"Nona, izinkan saya mendandani anda sekarang. Kami tidak tahu bagaimana cara menjelaskan pada tuan Allen kalau anda menolak lagi sekarang." Cicit Lucy dihadapan Sofia.
Allen sekali lagi memerintahkannya mengurus wanita itu. Sofia menghela nafas gusar, menatap pelayan wanita itu iba. "Apa dia sekejam itu? Apa dia sudah pernah membunuh seseorang disini?" Tanya Sofia berbisik. Lucy sang pelayan tertegun, pertanyaan sederhana ini baginya bisa saja menjadi alasan nyawanya terancam. "Tidak nona, kalau nona menurut tuan akan sangat baik. Percaya pada saya." Rayu Lucy, berharap Sofia akan luluh untuk mereka urus. "Ya sudah ayo! Kita mulai dari mana?" Tanya Sofia seraya bangkit berjalan kearah meja rias disamping lemari. "Hmmm-- kita mulai dari membersihkan tubuh nona, mandi." Jawab Lucy sungkan. Sofia tampak berfikir, kemudian wanita muda itu menghela nafasnya kasar. "Ya sudah, ayo!" Jawab Sofia pasrah berjalan sendiri menuju kamar mandi. Lucy menganggukkan kepalanya semangat, dia tak menyangka akan semudah ini dia meluluhkan Sofia. Lucy membantu Sofia menggosok punggungnya, wanita itu sesekali bertanya dan Lucy dengan sabar menjawab pertanyaan Sofia. Setelahnya kedua wanita itu melangkah keluar dari kamar mandi, Lucy membantu Sofia mengeringkan rambutnya. "Nona pakai gaun ini!" Ujar Lucy sembari menyodorkan sebuah gaun mewah berwarna merah menyala. Gaun itu tampak lembut dan indah, Sofia yakin harga gaun itu tidak murah, terlihat dari cara wanita itu menyentuh gaun indah itu. Kemudian memakaikannya dengan sangat hati-hati, lalu Sofia membiarkan Lucy memoles wajahnya dengan riasan tipis menambah kecantikannya yang alami. Sofia berdiri didepan cermin, memutar tubuhnya perlahan. Baik Lucy maupun Sofia sendiri menatap takjub pada pantulan dirinya dicermin. "Nona, anda sangat cantik, saya rasa dari seluruh wanita yang pernah dibawa tuan, anda yang paling cantik." Ujar Lucy takjub. "Seluruh? Maksudmu ada banyak?" Tanya Sofia penasaran. "Ehh-- emmh tidak nona. Maksud saya beberapa mantan. Iya hanya beberapa." Ralat pelayan wanita itu salah tingkah. Sofia tersenyum, "sudah tidak usah gugup. Aku tahu kok bahwa tuan Allen itu memang mata keranjang dan penggila wanita. Itulah mengapa aku juga ada disini?" Ujar Sofia sendu. Lucy jadi merasa tak enak sendiri. "Nona, jangan sedih! Nona bisa berdoa agar takdir baik segera menghampiri nona!" Ujar Lucy menyemangati Sofia. Sofia menganggukkan kepalanya, menatap punggung Lucy yang telah pamit meninggalkannya di kamar seorang diri. * * Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, Sofia telah duduk di kursi meja rias selama dua jam. Lucy membawakannya makan malam ringan yang disantap Sofia dengan lahap. Wanita itu menatap kembali pantulannya dicermin. "Apa yang aku lakukan? Apa keputusan ku ini sudah benar?" Tanya Sofia pada dirinya sendiri. Wanita itu kembali merasa ketakutan, perasaan tak siap menelusup kedalam hatinya. Besar harapan Sofia, setelah Allen Anthonio bosan padanya maka pria itu akan membebaskannya dengan sedikit uang yang dapat dia gunakan membuka usaha kue sendiri suatu hari nanti. "Biarlah aku pada akhirnya benar-benar menjadi wanita jalang. Dari pada hidup tak berguna lalu mati secara percuma." Gumam Sofia menguatkan hatinya. Suara derit pintu dibuka menarik kesadaran Sofia kembali dari lamunannya. Wanita itu menoleh mendapati Allen telah berdiri diambang pintu sana dengan jas berwarna biru navy yang membungkus tubuh tinggi berotot nan seksi milik pria itu, senada dengan