Setelah menghilangkan lelahnya, Allen terbangun, pria itu bangkit dari ranjang. Niatnya untuk membersihkan tubuhnya yang lengket dikamar mandi urung saat menatap Sofia yang tengah tertidur dengan kaki terkangkang tak berdaya.
Pria itu menatap Sofia.Disana mengalir cairan putih kental bercampur dengan darah. "Darah? Darah apa ini, apa darah menstruasi, atau keguguran?" Tanya Allen bingung pada dirinya sendiri. Pria itu meraih ponselnya, menyalakan blits dan menyorot bagian tubuh Sofia. Allen menatap wanita itu dengan bimbang , disingkapnya selimut wanita itu, bekas darah mengering terlihat jelas. "Pe--perawan?" Gumam Allen terkejut. Pria itu segera menjauhkan tubuhnya dari Sofia, berdiri disamping ranjang menatap nanar pada Sofia. "Dasar gadis bodoh. Kenapa tak bilang kalau dirinya masih perawan. Sial... sial.." Allen menjambak rambutnya bingung, terus menatap tubuh polos tanpa sehelai benang yang sedang tertidur di ranjang. "Dasar bodoh. Pasti tadi itu sakit sekali." Racau allen frustasi. Allen berjalan mondar mandir, pria itu merasa bersalah telah memaksakan dirinya membelah inti tubuh Sofia, andai dia tahu Sofia masih perawan, Allen pasti akan melakukannya dengan lembut. Allen kemudian masuk kekamar mandi, membersihkan tubuhnya. Setelah selesai Allen kemudian menutup tubuh Sofia dengan selimut dan menghubungi bibi Emma untuk membawakannya sebakom air hangat beserta handuk kecil bersih. Allen mengenakan pakaiannya, duduk disofa tertegun. 'pantas aku tidak bisa bertahan lama, rasanya begitu sempit dan nikmat. Jadi seperti ini rasanya perempuan perawan yah. Benar-benar nikmat, ini pengalaman bercinta ternikmat yang pernah ku rasakan.' Gumam Allen dalam hati. Suara ketukan dipintu menyadarkan Allen dari lamunannya, pria itu kemudian bangkit menuju pintu. "Permisi Tuan, ini air hangatnya." Ujar Emma tertunduk. "Yah, terimakasih bibi Emma. Kamu boleh kembali!" "Tuan biar saya bantu!" Ujar Emma lembut. "Tidak perlu, biar saya sendiri." "Tapi tuan apa tidak apa-apa?" Tanya bibi Emma ragu. "Yah tidak apa-apa. Silahkan istirahat!" Perintah Allen. Bibi Emma mengerutkan keningnya bingung. Pasalnya ini benar-benar bukan Allen sekali, pria itu tidak pernah melakukan tugas seorang pelayan. Bibi Emma masih sempat melirik kearah ranjang dimana Sofia berbaring bertutupkan selimut. Wanita itu mengangguk paham, dan menutup pintu kamar Sofia kemudian berlalu dari depan kamar itu dengan perasaan bingung namun takjub. Allen kemudian melangkah kembali mendekati Sofia sembari mengangkat baskom kecil berisi air hangat. Allen meraih tissu, membersihkan bekas cairan putih kental bercampur darah dari sela paha Sofia, kemudian pria itu membersihkan dengan air hangat sembari mengompres bagian inti tubuh wanita kurus berkulit putih itu. Nampaknya Sofia benar-benar kelelahan, buktinya wanita itu tidak sedikitpun terbangun meski Allan berkali-kali mengompres bagian inti tubuhnya dengan air hangat. * * Pagi harinya, Sofia terbangun agak siang. Wanita itu merasa seluruh tubuhnya benar-benar sakit, apalagi bagian inti tubuhnya. Sofia dengan tertatih berusaha bangkit dari ranjang, nampaknya wanita itu masih belum mengenakan apapun ditubuhnya kecuali selimut yang menutupi tubuhnya. Sofia bangkit, menahan perih namun berusaha agar bisa masuk kekamar mandi. Tak lama kemudian gadis itu keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan mengangkang, mencoba mencari baju dari lemari yang ada dikamarnya. Semua aktifitas yang dilakukan oleh Sofia dipantau Allen