Tunggulsaka merenungi kenyataan yang terjadi di kota kerajaan. Ternyata ada mata-mata yang tinggal di wilayah dekat istana. Hal itu tak pernah dia duga sebelumnya. Bahkan tidak pernah terlintas sedikit saja tentang adanya mata-mata yang ada di jantung Kota Kerajaan Karangtirta.
Keberadaan mata-mata di dekat Istana Kerajaan Karangtirta sangat membahayakan bagi kelangsungan kekuasaan Raja Tiyasa. Adanya mata-mata, maka gerak apa pun yang akan dilakukan pihak Kerajaan Karangtirta bisa diketahui para pemberontak.
Olengpati sebagai pimpinan perampok yang menjalin hubungan rahasia dengan para pemberontak sangat diuntungkan dengan mata-mata ini. Mereka bisa leluasa bergerak di luar sana untuk mengacau. Kalau pihak Kerajaan Karangtirta akan menumpas, Olengpati dan gerombolannya bisa menahan dan menghancurkannya.
Brengsek! Ternyata ada mata-mata bagi perampok dan pemberontak. Rutuk Tunggulsaka dalam hati. Kalau aku bisa menemukan, maka aku sendiri yang akan memenggal kepalanya! Hanya ada satu hukuman paling tepat untuk pengkhianat. Hukuman mati!
”Senapati Tunggulsaka tidak tak usah mencari-cari siapa mata-mata yang kutanam di kota Kerajaan Karangtirta! Karena sebentar lagi kalian semua akan kutumpas habis sampai tak tersisa!” sesumbar Olengpati merasa telah berada di atas angin.
Tunggulsaka tak menggubris ejekan Olengpati. Sebagai seorang senapati yang telah kenyang makan asam garam pertempuran, kata-kata menekan seperti itu sudah biasa dia dengar dari musuhnya. Kata-kata bualan itu hanya untuk menjatuhkan mental lawan.
Namun Olengpati salah menakut-nakuti orang. Senapati Tunggulsaka kebal terhadap kata-kata gertakan semacam itu. Bagi Tunggulsaka, sesumbar loo itu hanya angin lalu yang tidak perlu dimasukkan ke dalam hati.
Olengpati ini satu-satunya sisa Gerombolan Iblis Barong. Tunggulsaka membatin. Dulu aku pernah mendengar selentingan kabar tentang gerombolan itu . Gerombolanitu itu mempunyai hubungan akrab dengan seorang punggawa Kerajaan Karangtirta. Walau kabar itu masih kabar burung, tetapi dengan adanya pengakuan Olengpati tadi berarti kuat dugaan kabar itu benar. Kemungkinan besar, ada punggawa Kerajaan Karangtirta yang menjalin hubungan rahasia dengan gerombolan Olengpati.
”Heh..., aku sekarang sudah tahu, siapa orang yang menjalin hubungan denganmu di kota Kerajaan Karangtirta,” kata Tunggulsaka dengan nada sinis dan senyum mengejek. ”Agaknya kalian telah menjalin hubungan sejak lama. Sejak Gerombolan Iblis Barong masih utuh. Karena hubungan kalian saling menguntungkan, maka kau meneruskan hubungan itu sampai sekarang. Walau keempat temanmu dalam Gerombolan Iblis Barong telah menjadi tanah dan tinggal tulang belulang!”
Tunggulsaka puas hatinya karena bisa mengungkapkan latar belakang Olengpati. Olengpati merasa tahu segalanya tentang Kerajaan Karangtirta. Tunggulsaka membalas dengan mengungkap latar belakang Olengpati, seolah-olah Tunggulsaka tahu segalanya tentang Olengpati!
Mata Olengpati terbelalak lebar. Tepatnya terbelalak lebar-lebar saking kagetnya. Dia kaget sekaligus marah. Kaget karena kemungkinan Tunggulsaka tepat dalam memberikan tebakan siapa orang yang bekerja sama dengan Olengpati selama ini. Kecerdasan otak senapati itu sungguh mengagumkan. Namun Olengpati merasa tersinggung dan marah karena Tunggulsaka menyebut keempat temannya yang sudah tewas itu ‘telah menjadi tanah dan tinggal tulang belulang’.