celana bahan yang dikenakannya. Rambut coklat tuanya disisir rapi, menambah ketampanan sang mafia berdarah dingin dan mata keranjang. Pria itu menatap Sofia dalam, tertegun dan takjub. Manik mata birunya berkilat tajam, Allen kehilangan kata-katanya sesaat. Namun sedetik berikutnya pria itu mampu menguasai kesadarannya. Allen melangkah dengan angkuh memasuki kamar yang dihuni Sofia. Berdiri persis dihadapan wanita itu. Sedangkan Sofia kini telah menunduk dengan ketakutan, kedua tangannya bertautan saling meremas. "Hmm, kamu tampak gugup." Ujar Allen membuka obrolan diantara mereka. "Angkat kepalamu!" Perintah Allen dingin. Sofia mengangkat kepalanya, menatap mata sang mafia dengan tubuh bergetar. "Kamu ternyata cukup cantik, apa kamu sudah siap?" Tanya Allen tersenyum puas menatap wanita yang ada dihadapannya. Sofia menggelengkan kepalanya lemah. "Ti-- tidak. Sa-- saya tidak pernah siap untuk ini." Jawabnya bergetar. "Tidak masalah, aku tidak peduli kamu siap atau tidak. Kamu cukup tidak menghalangiku. Pun, aku belum tentu akan menggunakan mu lama. Setelah aku puas kamu boleh pergi." Ujar Allen kemudian mulai menyentuh rambut Sofia. Pria itu menarik helaian rambut Sofia dan menghidu aroma bunga yang menguar dari rambut wanita itu. Allen melangkah mengelilingi Sofia. Menatap penuh hasrat pada tubuh wanita muda yang berdiri ketakutan dihadapannya. "Cantik." Gumam Allen. Pria itu kemudian melangkah kesofa, duduk disana dengan mata yang tak pernah lepas dari tubuh Sofia. "Kemarilah!" Perintah pria itu. Sofia menguatkan hati, melangkah mendekat kearah Allen. "Duduk dipangkuan ku!" Sofia tertegun, menatap Allen lekat. "Apa tidak apa-apa?" Tanya Sofia takut. Namun hanya tatapan tajam yang diterimanya sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan wanita itu. Sofia kemudian duduk menyamping dipangkuan Allen, namun karena takut terjatuh wanita itu terpaksa menyilangkan kedua tangannya di leher Allen. "Ayo bangkitkan hasratku! Aku ingin melihat sehebat apa pelayanan mu!" Ujar pria itu angkuh. "Pe-- pelayanan seperti apa yang anda maksud tuan?" "Pelayanan yang memuaskan tentu saja. Jangan membuatku kehabisan kesabaran, aku tidak suka gaya bercinta yang romantis." "Ta-- tapi aku tidak berpengalaman." Ringis Sofia ketakutan. "Ckk, tidak perlu berpura-pura dihadapan ku. Aku sungguh muak mendengarnya." Allen mendorong tubuh Sofia hingga wanita itu terjungkal kelantai, pekikan wanita itu tak dihiraukan oleh Allen. "Akkhhh," pekik Sofia terkejut. Pria itu kemudian menarik lengan Sofia bangkit dan menghempaskan tubuh kurus wanita itu kekasur. Sofia terpental, kembali meringis kesakitan namun Allen hanya semakin mendekatinya dengan tatapan tajam seolah dia adalah singa kelaparan dan Sofia adalah daging segar yang siap disantapnya. Allen manarik kaki Sofia hingga wanita itu jatuh terlentang. Allen menatap lapar pada Sofia, mulai mengelus betis wanita itu. Tubuh Sofia bergetar hebat, antara geli dan ketakutan. Allen kemudian menarik sebelah kaki jenjang milik Sofia, menciuminya dengan lembut dari betis hingga pangkal paha mulus tanpa noda, milik Sofia. Lalu tangan pria itu menarik kain merah yang masih menutupi asetnya.Sofia yang kini hanya bisa terbaring pasrah dengan mata terpejam menahan geli, malu dan takut yang menjadi satu. Wanita itu terjengkit kaget. Allen menatap bingung pada Sofia, menurutnya wanita itu tampak sangat polos dengan sentuhan. Allen yang berharap digoda dan dilayani oleh Sofia nampaknya harus mengubur