Sofia membuka kedua kelopak matanya, sesaat setelah mendengar dentuman keras dipintu kamar saat Allen meninggalkan kamar yang dihuni Sofia.
Wanita itu menolehkan kepalanya, memastikan bahwa pria itu benar-benar telah pergi. Sofia dengan cepat membenarkan kembali pakaiannya yang telah meninggalkan tempatnya akibat perbuatan Allen. Wanita itu meraih selimut, menyembunyikan tubuhnya. Sofia meringkuk dibawah selimut, jantungnya masih berdetak kencang, wanita itu masih shock setelah Allen menyentuhnya dengan brutal. Air mata Sofia terus saja mengalir, seolah bendungan jebol. Sakit hatinya bertambah berkali-kali lipat. Suara ketukan dipintu membuat Sofia semakin mengeratkan pelukan pada lututnya yang tengah meringkuk ketakutan. Wanita itu bahkan sampai bergetar dengan keringat dingin mengucur dari tubuhnya. Suara langkah terdengar mendekat, namun terdengar seperti langkah kaki seorang wanita dengan sepatu ber hak tinggi. "Nona, ini makan siang anda, sebaiknya anda makan segera agar nona tidak sakit!" Sapa suara wanita muda dengan lembut. Sofia membuka selimut yang membungkus kepalanya, melongok memastikan siapa yang masuk ke kamar. "Nona, apakah aku harus membantu nona makan?" Tanya gadis pelayan itu kembali dengan senyum lembut yang menghias bibirnya. "Ti-- tidak usah. Saya makan sendiri. Terima kasih Nona." Jawab Sofia kikuk. "Jangan panggil saya nona, Nona. Saya hanya seorang pelayan. Kalau nona butuh sesuatu bisa panggil saya. Nama saya Lucy!" Jawab gadis itu sopan "Iy-- iya, terima kasih Lucy." "Ayo nona makan dulu!" Bujuk Lucy menatap penuh iba pada gadis dihadapannya. Sepanjang Sofia berada disini, Lucy sudah melihat, mendengar, dan merasa iba pada Sofia. Dia paham dari cara wanita itu diseret, bahwa Sofia berada disini bukan dengan sukarela. 'sungguh gadis cantik yang malang.' Gumam Lucy dalam hati. "Kalau anda butuh sesuatu silahkan panggil saya nona. Saya akan tinggal sebentar yah!" Sofia menganggukkan kepalanya lemah, mengulas senyum terimakasih dibibirnya. Kemudian gadis itu mulai menyendokkan makanan kemulutnya perlahan-lahan. Sofia menatap makanan yang ada dihadapannya seksama, semuanya tampak lezat dan menggugah selera. Tidak munafik, Sofia begitu kelaparan. Baginya sangat jarang bisa menikmati makanan lezat seperti itu. Sejak kedua orang tuanya meninggal Sofia tidak lagi makan makanan lezat, karena gajinya tidak cukup untuk itu. Dia hanya bisa makan makanan seadanya sekedar menyambung nyawa. Sedangkan dirumahnya Sofia hampir tidak pernah kebagian makanan. Hidupnya memang semenyedihkan itu, jauh lebih menyedihkan dari dongeng Cinderella atau Upik abu sekalipun. Sofia terus menyuap makanannya dengan lahap, seolah mengisi tenaganya yang habis terkuras. Selesai makan, wanita itu mengistirahatkan tubuhnya bersandar pada dinding dibawah jendela tempat dimana kemarin dirinya tertidur. Sofia duduk bersandar, dengan pandangan kosong dan fikiran menerawang yang mengilas kembali kenangan demi kenangan sejak saat Sofia remaja menerima kabar kedua orang tuanya meninggal saat kecelakaan pesawat, dimana dirinya harus sibuk mengurus kepulangan jasad kedua orang tuanya