melalui monitor CCTV, membuat pria itu kembali panas dingin menyaksikan Sofia menjatuhkan handuknya dan mengenakan pakaiannya satu persatu. Namun pria itu berusaha menahan diri, sadar bahwa bagian inti tubuh Sofia tentu saja masih sakit. Padahal bercinta dipagi hari adalah salah satu hobby gila Allen. Allen akhirnya memerintahkan pelayan membawakan makanan untuk Sofia, wanita itu belum pernah keluar kamar sejak dirinya datang. Sofia tampak menikmati sarapan sekaligus makan siangnya itu, setelahnya wanita itu kembali ke atas ranjang dan memilih untuk kembali tidur, tubuhnya yang sakit dan kelelahan serta inti tubuhnya yang nyeri membuat Sofia tak dapat bergerak banyak. Wanita itu memilih beristirahat dibanding memikirkan masa depannya yang semakin suram saja. * * "Kau akhirnya bangun juga. Kau sebenarnya tidur atau mati suri?" Suara bariton pria itu menyambut Sofia yang baru saja bangun dari tidurnya. Wanita itu menghela nafas pelan, dia cukup terkejut dan kesal dengan kehadiran Allen dikamarnya. Namun untuk menyuarakan keberatannya adalah hal mustahil. "Tuan ada apa kesini?" Tanya Sofia ragu, melirik sekilas pada Allen yang tengah duduk dengan tangan bersilang disofa yang ada dikamar itu. Pria itu menguarkan aura dingin yang mematikan, menatap tajam pada Sofia yang hanya bisa menunduk ketakutan. "Memangnya kenapa kalau aku kesini?" "Ti-- tidak apa, maaf Tuan." "Hmmm" "Tuan, jadi kapan anda akan melepaskan saya?" Tanya Sofia dengan berani, wanita itu mengumpulkan segala keberaniannya menanyakan pertanyaan itu. "Setelah aku puas dan bosan." "Bukankah semalam anda telah puas." "Puas? Aku bahkan belum setengahnya dari puas. Aku tidak suka gaya bercintamu yang kaku." "Ta-- tapi Tuan." "Apa kamu sudah siap kembali?" "Tidak! Aku masih kesakitan Tuan." Jawab Sofia mulai ketakutan. "Kamu masih perawan? Kenapa tidak mengatakannya sebelum kita bercinta?" "Untuk apa? Bukankah itu yang anda inginkan. Aku telah menyerahkan sesuatu yang paling berharga dihidupku. Aku rasa itu setimpal dengan hutang-hutang pamanku. Aku mohon tuan tolong lepaskan aku." Pinta Sofia memelas. "Kamu fikir itu cukup? Aku akan melepaskan mu setelah aku bosan. Jangan mendebat ku." Bentak Allen kasar. Sofia terkejut ketakutan, tak lagi mampu mengeluarkan sepatah katapun. Allen bangkit, melangkah keluar dari kamar Sofia. Pria itu berjalan kembali menuju ruang kerjanya. * * * * "Mommy, lagi apa?" Tanya Alea menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga rumah peninggalan tuan Gussel. "Menurut mu mommy lagi apa?" Jawab nyonya Rara acuh. "Huahhh rasanya aku bisa bernafas lebih lega setelah Sofia tidak tinggal disini lagi." Ujar Alea sumringah. "Yah, kamu benar. Hanya saja sepertinya kita harus mencari pelayan untuk tinggal dirumah. Tak ada yang mengurus makanan dan pakaian kita." "Hemm-- benar mom. Sebaiknya mommy mencari pelayan. Aku tidak bisa mencuci dan menyetrika baju sendiri." Ujar Alea mendukung sang ibu. "Mommy, bagaimana keadaan Sofia sekarang yah? Apa dia diperlakukan baik atau justru buruk berada dirumah monster mafia Allen Anthonio?" Ujar Alea penasaran. "Dasar bodoh. Untuk apa kamu memikirkan perempuan itu?" Bentak nyonya Rara marah. "Sebaiknya kamu memikirkan bagaimana cara menemukan pria kaya raya dari kelas atas agar hidup kita tidak jatuh. Akhir-akhir ini pemasukan toko anggur menurun drastis, entah apa saja yang dilakukan Daddy mu hingga tidak bisa memulihkan pemasukan toko seperti dulu." Omel nyonya Rara kesal. Wanita itu tak tahu bahwa suaminya