dalam-dalam impiannya. Pasalnya Sofia berbaring telentang tak bergeming. Pria itu kemudian membuka seluruh pakaiannya. "Bangun, dan berlutut dihadapan ku!" Perintah Allen kasar. Sofia membuka kelopak matanya, wanita itu begitu tertegun menyaksikan Allen berdiri dengan gagahnya tanpa sehelai benangpun. Perutnya yang berkotak-kotak tampak berkilat kokoh dan keras begitu pula dengan lengan dan bagian bawahnya. Sofia meneguk ludahnya kasar menyaksikan ukuran benda itu, begitu panjang dan besar, dengan urat-urat yang menonjol dibeberapa bagiannya. "Kenapa hmm? Apa kamu belum pernah melihat yang sebesar ini? Ayo sekarang berlutut dihadapan ku." Sofia bangkit dengan enggan, mengambil posisi berlutut dihadapan Allen, persis dihadapan benda keras bagian inti tubuh pria itu. "Buka mulutmu!" "Ta-- tapi tuan." "Buka cepat!" Bentak Allen keras seraya menjambak rambut Sofia, "Akhhh sialan. Ini mengenai gigimu. Dasar bodoh. Apa hal seperti ini saja kau bahkan tidak bisa. Dasar payah." Bentak Allen seraya semakin keras menjambak rambut Sofia membuat wanita itu semakin meringis kesakitan. "Tu-- tuan ampun. Saya benar-benar tidak tahu. Ampuni saya tuan." Rintih Sofia dengan air mata yang sudah menetes dipipinya "Berhenti menangis jalang bodoh. Atau aku akan memberikan mu pada para pengawal ku untuk mereka nikmati bersama-sama?" "Maaf tuan, jangan tolong jangan." Iba sofia. Allen mendesah kasar, mencoba mengatur nafasnya. Namun hasratnya sudah tak dapat dikendalikan 'kenapa ini, kenapa tidak mau masuk. Wanita ini sempit sekali.' Racau Allen dalam hati. Allen tak lagi menyia-nyiakan waktu, pria itu dengan mantap mendorong senjatanya setelah dirasa pas. Namun lagi-lagi melesat, membuat pria itu menggeram dan kebingungan. Pasalnya pria itu merasa ada yang robek dibawah sana. Hingga rasa hangat terasa mengalir keluar dari inti tubuh Sofia. Allen mematung sejenak, memberi jeda pada Sofia untuk mengatur perasaannya. Setelah melihat Sofia agak tenang, Allen mulai menggoyangkan tubuhnya. Memompa tubuhnya dengan lembut lalu perlahan lebih cepat. Pria yang biasanya perkasa itu saat bercinta dengan perempuan bayarannya, atau kekasih sementaranya merasa bingung. Pasalnya baru setengah jam menikmati sensasi remasan tubuh Sofia namun rasanya ada yang mulai melesak ingin meledak. Allen tak tahan lagi, memompa lebih cepat, tak peduli Sofia kesakitan atau tidak, Allen berkejaran dengan klimaksnya, hingga akhirnya Allen menumpahkan semuanya. Pria itu tegang, hingga akhirnya ambruk disamping Sofia.Setelah menghilangkan lelahnya, Allen terbangun, pria itu bangkit dari ranjang. Niatnya untuk membersihkan tubuhnya yang lengket dikamar mandi urung saat menatap Sofia yang tengah tertidur dengan kaki terkangkang tak berdaya. Pria itu menatap Sofia.Disana mengalir cairan putih kental bercampur dengan darah. "Darah? Darah apa ini, apa darah menstruasi, atau keguguran?" Tanya Allen bingung pada dirinya sendiri. Pria itu meraih ponselnya, menyalakan blits dan menyorot bagian tubuh Sofia. Allen menatap wanita itu dengan bimbang , disingkapnya selimut wanita itu, bekas darah mengering terlihat jelas. "Pe--perawan?" Gumam Allen terkejut. Pria itu segera menjauhkan tubuhnya dari Sofia, berdiri disamping ranjang menatap nanar pada Sofia. "Dasar gadis bodoh. Kenapa tak bilang kalau dirinya masih perawan. Sial... sial.." Allen menjambak rambutnya bingung, terus menatap tubuh polos tanpa sehelai benang yang sedang tertidur di ranjang. "Dasar bodoh. Pasti tadi itu sakit sekali."
