Saat rumput masih basah oleh embun, di ufuk matahari pun masih mengintip malu-malu. Tiga ekor kuda berderap menantang angin. Bayu, Kirani dan Mahen memacu kudanya, menyalakan gairah kehidupan fana. Bayu di depan diikuti Kirani dan Mahen di belakangnya. Di rumah Wira, sudah berkumpul tokoh-tokoh persilatan yaitu Tuan Bisma, Ketua Klan Golok Naga, Tuan Paskalis Ketua Perguruan Tongkat Tunggal, Tuan Bimantoro, Ketua Perguruan Tinju Besi dan Tuan Dewangga yang tidak membuka perguruan. Bersama dengan Wira mereka menunggu kedatangan Menteri Supala.Sesaat kemudian dua ekor kuda tampak berhenti di depan klinik milik Wira. Menteri Supala diiringi Nayaka turun dari kuda dan bergabung dengan yang lain, di ruang tengah. Mereka duduk mengelilingi meja, yang di atasnya terdapat piring yang berisi beberapa macam jajanan khas rakyat Antakara. Tak lama pembantu Wira membawa nampan dengan dua buah teko dan beberapa cangkir di atasnya. Wira mempersilakan tamu-tamunya untuk menikmati hidangan yang ters
Hingga seseorang mengucapkan salam dari luar. “Permisi!” Lalu seorang dengan tubuh gempal muncul di halaman tengah. Wira langsung bertanya, “Hei Mahen! Apakah kau bertemu dengan Bayu?”“Aku di sini Paman,” ucap Bayu yang baru masuk bersama Kirani.Wira menyambut Bayu, “Bagus Bayu, kau bisa hadir hari ini, aku mengira baru besok atau lusa kau akan tiba.”“Aku bertemu dengan Mahen di luar Hutan Ayun-ayun Paman. Lalu kami langsung ke sini,” jelas Bayu. Wira mempersilakan Bayu dan Kirani masuk menemui para tokoh yang lain. Semua orang memandang ke arah Kirani. Bayu merasakannya, maka ia memperkenalkan gadis itu, “Para Paman, perkenalkan, ini adalah Kirani calon istriku.” Wajah Kirani memerah, ia membungkuk hormat pada semua orang, dan berkata, “Salam Paman, maaf bila aku mengganggu jalannya pertemuan ini, aku akan menunggu di luar saja.”Tuan Bisma tertawa, “Hahaha, engkau adalah calon istri Bayu, berarti keponakanku juga, ayo duduklah, ikuti pertemuan ini, kita adalah keluarga.”Menteri
Karena sudah menjelang malam terpaksa Bayu dan Kirani menunda perjalanannya kembali ke Agartha sampai besok pagi. Malam itu Bayu sekamar dengan Mahen, sedangkan Kirani tidur di kamar yang biasa dipakai Bayu dulu.Karena Mahen sering bertugas sebagai mata-mata, maka Bayu memberikan buku dari biksu Pradipa yang berisi ilmu merias wajah. Bayu menjelaskan tentang kata-kata dan istilah yang belum dimengerti oleh Mahen. Beberapa obat yang digunakan untuk mengubah warna kulit juga diberikan pada Mahen. Bayu berkata, “Semoga ilmu ini bisa membantu dalam menjalankan tugasmu sebagai mata-mata.”“Terima kasih Bayu, tapi apakah ada ilmu yang bisa membuatku terlihat lebih kurus?” tanya Mahen sambil tertawa-tawa.“Ada, namanya ilmu Tahan Lapar,” jawab Bayu kesal, tapi ia tertawa juga melihat wajah sahabatnya yang langsung berubah memelas.Bayu dan Kirani sudah terlihat melintasi jalan-jalan ibukota pagi-pagi sekali. Keadaan sangat tenang bagaikan kesunyian sebelum badai menerjang. Perjalanan ke gun