bersama pelayan rumah tangganya yang setia kala itu. Lalu setelah enam puluh hari kedua orangtuanya dimakamkan, tiba-tiba paman Darren datang mengatakan bahwa dirinya adalah adik kandung sang padre. Sofia menggeram kesal, meraup wajahnya kasar, kenangan tentang paman dan keluarganya begitu menyakitkan hingga Sofia berharap dia lupa ingatan, agar tak lagi mengingat kenangan buruknya tinggal bersama keluarga pamannya. Semua miliknya dirampas Alea, kamar, gaun, perhiasan hingga perhatian semua karyawan ditoko juga direbutnya. "tidak, aku tidak akan mati sebelum membalas dendam pada mereka. Aku harus tetap hidup. Walau harga diri ini harus ku korbankan, aku pasti akan menemukan cara untuk bebas dari tempat ini." Tekad Sofia penuh dendam. Lelah duduk bersandar, Sofia bangkit dari duduknya menuju kamar mandi. Gadis muda itu ingin mendinginkan otak dan tubuhnya. * * * Allen kembali menatap layar monitor, entah mengapa dia begitu suka menatap Sofia dari layar CCTV. Wanita itu berbeda dari wanita kebanyakan yang biasa dikencaninya. Biasanya para wanita dengan sengaja melakukan gerakan-gerakan sensasional untuk menggodanya dari layar monitor, sedangkan Sofia seolah gadis itu tak sadar bahwa dikamarnya ada kamera CCTV. Wanita itu tetap beraktifitas normal, seperti makan dengan sangat lahap seolah disana tak ada yang melihatnya. Allen memijat pelipisnya gusar, saat layar monitor menampilkan tayangan dimana wanita muda itu keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang dililitkan ditubuhnya. Handuk yang kecil itu tampak tak muat menutupi bagian tubuhnya. Wanita itu tampak terduduk dikasur, mengenakan kembali pakaiannya satu persatu. Semua gerakan itu tak luput dari pandangan Allen. Tubuh pria itu kembali panas dingin. Namun dia tak ingin melakukan apapun. Sudah cukup pagi ini dia gagal. Dia tidak ingin mencoba dan gagal lagi hari ini. Allen seolah memberi jeda pada Sofia agar wanita itu menjadi jinak. Suara ketukan dipintu menyadarkan pria itu dari keterpakuannya menatap layar monitor CCTV. "Masuk!" Perintah Allen. James tampak berjalan masuk dengan kepala tertunduk. "Maaf tuan ada apa anda memanggil saya?" Tanya James. "Aku ingin tahu mengapa gadis yang diserahkan Darren seolah tak suka berada disini?" Tanya Allen penasaran. James mengangkat kepalanya bingung, pasalnya ini pertama kalinya pria itu ingin tahu tentang wanita yang menemaninya, sebelumnya dia tidak peduli pada wanita itu. Selesai pakai, beri mereka uang dan wanita itu akan dikembalikan keasalnya. "Aku tidak tahu tuan." "Kamu tidak tahu?" Tanya Allen menelisik curiga. "Iya tuan, aku tidak menanyakannya. Namun aku bersumpah bahwa wanita itu aku ambil dari rumah tuan Darren." "Hemmp, tapi dia bukan wanita yang ada difoto keluarga Darren." Tanya Allen bingung. James mengangkat kepalanya, menatap tuannya lebih bingung. James tidak tahu bahwa tuannya sudah lebih dulu mencari tahu tentang keluarga dan anak perempuan Darren. "Apa mereka melakukan kesalahan tuan? Saya siap memberi mereka pelajaran kalau mereka mengkhianati tuan." "Hmmm-- tidak perlu sekarang. Namun bisa saja nanti." Jawab Allen datar. "Ya sudah