"Tuan... Tuan besar Alfonso berada di kota Milan. Tadi pagi beliau mengirimkan email agar anda menghadiri pertemuan keluarga." Ujar James serius. "Pertemuan keluarga?" "Yah, benar tuan, ini untuk membahas siapa yang paling berhak memegang kendali atas perusahaan Royal Europa Company." Allen mendengus kesal, pria itu paling malas bila harus menghadiri pertemuan keluarga dari ayahnya. Pasalnya pria itu tidak begitu dekat dengan sang ayah dimasa lalu saat ayahnya masih hidup. Sang ayah, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Sayangnya saat sang ayah meninggal dunia, Allen enggan mengurus perusahaan sang ayah. Jadilah perusahaan itu diurus oleh sang kakek kembali, Alfonso. "Aku tidak tertarik mengurus dan memiliki perusahaan itu. Apa kau fikir usahaku tidak cukup membuatku kaya, James?" "Yah, itu tidak diragukan lagi tuan. Namun ada yang harus anda ketahui, bahwa Royal Europa Company bukan semata-mata perusahaan milik keluarga ayah anda. Disana saham nyonya Leana s
"aku ingin gadis terbaik, tercantik dan terseksi dalam sepuluh menit ditempat biasa!" Ujar James pada seorang mucikari kelas atas. "Baik tuan, saya pastikan tiba sebelum sepuluh menit." Jawab wanita diseberang. "Oke." Klik Sambungan telepon diputus oleh James, pria itu menyandarkan punggungnya dikursi. Meski percaya bahwa sang mucikari akan mengirimkan gadis terbaik, namun James juga mesti memeriksanya sendiri. Apalagi tuannya meminta hal tak masuk akal, harus yang cantiknya mirip Sofia. Yah, James akui Sofia memang sangat cantik. Apalagi malam itu saat James membawanya. Pria itu menggelengkan kepalanya tak habis fikir, bisa-bisanya otaknya malah terkontaminasi oleh tuan Allen. James bangkit, meninggalkan kamarnya dan berjalan memasuki lift. Pria itu akan turun menanti wanita yang akan menemani malam tuannya. * * "Anda tuan James?" Sapa seorang wanita pada James. Wanita itu cantik, dengan rambut hitam lurus hingga hampir mencapai bokongnya. Kulitnya putih namun
Allen bangun lebih awal, mendapati tubuhnya tertidur disofa dengan layar laptop masih memutar tayangan aktifitas Sofia. Allen melirik laptopnya. Namun Allen tidak punya banyak waktu hari ini. Pria itu harus bertemu dengan pengacara ibunya untuk membicarakan perihal saham atas nama sang ibu diperusahaan ayahnya. Selama ini pria itu bahkan tidak pernah mendapatkan kabar dan bagi hasil saham dari perusahaan itu, membuat Allen marah. Bukan tentang nominalnya, Allen sudah kaya raya meski tanpa uang dari perusahaan itu. Namun selama ini Allen masih terus mengirimkan sumbangan kesebuah panti sosial dimana ibunya menjadi donatur selama ini. Ternyata dibalik kekejaman sang mafia mesum masih tersimpan kebaikan yang tak seorang pun mengetahuinya. Allen fikir, andai dia tahu bahwa saham disana masih nama ibunya yang terbanyak, hasilnya bisa dia gunakan untuk terus berdonasi atas nama sang ibu. * * * * Malam harinya Allen benar-benar menghadiri undangan pertemuan yang dikirimkan san
"eunghhh," lenguh Sofia terbangun dari tidurnya. Wanita itu merasa terganggu dengan perasaan aneh pada puncak gunung kembarnya. Terasa dingin dan basah. Matanya terasa begitu berat, pasalnya dia baru tertidur jam sebelas malam, gadis itu menghabiskan waktunya di dapur bersama bibi Emma dan Lucy. Kedua pelayan itu mengajaknya membuat kue agar Sofia tidak bosan selama disini. Sofia adalah satu-satunya wanita yang menginap lebih dari dua malam dirumah itu. Jadi baik Lucy maupun bibi Emma berfikir bahwa Sofia ini berbeda dari wanita-wanita yang pernah dibawa dan berkunjung kerumah ini. "Eunghhh, ahhhhhhss." Lenguh Sofia sekali lagi, kali ini dibarengi dengan desahan lembut yang terdengar menggoda. Gadis itu meraba gunung kembarnya, namun yang dirasanya hanya sebuah benda keras berbulu lebat. 'bulu?' Tanya gadis itu dalam hati. Benda berbulu yang dirabanya memaksa mata Sofia terbuka. Disana sudah bersandar sebuah kepala dengan rambut kecoklatan membelakanginya. Tampak begi