Mereka berdua berenang ke tepi, John sudah menunggu bersama Ramos. Kirani langsung memeluk ayahnya, “Maafkan aku Ayah, telah membuatmu khawatir.”Ramos mengusap rambut Kirani yang basah, “Aku tahu perasaanmu Kira, bagaimana penyakitmu sekarang?”“Aku sudah sembuh Ayah,” jawab Kirani haru.“Bagaimana? Siapa yang menyembuhkanmu?” tanya Ramos heran dan gembira.Kirani memandang ke arah Bayu, “Panjang ceritanya Ayah, tapi Bayulah yang pertama menggunakan mesin pemberian Ayah padaku. Lalu ada seorang sahabatku yang berkorban untuk Bayu.”Sementara Bayu menjabat tangan John dengan erat, “Apa kabar John? Senang sekali aku bisa kembali ke sini.”“Baik, wah kau terlihat semakin dewasa Bayu, bagaimana keadaan Antakara?” Pertanyaan John, membuat Bayu teringat akan tugasnya.“Justru karena Antakaralah aku kembali ke sini John. Aku mohon bantuan Kirani untuk menyelamatkan negeriku.”Lalu Bayu menghampiri Ramos, “Apa kabar Ramos? Akhirnya aku berhasil membawa Kirani kembali.”Ramos memegang bahu Ba
Saking kagumnya Bayu pada jurus baru ini, ia langsung berusaha menghafalkan teorinya. Tak terasa di luar sanggar sudah gelap. Kirani mengetuk pintu sanggar, “Bayu, apakah kau masih di dalam?”Bayu tersadar, ia sudah lupa waktu mempelajari Kitab Langit lagi. “Ya Kira, aku masih di sini, maaf aku terlalu asyik mempelajari Kitab Langit.”Kirani berkata, “John akan pulang, ia menanyakan apakah kau akan menginap di sini atau di rumahnya.”“Oh ya, sebaiknya aku ikut John dan menginap di rumahnya,” jawab Bayu sambil berdiri dan keluar meninggalkan sanggar.Kirani berjalan mendampinginya sambil berkata, “Besok aku akan mulai memasang mesin teleportasi ke gua, oh ya bila kau membutuhkan timah hitam untuk membungkus sarung Pedang Pengisap Bintang, kau bisa mengambilnya di ruang kerjaku besok.”“Baiklah, besok aku akan kembali ke sini lagi. Sepertinya sanggar ayah cukup baik sebagai tempatku berlatih,” ucap Bayu.Kirani tertegun, “Kau sudah memanggil Ayah juga?”“Ya, beliau merestui hubungan kit
Baroto baru memasuki kawasan gunung Belah ketika seseorang dengan seragam pasukan Antakara menghampirinya dan dengan hormat berkata padanya, “Selamat datang Tuan Baroto, kedatangan Tuan sudah ditunggu oleh Tuan Penasihat, Bagaskoro.”Baroto menjawab, “Hahaha, tak kusangka Bagaskoro masih memberi muka padaku teman lamanya ini.”“Silakan Tuan!” Sebuah kereta kuda menghampiri Baroto, dan utusan Bagaskoro membukakan pintunya.Baroto masuk ke dalam kereta sambil tertawa, ia bangga sekali diperlakukan khusus oleh Bagaskoro.Sampai di area pertandingan suasana masih sepi, karena acara memang baru dimulai dua hari lagi. Baroto turun dari kereta, Bagaskoro sudah menyambutnya bersama Ki Lurah Gondomayit.“Hahaha, apa kabar Sobat lama, bersemangat sekali kau tampaknya, acara belum dimulai, kau sudah berkeliaran di sini.” Bagaskoro menjabat tangan Baroto, lalu mengajaknya ke gardu pandang. Walaupun gardu pandang itu memiliki tangga untuk menaikinya, Bagaskoro tidak menggunakannya, ia menarik nafa
Setelah mengetahui peraturan dan seleksi peserta, banyak orang yang batal mengikuti pertandingan. Mereka khawatir akan ditertawakan banyak orang, karena gagal dalam ujian seleksi. Tapi tetap saja ada orang-orang yang tidak bisa mengukur kemampuannya sendiri. Mereka sangat percaya diri mengikuti ujian seleksi, gayanya seolah-olah sudah menjadi pemimpin dunia persilatan, kepala mendongak dan dada dibusungkan. Berada di tepi rawa, membawa beberapa potong kayu sebagai pijakan di air. Sekali lompat berpijak pada sebatang kayu yang dilemparnya ke air, berhasil, tapi pada lompatan ke-dua, tenaga dalam untuk ilmu meringankan tubuhnya tidak mencukupi, sehingga terceburlah peserta itu. Penonton tertawa dan menyorakinya.Tampaknya tokoh-tokoh persilatan belum ada yang mengikuti ujian seleksi. Beberapa orang yang berhasil menyeberangi rawa hanya kaum persilatan kelas menengah. Pada ujian ke-dua lebih heboh lagi, peserta yang terlalu memaksakan diri mengangkat batu besar itu, wajahnya memerah dan