kamu keluar saja!" Ujar pria itu mengusir bawahannya. James mengangguk, melangkah meninggalkan Allen yang kembali menatap layar monitor CCTV. Menatap Sofia dari layar dengan pandangan penasaran. "Wanita aneh, mengapa dia bisa membuatku rela menanti waktu yang tepat untuk menikmati tubuhnya, padahal dia hanya wanita lemah." Gumam Allen tak mengerti. Pria itu terus saja menatap aktifitas Sofia dari layar. Pria itu bingung melihat Sofia berulang kali melongokkan kepalanya pada jendela kaca, mengulurkan tangannya, bergantian dengan kepalanya. Entah apa yang dilakukan wanita itu. Mungkin di berharap tubuhnya bisa muat jika harus kabur dari jendela tinggi itu. Allen tersenyum lucu membayangkan apa yang dilakukan oleh Sofia didalam kamar sana. Allen tertegun, tunggu. Apa yang baru saja dilakukannya? Dia tersenyum? Pria itu mengerutkan keningnya dalam, lalu menyentuh bibirnya sendiri dengan penuh kebingungan. "Apa ini? Apa aku baru saja tersenyum? Benarkah?" Tanya pria itu pada dirinya sendiri. Pria itu tak menyangka dia masih bisa tersenyum. Pasalnya selama ini dia benar-benar lupa cara tersenyum sejak kedua orang tuanya meninggal karena terbunuh."Nona, izinkan saya mendandani anda sekarang. Kami tidak tahu bagaimana cara menjelaskan pada tuan Allen kalau anda menolak lagi sekarang." Cicit Lucy dihadapan Sofia. Allen sekali lagi memerintahkannya mengurus wanita itu. Sofia menghela nafas gusar, menatap pelayan wanita itu iba. "Apa dia sekejam itu? Apa dia sudah pernah membunuh seseorang disini?" Tanya Sofia berbisik. Lucy sang pelayan tertegun, pertanyaan sederhana ini baginya bisa saja menjadi alasan nyawanya terancam. "Tidak nona, kalau nona menurut tuan akan sangat baik. Percaya pada saya." Rayu Lucy, berharap Sofia akan luluh untuk mereka urus. "Ya sudah ayo! Kita mulai dari mana?" Tanya Sofia seraya bangkit berjalan kearah meja rias disamping lemari. "Hmmm-- kita mulai dari membersihkan tubuh nona, mandi." Jawab Lucy sungkan. Sofia tampak berfikir, kemudian wanita muda itu menghela nafasnya kasar. "Ya sudah, ayo!" Jawab Sofia pasrah berjalan sendiri menuju kamar mandi. Lucy menganggukkan kepalanya semang
Setelah menghilangkan lelahnya, Allen terbangun, pria itu bangkit dari ranjang. Niatnya untuk membersihkan tubuhnya yang lengket dikamar mandi urung saat menatap Sofia yang tengah tertidur dengan kaki terkangkang tak berdaya. Pria itu menatap Sofia.Disana mengalir cairan putih kental bercampur dengan darah. "Darah? Darah apa ini, apa darah menstruasi, atau keguguran?" Tanya Allen bingung pada dirinya sendiri. Pria itu meraih ponselnya, menyalakan blits dan menyorot bagian tubuh Sofia. Allen menatap wanita itu dengan bimbang , disingkapnya selimut wanita itu, bekas darah mengering terlihat jelas. "Pe--perawan?" Gumam Allen terkejut. Pria itu segera menjauhkan tubuhnya dari Sofia, berdiri disamping ranjang menatap nanar pada Sofia. "Dasar gadis bodoh. Kenapa tak bilang kalau dirinya masih perawan. Sial... sial.." Allen menjambak rambutnya bingung, terus menatap tubuh polos tanpa sehelai benang yang sedang tertidur di ranjang. "Dasar bodoh. Pasti tadi itu sakit sekali."