Tunggulsaka tersenyum simpul melihat kekagetan Olengpati. Benar-benar Olengpati kaget. Bahkan sangat kaget. Saking kagetnya, dia tak sempat menyembunyikan kekagetannya. Dari perubahan wajah Olengpati bisa diketahui kalau pimpinan perampok tersinggung. Bahan bisa saja dia marah. Namun Olengpati berusaha menahan kemarahannya.
”Senapati Tunggulsaka..., memang benar kamu senapati berotak cerdas,” Olengpati berkata sambil memandangi wajah Tunggulsaka. “Sayang sekali, kecerdasan otakmu tidak berguna saat ini. Sekarang ini, kecerdasan otakmu tidak bisa menolongmu dari kematian. Kamu dan prajuritmu tak bakalan lolos dari tanganku!”
Tunggulsaka kembali tersenyum. Dia merasa heran dengan orang-orang semacam Olengpati ini. Kata-kata gertakannya yang itu-itu saja. Gaya bicaranya seperti itu-itu terus. Bagi yang biasa mendengar gertakan kelas coro seperti itu pasti akan tersenyum. Bahkan malah bisa tertawa-tawa.
”Aku sudah tahu watakmu Olengpati. Selama hidupmu, kamu tak pernah bertarung secara jantan!” ejek Tunggulsaka. “Kamu bisanya hanya menggertak lawan dengan kata-kata yang mengancam. Hanya itu yang bisa kamu lakukan supaya kamu terlihat hebat di depan teman-teman atau anak buahmu.”
Tunggulsaka berjalan pelan mendekati Olengpati. Olengpati mundur beberapa langkah. Olengpati seperti waspada, mungkin juga takut kalau tiba-tiba diserang oleh Senapati Tunggulsaka. Olengpati tahu bahwa Tunggulsaka merupakan senapati andalan Kerajaan Karangtirta. Tunggulsaka dikenal sebagai senapati yang pilih tanding. Selain ilmu silatnya tinggi, juga ahli memainkan berbagai macam senjata. Pedang adalah senjata yang paling dia kuasai, sehingga ketika Tunggulsaka bertarung menggunakan pedang, senjata harus lebih waspada kalau tidak mau celaka.
“Hahaha…, ketahuan kan sekarang!” kata Tunggulsaka menyertai tawa ejekannya. “Beranimu hanya keroyokan dengan mengandalkan anak buah yang berjumlah banyak. Dengan nyalimu yang kecil kalau bertarung satu lawan satu dan jiwamu yang kerdil itu, mana mungkin mampu mengalahkan kami?”
Tubuh Olengpati bergetar menahan marah yang meluap-luap. Ejekan yang dilontarkan Tunggulsaka sangat manjur untuk memancing kemarahan Olengpati. Tunggulsaka tidak peduli ejekannya tadi sesuai dengan kenyataan atau tidak. Yang penting, tujuan utamanya untuk memancing rasa marah dari Olengpati, telah berhasil.
Akibat ejekan itu, Olengpati tidak bisa menahan kemarahan. Orang yang berada dalam kemarahan, nantinya tidak akan bisa bertarung secara baik. Dia pasti akan menyerang tanpa menggunakan pemikiran yang bersih. Ketika seseorang marah, akalnya kurang bisa berfungsi dengan baik.
Nah, saat seorang petarung dikuasai kemarahan, maka serangannya akan asal-asalan dan tidak terarah. Bila lawannya berada dalam keadaan seperti itu, Tunggulsaka berharap dapat memperolah keuntungan. Keuntungan yang diharapkan Tunggulsaka yaitu bisa keluar dari situasi yang menyulitkan dirinya sebagai senapati dan para prajuritnya yang masih tersisa.
