Meladeni delapan pendekar menguras tenaga juga chi. Berbeda dengan ketika melawan pasukan Cao Cao tempo hari, sekarang lawannya pendekar profesional yang mengerti tentang chi.
"Tunggu tunggu, berhenti sebentar!" pinta Zhou. "Istirahat dulu, ya, yaa."
"Baiklah."
Delapan pendekar juga lelah, mereka sempoyongan duduk di sekitar Zhou sambil mengusap keringat di leher juga kening.
Zhou ingin minum arak, meraba-raba bagian atas batu tempatnya menaruh kendi-kendi arak.
"Loh, kendi arakku ke mana?"
Para pendekar tertawa lepas menertawai Zhou. Beberapa sampai terpingkal, terlentang memegang perut.
"Apanya yang lucu?" sentak Zhou.
Cahaya pagi memberi rasa hangat pada kulit badan Zhou. Zhou yang menguasai tubuhnya sendiri saat ini menikmati udara segar, juga pemandangan sawah menguning. Musim gugur, musim panen padi. Musim yang dinanti para petani. Setelah perjalanan jauh, mereka bisa melihat tembok besar Ye di kejauhan. "Cepat, kalau tidak, jangan salahkan jika badanmu mendapat tato cambuk!" bentak prajurit berpakaian perang, sambil mencambuk tanah. Para petani sibuk mengangkat karung-karung beras ke atas beberapa kereta kuda yang berjajar memanjang di tepi jalan setapak berselimut batu. "Haiya, lagi-lagi tahun ini pun diambil," bisik seorang warga pada warga lain di seberang jalan. Zhou tertarik untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dia mendekati
Zhou lanjut melangkah di jalan setapak berbatu mendekati kota Ye. Semakin dekat semakin jelas tembok tinggi kota besar yang menandingi kota Luoyang. Selain itu, banyak warga duduk santai di atas bukit dekat kota memandang ke arah daerah tanah lapang yang seperti ditumbuhi banyak manusia. Suara genderang dan terompet perang menggelora dari sana. Zhou menghampiri lelaki yang tengah berdiri mengagumi kerumunan di tanah lapang dari bukit rerumputan hijau bersama banyak rakyat. "Paman, ada apa? Kenapa ramai sekali?" "Sshh, diamlah. Sebentar lagi Tuan Yuan Shao akan berbicara." Dengan jurus mata kucing, Zhou bisa melihat lebih jauh hingga mampu melihat jelas sosok di atas panggung raksasa.
Ratusan lampion menyinari ruang megah di mana suara tawa dan musik-musikan mendominasi. Bukan para gadis cantik yang mendominasi pikiran Zhou, atau rabaan nikmat di pahanya, tali arak.Dengan arak nikmat dia betah duduk di kursi kayu berjam-jam."Ayo Tuan Muda tampan, kasihanilah hamba." Gadis di sebelah Zhou membimbing tangan pemuda itu untuk meraba dadanya yang kenyal."Taruh dulu arakmu, tampan, ada yang basah selain arak di sini." Gadis di sisi lain Zhou menarik telapak tangannya guna meraba bagian nikmat di pangkal paha."Ah, apaan sih, kotor itu, aku tidak mau bermain itu. Aku mau arakku."Dia meringkus beberapa kendi di meja, lalu bangkit, menaruh lima tael perak ke meja, uang sangu dari Tao Jin.