"Lucy, temani aku ke mall!" Rengek Sofia pada pelayan muda favoritnya. "Tapi nona, saya takut ditegur bibi Emma bila melakukan pekerjaan diluar tugas saya." Keluh Lucy murung. "Biar saya minta izin pada bibi Emma." Ujar Sofia riang. Wanita itu kemudian segera mencari bibi Emma. Ternyata wanita paruh baya itu sedang berada dikolam ikan memberi makan ikan-ikan hias milik Allen. "Bibi Emma." Sapa Sofia duduk didekat wanita itu, sembari melemparkan makanan ikan ke kolam. "Ehh, nona Sofia. Jangan lakukan itu, tangan anda bisa bau!" Tegur bibi Emma panik. "Tidak apa-apa bibi. Oh ya, Sofia ingin meminta izin untuk membawa Lucy berbelanja. Tadi tuan Allen menyuruh ku belanja. Katanya aku lebih terlihat seperti gembel daripada pelayan." Ujar Sofia cemberut. Bibi Emma tertawa tertahan mendengar rajukan Sofia. "Iyya, tidak apa-apa. Pergilah belanja dan kesalon, itu akan bagus untukmu." Sofia menganggukkan kepalanya senang. Kemudian bangkit dan masuk kekamarnya untuk bersiap. W
"James, ada apa denganmu?" Tanya Allen mendapati James berbaring disofa dalam ruangan Allen. Pria itu sedang berada di markasnya. Sebuah bangunan berbentuk gedung kumuh di luarnya. Orang-orang tidak akan tahu bahwa itu adalah markas yang sering ditempati sang mafia dingin dan kejam seperti Allen. Orang-orang hanya akan menyangka bahwa didalam sana hanyalah gudang penyimpanan anggur yang telah dipetik dari perkebunan sang mafia. "Aku lelah sekali tuan." Keluh pria itu menutup matanya dengan lengan. "Habis apa kamu?" Tanya Allen bingung. 'habis apa? Apa dia lupa habis menyuruh ku apa?' gerutu James didalam hati dengan kesal James enggan menjawab pertanyaan sang tuan. "James aku bertanya. Jangan mengabaikan ku." Bentak Allen mulai kesal. "Hmm-- habis mengantar nona Sofia belanja tuan." Jawab James malas. "Hanya itu dan kamu sudah lelah? Apa-apaan kamu? Stamina mu sudah mulai menurun sepertinya. Kamu harus menjaga pola makan dan olahraga mu James. Itu berbahaya untuk kelo
Allen menyibukkan diri dengan memeriksa laporan tentang perusahaan Royal Europa Company yang telah diambil alihnya dari tangan sang kakek Alfonso Anthonio, sambil sesekali melirik jam pada dinding. Allen harap malam segera merayap turun. Pria itu tampak sangat sibuk, memelotototi berkas-berkas dihadapannya. Dia masih dilanda kebingungan kiranya siapa yang akan dimintanya mengelola perusahaan itu sementara waktu, sampai dia bisa menyelesaikan semua urusannya dikota Verona dan pindah ke Milan. Allen masih memiliki misi balas dendam, pada seseorang yang telah membunuh kedua orang tuanya. Ingin mengutus James, namun sampai detik ini pria itu masih sangat membutuhkan james untuk mendampinginya mengatur jalannya bisnis Allen. Pria itu mengimpor baja mentah untuk digunakan membuat modifikasi mobil mewah anti peluru yang dijual secara ilegal dan tersembunyi untuk konglomerat tanpa harus menunggu waktu yang lama dan persyaratan yang sulit. Berbeda saat membeli secara legal, para konglom
"istri anda--" "Istri saya kenapa, Nath?" Seru Allen tak sabar. "Baik-baik saja. Beruntung kandungannya juga dapat diselamatkan. Namun kondisi pasien saat ini masih sangat rentan." Ujar Natalya lembut. Wanita itu menatap Allen dengan sorot penuh kerinduan. Allen bukan tidak menyadari lirikan wanita itu, namun saat ini fokus Allen sedang pecah. Pria itu masih saja tegang. Menanti waktu dia bisa menemui sang istri. "Ehemmmp, jadi kapan saya bisa menemui istri saya?" Ujar Allen tak sabar. Melihat kekhawatiran Allen, wajah Natalya tampak kecewa. "Sekarang juga bisa, namun alangkah lebih baiknya saat pasien telah dipindahkan ke ruangan rawat. Kalau begitu saya permisi. Kalau ada apa-apa cari saya saja!" Ujar Natalya kemudian berlalu dari hadapan mereka semua. Allen berdiri mematung didepan pintu UGD. seolah menghitung menit dan detik yang berganti.