selama ini tidak begitu peduli pada toko minuman anggur fermentasi yang menjadi tumpuan keluarga mereka selama beberapa tahun belakangan. Tuan Darren hanya sibuk bermain judi di pub malam dan bermain api bersama gadis-gadis muda penjaja cinta. "Mommy tenang saja, aku sedang berusaha memikat tuan Lucky Roland." "Lucky Roland? Siapa dia?" "Mommy tidak tahu? Dia adalah anak pertama pengusaha Gimbert Roland. Orang yang bekerja sama dengan paman Gussel untuk membesarkan toko minuman anggur itu, dia adalah teman kecil Sofia mom. Ku dengar Sofia menyukai pria itu dari kecil." Ujar Alea serius. Nyonya Rara menatap putrinya dengan alis bertaut. "Tidak bisa dibiarkan. Jangan sampai Sofia memiliki pendukung dari keluarga kaya dibelakangnya. Dia bisa menjatuhkan kita dan merebut semua ini kembali." "Yah, mommy benar, itulah mengapa aku menggodanya. Aku yang harus mendapatkan pria itu." Ujar Alea licik. "Bagus, kerja bagus Alea. Mommy tidak sia-sia menyekolahkan mu di tempat mahal kalau otakmu bekerja seperti itu." Puji nyonya Rara pada putrinya. Wanita manja itu sudah membayangkan kehidupan bahagianya bersama pria yang dicintai oleh sepupunya itu. Lucky Roland, anak dari sahabat ayah sofia, pemilik perusahaan Roland grup yang bergerak dibidang kontraktor. Sedari kecil Lucky dan Sofia sudah berteman dikarenakan kedua orang tua mereka sangat dekat. "Semoga paman Gussel dan bibi Anna tidak mengutuk kita dari atas." Ujar Alea tertawa jahat. "Anak bodoh ini. Berhenti membahas mereka, kau membuat mommy muak dan takut sekaligus." Delik nyonya Rara tak habis fikir pada sang putri. Alea kembali tertawa kencang, menertawakan sang mommy yang masih saja takut pada kedua orang tua Sofia padahal mereka sudah wafat hampir sepuluh tahun yang lalu."Tuan... Tuan besar Alfonso berada di kota Milan. Tadi pagi beliau mengirimkan email agar anda menghadiri pertemuan keluarga." Ujar James serius. "Pertemuan keluarga?" "Yah, benar tuan, ini untuk membahas siapa yang paling berhak memegang kendali atas perusahaan Royal Europa Company." Allen mendengus kesal, pria itu paling malas bila harus menghadiri pertemuan keluarga dari ayahnya. Pasalnya pria itu tidak begitu dekat dengan sang ayah dimasa lalu saat ayahnya masih hidup. Sang ayah, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Sayangnya saat sang ayah meninggal dunia, Allen enggan mengurus perusahaan sang ayah. Jadilah perusahaan itu diurus oleh sang kakek kembali, Alfonso. "Aku tidak tertarik mengurus dan memiliki perusahaan itu. Apa kau fikir usahaku tidak cukup membuatku kaya, James?" "Yah, itu tidak diragukan lagi tuan. Namun ada yang harus anda ketahui, bahwa Royal Europa Company bukan semata-mata perusahaan milik keluarga ayah anda. Disana saham nyonya Leana s
"aku ingin gadis terbaik, tercantik dan terseksi dalam sepuluh menit ditempat biasa!" Ujar James pada seorang mucikari kelas atas. "Baik tuan, saya pastikan tiba sebelum sepuluh menit." Jawab wanita diseberang. "Oke." Klik Sambungan telepon diputus oleh James, pria itu menyandarkan punggungnya dikursi. Meski percaya bahwa sang mucikari akan mengirimkan gadis terbaik, namun James juga mesti memeriksanya sendiri. Apalagi tuannya meminta hal tak masuk akal, harus yang cantiknya mirip Sofia. Yah, James akui Sofia memang sangat cantik. Apalagi malam itu saat James membawanya. Pria itu menggelengkan kepalanya tak habis fikir, bisa-bisanya otaknya malah terkontaminasi oleh tuan Allen. James bangkit, meninggalkan kamarnya dan berjalan memasuki lift. Pria itu akan turun menanti wanita yang akan menemani malam tuannya. * * "Anda tuan James?" Sapa seorang wanita pada James. Wanita itu cantik, dengan rambut hitam lurus hingga hampir mencapai bokongnya. Kulitnya putih namun
Allen bangun lebih awal, mendapati tubuhnya tertidur disofa dengan layar laptop masih memutar tayangan aktifitas Sofia. Allen melirik laptopnya. Namun Allen tidak punya banyak waktu hari ini. Pria itu harus bertemu dengan pengacara ibunya untuk membicarakan perihal saham atas nama sang ibu diperusahaan ayahnya. Selama ini pria itu bahkan tidak pernah mendapatkan kabar dan bagi hasil saham dari perusahaan itu, membuat Allen marah. Bukan tentang nominalnya, Allen sudah kaya raya meski tanpa uang dari perusahaan itu. Namun selama ini Allen masih terus mengirimkan sumbangan kesebuah panti sosial dimana ibunya menjadi donatur selama ini. Ternyata dibalik kekejaman sang mafia mesum masih tersimpan kebaikan yang tak seorang pun mengetahuinya. Allen fikir, andai dia tahu bahwa saham disana masih nama ibunya yang terbanyak, hasilnya bisa dia gunakan untuk terus berdonasi atas nama sang ibu. * * * * Malam harinya Allen benar-benar menghadiri undangan pertemuan yang dikirimkan san
"eunghhh," lenguh Sofia terbangun dari tidurnya. Wanita itu merasa terganggu dengan perasaan aneh pada puncak gunung kembarnya. Terasa dingin dan basah. Matanya terasa begitu berat, pasalnya dia baru tertidur jam sebelas malam, gadis itu menghabiskan waktunya di dapur bersama bibi Emma dan Lucy. Kedua pelayan itu mengajaknya membuat kue agar Sofia tidak bosan selama disini. Sofia adalah satu-satunya wanita yang menginap lebih dari dua malam dirumah itu. Jadi baik Lucy maupun bibi Emma berfikir bahwa Sofia ini berbeda dari wanita-wanita yang pernah dibawa dan berkunjung kerumah ini. "Eunghhh, ahhhhhhss." Lenguh Sofia sekali lagi, kali ini dibarengi dengan desahan lembut yang terdengar menggoda. Gadis itu meraba gunung kembarnya, namun yang dirasanya hanya sebuah benda keras berbulu lebat. 'bulu?' Tanya gadis itu dalam hati. Benda berbulu yang dirabanya memaksa mata Sofia terbuka. Disana sudah bersandar sebuah kepala dengan rambut kecoklatan membelakanginya. Tampak begi
"Lucy, temani aku ke mall!" Rengek Sofia pada pelayan muda favoritnya. "Tapi nona, saya takut ditegur bibi Emma bila melakukan pekerjaan diluar tugas saya." Keluh Lucy murung. "Biar saya minta izin pada bibi Emma." Ujar Sofia riang. Wanita itu kemudian segera mencari bibi Emma. Ternyata wanita paruh baya itu sedang berada dikolam ikan memberi makan ikan-ikan hias milik Allen. "Bibi Emma." Sapa Sofia duduk didekat wanita itu, sembari melemparkan makanan ikan ke kolam. "Ehh, nona Sofia. Jangan lakukan itu, tangan anda bisa bau!" Tegur bibi Emma panik. "Tidak apa-apa bibi. Oh ya, Sofia ingin meminta izin untuk membawa Lucy berbelanja. Tadi tuan Allen menyuruh ku belanja. Katanya aku lebih terlihat seperti gembel daripada pelayan." Ujar Sofia cemberut. Bibi Emma tertawa tertahan mendengar rajukan Sofia. "Iyya, tidak apa-apa. Pergilah belanja dan kesalon, itu akan bagus untukmu." Sofia menganggukkan kepalanya senang. Kemudian bangkit dan masuk kekamarnya untuk bersiap. W
"James, ada apa denganmu?" Tanya Allen mendapati James berbaring disofa dalam ruangan Allen. Pria itu sedang berada di markasnya. Sebuah bangunan berbentuk gedung kumuh di luarnya. Orang-orang tidak akan tahu bahwa itu adalah markas yang sering ditempati sang mafia dingin dan kejam seperti Allen. Orang-orang hanya akan menyangka bahwa didalam sana hanyalah gudang penyimpanan anggur yang telah dipetik dari perkebunan sang mafia. "Aku lelah sekali tuan." Keluh pria itu menutup matanya dengan lengan. "Habis apa kamu?" Tanya Allen bingung. 'habis apa? Apa dia lupa habis menyuruh ku apa?' gerutu James didalam hati dengan kesal James enggan menjawab pertanyaan sang tuan. "James aku bertanya. Jangan mengabaikan ku." Bentak Allen mulai kesal. "Hmm-- habis mengantar nona Sofia belanja tuan." Jawab James malas. "Hanya itu dan kamu sudah lelah? Apa-apaan kamu? Stamina mu sudah mulai menurun sepertinya. Kamu harus menjaga pola makan dan olahraga mu James. Itu berbahaya untuk kelo
Allen menyibukkan diri dengan memeriksa laporan tentang perusahaan Royal Europa Company yang telah diambil alihnya dari tangan sang kakek Alfonso Anthonio, sambil sesekali melirik jam pada dinding. Allen harap malam segera merayap turun. Pria itu tampak sangat sibuk, memelotototi berkas-berkas dihadapannya. Dia masih dilanda kebingungan kiranya siapa yang akan dimintanya mengelola perusahaan itu sementara waktu, sampai dia bisa menyelesaikan semua urusannya dikota Verona dan pindah ke Milan. Allen masih memiliki misi balas dendam, pada seseorang yang telah membunuh kedua orang tuanya. Ingin mengutus James, namun sampai detik ini pria itu masih sangat membutuhkan james untuk mendampinginya mengatur jalannya bisnis Allen. Pria itu mengimpor baja mentah untuk digunakan membuat modifikasi mobil mewah anti peluru yang dijual secara ilegal dan tersembunyi untuk konglomerat tanpa harus menunggu waktu yang lama dan persyaratan yang sulit. Berbeda saat membeli secara legal, para konglom
Allen dan Sofia melangkah turun dari mobil sport mewah milik Allen, wanita itu berjalan perlahan berusaha mengingat-ingat letak makam orang tuanya. Sudah cukup lama Sofia tak datang kemari, pekerjaannya yang sibuk membuatnya tak punya banyak waktu luang. Sofia akhirnya menemukan sepasang makam, diatasnya tertera nama Gussel Fernando dan Anna Stevy Laura. Sofia berjongkok disamping makam itu diikuti oleh Allen. "Ini makam orang tuamu?" Tanya Allen penasaran. Sofia menganggukkan kepalanya. "Tunggu, nama ayahmu Gussel?" Tanya Allen kembali. Sekali lagi Sofia menganggukkan kepalanya. 'Gussel? Namanya seperti tak asing. Tapi dimana aku pernah mendengarnya yah?' Tanya Allen dalam hati. Allen termangu, berusaha mengingat tentang nama Gussel, namun ingatannya seolah tak dapat bekerja. Sofia menaburkan bunga-bunga aneka warna yang mereka beli ditoko bunga tak jauh dari makam. Netra coklatnya berkaca-kaca, membuat dada Allen serasa diremas sebuah tangan tak kasat mata. 'k
"istri anda--" "Istri saya kenapa, Nath?" Seru Allen tak sabar. "Baik-baik saja. Beruntung kandungannya juga dapat diselamatkan. Namun kondisi pasien saat ini masih sangat rentan." Ujar Natalya lembut. Wanita itu menatap Allen dengan sorot penuh kerinduan. Allen bukan tidak menyadari lirikan wanita itu, namun saat ini fokus Allen sedang pecah. Pria itu masih saja tegang. Menanti waktu dia bisa menemui sang istri. "Ehemmmp, jadi kapan saya bisa menemui istri saya?" Ujar Allen tak sabar. Melihat kekhawatiran Allen, wajah Natalya tampak kecewa. "Sekarang juga bisa, namun alangkah lebih baiknya saat pasien telah dipindahkan ke ruangan rawat. Kalau begitu saya permisi. Kalau ada apa-apa cari saya saja!" Ujar Natalya kemudian berlalu dari hadapan mereka semua. Allen berdiri mematung didepan pintu UGD. seolah menghitung menit dan detik yang berganti.