“Tunggulsaka! Kamu jangan asal ngomong!” bentak Olengpati dengan suara bergetar. “Jelek-jelek begini aku pernah menjadi anggota andalan Gerombolan Iblis Barong! Kalau aku seorang pengecut, mana mungkin aku bisa bertahan hidup? Kamu berani menghinaku sama saja cari mati. Bangsat elek! Rupanya kamu ingin segera menemui ajalmu.”
Olengpati mengedarkan pandangan ke seluruh anak buahnya, ”Serbuuu...!”
Olengpati mencabut golok andalannya. Golok Wojogeni! Golok sakti yang terbuat dari baja yang menebarkan hawa panas ketika dicabut dari sarungnya. Dia bersama ratusan anak buahnya segera merangsek ke depan untuk menghabisi lawan!
Tunggulsaka dan anak buahnya menghadapi serangan lawan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Namun karena kalah banyak, beberapa prajurit Karangtirta tewas dikeroyok anak buah Olengpati. Mereka tewas secara mengenaskan akibat tusukan golok-golok gerombolan Olengpati.
“Iblis laknat padha gegojekan,” umpat Tunggulsaka di dalam gumaman lirih. “Mereka berperang menggunakan cara ampyak-ampyak awur-awur. Mereka bertarung seperti tidak mengenal aturan. Mengeroyok lawan dengan biadab asalkan bisa menang!”
Melihat kematian para prajuritnya, senapati Karangtirta itu segera mencari akal. Dia saat ini sedang berhadapan dengan Olengpati. Kalau diukur dalam kepandaian memainkan senjata, Tunggulsaka merasa mampu mengalahkan lawan. Namun kalau diukur dalam jumlah anak buah, Olengpati lebih unggul.
Secara cepat Tunggulsaka bersalto melompati tubuh Olengpati. Kedua kaki Tunggulsaka menapak tepat di belakang Olengpati. Dengan gerak cepat pula, pedang Tunggulsaka tersebut menempel di leher Olengpati. Pedang menyilang di depan leher Olengpati. Tubuh Tunggulsaka berada di belakang pimpinan perampok itu. Gerakan kecil saja dari pedang di tangan Tunggulsaka bisa berakibat sangat buruk bagi Olengpati!
”Suruh anak buahmu mundur dan meninggalkan hutan ini!” perintah Tunggulsaka dengan nada lirih dan dingin. ”Kalau tidak mau menyuruh mereka mundur, kepalamu akan berada di telapak kakimu! Setelah itu, seluruh anggota gerombolan perampok itu akan kutumpas dengan pedangku, sendirian!”
***
Secara cepat Tunggulsaka bersalto melompati tubuh Olengpati. Kedua kaki Tunggulsaka menapak tepat di belakang Olengpati. Dengan gerak cepat pula, pedang Tunggulsaka tersebut menempel di leher Olengpati. Pedang menyilang di depan leher Olengpati. Tubuh Tunggulsaka berada di belakang pimpinan perampok itu. Gerakan kecil saja dari pedang di tangan Tunggulsaka bisa berakibat sangat buruk bagi Olengpati!”Suruh anak buahmu mundur dan meninggalkan hutan ini!” perintah Tunggulsaka dengan nada lirih dan dingin. ”Kalau tidak mau menyuruh mereka mundur, kepalamu akan berada di telapak kakimu! Setelah itu, seluruh anggota gerombolan perampok itu akan kutumpas dengan pedangku, sendirian!”Kali ini Tunggulsaka benar-benar berada di atas angin. Bukan sekadar terlihat seperti berada di atas angin. Namun benar-benar memegang kendali pertarungan. Tunggulsaka, senapati andalan Kerajaan Karangtirta mempunyai dua kemenangan. Kemenangan pertama, dia menang unt
Raja Tiyasa memperhatikan Tunggulsaka yang terlihat keruh wajahnya. Tunggulsaka terlihat sedang menahan amarah. Senapati unggulan Kerajaan Karangtirta ini terlihat gusar atas kata-kata yang dilontarkan Patih Ganggayuda. Sebagai seorang senapati, Tunggulsaka memang merasa menyesal dan sedih atas kegagalan yang dialaminya. Namun mestinya Ganggayuda tidak lantas mencerca dan merendahkan Tunggulsaka. Ganggayuda tidak perlu memojokkan Tunggulsaka. Sesama punggawa Kerajaan Karangtirta mestinya saling membantu, saling membesarkan hati, dan saling menghibur di kala ada punggawa yang mengalami kesedihan atau pun kegagalan dalam tugasnya. Dalam lubuk yang terdalam, rasa mangkel Tunggulsaka sedikit terobati setelah Tunggulsaka menyatakankepada Raja Tiyasa bahwa yang dia dengar hanya sang raja, bukan yang lainnya. Tentu saja, Tunggulsaka tidak akan mendengar atau pun memperhatikan kata-kata Ganggayuda. Aku tak perlu mendengar kata-kata Ganggayuda yang sok tahu. Begitu batin Tunggulsaka. Ganggay
Menik Sarasti berlalu. Wanita muda nan cantik penggoda syahwat pria itu meninggalkan Ganggayuda di ruang tamu. Dia lenyap dari pandangan mata Ganggayuda, tetapi lekuk tubuh indahnya telah tertanam dalam di lubuk hati patih Karangtirta. Benar-benar dia cantik dan menggairahkan. Kata Ganggayuda dalam hatinya. Dia berdiri mengamati ruang tamu. Sayang sekali akhir-akhir ini aku tidak bisa menikmatinya. Situasi di Karangtirta yang makin sulit ditebak arahnya, membuatku makin sibuk saja. Ganggayuda duduk di kursi ukir. Dia mengitarkan pandangan ke seluruh ruang. Ruangan yang mewah dengan perabot mahal. Patih Karangtirta itu memang ingin memanjakan istri simpanannya. Rumah untuk Menik Sarasti terlihat sederhana kalau dilihat dari luar. Namun mewah di dalamnya. Benar-benar Ganggayuda sangat memperhatikan Menik Sarasti. “Kemewahan yang kuberikan ini sebanding dengan kecantikan Menik Sarasti,” gumam Ganggayuda. “Wanita cantik layak diberi segala kemewahan yang ada di dunia. Perhiasan, uang,
Pasir yang diinjak tiga pembokong itu tak bersuara sama sekali. Ketiga orang yang ingin menyerang dari belakang itu merasa mereka bakalan dengan mudah menghabisi Tunggulsaka. Mereka yakin sebentar lagi bekas Senapati Tunggulsaka akan terbujur kaku di atas pasir Pantai Utara. Secara serentak Jegonglopo dan dua kawannya mengayunkan golok masing-masing sekuat tenaga untuk mencincang tubuh Tunggulsaka. Jegonglopo ingin membelah kepala, dua temannya ingin memangkas bahu kanan dan bahu kiri Tunggulsaka! Wut! Wuut! Wuuut! Tiga golok tajam berkilat-kilat terayun kuat menuju sasaran. Trang!!! Pedang terpegang kuat di tangan kanan Tunggulsaka menangkis tiga golok secara bersamaan. Benturan keras terjadi. Jegonglopo dan dua anak buahnya terdorong mundur beberapa tombak sambil tetap memagang golok masing-masing yang hampir lepas dari genggaman! Ketiga pembokong terlongong. Mereka berdiri tegak dalam keadaan bengong. Mulut menganga, mata membelalak
Jegonglopo berusaha melihat walau pandangannya kabur. Pandangan Jegonglopo kabur akibat tendangan Tunggulsaka yang mengena perutnya. Sesaat setelah terkena tendangan, Jegonglopo merasakan sakit yang tak tertahankan. Dia mundur beberapa langkah, terhuyung, lalu terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut dengan tangan kiri. Tangan kanan masih memegang senjata saktinya.Saking menahan rasa sakit yang mendera, seluruh tubuh terasa lunglai. Mata pun berkurang keawasannya. Pandangan mata jadi kabur. Dia masih terhuyung sambil terus menjauhi musuh. Dalam kondisi seperti saat ini bila Tunggulsaka mau, bisa membunuh Jegonglopo dengan sekali tebasan keris saktinya.Tunggulsaka bukan tandinganku. Begitu kata hati Jegonglopo yang paling jujur. Mestinya yang melawan Tunggulsaka secara langsung adalah Olengpati atau Gusti Patih Ganggayuda.Tunggulsaka berdiri tegar menunggu dengan sabar dan tenang sampai lawannya siap untuk bertarung lagi. Tunggulsaka selalu
Ganggayuda dan Jegonglopo bersusah payah berusaha keluar dari seretan ombak. Ombak besar hendak menyeret tubuh dua manusia kejam itu menuju ke tengah lautan. Lautan ingin menelan mereka. Barangkali laut itu tidak suka pada dua manusia yang suka menebar kejahatan itu. Setelah bersusah payah melepaskan diri dari jeratan ombak, mereka berhasil berenang hingga sampai di tepi pantai. “Brengsek! Ajian dari Suro Joyo memang hebat dan sulit ditangkal,” kata Ganggayuda sambil menyeka air dari wajahnya. “Untung saja kita tidak terseret ombak besar. Kalau sampai terseret ombak besar, kita bisa tenggelam dan mati ditelan lautan.” “Ya, kita masih beruntung, Gusti Patih,” Jegonglopo menanggapi. “Kebanyakan musuh Suro Joyo yang terkena Ajian Rajah Cakra Geni menemui kematian. Kita sangat beruntung karena lolos dari kematian ketika kena hantaman Ajian Rajah Cakra Geni.” “Apa benar yang kamu katakan itu Jegonglopo?” “Benar, Gusti Patih. Jati Kawangwang, Riris
Mengancam dan membunuh merupakan ‘pekerjaan’ para gerombolan perampok pimpinan Olengpati. Dengan dia cara itulah mereka mencari makan. Mereka mengumpulkan harta benda dengan cara menakut-nakuti dan meneror korban. Kalau cara pertama, yakni menakut-nakuti dan meneror gagal, maka cara kedua ditempuh, membunuh. Menghilangkan nyawa orang lain untuk mendapatkan hartanya secara paksa. Pakaian warna hitam menjadi ciri khas anak buah Olengpati. Pakaian warna gelap itu memudahkan mereka untuk bersembunyi dan menyusup ke rumah calon korban. Setelah mendapatkan hasil, pakaian hitam itu memudahkan mereka bersembunyi dari kejaran prajurit atau penduduk desa yang punya nyali. Kadang-kadang di sebuah desa ada saja pendekar pemberani yang siap bertarung untuk menghabisi anak buah Olengpati. Malam ini dua anak buah Olengpati telah mengetuk pintu rumah penduduk yang ada di Kota Kerajaan Karangtirta bagian utara. Pemilik rumah membukakan pintu. Dia mengira prajurit Karangtirta yang men
Janurwasis tidak langsung menjawab pertanyaan Wening Kusuma. Dia malah membayangkan kalau dalam waktu dekat nanti bisa bermesraan lebih mendalam dengan gadis cantik itu. Tangan Janurwasis sudah gatal untuk meraba-raba lekuk liku tubuh si gadis. “Janurwasis!” panggil Wening Kusuma dengan nada agak keras. Dia amati kekasihnya itu memandang ke kejauhandengan pandangan kosong. Seperti melamunkan sesuatu. “E…, i-iya…, ya, ya…, ada apa?” Janurwasis gelagapan. “Ada apa, Wening?” “Lho…, kamu ini bagaimana? Lha wong ditanya saja belum menjawab, malah balik bertanya!” “Eh, iya, kamu tadi tanya apa?” “Aku tadi tanya, kabarmu bagaimana setelah kita lama tak jumpa?” ”Baik. Aku baik-baik saja,” jawab Janur singkat. “Selama berpisah denganmu, aku baik-baik saja. Tidak ada sesuatu pun yang buruk terjadi padaku.” Wening Kusuma tersenyum. Lalu senyum-senyum. Wening Kusuma memandangi wajah tampan di depannya dengan senyum-senyum. Senyum W
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik