa sangat bangga. Dirinya merasa aman dan terlindung ketika berada
Nilawangi tidak menjawab, tapi malah mempererat pelukannya. Dia sangat kangen pada kekasih tercinta. Nilawangi angat rindu pada Janurwasis. Memeluk sebentar belum menghilangkan rasa rindunya. Memeluk dalam waktu sekejap, rindu belum lenyap.Janurwasis merasa senang mendapatkan sambutan yang hangat dari gadis cantik yang dirindukan. Janurwasis pun juga sangat rindu pada Nilawangi. Dibandingkan gadis lain, Nilawangi yang paling cantik, paling muda, dan paling hangat sambutannya kalau bertemu Janurwasis.Ketika sedang memeluk tubuh sintal Nilawangi, maka sosok Wening Kusuma dengan segala kenangannya, lenyap dari pikiran Janurwasis. Janurwasis benar-benar sudah melupakan Wening Kusuma. Bahkan, Janurwasis merasa dirinya tidak melakukan kekejaman terhadap Wening Kusuma.Sebenarnya aku ingin berpisah secara baik-baik dengan Wening Kusuma. Kata Janurwasis di dalam hati. Sebenarnya aku ingin berbagi uang emas itu dengan Wening Kusuma. Namun rencana ber
”Jangan sok menasehati, Tiyasa!” lantang suara Ganggayuda.“Hei! Ganggayuda! Kamu sudah berani nranyak! Kamu telah ngelunjak! Berani merendahkan martabat raja di Karangtirta!” potong Banaswarih dengan suara meninggi. “Raja Tiyasa memberimu nasehat, itu wajar. Kamu manusia yang sudah keluar dari kebenaran. Kamu manusia yang sudah bengkok pemikirannya. Sebagai seorang pimpinan sebuah kerajaan, Raja Tiyasa berhak memberimu nasehat. Soal nasehat itu kamu pakai atau tidak, itu urusan lain.”“Anak ingusan! Apa hakmu memotong omonganku? Kamu juga ngelunjak padaku. Aku ini masih patih di Karangtirta. Kamu bukan raja di Karangtirta! Kamu tidak berhak memanggilku tanpa panggilan ‘patih’!”“Benar…, aku bukan raja, tapi lihat yang kubawa ini!” kata Banaswarih sambil menunjukkan Soka Pratanda kepada Ganggayuda.Ganggayuda, para punggawa, dan beberapa prajurit terbeliak mel
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik