Tao Jin menggeleng, kembali duduk di tempat guru kepala biasa duduk. Dia berusaha mengalihkan perhatian.
"Zhou, makam asli Liu Bang berada di kota Ye, di bukit Tandus. Ke sanalah dan segera ambil pedang itu. Ikuti legenda, beri kedamaian pada rakyat."
Zhou semakin tidak tenang karena Bian yang berada di dalam tubuhnya berteriak-teriak tidak jelas, memaksa Zhou untuk membuat Tao Jin bicara.
"Jika tidak bisa, biar aku saja! Segera tidur, kita bertukar posisi!" teriak Bian. "Cepat paksa dia! Pakai namaku kalau perlu!"
"Sabar Bian," sahut Qiu dari dalam tubuh Zhou. "Beri kesempatan Zhou menyusun kalimat."
Zhou menghampiri Tao Jin dengan wajah memohon. "Tolong Kek, beritahu kenapa Lu Xun pergi dari Huasan."
Sepuluh ribu kavaleri berlari siang dan malam, membuat jalanan penuh kepulan debu. Setelah mendengar Kaisar meminta bantuan, Cao Cao memimpin langsung ekspedisi ke Luoyang.Seorang pasukan berkuda menghampiri Cao Cao yang tak berhenti memacu kuda."Lapor! Pasukan Yuan Shao terlihat di utara!"Kepulan asap lain terlihat dari arah dermaga penyeberangan sungai. Sepertinya Yuan Shao juga mengirim ekspedisi ke Luoyang."Sebaiknya kirim pasukan untuk menumpas para penyusup itu," saran Cao Hong.Tanpa pikir panjang Cao Cao memberi perintah bagi Xiahou Dun dan Xiahou Yuan membantu Cheng Yu untuk membawa lima ribu pasukan membendung pasukan Yuan Shao.Tak lama berkuda, seorang pasuka
Cahaya matahari menerobos atap bolong, menyinari ruang singgasana yang tak ubahnya kandang kuda tua ditumbuhi rumput, juga berhias sarang laba-laba. Hilang sudah glamour masa lalu ketika banyak kasim kerja menggosok setiap dinding.Kaisar pun tak ubahnya rakyat jelata, berpakaian kumal, mahkota tanpa pernak-pernik majesty. Pemuda itu duduk di singgasana, sebuah kursi tua yang biasa ditemukan di kandang sapi.Loyalitas menjadi pendorong bagi para menteri yang hadir di sana untuk berbaris menyambut tamu. Tata tertib istana masih dijalankan walau keadaan tidak memungkinkan."Cao Cao, gubernur empat kota, jenderal kavaleri, menghadap Kaisar!"Cao Cao dikawal Guo Jia dan Xun You melangkah masuk. Sesuai tata tertib, Cao Cao bersujud. Keningnya menyentuh genangan ai
Nyanyian suka cita terdengar merdu. Lagu yang sama dengan yang Zhou nyanyikan dulu ketika berkelana ke Huasan. Suaranya lumayan merdu, tiada asal teriak. Tiada yang mendengar suara Qiu ikut menyanyi mencoba menghibur Bian. Lima hari berlalu, kesedihan Bian belum sirna. Dia bilang setuju menentukan target utama untuk dikejar, tapi hati masih menangis kehilangan cinta. "Jika memang jodoh, tidak akan ke mana," gumam Zhou. Dia bicara pada Bian dalam jiwanya, mengundang mata beberapa pejalan kaki di jalan setapak yang mendaki menoleh bingung. Zhou cuek bebek. Merasa tak kenal dia menjadi peduli setan. "Cinta datang dan pergi, cinta abadi menetap. Jika dalam tiga bulan engkau melupakannya, pertanda itu hanya cinta, benar seper
