Benar ia adalah si Pipi Bakpau, Mahen. Setelah mengetahui siapa yang memanggilnya, wajah Mahen berubah cerah, mulutnya membentuk sebuah tawa yang lebar, walaupun sambil mengunyah makanan, ia berkata, “Syukurlah, Bayu. Tepat sekali aku bisa bertemu denganmu di sini.”Bayu menjawab, “Mengapa setiap bertemu denganmu selalu berada di dekat makanan?”“Hehe, sama juga denganmu selalu tidak pernah jauh dari wanita cantik,” ucap Mahen sambil matanya melirik ke arah Kirani.“Oh ya Mahen, kenalkan ini Kirani,” ujar Bayu mengenalkan. Mahen mengusapkan tangannya ke celana sebelum mengulurkannya memberi salam pada Kirani. Sambil menjabat tangan Mahen, Kirani tertawa dan berkata, “Hihi, kau lucu sekali, masa membandingkan aku dengan kue bolu.”Mahen terkejut, wajahnya tersipu, “Astaga! Jadi benar kau bisa membaca pikiran orang lain. Wah, wah, wah malang sekali nasibmu Bayu. Kau tidak bisa selingkuh darinya.”“Ngaco kau! memangnya aku tukang selingkuh,” omel Bayu.“Lalu bagaimana dengan ...?” Mahen
Saat rumput masih basah oleh embun, di ufuk matahari pun masih mengintip malu-malu. Tiga ekor kuda berderap menantang angin. Bayu, Kirani dan Mahen memacu kudanya, menyalakan gairah kehidupan fana. Bayu di depan diikuti Kirani dan Mahen di belakangnya. Di rumah Wira, sudah berkumpul tokoh-tokoh persilatan yaitu Tuan Bisma, Ketua Klan Golok Naga, Tuan Paskalis Ketua Perguruan Tongkat Tunggal, Tuan Bimantoro, Ketua Perguruan Tinju Besi dan Tuan Dewangga yang tidak membuka perguruan. Bersama dengan Wira mereka menunggu kedatangan Menteri Supala.Sesaat kemudian dua ekor kuda tampak berhenti di depan klinik milik Wira. Menteri Supala diiringi Nayaka turun dari kuda dan bergabung dengan yang lain, di ruang tengah. Mereka duduk mengelilingi meja, yang di atasnya terdapat piring yang berisi beberapa macam jajanan khas rakyat Antakara. Tak lama pembantu Wira membawa nampan dengan dua buah teko dan beberapa cangkir di atasnya. Wira mempersilakan tamu-tamunya untuk menikmati hidangan yang ters
Hingga seseorang mengucapkan salam dari luar. “Permisi!” Lalu seorang dengan tubuh gempal muncul di halaman tengah. Wira langsung bertanya, “Hei Mahen! Apakah kau bertemu dengan Bayu?”“Aku di sini Paman,” ucap Bayu yang baru masuk bersama Kirani.Wira menyambut Bayu, “Bagus Bayu, kau bisa hadir hari ini, aku mengira baru besok atau lusa kau akan tiba.”“Aku bertemu dengan Mahen di luar Hutan Ayun-ayun Paman. Lalu kami langsung ke sini,” jelas Bayu. Wira mempersilakan Bayu dan Kirani masuk menemui para tokoh yang lain. Semua orang memandang ke arah Kirani. Bayu merasakannya, maka ia memperkenalkan gadis itu, “Para Paman, perkenalkan, ini adalah Kirani calon istriku.” Wajah Kirani memerah, ia membungkuk hormat pada semua orang, dan berkata, “Salam Paman, maaf bila aku mengganggu jalannya pertemuan ini, aku akan menunggu di luar saja.”Tuan Bisma tertawa, “Hahaha, engkau adalah calon istri Bayu, berarti keponakanku juga, ayo duduklah, ikuti pertemuan ini, kita adalah keluarga.”Menteri
Karena sudah menjelang malam terpaksa Bayu dan Kirani menunda perjalanannya kembali ke Agartha sampai besok pagi. Malam itu Bayu sekamar dengan Mahen, sedangkan Kirani tidur di kamar yang biasa dipakai Bayu dulu.Karena Mahen sering bertugas sebagai mata-mata, maka Bayu memberikan buku dari biksu Pradipa yang berisi ilmu merias wajah. Bayu menjelaskan tentang kata-kata dan istilah yang belum dimengerti oleh Mahen. Beberapa obat yang digunakan untuk mengubah warna kulit juga diberikan pada Mahen. Bayu berkata, “Semoga ilmu ini bisa membantu dalam menjalankan tugasmu sebagai mata-mata.”“Terima kasih Bayu, tapi apakah ada ilmu yang bisa membuatku terlihat lebih kurus?” tanya Mahen sambil tertawa-tawa.“Ada, namanya ilmu Tahan Lapar,” jawab Bayu kesal, tapi ia tertawa juga melihat wajah sahabatnya yang langsung berubah memelas.Bayu dan Kirani sudah terlihat melintasi jalan-jalan ibukota pagi-pagi sekali. Keadaan sangat tenang bagaikan kesunyian sebelum badai menerjang. Perjalanan ke gun