Mario bergegas mengangkat Sofia, mimik wajah pria itu panik tidak terkira. Sedangkan bodyguard bernama Max dengan cepat meringkus Alea yang masih berdiri dengan wajah melongo tak percaya. Tatapan wanita itu membelalak ngeri, melihat darah yang merembes dari sela paha Sofia. Alea sadar bahwa nasibnya kini telah ditentukan oleh Allen Anthonio. Mario berlari diikuti oleh Lucy yang menggendong El. Sedangkan Max kini telah menyeret Alea keluar dari pusat perbelanjaan. Semua orang yang menyaksikan mereka menjadi heboh. Namun tak ada yang menyangka bahwa wanita itu adalah istri pria paling kejam di kota mereka. Mario membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, hingga dia bahkan lupa bahwa ada El dan Lucy bersamanya. Lucy menopang kepala sang nona dan El disisi lainnya. "Lucy-- ini sakit sekali." Rintih Sofia lemah. Wajah wanita itu pucat pasi.
James mengetuk pintu ragu-ragu. Tadinya dia ingin menemui Allen lebih awal, namun melihat istri tuannya masuk dan tak kunjung keluar membuat James mengurungkan niatnya. Pria itu hanya bisa terus memantau dari jauh kapan kiranya Sofia keluar. Nyatanya, sejam telah berlalu namun tak ada tanda-tanda wanita itu meninggalkan ruangan suaminya. Sebagai pria yang telah merasakan indahnya pernikahan, tentu saja James mengerti apa yang terjadi didalam sana.James mengetuk pintu ruang kerja Allen. James berdiri didepan pintu, menunggu Allen membuka pintu, biasanya dia akan langsung masuk setelah mengetuk pintu, namun setelah dia melihat istri Tuannya masuk kesana. Itu artinya tempat itu telah menjadi ranah pribadi sekarang. Klekkk... "Masuk!" James mengangguk, mengikuti langkah pria itu, tampilannya tetap rapi seperti sedia kala. membuat James mengeryitkan keningnya bingung. '
Allen melepaskan pelukannya pada Sofia, pria itu menggulingkan tubuhnya hingga jatuh terlentang. Ditatapnya langit-langit kamar, seolah dia sedang merangkai kalimat diatas sana. Hening, tak ada satupun yang bersuara. Hanya helaian nafas keduanya yang bersahut-sahutan berat. Sofia memilih tidak peduli, wanita itu berusaha memejamkan matanya. Hingga dengkuran halus khas wanita hamil mulai terdengar dari bibirnya. Allen menoleh, menatap intens punggung sang istri. Punggung yang begitu dia sukai untuk bersandar dan memeluk Sofia dari belakang. Mendengar sang istri telah jatuh tertidur, pria itu kembali keluar dari kamar. Melangkah turun kelantai bawah dan berjalan ke arah taman belakang. Taman yang sama dimana dia mengacaukan ciuman pertama James dan lucy malam itu. Allen duduk dibangku taman, pria itu menghisap dalam cerutunya. Menguarkan asapnya bersama dengan kegelisahan yang ditanggungnya. Anda
Kediaman tuan Darren ~~~ Nyonya Rara memijat kepalanya yang terasa seperti ingin pecah, berita pernikahan Sofia membuat keluarga itu pusing tujuh keliling. Tuan Darren tak menyangka bahwa tuan Allen Anthonio pada akhirnya akan menikahi Sofia, keponakan perempuannya yang selama ini dia siksa. Ada rasa takut dan was-was yang kini menyelimuti hati pria tua serakah itu. Bagaimana tidak, dia menyerahkan surat-surat berharga kepemilikan properti miliknya pada Allen Anthonio. Dia fikir saat itu pria itu akan mengambil putrinya yang berharga untuk menjadi nyonya. Dia telah menawarkan Alea pada Allen Anthonio, dan sepertinya saat itu pria itu setuju-setuju saja. Lima tahun berlalu tanpa pernah pihak Allen Anthonio menemuinya. Dia fikir dia telah lolos begitu saja. Namun pernikahan Sofia dan Allen Anthonio sepertinya akan menjadi awal kehancuran mereka. "Daddy, bagaimana ini