"Tuan... Tuan besar Alfonso berada di kota Milan. Tadi pagi beliau mengirimkan email agar anda menghadiri pertemuan keluarga." Ujar James serius. "Pertemuan keluarga?" "Yah, benar tuan, ini untuk membahas siapa yang paling berhak memegang kendali atas perusahaan Royal Europa Company." Allen mendengus kesal, pria itu paling malas bila harus menghadiri pertemuan keluarga dari ayahnya. Pasalnya pria itu tidak begitu dekat dengan sang ayah dimasa lalu saat ayahnya masih hidup. Sang ayah, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Sayangnya saat sang ayah meninggal dunia, Allen enggan mengurus perusahaan sang ayah. Jadilah perusahaan itu diurus oleh sang kakek kembali, Alfonso. "Aku tidak tertarik mengurus dan memiliki perusahaan itu. Apa kau fikir usahaku tidak cukup membuatku kaya, James?" "Yah, itu tidak diragukan lagi tuan. Namun ada yang harus anda ketahui, bahwa Royal Europa Company bukan semata-mata perusahaan milik keluarga ayah anda. Disana saham nyonya Leana s
"aku ingin gadis terbaik, tercantik dan terseksi dalam sepuluh menit ditempat biasa!" Ujar James pada seorang mucikari kelas atas. "Baik tuan, saya pastikan tiba sebelum sepuluh menit." Jawab wanita diseberang. "Oke." Klik Sambungan telepon diputus oleh James, pria itu menyandarkan punggungnya dikursi. Meski percaya bahwa sang mucikari akan mengirimkan gadis terbaik, namun James juga mesti memeriksanya sendiri. Apalagi tuannya meminta hal tak masuk akal, harus yang cantiknya mirip Sofia. Yah, James akui Sofia memang sangat cantik. Apalagi malam itu saat James membawanya. Pria itu menggelengkan kepalanya tak habis fikir, bisa-bisanya otaknya malah terkontaminasi oleh tuan Allen. James bangkit, meninggalkan kamarnya dan berjalan memasuki lift. Pria itu akan turun menanti wanita yang akan menemani malam tuannya. * * "Anda tuan James?" Sapa seorang wanita pada James. Wanita itu cantik, dengan rambut hitam lurus hingga hampir mencapai bokongnya. Kulitnya putih namun
Allen bangun lebih awal, mendapati tubuhnya tertidur disofa dengan layar laptop masih memutar tayangan aktifitas Sofia. Allen melirik laptopnya. Namun Allen tidak punya banyak waktu hari ini. Pria itu harus bertemu dengan pengacara ibunya untuk membicarakan perihal saham atas nama sang ibu diperusahaan ayahnya. Selama ini pria itu bahkan tidak pernah mendapatkan kabar dan bagi hasil saham dari perusahaan itu, membuat Allen marah. Bukan tentang nominalnya, Allen sudah kaya raya meski tanpa uang dari perusahaan itu. Namun selama ini Allen masih terus mengirimkan sumbangan kesebuah panti sosial dimana ibunya menjadi donatur selama ini. Ternyata dibalik kekejaman sang mafia mesum masih tersimpan kebaikan yang tak seorang pun mengetahuinya. Allen fikir, andai dia tahu bahwa saham disana masih nama ibunya yang terbanyak, hasilnya bisa dia gunakan untuk terus berdonasi atas nama sang ibu. * * * * Malam harinya Allen benar-benar menghadiri undangan pertemuan yang dikirimkan san