Bagaskoro mengangguk-angguk, hanya kepada Ki Lurah inilah Bagaskoro mau mendengarkan perkataannya, ia menjawab, “Tapi aku masih memakai cincin mantra Pembelenggu Sukma pemberianmu Paman, ini adalah senjata terakhir bila keadaan mendesak.”Ki Lurah menyeruput kopinya, lalu bertanya, “Bagaimana dengan pasukan Buntala? Apakah mereka sudah bergerak?”“Belum Paman, menurut Prastowo pasukan Buntala sebanyak 10.000 orang, mereka membutuhkan waktu 2 hari untuk mencapai istana, jika mereka terlalu awal menyerang istana, sementara gelar pemimpin dunia persilatan belum kupegang, maka Menteri Supalalah yang akan memimpin orang-orang ini. Lebih baik penyerangannya setelah aku mendapatkan gelar, karena aku bisa mengulur waktu dengan mengadakan perjamuan bagi orang-orang bodoh ini,” ungkap Bagaskoro menjelaskan detail rencananya.Ki Lurah manggut-manggut, “Bagus, bagus, kau sangat teliti Koro. Kapan kau akan mengikuti seleksi peserta?”“Ah gampang itu, nanti saja, terlalu ramai hari ini,” jawab Baga
Di sebuah gua dekat air terjun, terlihat seorang yang mengenakan pakaian serba hitam hingga hanya matanya yang terlihat. Orang itu menggerakkan tangannya membentuk lingkaran. Dari lingkaran itu muncul cahaya dan kemudian bagaikan tabir yang terbuka, di dalam lingkaran itu menunjukkan sebuah ruangan lain yang bukan bagian dari gua itu.Orang itu melangkah melalui lingkaran yang bercahaya itu, memasuki sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan itu penuh peti yang tergeletak di lantai dan beberapa senjata yang tergantung di dindingnya. Orang berpakaian hitam itu mendekati sebuah pedang yang tergantung di dinding, menghunus pedang itu, tapi digantungnya kembali. Ia hanya mengambil sarung pedangnya. Lalu orang itu kembali melewati lingkaran bercahaya itu, yang langsung menghilang setelah orang itu melewatinya. Sedangkan di sebuah tempat yang dikenal orang sebagai bukit Tengkorak. Pada masa ratusan tahun setelah kejadian seseorang mengambil sarung pedang tadi. Di kamar sang Ratu penguasa bu
Semua orang mengalihkan pandangannya ke luar ruangan, bahkan Nayaka yang posisinya terdekat dengan pintu langsung meloncat keluar. Tapi tak ada apa pun di luar istana, suasananya tenang-tenang saja. Nayaka sadar ini pasti tipuan licik Bagaskoro lagi. Ketika ia hendak memasuki ruangan kembali dilihatnya Bagaskoro sudah menyandera Raja Bhanu dengan mencengkeram lehernya.Nayaka membatalkan niatnya untuk masuk ke ruangan, ia berputar menuju pintu belakang istana. Sementara Bagaskoro mengancam semua orang akan membunuh Raja Bhanu.Sang Raja berkata pada Bayu, “Adi, aku dan ayahku sudah melakukan kesalahan padamu. Bunuhlah pengkhianat ini, jangan pedulikan aku, engkau yang berhak atas takhta ini.”Bayu ragu, ia mencoba memberikan penawaran pada Bagaskoro, “Bagaskoro lepaskan Kanda Bhanu, maka aku akan membebaskan Prastowo.”Bagaskoro tertawa, “Hahaha setelah itu kau akan menyerang dan membunuhku, kau kira aku tidak tahu niat busukmu.”Bayu menjawab, “Jangan kau anggap semua orang seperti
Bagaskoro sangat geram, giginya gemeretuk menahan emosinya, “Aku tidak peduli, akan kubunuh semua orang yang ada di ruangan ini.” Mata Bagaskoro memerah, ia sudah kehilangan nalarnya, dihunusnya pedang pengisap bintang.Bayu segera mengeluarkan sarung pedang pengisap bintang dari selongsong timah hitamnya.Bagaskoro tidak terkejut, ia sudah menduga sarung pedang itu berada di tangan musuh-musuhnya. Tapi ia tidak khawatir, karena yang terpenting adalah tenaga dalam khusus saat pedang pengisap bintang digunakan. Bagaskoro menyerahkan pedang pengisap bintang pada Ki Lurah Gondomayit, dan disuruhnya untuk menjauh. Ki Lurah mengerti maksud Bagaskoro. Ia segera menjauh agar pengaruh pedang pengisap bintang tak terasa lagi. Bagaskoro berharap Bayu akan melemparkan sarung pedangnya agar tak terkena pengaruhnya. Tapi kali ini dugaannya salah. Bayu hanya memasukkan sarung pedang itu kembali ke dalam selongsong timah hitamnya. Bagaskoro tertawa, “Hahaha, ayo kita mulai.” Ia bersiap-siap denga
Bagaskoro mengangkat tangannya, lalu berkata dengan suara lantang, “Terima kasih saudara-saudara. Aku hanya seorang diri tidak ada artinya tanpa dukungan kalian semua. Maka mulai sekarang marilah kita bersama-sama menciptakan suasana aman dan tenteram di dunia persilatan serta dengan setia menjadi penopang negeri yang kita cintai ini, Antakara.”Para penonton kembali bertepuk tangan dan berseru, “Setuju!!! Kami siap menerima perintah Ketua!”Bagaskoro sekali lagi mengangkat tangannya, “Untuk lebih menjalin keakraban di antara kita, aku mohon saudara-saudara jangan membubarkan diri dulu. Aku telah menyiapkan sebuah perjamuan untuk kita. Silakan dinikmati.”Di mana pun sebuah perjamuan selalu dinantikan dalam sebuah acara. Para penonton bersorak gembira, mereka merasa tidak salah mendukung Tuan Bagaskoro, yang ternyata sangat royal pada mereka.Di tengah keriuhan orang mengambil makanan, ada seorang prajurit yang baru turun dari kudanya dan berseru, “Di mana Tuan Penasihat! Cepat! Aku m
Keadaan menjadi gelap, lalu ‘Jboooooooom’ kilatan cahaya dari ledakan tenaga dalamnya menyilaukan mata semua orang, ketika mata mereka tertutup, tubuh mereka terpental disambar kekuatan angin panas dan bara api dari batu dan kerikil yang berhamburan menghajar mereka. Tak seorang pun yang masih bisa berdiri, Bhirowo yang terdepan merasakan pengaruh ledakan panas itu paling hebat. Ketika keadaan menjadi gelap Bhirowo tersentak, jelas ini bukan jurus sembarangan, tapi sudah terlambat, tubuhnya bagaikan masuk ke neraka, jeritannya menyayat hati, hilang sudah keangkuhannya, tubuhnya telentang melepuh dan mata terbelalak. Mulutnya masih sempat bergumam, “Jurus apa itu ...” sebelum nyawanya melayang meninggalkan raganya.***Di arena pertandingan, hari ke-tiga, dan ke-empat, Baroto berhasil menaklukkan lawan-lawannya. Setelah mengalahkan Tuan Dewangga dan Bayu di hari ke-dua, berturut-turut Baroto menundukkan Tuan Paskalis, Tuan Bimantoro dan Tuan Mahesa Ludira. Sekarang tinggal tersisa Tuan
Raja Darpa terkejut, ada prajuritnya yang berani memukul Prastowo. “Hei, siapa kau?”Prajurit itu dengan tenang berjalan mendekati Raja Darpa. “Maaf Yang Mulia, nama hamba Bayu Narendra. Hamba adalah Pangeran Antakara. Yang Mulia sudah menyerang negeri hamba karena terpengaruh hasutan dari Bagaskoro dan putranya Prastowo. Tunggulah sebentar, teman hamba akan segera datang membawa buktinya.”Tak seberapa lama muncullah di tengah ruangan seorang gadis cantik bermata kelabu. Ia mendekati Raja Darpa. Sang Raja terkejut. Ia mengenali gadis itu. “Bukankah kau penyusup yang mencoba meracuni aku.”Kirani membungkuk hormat, “Nama hamba Kirani Yang Mulia. Saat itu hamba hanya berkunjung ke Buntala untuk mencari Prastowo, sama sekali tidak bermaksud meracuni Paduka.”“Lalu siapa yang menaruh racun dalam minumanku?” tanya sang Raja.“Dia!” Kirani menunjuk Prastowo.“Tidak mungkin, Prastowo menantuku, untuk apa dia mencoba meracuniku?” Raja Darpa tidak percaya pada keterangan Kirani.“Sabar Yang M