Mario bergegas mengangkat Sofia, mimik wajah pria itu panik tidak terkira. Sedangkan bodyguard bernama Max dengan cepat meringkus Alea yang masih berdiri dengan wajah melongo tak percaya. Tatapan wanita itu membelalak ngeri, melihat darah yang merembes dari sela paha Sofia. Alea sadar bahwa nasibnya kini telah ditentukan oleh Allen Anthonio. Mario berlari diikuti oleh Lucy yang menggendong El. Sedangkan Max kini telah menyeret Alea keluar dari pusat perbelanjaan. Semua orang yang menyaksikan mereka menjadi heboh. Namun tak ada yang menyangka bahwa wanita itu adalah istri pria paling kejam di kota mereka. Mario membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, hingga dia bahkan lupa bahwa ada El dan Lucy bersamanya. Lucy menopang kepala sang nona dan El disisi lainnya. "Lucy-- ini sakit sekali." Rintih Sofia lemah. Wajah wanita itu pucat pasi.
James mengetuk pintu ragu-ragu. Tadinya dia ingin menemui Allen lebih awal, namun melihat istri tuannya masuk dan tak kunjung keluar membuat James mengurungkan niatnya. Pria itu hanya bisa terus memantau dari jauh kapan kiranya Sofia keluar. Nyatanya, sejam telah berlalu namun tak ada tanda-tanda wanita itu meninggalkan ruangan suaminya. Sebagai pria yang telah merasakan indahnya pernikahan, tentu saja James mengerti apa yang terjadi didalam sana.James mengetuk pintu ruang kerja Allen. James berdiri didepan pintu, menunggu Allen membuka pintu, biasanya dia akan langsung masuk setelah mengetuk pintu, namun setelah dia melihat istri Tuannya masuk kesana. Itu artinya tempat itu telah menjadi ranah pribadi sekarang. Klekkk... "Masuk!" James mengangguk, mengikuti langkah pria itu, tampilannya tetap rapi seperti sedia kala. membuat James mengeryitkan keningnya bingung. '
Allen melepaskan pelukannya pada Sofia, pria itu menggulingkan tubuhnya hingga jatuh terlentang. Ditatapnya langit-langit kamar, seolah dia sedang merangkai kalimat diatas sana. Hening, tak ada satupun yang bersuara. Hanya helaian nafas keduanya yang bersahut-sahutan berat. Sofia memilih tidak peduli, wanita itu berusaha memejamkan matanya. Hingga dengkuran halus khas wanita hamil mulai terdengar dari bibirnya. Allen menoleh, menatap intens punggung sang istri. Punggung yang begitu dia sukai untuk bersandar dan memeluk Sofia dari belakang. Mendengar sang istri telah jatuh tertidur, pria itu kembali keluar dari kamar. Melangkah turun kelantai bawah dan berjalan ke arah taman belakang. Taman yang sama dimana dia mengacaukan ciuman pertama James dan lucy malam itu. Allen duduk dibangku taman, pria itu menghisap dalam cerutunya. Menguarkan asapnya bersama dengan kegelisahan yang ditanggungnya. Anda
Kediaman tuan Darren ~~~ Nyonya Rara memijat kepalanya yang terasa seperti ingin pecah, berita pernikahan Sofia membuat keluarga itu pusing tujuh keliling. Tuan Darren tak menyangka bahwa tuan Allen Anthonio pada akhirnya akan menikahi Sofia, keponakan perempuannya yang selama ini dia siksa. Ada rasa takut dan was-was yang kini menyelimuti hati pria tua serakah itu. Bagaimana tidak, dia menyerahkan surat-surat berharga kepemilikan properti miliknya pada Allen Anthonio. Dia fikir saat itu pria itu akan mengambil putrinya yang berharga untuk menjadi nyonya. Dia telah menawarkan Alea pada Allen Anthonio, dan sepertinya saat itu pria itu setuju-setuju saja. Lima tahun berlalu tanpa pernah pihak Allen Anthonio menemuinya. Dia fikir dia telah lolos begitu saja. Namun pernikahan Sofia dan Allen Anthonio sepertinya akan menjadi awal kehancuran mereka. "Daddy, bagaimana ini