"eunghhh," lenguh Sofia terbangun dari tidurnya. Wanita itu merasa terganggu dengan perasaan aneh pada puncak gunung kembarnya. Terasa dingin dan basah. Matanya terasa begitu berat, pasalnya dia baru tertidur jam sebelas malam, gadis itu menghabiskan waktunya di dapur bersama bibi Emma dan Lucy. Kedua pelayan itu mengajaknya membuat kue agar Sofia tidak bosan selama disini. Sofia adalah satu-satunya wanita yang menginap lebih dari dua malam dirumah itu. Jadi baik Lucy maupun bibi Emma berfikir bahwa Sofia ini berbeda dari wanita-wanita yang pernah dibawa dan berkunjung kerumah ini. "Eunghhh, ahhhhhhss." Lenguh Sofia sekali lagi, kali ini dibarengi dengan desahan lembut yang terdengar menggoda. Gadis itu meraba gunung kembarnya, namun yang dirasanya hanya sebuah benda keras berbulu lebat. 'bulu?' Tanya gadis itu dalam hati. Benda berbulu yang dirabanya memaksa mata Sofia terbuka. Disana sudah bersandar sebuah kepala dengan rambut kecoklatan membelakanginya. Tampak begi
"Lucy, temani aku ke mall!" Rengek Sofia pada pelayan muda favoritnya. "Tapi nona, saya takut ditegur bibi Emma bila melakukan pekerjaan diluar tugas saya." Keluh Lucy murung. "Biar saya minta izin pada bibi Emma." Ujar Sofia riang. Wanita itu kemudian segera mencari bibi Emma. Ternyata wanita paruh baya itu sedang berada dikolam ikan memberi makan ikan-ikan hias milik Allen. "Bibi Emma." Sapa Sofia duduk didekat wanita itu, sembari melemparkan makanan ikan ke kolam. "Ehh, nona Sofia. Jangan lakukan itu, tangan anda bisa bau!" Tegur bibi Emma panik. "Tidak apa-apa bibi. Oh ya, Sofia ingin meminta izin untuk membawa Lucy berbelanja. Tadi tuan Allen menyuruh ku belanja. Katanya aku lebih terlihat seperti gembel daripada pelayan." Ujar Sofia cemberut. Bibi Emma tertawa tertahan mendengar rajukan Sofia. "Iyya, tidak apa-apa. Pergilah belanja dan kesalon, itu akan bagus untukmu." Sofia menganggukkan kepalanya senang. Kemudian bangkit dan masuk kekamarnya untuk bersiap. W
"James, ada apa denganmu?" Tanya Allen mendapati James berbaring disofa dalam ruangan Allen. Pria itu sedang berada di markasnya. Sebuah bangunan berbentuk gedung kumuh di luarnya. Orang-orang tidak akan tahu bahwa itu adalah markas yang sering ditempati sang mafia dingin dan kejam seperti Allen. Orang-orang hanya akan menyangka bahwa didalam sana hanyalah gudang penyimpanan anggur yang telah dipetik dari perkebunan sang mafia. "Aku lelah sekali tuan." Keluh pria itu menutup matanya dengan lengan. "Habis apa kamu?" Tanya Allen bingung. 'habis apa? Apa dia lupa habis menyuruh ku apa?' gerutu James didalam hati dengan kesal James enggan menjawab pertanyaan sang tuan. "James aku bertanya. Jangan mengabaikan ku." Bentak Allen mulai kesal. "Hmm-- habis mengantar nona Sofia belanja tuan." Jawab James malas. "Hanya itu dan kamu sudah lelah? Apa-apaan kamu? Stamina mu sudah mulai menurun sepertinya. Kamu harus menjaga pola makan dan olahraga mu James. Itu berbahaya untuk kelo
"istri anda--" "Istri saya kenapa, Nath?" Seru Allen tak sabar. "Baik-baik saja. Beruntung kandungannya juga dapat diselamatkan. Namun kondisi pasien saat ini masih sangat rentan." Ujar Natalya lembut. Wanita itu menatap Allen dengan sorot penuh kerinduan. Allen bukan tidak menyadari lirikan wanita itu, namun saat ini fokus Allen sedang pecah. Pria itu masih saja tegang. Menanti waktu dia bisa menemui sang istri. "Ehemmmp, jadi kapan saya bisa menemui istri saya?" Ujar Allen tak sabar. Melihat kekhawatiran Allen, wajah Natalya tampak kecewa. "Sekarang juga bisa, namun alangkah lebih baiknya saat pasien telah dipindahkan ke ruangan rawat. Kalau begitu saya permisi. Kalau ada apa-apa cari saya saja!" Ujar Natalya kemudian berlalu dari hadapan mereka semua. Allen berdiri mematung didepan pintu UGD. seolah menghitung menit dan detik yang berganti.