Sementara di negeri Buntala, Raja Darpa memimpin sendiri pasukannya didampingi oleh menantunya, Prastowo. Keberangkatan pasukan justru saat lewat tengah hari, mereka memperkirakan memasuki wilayah Antakara ketika matahari mulai tenggelam. Walaupun jalan masuk ke Antakara sudah disiapkan mereka tetap berusaha untuk tidak menarik perhatian penduduk. Hutan perbatasan Surya Selatan dan Surya Timur akan dijadikan markas sementara mereka sebelum menyerang ke istana.Mahen dan Nayaka yang sudah melihat pergerakan Pasukan Buntala, segera kembali untuk melaporkan hasil pengintaiannya kepada Raja Bhanu melalui pengawalnya. ***Bayu membuka matanya dan bertanya, “Di mana ini John?”“Kau baru saja kuangkat keluar dari arena pertandingan,” jawab John.Lalu Bayu bertanya lagi, “Apakah ada yang curiga dengan kematianku?”“Sepertinya tidak, salah satu juri sudah memberi tanda bahwa kau sudah mati pada Bagaskoro,” ungkap John.“Bagus! Berarti sekarang saatnya untuk rencana berikutnya,” ujar Bayu, sam
Pada saat genting seperti itu, seseorang meloncat ke atas panggung, sambil berkata, “Kau sudah menang Baroto, Lepaskan Tuan Dewangga, akulah yang kau tantang sebetulnya bukan.” Bayu membungkuk hormat pada Tuan Dewangga, “Maafkan kelancanganku Paman.”“Tidak apa-apa Bayu, aku justru berterima kasih padamu, berhati-hatilah si Kodok Bau ini tenaga dalamnya sangat hebat,” jawab Tuan Dewangga lesu. Baroto tertawa bangga, lalu berkata dengan tidak sabar, “Ayo cepat! Kalau mau ngobrol di warung saja.”“Silakan Baroto, aku sudah siap,” ucap Bayu.Baroto berkata dengan pongah, “Karena kau masih muda, kuberi kesempatan untuk menyerang dulu.”Bayu tidak sungkan lagi, dari pertarungan Baroto tadi ia melihat jurus kodoknya sedikit lebih lambat bila harus berbalik arah. Karena itu Bayu langsung menggunakan jurus udara dan bergerak ringan ke belakang Baroto yang sudah memasang kuda-kuda jurus kodoknya. Tenaga dalam Bayu terkumpul di tangan membentuk bola tenaga, lalu dilontarkannya ke arah Baroto.
Pemuda itu memang Bayu, ia mendekati ujian tahap ke-dua. Dirangkulnya batu besar itu dengan kedua tangannya, lalu dikerahkannya tenaga dan batu itu pun terangkat di atas kepalanya. Bayu sengaja tidak mau menunjukkan semua ilmunya, ini adalah bagian dari rencananya. Tapi tetap saja penonton memberikan dukungannya dan saling bertanya siapakah pemuda ini.Pada ujian terakhir Bayu hanya mengambil satu pisau dan melemparkannya, tepat mengenai sasaran. Meskipun dinyatakan lolos, tapi tak ada gerakan atau hasil yang menghebohkan. Menteri Supala mendekatinya dan bertanya, “Apakah perlu kuumumkan identitasmu Bayu?”Bayu menggeleng, “Jangan Paman, cukup asal Bagaskoro tahu siapa diriku.”Maka di kalangan penonton mulai beredar desas-desus bahwa pemuda itu adalah Pangeran Bayu putra dari Raja Arkha. Berita ini pun sampai ke telinga Bagaskoro, segera ia memerintahkan orang untuk memanggil Baroto. “Sobat, pemuda yang baru saja lolos adalah targetmu. Tampaknya kali ini kau salah menilai orang. Men