"pasti sekarang James sedang melakukan malam pertama dengan Lucy." Gumam Allen menerawang. Pria itu duduk menyandar disamping Sofia. "Kenapa memikirkan rumah tangga orang lain?" Jawab Sofia kesal. "Tidak apa-apa, hanya iri saja. Sayang, kapan kita bisa melakukannya?" Rengek Allen seperti anak kecil. "Dokter bilang belum bisa kan?" "Iya," wajah pria itu tertekuk kesal, sudah beberapa malam dia menahan diri tidak menyentuh Sofia. Rasanya kepalanya sudah sangat sakit sekarang. "Besok kita kerumah sakit untuk periksa yah sayang." Ujar Sofia tenang. "Periksa? Wahhh itu ide yang sangat bagus. Aku tak sabar ingin melihat wajah anakku" jawab Allen begitu semangat. "Mana bisa? Belum kelihatan." Sergah Sofia makin kesal. Allen menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa sedih sekaligus menyesal. Lihatlah karena dirinya melewatkan momen ketika El masih didalam k
Lucy dan James akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Pria kaku itu tak menyangka, bahwa dia akhirnya menikah dengan wanita yang dinantinya selama lima tahun. Setelah pesta pernikahan, Lucy dan James kembali ke hotel yang telah dipersiapkan untuk menginap. Hotel yang sama yang dipilih Allen dan Sofia setelah mereka menikah. Keduanya tampak begitu canggung, belum pernah berinteraksi sedekat ini selain malam dimana Pria itu mencuri ciuman pertama Lucy ditaman. "Emhh-- James, bisa tolong bantu menarik resleting gaunku?" Lucy bertanya ragu-ragu. "Iya, berbalik biar aku membukanya." Pria itu berjalan kearah sang istri, berdiri dibelakangnya. James menarik resleting gaun pengantin Lucy, tangan pria itu bergetar. Tubuhnya terasa begitu panas dingin menatap punggung mulus istri yang baru saja di nikahinya. Tak jauh berb
"iya Smith, aku sedang hamil." Jawab. Sofia lirih. Wanita itu tersenyum sendu menatap Smith. Pria baik yang Sofia anggap malaikat. Sofia bukan tak tahu tentang perasaan pria itu meski kata-kata cinta tak pernah terucap dari bibirnya. Hanya saja, sejak awal Sofia memang sudah memberi jarak. Padahal, Sofia tanpa Smith tidak akan menjadi seperti sekarang. Allen memperhatikan raut kecewa pria yang duduk dihadapannya. Entah mengapa ada rasa iba yang menyusup kedalam hati pria itu. Namun dengan cepat pria itu menepisnya. Baginya siapapun yang ingin memiliki wanitanya adalah lawan yang berani mati. Lama, Smith maupun Sofia dan Allen terdiam. Hanya celoteh El yang sesekali terdengar. Ketiganya larut dalam fikiran masing-masing.
Selesai makan, Allen dan Sofia duduk di ruang keluarga. Wanita itu dilarang kemanapun oleh Allen, membuat Sofia semakin menahan kekesalannya pada sang suami. Allen terus saja ingin menempel pada Sofia, begitu pun dengan El. Sayangnya Sofia sangat tak suka dekat-dekat dengan Allen. Wanita itu akan langsung mual dan kesal saat Allen duduk disampingnya. Mau tak mau pria itu duduk dengan jarak dua kursi dari sang istri. "Nona--" Lucy berdiri dihadapan Sofia, membuat wanita itu mendongak. "Lucy--, ada apa? Ayo duduk!" "Tidak perlu nona." Ujar Lucy segan. Sofia mengulurkan tangannya, menarik Lucy duduk disampingnya. "Ada apa?" "Ak--aku ingin mengatakan sesuatu," "Sesuatu apa?" Tanya Sofia penasaran.