Mario bergegas mengangkat Sofia, mimik wajah pria itu panik tidak terkira. Sedangkan bodyguard bernama Max dengan cepat meringkus Alea yang masih berdiri dengan wajah melongo tak percaya. Tatapan wanita itu membelalak ngeri, melihat darah yang merembes dari sela paha Sofia. Alea sadar bahwa nasibnya kini telah ditentukan oleh Allen Anthonio. Mario berlari diikuti oleh Lucy yang menggendong El. Sedangkan Max kini telah menyeret Alea keluar dari pusat perbelanjaan. Semua orang yang menyaksikan mereka menjadi heboh. Namun tak ada yang menyangka bahwa wanita itu adalah istri pria paling kejam di kota mereka. Mario membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, hingga dia bahkan lupa bahwa ada El dan Lucy bersamanya. Lucy menopang kepala sang nona dan El disisi lainnya. "Lucy-- ini sakit sekali." Rintih Sofia lemah. Wajah wanita itu pucat pasi.
James mengetuk pintu ragu-ragu. Tadinya dia ingin menemui Allen lebih awal, namun melihat istri tuannya masuk dan tak kunjung keluar membuat James mengurungkan niatnya. Pria itu hanya bisa terus memantau dari jauh kapan kiranya Sofia keluar. Nyatanya, sejam telah berlalu namun tak ada tanda-tanda wanita itu meninggalkan ruangan suaminya. Sebagai pria yang telah merasakan indahnya pernikahan, tentu saja James mengerti apa yang terjadi didalam sana.James mengetuk pintu ruang kerja Allen. James berdiri didepan pintu, menunggu Allen membuka pintu, biasanya dia akan langsung masuk setelah mengetuk pintu, namun setelah dia melihat istri Tuannya masuk kesana. Itu artinya tempat itu telah menjadi ranah pribadi sekarang. Klekkk... "Masuk!" James mengangguk, mengikuti langkah pria itu, tampilannya tetap rapi seperti sedia kala. membuat James mengeryitkan keningnya bingung. '
Allen melepaskan pelukannya pada Sofia, pria itu menggulingkan tubuhnya hingga jatuh terlentang. Ditatapnya langit-langit kamar, seolah dia sedang merangkai kalimat diatas sana. Hening, tak ada satupun yang bersuara. Hanya helaian nafas keduanya yang bersahut-sahutan berat. Sofia memilih tidak peduli, wanita itu berusaha memejamkan matanya. Hingga dengkuran halus khas wanita hamil mulai terdengar dari bibirnya. Allen menoleh, menatap intens punggung sang istri. Punggung yang begitu dia sukai untuk bersandar dan memeluk Sofia dari belakang. Mendengar sang istri telah jatuh tertidur, pria itu kembali keluar dari kamar. Melangkah turun kelantai bawah dan berjalan ke arah taman belakang. Taman yang sama dimana dia mengacaukan ciuman pertama James dan lucy malam itu. Allen duduk dibangku taman, pria itu menghisap dalam cerutunya. Menguarkan asapnya bersama dengan kegelisahan yang ditanggungnya. Anda
Kediaman tuan Darren ~~~ Nyonya Rara memijat kepalanya yang terasa seperti ingin pecah, berita pernikahan Sofia membuat keluarga itu pusing tujuh keliling. Tuan Darren tak menyangka bahwa tuan Allen Anthonio pada akhirnya akan menikahi Sofia, keponakan perempuannya yang selama ini dia siksa. Ada rasa takut dan was-was yang kini menyelimuti hati pria tua serakah itu. Bagaimana tidak, dia menyerahkan surat-surat berharga kepemilikan properti miliknya pada Allen Anthonio. Dia fikir saat itu pria itu akan mengambil putrinya yang berharga untuk menjadi nyonya. Dia telah menawarkan Alea pada Allen Anthonio, dan sepertinya saat itu pria itu setuju-setuju saja. Lima tahun berlalu tanpa pernah pihak Allen Anthonio menemuinya. Dia fikir dia telah lolos begitu saja. Namun pernikahan Sofia dan Allen Anthonio sepertinya akan menjadi awal kehancuran mereka. "Daddy, bagaimana ini
