Bima yang tengah menyerap kekuatan jiwa dari roh-roh yang ada di atasnya terkejut saat dia merasakan aura yang sangat kuat terpancar hingga menggetarkan goa. "Ratu telah kembali!" seru Bima dalam hati. Semangatnya seketika muncul. Bima yang tengah berusaha keras melawan rasa sakit yang hampir membuat putus asa seketika bangkit kembali saat merasakan aura kekuatan istrinya. Rasa bahagia di dalam hatinya meluap. "Kekuatan Ratu Azalea sangat dahsyat," ucap Iblis Es. "Selangkah lagi menuju Ranah Batara, bukan begitu?" tanya Iblis Bayangan yang sudah muncul di sebelah Iblis Es. "Benar, jika dia bisa menembus ranah itu, artinya Ratu adalah manusia pertama yang mampu mencapai ranah itu dengan kekuatannya sendiri," kata Iblis Es. "Lalu, mengenai manusia di luar pulau yang konon menjadi momok para dewa itu apakah dia juga berada di ranah Barata?" tanya Iblis Bayangan. "Huh! Jangan bandingkan dengan manusia setengah dewa itu dengan Ratu Azalea. Selain dia kuat dia juga didukung para dewa
Ratu Azalea mengamati tongkat hijau milik Ayu Wulan Paradista. "Aku ingat! Aura tongkat ini sama persis dengan tombak yang kau gunakan saat menolongku di Kerajaan Peri," kata Ratu. Bima tersenyum. "Benar, itu adalah tongkat penyembuh. Nona Wulan tidak begitu ahli dalam pertarungan, namun soal penyembuhan, dia adalah Ratunya, nyawaku selamat berkat dirinya," kata Bima. Wulan tersenyum mendengar pujian dari Bima. Dia merasa senang karena Bima memujinya di depan istrinya sendiri. "Setelah ini kita kembali ke Perguruan Harimau Perak. Beberapa hari lagi kita harus berangkat ke Ibukota Kerajaan," kata Ratu Azalea. Bima mengangguk. "Kurasa kekuatan kita untuk menghancurkan lawan sudah meningkat," sahut Bima. "Tapi... Aku dengar dari Nyai Anjani, bahwa di Kerajaan Negara Angin Timur, ada beberapa pendekar kuat yang sudah mencapai tingkat Cakrawala. Aku hanya selangkah lagi menuju Ranah Batara. Mungkin aku hanya bisa menahan beberapa pendekar Ranah Cakrawala, sisanya kuserahkan padamu
Setelah urusan di Lembah Kupu-kupu selesai Bima dan Ratu Azalea kembali ke Perguruan Harimau Perak. Nyai Anjini bertanya-tanya kepada Ratu Azalea dan Bima yang tiba-tiba menghilang. Bima menjelaskan jika dia dan Ratu berlatih di tempat yang bagus untuk meningkatkan kekuatan. Putri Lingxia menggoda Bima yang tiba-tiba pergi lagi setelah pulang beberapa hari yang lalu. "Apakah benar cuma berlatih?" goda gadis itu. Bima tersenyum. "Apakah kamu ingin mencobanya juga?" balas Bima tak mau kalah. Merah wajah Putri Lingxia mendengar Bima membalas ucapan nya. Dua Gerbang tersenyum penuh arti. Ki Cokro dan guru Aryo datang lalu mengajak semua yang sedang berkumpul itu masuk ke dalam aula pertemuan. "Besok kita berangkat menuju Ibukota. Jarak tempat kita ke Ibukota butuh perjalanan selama dua hari, kalian persiapkan diri, dan ingat... Perjalanan ini berbahaya seperti sebelum-sebelumnya. Karena turnamen ini adalah ajang besar yang mengangkat Perguruan, maka akan ada Perguruan yang menjaga
Kereta itu berjalan melewati hutan dan lembah. Aryo dan Abinyana yang berada di atas kuda berjalan paling depan menatap sekeliling hutan jati yang kini tengah mereka lalui. Gerbang Hitam dan Gerbang Biru berjalan paling belakang, tepat di belakang kereta yang membawa Bima, Ratu Azalea dan Putri Lingxia. Sedangkan kereta pertama di isi oleh Nyai Anjani. Delapan murid perguruan berkuda di barisan belakang. Di dalam kereta, Bima dan dua wanita itu saling berbicara. Putri Lingxia tak percaya melihat Bima yang sudah naik ke Ranah Cakrawala. Itu artinya dia sudah bukan lagi lawannya. Bahkan dua Gerbang Penjaga pun sekarang bisa jadi tak akan mampu menahan Bima. "Bagaimana caramu bisa naik begitu cepat? Setahuku belum lama ini kamu masih berada di ranah yang sama denganku, dan berada satu tingkat dari dua paman penjaga," kata Putri Lingxia. Bima tersenyum. "Aku berlatih keras. Hanya dengan latihan keras dan tanpa ampun akan membuatmu melewati batasan. Istriku juga sudah kembali ke keku
Enam Pendekar Ranah Tulang Dewa tahap akhir terkejut saat Tangan Darah tiba-tiba datang dan menyerang mereka dengan ganasnya. Tak tanggung-tanggung, Tangan Darah langsung mengeluarkan Ajian Tulang Jiwa Pembunuh! Para pendekar yang mendapat serangan mendadak itu terkejut saat melihat wujud Tangan Darah yang mengerikan. "Apakah dia manusia!?" seru salah satu dari enam pendekar tersebut. "Tak usah pedulikan itu, yang perlu kita waspadai, makhluk ini sudah berada di ranah Cakrawala tahap Tengah! Kita harus bekerjasama dan memperhitungkan langkah!" teriak yang lainnya. Tangan Darah menyeringai dengan lidah menjulur. Tampang membunuh dan aura membunuhnya memang luar biasa menyeramkan. Enam pendekar tersebut sempat bergidik ngeri melihat sorot mata merah Tangan Darah. "Kepung dia! Jangan biarkan dia mendapat celah untuk kabur!" Ke-enam pendekar itu membentuk formasi lingkaran. Lalu dari tangan meraka keluar rantai merah membara yang secara bersamaan menyerang ke arah Tangan Darah. Se
Malam semakin sunyi dan dingin yang semakin menusuk tulang. Rasa dingin membuat orang-orang enggan untuk keluar dari rumahnya. Begitu juga yang terjadi di Perguruan Julang Emas. Sebuah Perguruan tingkat satu di wilayah barat Negara Angin. Semua orang nyaman di balik selimut mereka. Hanya beberapa murid jaga saja yang berpatroli keliling wilayah perguruan. Beberapa lagi berjaga di dua menara pengawas yang ada di gerbang Perguruan. Malam itu di wilayah barat Negara Angin benar-benar terasa sangat dingin tak biasanya. Tanpa di sadari oleh para penjaga, di balik pepohonan terlihat puluhan orang berpakaian hitam mengawasi pergerakan para penjaga itu. Jumlah mereka sangat banyak! Saat empat murid Perguruan Julang Emas melewati pepohonan tersebut, tiba-tiba sebuah belati terbang mengarah salah satu penjaga. Crash! Satu orang tumbang dengan leher menganga. Darah pun mengalir membasahi tanah yang bersalju. Tiga murid yang lain terkejut. Saat salah satu dari mereka akan menembakkan
Mata Bimasena terbuka perlahan. Apa yang di lihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit yang terbuat dari daun rumbia. Dia masih merasakan punggungnya yang berdenyut sakit. Dengan perlahan dicobanya menggeser tubuhnya agar bisa duduk di atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar bunyi berderit dari balai-balai bambu tua itu. Matanya menatap satu cangkir yang terbuat dari bambu berisi entah air apa. Namun air itu masih mengeluarkan uap panas pertanda minuman itu belum lama di seduh. Terdengar suara kayu yang di potong di luar gubuk. Dengan sekuat tenaga sambil menahan sakit, Bima berjalan sambil berpegangan pada dinding gubuk. Wajahnya mengernyit kesakitan. Namun karena penasaran yang tinggi mengalahkan rasa sakitnya, dia tetap berjalan ke arah pintu. Sesampainya di depan pintu, Bima terkejut. Karena gubuk yang dia tempati berada di atas pohon yang tinggi. Matanya menatap ke arah bawah sana, dimana terdengar suara orang yang tengah memotong kayu. Terlihat asap tipis d
Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal. "Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal. "Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima. "Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang. "Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap. Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri. "Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bis
Enam Pendekar Ranah Tulang Dewa tahap akhir terkejut saat Tangan Darah tiba-tiba datang dan menyerang mereka dengan ganasnya. Tak tanggung-tanggung, Tangan Darah langsung mengeluarkan Ajian Tulang Jiwa Pembunuh! Para pendekar yang mendapat serangan mendadak itu terkejut saat melihat wujud Tangan Darah yang mengerikan. "Apakah dia manusia!?" seru salah satu dari enam pendekar tersebut. "Tak usah pedulikan itu, yang perlu kita waspadai, makhluk ini sudah berada di ranah Cakrawala tahap Tengah! Kita harus bekerjasama dan memperhitungkan langkah!" teriak yang lainnya. Tangan Darah menyeringai dengan lidah menjulur. Tampang membunuh dan aura membunuhnya memang luar biasa menyeramkan. Enam pendekar tersebut sempat bergidik ngeri melihat sorot mata merah Tangan Darah. "Kepung dia! Jangan biarkan dia mendapat celah untuk kabur!" Ke-enam pendekar itu membentuk formasi lingkaran. Lalu dari tangan meraka keluar rantai merah membara yang secara bersamaan menyerang ke arah Tangan Darah. Se
Kereta itu berjalan melewati hutan dan lembah. Aryo dan Abinyana yang berada di atas kuda berjalan paling depan menatap sekeliling hutan jati yang kini tengah mereka lalui. Gerbang Hitam dan Gerbang Biru berjalan paling belakang, tepat di belakang kereta yang membawa Bima, Ratu Azalea dan Putri Lingxia. Sedangkan kereta pertama di isi oleh Nyai Anjani. Delapan murid perguruan berkuda di barisan belakang. Di dalam kereta, Bima dan dua wanita itu saling berbicara. Putri Lingxia tak percaya melihat Bima yang sudah naik ke Ranah Cakrawala. Itu artinya dia sudah bukan lagi lawannya. Bahkan dua Gerbang Penjaga pun sekarang bisa jadi tak akan mampu menahan Bima. "Bagaimana caramu bisa naik begitu cepat? Setahuku belum lama ini kamu masih berada di ranah yang sama denganku, dan berada satu tingkat dari dua paman penjaga," kata Putri Lingxia. Bima tersenyum. "Aku berlatih keras. Hanya dengan latihan keras dan tanpa ampun akan membuatmu melewati batasan. Istriku juga sudah kembali ke keku