"pasti sekarang James sedang melakukan malam pertama dengan Lucy." Gumam Allen menerawang. Pria itu duduk menyandar disamping Sofia. "Kenapa memikirkan rumah tangga orang lain?" Jawab Sofia kesal. "Tidak apa-apa, hanya iri saja. Sayang, kapan kita bisa melakukannya?" Rengek Allen seperti anak kecil. "Dokter bilang belum bisa kan?" "Iya," wajah pria itu tertekuk kesal, sudah beberapa malam dia menahan diri tidak menyentuh Sofia. Rasanya kepalanya sudah sangat sakit sekarang. "Besok kita kerumah sakit untuk periksa yah sayang." Ujar Sofia tenang. "Periksa? Wahhh itu ide yang sangat bagus. Aku tak sabar ingin melihat wajah anakku" jawab Allen begitu semangat. "Mana bisa? Belum kelihatan." Sergah Sofia makin kesal. Allen menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa sedih sekaligus menyesal. Lihatlah karena dirinya melewatkan momen ketika El masih didalam k
Lucy dan James akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Pria kaku itu tak menyangka, bahwa dia akhirnya menikah dengan wanita yang dinantinya selama lima tahun. Setelah pesta pernikahan, Lucy dan James kembali ke hotel yang telah dipersiapkan untuk menginap. Hotel yang sama yang dipilih Allen dan Sofia setelah mereka menikah. Keduanya tampak begitu canggung, belum pernah berinteraksi sedekat ini selain malam dimana Pria itu mencuri ciuman pertama Lucy ditaman. "Emhh-- James, bisa tolong bantu menarik resleting gaunku?" Lucy bertanya ragu-ragu. "Iya, berbalik biar aku membukanya." Pria itu berjalan kearah sang istri, berdiri dibelakangnya. James menarik resleting gaun pengantin Lucy, tangan pria itu bergetar. Tubuhnya terasa begitu panas dingin menatap punggung mulus istri yang baru saja di nikahinya. Tak jauh berb
"iya Smith, aku sedang hamil." Jawab. Sofia lirih. Wanita itu tersenyum sendu menatap Smith. Pria baik yang Sofia anggap malaikat. Sofia bukan tak tahu tentang perasaan pria itu meski kata-kata cinta tak pernah terucap dari bibirnya. Hanya saja, sejak awal Sofia memang sudah memberi jarak. Padahal, Sofia tanpa Smith tidak akan menjadi seperti sekarang. Allen memperhatikan raut kecewa pria yang duduk dihadapannya. Entah mengapa ada rasa iba yang menyusup kedalam hati pria itu. Namun dengan cepat pria itu menepisnya. Baginya siapapun yang ingin memiliki wanitanya adalah lawan yang berani mati. Lama, Smith maupun Sofia dan Allen terdiam. Hanya celoteh El yang sesekali terdengar. Ketiganya larut dalam fikiran masing-masing.
Selesai makan, Allen dan Sofia duduk di ruang keluarga. Wanita itu dilarang kemanapun oleh Allen, membuat Sofia semakin menahan kekesalannya pada sang suami. Allen terus saja ingin menempel pada Sofia, begitu pun dengan El. Sayangnya Sofia sangat tak suka dekat-dekat dengan Allen. Wanita itu akan langsung mual dan kesal saat Allen duduk disampingnya. Mau tak mau pria itu duduk dengan jarak dua kursi dari sang istri. "Nona--" Lucy berdiri dihadapan Sofia, membuat wanita itu mendongak. "Lucy--, ada apa? Ayo duduk!" "Tidak perlu nona." Ujar Lucy segan. Sofia mengulurkan tangannya, menarik Lucy duduk disampingnya. "Ada apa?" "Ak--aku ingin mengatakan sesuatu," "Sesuatu apa?" Tanya Sofia penasaran.