"pasti sekarang James sedang melakukan malam pertama dengan Lucy." Gumam Allen menerawang. Pria itu duduk menyandar disamping Sofia. "Kenapa memikirkan rumah tangga orang lain?" Jawab Sofia kesal. "Tidak apa-apa, hanya iri saja. Sayang, kapan kita bisa melakukannya?" Rengek Allen seperti anak kecil. "Dokter bilang belum bisa kan?" "Iya," wajah pria itu tertekuk kesal, sudah beberapa malam dia menahan diri tidak menyentuh Sofia. Rasanya kepalanya sudah sangat sakit sekarang. "Besok kita kerumah sakit untuk periksa yah sayang." Ujar Sofia tenang. "Periksa? Wahhh itu ide yang sangat bagus. Aku tak sabar ingin melihat wajah anakku" jawab Allen begitu semangat. "Mana bisa? Belum kelihatan." Sergah Sofia makin kesal. Allen menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa sedih sekaligus menyesal. Lihatlah karena dirinya melewatkan momen ketika El masih didalam k
Lucy dan James akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Pria kaku itu tak menyangka, bahwa dia akhirnya menikah dengan wanita yang dinantinya selama lima tahun. Setelah pesta pernikahan, Lucy dan James kembali ke hotel yang telah dipersiapkan untuk menginap. Hotel yang sama yang dipilih Allen dan Sofia setelah mereka menikah. Keduanya tampak begitu canggung, belum pernah berinteraksi sedekat ini selain malam dimana Pria itu mencuri ciuman pertama Lucy ditaman. "Emhh-- James, bisa tolong bantu menarik resleting gaunku?" Lucy bertanya ragu-ragu. "Iya, berbalik biar aku membukanya." Pria itu berjalan kearah sang istri, berdiri dibelakangnya. James menarik resleting gaun pengantin Lucy, tangan pria itu bergetar. Tubuhnya terasa begitu panas dingin menatap punggung mulus istri yang baru saja di nikahinya. Tak jauh berb
"iya Smith, aku sedang hamil." Jawab. Sofia lirih. Wanita itu tersenyum sendu menatap Smith. Pria baik yang Sofia anggap malaikat. Sofia bukan tak tahu tentang perasaan pria itu meski kata-kata cinta tak pernah terucap dari bibirnya. Hanya saja, sejak awal Sofia memang sudah memberi jarak. Padahal, Sofia tanpa Smith tidak akan menjadi seperti sekarang. Allen memperhatikan raut kecewa pria yang duduk dihadapannya. Entah mengapa ada rasa iba yang menyusup kedalam hati pria itu. Namun dengan cepat pria itu menepisnya. Baginya siapapun yang ingin memiliki wanitanya adalah lawan yang berani mati. Lama, Smith maupun Sofia dan Allen terdiam. Hanya celoteh El yang sesekali terdengar. Ketiganya larut dalam fikiran masing-masing.
Selesai makan, Allen dan Sofia duduk di ruang keluarga. Wanita itu dilarang kemanapun oleh Allen, membuat Sofia semakin menahan kekesalannya pada sang suami. Allen terus saja ingin menempel pada Sofia, begitu pun dengan El. Sayangnya Sofia sangat tak suka dekat-dekat dengan Allen. Wanita itu akan langsung mual dan kesal saat Allen duduk disampingnya. Mau tak mau pria itu duduk dengan jarak dua kursi dari sang istri. "Nona--" Lucy berdiri dihadapan Sofia, membuat wanita itu mendongak. "Lucy--, ada apa? Ayo duduk!" "Tidak perlu nona." Ujar Lucy segan. Sofia mengulurkan tangannya, menarik Lucy duduk disampingnya. "Ada apa?" "Ak--aku ingin mengatakan sesuatu," "Sesuatu apa?" Tanya Sofia penasaran.