Setelah urusan di Lembah Kupu-kupu selesai Bima dan Ratu Azalea kembali ke Perguruan Harimau Perak. Nyai Anjini bertanya-tanya kepada Ratu Azalea dan Bima yang tiba-tiba menghilang. Bima menjelaskan jika dia dan Ratu berlatih di tempat yang bagus untuk meningkatkan kekuatan. Putri Lingxia menggoda Bima yang tiba-tiba pergi lagi setelah pulang beberapa hari yang lalu. "Apakah benar cuma berlatih?" goda gadis itu. Bima tersenyum. "Apakah kamu ingin mencobanya juga?" balas Bima tak mau kalah. Merah wajah Putri Lingxia mendengar Bima membalas ucapan nya. Dua Gerbang tersenyum penuh arti. Ki Cokro dan guru Aryo datang lalu mengajak semua yang sedang berkumpul itu masuk ke dalam aula pertemuan. "Besok kita berangkat menuju Ibukota. Jarak tempat kita ke Ibukota butuh perjalanan selama dua hari, kalian persiapkan diri, dan ingat... Perjalanan ini berbahaya seperti sebelum-sebelumnya. Karena turnamen ini adalah ajang besar yang mengangkat Perguruan, maka akan ada Perguruan yang menjaga
Ratu Azalea mengamati tongkat hijau milik Ayu Wulan Paradista. "Aku ingat! Aura tongkat ini sama persis dengan tombak yang kau gunakan saat menolongku di Kerajaan Peri," kata Ratu. Bima tersenyum. "Benar, itu adalah tongkat penyembuh. Nona Wulan tidak begitu ahli dalam pertarungan, namun soal penyembuhan, dia adalah Ratunya, nyawaku selamat berkat dirinya," kata Bima. Wulan tersenyum mendengar pujian dari Bima. Dia merasa senang karena Bima memujinya di depan istrinya sendiri. "Setelah ini kita kembali ke Perguruan Harimau Perak. Beberapa hari lagi kita harus berangkat ke Ibukota Kerajaan," kata Ratu Azalea. Bima mengangguk. "Kurasa kekuatan kita untuk menghancurkan lawan sudah meningkat," sahut Bima. "Tapi... Aku dengar dari Nyai Anjani, bahwa di Kerajaan Negara Angin Timur, ada beberapa pendekar kuat yang sudah mencapai tingkat Cakrawala. Aku hanya selangkah lagi menuju Ranah Batara. Mungkin aku hanya bisa menahan beberapa pendekar Ranah Cakrawala, sisanya kuserahkan padamu
Bima yang tengah menyerap kekuatan jiwa dari roh-roh yang ada di atasnya terkejut saat dia merasakan aura yang sangat kuat terpancar hingga menggetarkan goa. "Ratu telah kembali!" seru Bima dalam hati. Semangatnya seketika muncul. Bima yang tengah berusaha keras melawan rasa sakit yang hampir membuat putus asa seketika bangkit kembali saat merasakan aura kekuatan istrinya. Rasa bahagia di dalam hatinya meluap. "Kekuatan Ratu Azalea sangat dahsyat," ucap Iblis Es. "Selangkah lagi menuju Ranah Batara, bukan begitu?" tanya Iblis Bayangan yang sudah muncul di sebelah Iblis Es. "Benar, jika dia bisa menembus ranah itu, artinya Ratu adalah manusia pertama yang mampu mencapai ranah itu dengan kekuatannya sendiri," kata Iblis Es. "Lalu, mengenai manusia di luar pulau yang konon menjadi momok para dewa itu apakah dia juga berada di ranah Barata?" tanya Iblis Bayangan. "Huh! Jangan bandingkan dengan manusia setengah dewa itu dengan Ratu Azalea. Selain dia kuat dia juga didukung para dewa
Bima bisa merasakan semua roh itu mengumpat dan mengutuk dirinya. Kutukan-kutukan roh itu menyerang tulisan sihir yang melindunginya. "Roh-roh ini sangat kuat.. Mereka masih berusaha menyerang! Jika tidak ada tulisan sihir dan pilar pemecah roh itu, sudah pasti tubuhku tidak akan mampu menyerap mereka... Kenapa baru kali ini Iblis Es memberitahu tempat sehebat ini di dalam pedang?" batin Bima. Iblis Es menatap ke tengah altar dimana Bima sedang berjuang menyerap kekuatan jiwa dari semua roh yang ada di sekitar tubuhnya tersebut. "Sekarang kamu harus berjuang sendiri menyerap semua kekuatan itu," kata Iblis Es sambil duduk bersila menghadap altar. "Bima, tulisan sihir itu hanya mampu menahan sementara. Dia menahan kekuatan jiwa yang paling kuat saja, sedangkan yang lain, hanya kamu yang bisa menentukan. Jadi, kamu harus berjuang sekuat tenaga jika ingin menjadi pendekar yang kuat," kata Iblis Es melalui telepati. Bima tak percaya jika tulisan sihir hanya menahan sementara. Itu art
Beberapa hari di Lembah Kupu-Kupu, Ratu Azalea mengalami peningkatan kekuatan jiwa yang luar biasa. Bahkan peningkatan yang menurut Bima tidak wajar. "Apakah mungkin karena dia pernah berada di ranah Cakrawala sebelumnya?" batin Bima. Namun dia tak akan banyak berpikir. Dia pun ingin meningkatkan kekuatan miliknya sebisa mungkin hingga mencapai tahap akhir. "Iblis Es, apakah aku bisa menyerap semua kekuatan yang sudah terkumpul di dalam pedang itu?" tanya Bima sambil mencari buah-buahan yang ada di Lembah dekat Telaga. "Tidak," sahut Iblis Es pendek. "Kenapa!? Kenapa tidak bisa aku menyerap semua roh itu? Bukankah aku bisa menyerap roh dari Sanca Banteng Hitam itu?" tanya Bima. "Hm, di dalam pedang itu terkumpul banyak sekali roh. Semuanya juga bukan roh yang lemah, kau pikir, jika tubuh kecilmu ini di masuki roh-roh dengan kekuatan jiwa yang besar, apakah tubuhmu mampu menahan? Jika kamu tidak bisa menahan, tubuhmu akan meledak!" kata Iblis Es membuat Bima terdiam. Tinjunya m
Setelah sarapan di kedai tempat dia menginap, Bima segera membayar sewa penginapan dan makanannya. Si pemilik kedai berbisik pada Bima. "Pendekar, sebaiknya kamu berhati-hati. Karena pihak Kerajaan sekarang sudah datang dan menangkapi para pendekar di sekitar Perguruan Bangau Surga. Jadi, saranku, jangan datangi kerumunan," bisik Pemilik kedai. Bima tersenyum. "Terimakasih ki sudah mengingatkanku, ambil saja kembaliannya," ucap Bima sambil memberikan satu tail emas kepada pemilik kedai. "Terimakasih kembali pendekar, anda sungguh baik hati," ucap Pemilik kedai. Bima mengangguk. Dia pun berjalan meninggalkan penginapan tersebut. Di luar penginapan tampak banyak orang yang masih penasaran dengan keadaan Perguruan Bangau Surga. Mayat-mayat yang berserakan di dalam benteng di kubur secara masal oleh penduduk setempat. Bima akan segera beranjak dari depan penginapan, namun tiba-tiba satu tangan menyambar lengannya. "Tertangkap kau!"Bima menoleh ke arah orang yang baru saja menceng
Sepanjang sejarah dunia persilatan Negara Angin, hanya segelintir pendekar yang mempunyai keberuntungan mendapatkan sebuah kekuatan yang bisa mengendalikan Ruang dan Waktu. Karena kekuatan itu sangat langka, mereka yang mendapatkan kekuatan Ruang dan Waktu menjadi orang paling istimewa di tanah Negara Angin. Bima teringat pada Ratu Agung penguasa Klan Elang Dewa yang juga mempunyai hukum Ruang dan Waktu. Saat dia melawannya waktu itu, tak ada kesempatan untuk menang sama sekali. Dia belum tahu jika Ratu itu adalah Arimbi, kekasihnya. "Kekuatan Ruang dan Waktu ini sangat berguna di pertarungan. Bahkan sangat berbahaya bagi musuh," batin Bima. Tubuhnya tengah menyerap inti darah dari pendekar Kerajaan itu. Ada hawa aneh yang Bima rasakan saat menyerap kekuatan dari inti darah tersebut. Sekujur tubuhnya terasa sangat kaku tak bisa di gerakkan. Saat menyerap kekuatan itulah saat-saat tubuhnya lemah dari segala serangan. Jika ada musuh yang tiba-tiba menyerang dirinya, itu akan sang