Mereka berseragam sipil, membawa pedang. Seragam jelas bukan pengungsi, sipil berpedang pasti orang dunia persilatan. "Penggemarmu?" tanya Zhou. "Bukan, mereka orang sewaan yang mencariku." "Kamu buronan?" "Haiya, bukan!" Zhou hendak bangkit, tapi Werou mendorong pundaknya supaya tetap duduk. Dia menilai gadis pendekar mau unjuk gigi? Dia menurut membiarkannya maju. Delapan jumlah mereka yang mendekat. Walau membawa pedang tapi tidak menarik gagang, mereka malah memberi hormat. "Nona Zhuge Werou, Tuan Zhuge Dan meminta Anda untuk pulang." "Heh, dengar, sampaikan pada Ayah aku tidak
Meladeni delapan pendekar menguras tenaga juga chi. Berbeda dengan ketika melawan pasukan Cao Cao tempo hari, sekarang lawannya pendekar profesional yang mengerti tentang chi."Tunggu tunggu, berhenti sebentar!" pinta Zhou. "Istirahat dulu, ya, yaa.""Baiklah."Delapan pendekar juga lelah, mereka sempoyongan duduk di sekitar Zhou sambil mengusap keringat di leher juga kening.Zhou ingin minum arak, meraba-raba bagian atas batu tempatnya menaruh kendi-kendi arak."Loh, kendi arakku ke mana?"Para pendekar tertawa lepas menertawai Zhou. Beberapa sampai terpingkal, terlentang memegang perut."Apanya yang lucu?" sentak Zhou.
Cahaya pagi memberi rasa hangat pada kulit badan Zhou. Zhou yang menguasai tubuhnya sendiri saat ini menikmati udara segar, juga pemandangan sawah menguning. Musim gugur, musim panen padi. Musim yang dinanti para petani. Setelah perjalanan jauh, mereka bisa melihat tembok besar Ye di kejauhan. "Cepat, kalau tidak, jangan salahkan jika badanmu mendapat tato cambuk!" bentak prajurit berpakaian perang, sambil mencambuk tanah. Para petani sibuk mengangkat karung-karung beras ke atas beberapa kereta kuda yang berjajar memanjang di tepi jalan setapak berselimut batu. "Haiya, lagi-lagi tahun ini pun diambil," bisik seorang warga pada warga lain di seberang jalan. Zhou tertarik untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dia mendekati
Zhou lanjut melangkah di jalan setapak berbatu mendekati kota Ye. Semakin dekat semakin jelas tembok tinggi kota besar yang menandingi kota Luoyang. Selain itu, banyak warga duduk santai di atas bukit dekat kota memandang ke arah daerah tanah lapang yang seperti ditumbuhi banyak manusia. Suara genderang dan terompet perang menggelora dari sana. Zhou menghampiri lelaki yang tengah berdiri mengagumi kerumunan di tanah lapang dari bukit rerumputan hijau bersama banyak rakyat. "Paman, ada apa? Kenapa ramai sekali?" "Sshh, diamlah. Sebentar lagi Tuan Yuan Shao akan berbicara." Dengan jurus mata kucing, Zhou bisa melihat lebih jauh hingga mampu melihat jelas sosok di atas panggung raksasa.
Ratusan lampion menyinari ruang megah di mana suara tawa dan musik-musikan mendominasi. Bukan para gadis cantik yang mendominasi pikiran Zhou, atau rabaan nikmat di pahanya, tali arak.Dengan arak nikmat dia betah duduk di kursi kayu berjam-jam."Ayo Tuan Muda tampan, kasihanilah hamba." Gadis di sebelah Zhou membimbing tangan pemuda itu untuk meraba dadanya yang kenyal."Taruh dulu arakmu, tampan, ada yang basah selain arak di sini." Gadis di sisi lain Zhou menarik telapak tangannya guna meraba bagian nikmat di pangkal paha."Ah, apaan sih, kotor itu, aku tidak mau bermain itu. Aku mau arakku."Dia meringkus beberapa kendi di meja, lalu bangkit, menaruh lima tael perak ke meja, uang sangu dari Tao Jin.