Mereka berdua berenang ke tepi, John sudah menunggu bersama Ramos. Kirani langsung memeluk ayahnya, “Maafkan aku Ayah, telah membuatmu khawatir.”Ramos mengusap rambut Kirani yang basah, “Aku tahu perasaanmu Kira, bagaimana penyakitmu sekarang?”“Aku sudah sembuh Ayah,” jawab Kirani haru.“Bagaimana? Siapa yang menyembuhkanmu?” tanya Ramos heran dan gembira.Kirani memandang ke arah Bayu, “Panjang ceritanya Ayah, tapi Bayulah yang pertama menggunakan mesin pemberian Ayah padaku. Lalu ada seorang sahabatku yang berkorban untuk Bayu.”Sementara Bayu menjabat tangan John dengan erat, “Apa kabar John? Senang sekali aku bisa kembali ke sini.”“Baik, wah kau terlihat semakin dewasa Bayu, bagaimana keadaan Antakara?” Pertanyaan John, membuat Bayu teringat akan tugasnya.“Justru karena Antakaralah aku kembali ke sini John. Aku mohon bantuan Kirani untuk menyelamatkan negeriku.”Lalu Bayu menghampiri Ramos, “Apa kabar Ramos? Akhirnya aku berhasil membawa Kirani kembali.”Ramos memegang bahu Ba
Saking kagumnya Bayu pada jurus baru ini, ia langsung berusaha menghafalkan teorinya. Tak terasa di luar sanggar sudah gelap. Kirani mengetuk pintu sanggar, “Bayu, apakah kau masih di dalam?”Bayu tersadar, ia sudah lupa waktu mempelajari Kitab Langit lagi. “Ya Kira, aku masih di sini, maaf aku terlalu asyik mempelajari Kitab Langit.”Kirani berkata, “John akan pulang, ia menanyakan apakah kau akan menginap di sini atau di rumahnya.”“Oh ya, sebaiknya aku ikut John dan menginap di rumahnya,” jawab Bayu sambil berdiri dan keluar meninggalkan sanggar.Kirani berjalan mendampinginya sambil berkata, “Besok aku akan mulai memasang mesin teleportasi ke gua, oh ya bila kau membutuhkan timah hitam untuk membungkus sarung Pedang Pengisap Bintang, kau bisa mengambilnya di ruang kerjaku besok.”“Baiklah, besok aku akan kembali ke sini lagi. Sepertinya sanggar ayah cukup baik sebagai tempatku berlatih,” ucap Bayu.Kirani tertegun, “Kau sudah memanggil Ayah juga?”“Ya, beliau merestui hubungan kit
Baroto baru memasuki kawasan gunung Belah ketika seseorang dengan seragam pasukan Antakara menghampirinya dan dengan hormat berkata padanya, “Selamat datang Tuan Baroto, kedatangan Tuan sudah ditunggu oleh Tuan Penasihat, Bagaskoro.”Baroto menjawab, “Hahaha, tak kusangka Bagaskoro masih memberi muka padaku teman lamanya ini.”“Silakan Tuan!” Sebuah kereta kuda menghampiri Baroto, dan utusan Bagaskoro membukakan pintunya.Baroto masuk ke dalam kereta sambil tertawa, ia bangga sekali diperlakukan khusus oleh Bagaskoro.Sampai di area pertandingan suasana masih sepi, karena acara memang baru dimulai dua hari lagi. Baroto turun dari kereta, Bagaskoro sudah menyambutnya bersama Ki Lurah Gondomayit.“Hahaha, apa kabar Sobat lama, bersemangat sekali kau tampaknya, acara belum dimulai, kau sudah berkeliaran di sini.” Bagaskoro menjabat tangan Baroto, lalu mengajaknya ke gardu pandang. Walaupun gardu pandang itu memiliki tangga untuk menaikinya, Bagaskoro tidak menggunakannya, ia menarik nafa
Setelah mengetahui peraturan dan seleksi peserta, banyak orang yang batal mengikuti pertandingan. Mereka khawatir akan ditertawakan banyak orang, karena gagal dalam ujian seleksi. Tapi tetap saja ada orang-orang yang tidak bisa mengukur kemampuannya sendiri. Mereka sangat percaya diri mengikuti ujian seleksi, gayanya seolah-olah sudah menjadi pemimpin dunia persilatan, kepala mendongak dan dada dibusungkan. Berada di tepi rawa, membawa beberapa potong kayu sebagai pijakan di air. Sekali lompat berpijak pada sebatang kayu yang dilemparnya ke air, berhasil, tapi pada lompatan ke-dua, tenaga dalam untuk ilmu meringankan tubuhnya tidak mencukupi, sehingga terceburlah peserta itu. Penonton tertawa dan menyorakinya.Tampaknya tokoh-tokoh persilatan belum ada yang mengikuti ujian seleksi. Beberapa orang yang berhasil menyeberangi rawa hanya kaum persilatan kelas menengah. Pada ujian ke-dua lebih heboh lagi, peserta yang terlalu memaksakan diri mengangkat batu besar itu, wajahnya memerah dan