”Jangan sok menasehati, Tiyasa!” lantang suara Ganggayuda.
“Hei! Ganggayuda! Kamu sudah berani nranyak! Kamu telah ngelunjak! Berani merendahkan martabat raja di Karangtirta!” potong Banaswarih dengan suara meninggi. “Raja Tiyasa memberimu nasehat, itu wajar. Kamu manusia yang sudah keluar dari kebenaran. Kamu manusia yang sudah bengkok pemikirannya. Sebagai seorang pimpinan sebuah kerajaan, Raja Tiyasa berhak memberimu nasehat. Soal nasehat itu kamu pakai atau tidak, itu urusan lain.”
“Anak ingusan! Apa hakmu memotong omonganku? Kamu juga ngelunjak padaku. Aku ini masih patih di Karangtirta. Kamu bukan raja di Karangtirta! Kamu tidak berhak memanggilku tanpa panggilan ‘patih’!”
“Benar…, aku bukan raja, tapi lihat yang kubawa ini!” kata Banaswarih sambil menunjukkan Soka Pratanda kepada Ganggayuda.
Ganggayuda, para punggawa, dan beberapa prajurit terbeliak mel
Banaswarih tidak langsung menjawab pertanyaan Bandem. Diam-diam Banaswarih memikirkan Lunjak dan Bandem yang selama ini sangat setia pada dirinya selaku anak raja. Lunjak dan Bandem juga selalu bersemangat untuk menjaga Kerajaan Karangtirta dari gangguan apa pun.Ketika ada sosok Ganggayuda yang secara terang-terangan ingin merebut tahta dari tangan Raja Tiyasa, Lojitengara dan Bandem sangat kesal, sangat gemas, dan paling gusar. Mereka maunya saat Ganggayuda menyatakan keinginannya untuk merebut tahta Kerajaan Karangtirta, ditangkap. Kalau perlu dibunuh!Walau saat itu aku bisa membunuh Ganggayuda dengan menggunakan senjata saktiku, tapi itu tak mungkin kulakukan. Kata hati Banaswarih. Aku ini kesatria, bukan pengecut dan bukan manusia licik. Ganggayuda berani menyatakan diri untuk memberontak, maka dia harus siap mati kalau pemberontakannya gagal.”Manusia yang mengagungkan keakuannya, sering terjebak pola pikir bahwa dia adalah segala-
”Para Pengawal!” panggil Raja Tiyasa dengan suara keras.“Daulat, Paduka Raja!” jawab para prajurit berbadan tegap dengan suara tegas.“Para pemberontak sudah mata gelap. Mereka semua sudah seperti binatang yang haus darah. Mereka bersemangat untuk menumpahkan darah sesama saudaranya. Maka dari itu, kalian jangan ragu-ragu dalam bertindak!”“Apa yang harus hamba lakukan sekarang?”“Mengawalku dan permaisuri dengan segenap hati dan jiwa.”“Itu sudah kewajiban kami selaku pengawal raja. Kami siap mengorbankan jiwa kami demi raja dan Karangtirta.”“Bagus!” puji Raja Tiyasa penuh rasa bangga. Dirinya merasa percaya diri bahwa apa pun yang sedang terjadi, Kerajaan Karangtirta akan selamat karena dirinya mempunyai prajurit-prajurit hebat. Bukan sekadar hebat dalam oleh kanuragan dan menggunakan berbagai macam senjata. Namun juga hebat dalam kesetiaannya memegang su
Banaswarih bersiap-siap menyerang lawan. Dia ingin secepatnya membekukan tubuh lawan. Kalau tubuh lawan beku, maka sudah tidak bisa bergerak lagi. Bahkan kalau lawan terkena senjata saktinya yang berbentuk pisau, maka jantungnya juga bisa beku, sehingga berhenti berdetak. Manusia sehebat apa pun kalau jantungnya tidak berdetak, maka dirinya telah mati.Dalam perhitungan Banaswarih, Olengpati bisa dia dikalahkan. Selama ini Banaswarih dikenal sebagai pendekar muda yang mempunyai ilmu silat tingkat tinggi dan senjata sakti yang bisa membekukan tubuh lawan. Sedangkan Olengpati hanya dikenal sebagai gerombolan perampok yang selama ini suka membuat keonaran di berbagai tempat.Akhir-akhir ini Olengpati yang bekerja sama dengan Ganggayuda membuat berbagai huru-hara di seluruh wilayah Karangtirta. Masyarakat mengenal Olengpati sebagai gerombolan pengacau. Gerombolan yang suka membuat kekacauan. Olengpati dan gerombolannya melakukan perampokan di berbagai wilayah Karangtirta u
“Tunggu!” kata Bandem dengan nada tenang. Dia menghentiakan serangan Menik Sarasti. “Jangan lanjutkan seranganmu, Menik Sarasti! Kamu berada di pihak pemberontak. Itu artinya, kamu mengikuti orang yang salah. Kalau kamu mati, kamu membela orang yang salah, yang suka menebarkan keajahatan di muka bumi. Lebih bai kamu hentikan dukunganmu pada Ganggayuda! Ikutlah kata-kataku, nanti kuusahakan kamu menjadi prajurit Kerajaan Karangtirta.”“Hei, Bandem! Kamu ini siapa?” tanya Menik Sarasti dengan nada mengejek. “Kamu kan hanya gedibal. Kamu hanya anak buah Banaswarih. Mana bisa kamu membuat keputusan agar aku menjadi prajurit di Karangtirta? Lagi pula, aku tidak berminat menjadi prajurit Karangtirta. Aku lebih senang menjadi anak buah Ganggayuda.”“Asalkan kamu mau dan berminat menjadi prajurit Karangtirta, Pangeran Banaswarih pasti akan menerimamu. Kerajaan Karangtirta membutuhkan orang-orang hebat s