Hari berganti, kali ini Bian mengambil alih tubuh Zhou. Sebelum langit menggelap, dia menanti dua sosok yang membuat janji akan bertemu di danau rembulan. Dia duduk di dahan pohon sambil berayun satu kaki, bermain suling sebagai hiburan.Lama dia bermain sampai langit menjadi gelap seperti kain lukis hitam bertabur keindahan bulan bintang.Tiba-tiba air danau beriak, membuat buyar pemandangan yang terpantul di danau, pertanda ada sesuatu yang mendarat."Suara merdu suling di malam hari, bukankah begitu indah Yang Yang Yi?""Yang Tae oh Yang Tae ramai, kamu membuat suara indah pergi. Sekarang bagaimana cara mengganti suara suling? Apa harus menjemput Zhuge Liang?"Di bawah sinar rembulan, dua orang berdiri di atas air da
Keadaan di dataran Han semakin mencemaskan. Para jendral saling membunuh demi tanah kekuasaan, rakyat menjadi korban.Setelah Lu Bu diusir dari kota Puyang, dia bergabung dengan Liu Bei, lalu mengkhianati Liu Bei dan mengusirnya dari Xiao Pei.Liu Bei bergabung dengan Cao Cao dan berhasil mengalahkan Lu Bu. Seluruh pengikut Lu Bu tewas, kecuali Zhang Liao yang direkrut oleh Cao Cao.Dalam ekspedisi Cao Cao ke kota Wan sebuah insiden terjadi. Jia Xu menyerah mengadakan pesta. Cao Cao meniduri bibi Jia Xu, membuatnya marah dan menyergap Cao Cao beserta beberapa punggawa.Dalam insiden, Cao Ang dan Dian Wei tewas demi menolong Cao Cao yang terjebak di kota. Setelah selamat, Cao Cao balas dendam membabat habis seluruh penduduk Wan juga memenggal seluruh keluarga Jia Xu.
Sekarang Cao Cao seorang perdana menteri, dalam keadaan formal dia tidak boleh duduk di bantal. Cao Cao duduk di kursi kayu berlengan dalam ruang di gedung gubernur Xuchang, sementara yang lain berdiri. Xun You berada di baris kanan paling depan, di belakangnya para pejabat administrasi menanti. Di sisi lain, Cao Hong berdiri paling besar, di belakangnya para Jenderal pengikut Cao Cao sabar menanti rapat krusial yang bakal terjadi. Seorang prajurit berpakaian perang masuk. Debu rontok dari pakaiannya ketika dia bertekuk satu lutut memberi laporan dengan lantang. "Yuan Shao menyerang dengan lima juta pasukan darat dan lima ratus ribu pasukan laut!" Mendengar laporan itu, seluruh peserta rapat berbisik-bisik saling berdiskusi.
Pasukan Cao Cao menantang pasukan Yuan Shao. Mereka berbaris di barat, menghadap timur di mana pasukan lawan berada. Sementara Cao Cao berada di antara dua kubu. Di bawah payung besar, dia duduk santai di kursi kayu tanpa kaki. Di hadapannya meja bundar menampung cawan arak dan mangkuk berisi camilan, serta kursi serupa miliknya berdiri kosong. Debu melayang di belakang kuda putih Xiahou Dun yang melesat dari arah barisan pasukan Yuan Shao. Dia berhenti di sebelah Cao Cao. "Dia bersedia bertemu," ucap Xiahou Dun. "Sepupu, apa kamu baik-baik saja sendiri di sini?" "Dia hanya Yuan Shao, buat apa takut? Kembali ke barisan. Beri tahu Cao Hong untuk menjalankan rencana selanjutnya." "Laksanakan!" Xiahou Dun memacu kencang kud
Gelak tawa memenuhi tenda utama di kam Cao Cao. Para punggawa pamer berapa banyak musuh yang mereka habisi.Cao Cao memejam, duduk di kursi kayu sambil bersangga pedang di depan."Sepupu Cao Cao, kenapa diam saja?" tanya Cao Hong. "Idemu sangat hebat mengulur waktu, juga memanfaatkan matahari. Kamu harus berbahagia!"Cao Cao mengangguk. "Hari pertama. Kemenangan besar, bagus. Naga masih utuh. Kita hanya melepas satu sisiknya saja. Jangan ada yang keluar kam, mengerti?"Sekejap semua yang hadir mengangguk kecil. Mereka kembali fokus pada rapat penutup hari.Tiba-tiba seorang prajurit masuk. Dari pakaian serba hitam, dia adalah pasukan penjaga perbatasan. "Lapor, Perdana Menteri, menurut pasukan pengintai, Sun