Suara teriakan untuk mundur dari Banaswarih diimbangi para prajurit lainnya. Sahut-menyahut suara ‘Mundur’ memenuhi angkasa. Suara-suara mereka keras membahana. Raja Tiyasa terpaksa mengambil keputusan untuk mundur setelah melihat kenyataan pahit yang ada di depan mata.Sebenarnya bukan watak Raja Tiyasa untuk menghindari bahaya. Namun dirinya berpikir jauh ke depan. Kalau menuruti kata hati, ingin rasanya dia bertarung sampai mati melawan Ganggayuda dan gerombolannya.Raja Tiyasa berpikir bahwa untuk memperoleh kemenangan, kadangkala harus berani mengalah. Atau paling tidak, mundur untuk sementara untuk menyusun cara baru. Raja yang bijaksana itu yakin bahwa pasukan Kerajaan Karangtirta bisa mengalahkan para pemberontak dengan menggunakan cara baru dalam bertempur.Sisa-sisa prajurit yang berjumlah empat puluhan orang itu telah masuk benteng dalam. Benteng dalam merupakan benteng lapis kedua yang sangat kokoh. Tiyasa, Pandansekar, Banaswarih, dan seluruh pengawal, juga telah berada d
Kata-kata Ganggayuda menggelegar memenuhi angkasa. Kata-kata yang diteriakkan kepada anak buahnya itu membuat musuh merasa ngeri. Ganggayuda tidak hanya menginginkan musuh-musuhnya mati, tetapi lebih dari itu.Selama ini Ganggayuda telah memendam keinginan untuk menjadi raja di Kerajaan Karangtirta. Dia menganggap dirinya lebih layak menjadi raja di Karangtirta dibandingkan Tiyasa.Selama bertahun-tahun Ganggayuda memendam kekesalan atas kebijakan Raja Tiyasa. Dalam pemikiran Ganggayuda, Raja Tiyasa kurang pintar mengambil keputusan untuk kemajuan Kerajaan Karangtirta. Makanya Ganggayuda selama puluhan tahun menyusun kekuatan secara tersembunyi. Pada saat ini, dia melakukan pemberontakan karena yakin sudah punya kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Raja Tiyasa.“Kalian jangan takut oleh kata-kata yang diteriakkan Ganggayuda!” kata Raja Tiyasa lirih kepada Banaswarih dan anak buahnya yang sangat setia kepada raja. “Itu hanya gertakan sambal. Gertakan oleh orang yang sebenarnya takut t
Suro Joyo merasa tugasnya untuk membantu Banaswarih dan Raja Tiyasa menumpas pemberontak, belum selesai. Tadi dia lihat Ganggayuda dan anak buahnya melarikan diri meninggalkan istana. Mereka hampir saja berhasil menumpas Raja Tiyasa, Banaswarih, dan seluruh orang setia pada kerajaan. Namun ada gempuran tak terduga dari para prajurit Karangtirta yang dikendalikan Suro Joyo dan Tunggulsaka.Lagi pula Suro Joyo tidak ingin menghilangkan peran Tunggulsaka dalam upayanya menumpas pemebrontak. Berkat Tunggulsaka, para prajurit yang berada di luar istana bisa disatukan. Para prajurit bisa dikumpulkan Tunggulsaka karena mereka masih percaya pada ketulusan bekas senapati itu pada Kerajaan Karangtirta. Dengan menyatunya para prajurit yang tersebar di seluruh wilayah Karangtirta, maka Suro Joyo dan Tunggulsaka bisa menggempur para pemberontak.”Yang dikatakan Kisanak Suro Joyo itu memang benar, Pangeran,” kata Tunggulsaka. “Tugas kita bersama belum selesai. Para pemberontak yang hampir saja meng
Kata-kata Ganggayuda sebenarnya menyinggung perasaan Nilawangi. Nilawangi merasa harga dirinya sangat direndahkan. Ganggayuda berada dalam puncak kemarahannya. Dia lepas kendali dalam mengeluarkan kata-kata. Dia tak menyadari bahwa kata-kata yang diucapkan bisa menyinggung perasaan orang lain.Meskipun Nilawangi anak buah setia, tapi dia punya hati juga. Nilawangi punya perasaan. Hati dan perasaan Nilawangi menjerit dan meronta. Hati dan perasaan Nilawangi tidak terima dikata-katai seperti itu.Ganggayuda mengatakan seolah-olah Nilawangi hanya pantas menjadi istri simpanan daripada sebagai pendekar wanita tangguh. Sungguh sombong sekali Ganggayuda itu. Dia memandang Nilawangi seolah-olah hanya pantas menjadi istri simpanan, bukan pendekar wanita yang hebat. Padahal banyak anak buah Ganggayuda yang tahu bahwa Nilawangi memiliki ilmu silat yang sudah sampai tataran tinggi.Sungguh keterlaluan Gusti Patih Ganggayuda. Begitu kata hati Olengpati. Semua teman-teman tahu bahwa Nilawangi buka
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik