Nina menghela napas pasrah. Ia kembali menyetrika dengan tangan sang majikan yang masih melingkar di perutnya.
Bryan menggerakkan tangannya secara bebas, meraba-raba tiap inci tubuh indah sang gadis. Bryan menenggelamkan wajahnya di leher Nina dan menikmatinya dengan mata yang terpejam saking bergeloranya.
Nina semakin tak bisa bebas mengerjakan tugasnya. Geraknya semakin terbatas karena ulah Bryan. Nina yang risih itu pun melakukan pekerjaannya dengan terburu-buru agar semuanya cepat berakhir. Dan tanpa sengaja, setrikaan yang sangat panas itu menyentuh kulit Nina.
“Aww!” ringis Nina yang langsung menarik tangannya menjauh dari sana. Setrika panas yang ia pegang itu pun diletakkan tidak pada tempatnya.
Sontak pekikan Nina membuat Bryan kembali membuka mata dan melihat apa yang terjadi.
“Nina, kamu kenapa?” tanya Bryan khawatir. Pria itu segera melepaskan pelukannya dan mendapati tangan Nina yang sudah terkena luka bakar. Ti
Bryan mengelus lembut tangan Nina kemudian mengecupnya. Mata pria itu masih terus menatap bola mata Nina yang indah.“Aku mencintaimu, Nina,” gumam Bryan.Mata Nina semakin membulat dan bersinar mendengar kata-kata dari Bryan yang entah benar atau tidak.“Jadi kamu juga harus cinta dengan dirimu sendiri. Beristirahatlah, ya? Jangan paksakan untuk bekerja. Nanti tanganmu makin sakit,” sambung Bryan lagi seraya mengusap pipi Nina yang sudah merah padam.Setelah berkata, Bryan membereskan dan menyimpan kembali bahan dan alat masak pada tempatnya.“T-Tuan, sa-saya bisa kok lanjutin pekerjaan ini,” ujar Nina tergagap karena salah tingkah.“Ah, jangan dilanjutin. Gapapa kok. Aku makan di luar aja. Kamu ke kamar aja sana. Istirahat!”Bryan fokus memperhatikan Nina dengan tangan yang melipat di dada. Nina merasa kikuk karena terus-terusan ditatap oleh tuan mudanya itu. Nina pun menyerah dan memutuskan untuk pergi dari tempat itu.Setel
“Kamu masak buat siapa itu, Nduk?” tanya Bi Lastri yang melihat Nina sangat sibuk di dapur.“Oh, ini, Bi. Tuan Bryan minta dibawain nasi goreng ke kantor.”“Biar Bibi bantuin, ya? Tidak lama lagi jam makan siang loh,” ucap Bi Lastri seraya membantu meringankan pekerjaan Nina.Akhirnya masakan Nina sudah selesai. Nina lantas memasukkan masakannya itu ke dalam kotak bekal yang telah Bi Lastri siapkan. Tidak lupa juga sebotol air perasan lemon dan sekotak salad sebagai pelengkap.Nina pun melaju ke kantor Bryan diantarkan oleh sopir pribadi majikannya itu. Di perjalanan, Nina terjebak macet di tengah kota. Nina merasa was-was karena jam telah menunjukkan hampir waktunya makan siang.“Aduh, kira-kira ini kita nyampenya masih lama gak ya, Pak?” tanya Nina kepada sang sopir.“Kayaknya sih iya, Neng. Soalnya macet banget ini. Kira-kira 30 menitan lagi lah, Neng.”Nina kembali melirik layar ponselnya. ‘Aduhh… 10 menit lagi udah masuk jam maka
Lagi dan lagi, ini kedua kalinya Bryan merasa dikecewakan.“Eh, Melissa. Kirain tadi siapa.”Bryan melihat Melissa masuk ke ruangannya tanpa membawa berkas apa-apa.“Ada keperluan apa kemari, Mel?”Bukannya menjawab, Melissa justru balik bertanya.“Loh, Pak Bryan belum makan siang?” tanya Melissa setelah melihat sepiring makanan di atas meja yang belum tersentuh sama sekali.“Aku lagi gak nafsu makan, Mel,” jawab Bryan sendu.Melissa berjalan mendekati Bryan dengan lenggak-lenggoknya. Ia berdiri di samping Bryan yang sedang duduk. Gadis itu kemudian dengan sikap genitnya meraba-raba lengan Bryan.“Bapak Bryan yang ganteng… ada apa denganmu, Bapak sayang? Saya perhatikan dari kemarin Pak Bryan wajahnya kayak galau gitu, Pak. Kalau Bapak ada masalah, bisa ceritakan ke saya kok,” ucap Melissa manja sembari memijat-mijat tengkuk bos mudanya itu.“Aku ga
“Nina?” gumam Bryan terkejut.Nina mematung sesaat, kemudian berlari pergi.“Udah, Mel. Pergi kamu!” perintah Bryan panik. Pria itu menyudahi kegiatan panasnya. Melissa yang sedang asik mengulum benda kokoh milik Bryan itu pun berdecak sebal.“Tapi, Pak? Kita bahkan belum sampai ke inti permainan!”Bryan sudah selesai membenarkan celananya yang tadi terbuka, pria itu langsung keluar dari ruangan dan menyusul langkah Nina tanpa menghiraukan Melissa yang sedang berbicara.“Pak Bryan? Pak?!! Bapak!!!” teriak Melissa. Namun bosnya itu sudah lenyap di balik pintu.“Ah, sialan!!!! Siapa sih perempuan itu? Lagi-lagi rencanaku untuk bermain dengan Bryan gagal! Selalu seperti ini! Shit!!” dengkus Melissa, memaki-maki situasi yang menimpa dirinya sekarang.Di sisi lain, Nina langsung menjauh dari ruangan itu, meninggalkan Bryan dan Melissa tanpa berbicara sepatah kata pun. Nina berjala
“Tuan Bryan?”Bryan menoleh. “Nina… soal tadi… itu… aku benar-benar gak ada hubung—”“Gak apa-apa, Tuan. Tuan Bryan gak perlu menjelaskannya lagi. Saya tidak berhak mendapatkan penjelasan dari Tuan. Lagi pula, saya hanya seorang pembantu. Dan Tuan adalah majikan saya. Kita gak ada hubungan apa-apa selain antara seorang majikan dan pesuruhnya. Jadi saya tidak punya hak melarang Tuan untuk berhubungan dengan siapa pun,” tegas Nina dengan sebuah senyum palsu di bibirnya.“Kok kamu ngomongnya gitu sih, Nina?”“Saya hanya menyampaikan fakta saja, Tuan.”“Aku gak suka kalau kamu ngomong kayak gitu, Nina. Di mataku kamu bukan hanya sebatas pesuruh. Tapi lebih. Aku sudah menganggapmu sebagai—”“Sebagai apa Tuan? Sebagai pemuas nafsu? Saya sudah bilang sebelumnya, saya tidak sudi lagi, Tuan. Tuan Bryan hanya saya anggap sebagai seorang majik
Satu kalimat dari Nina sukses membuat Bryan membulatkan mata.“Apa? Kau bilang apa?!” tanya Bryan tak percaya.“Saya ingin berhenti! Saya tidak mau lagi melihat wajah Tuan Bryan!” tegas Nina. Ia memberanikan diri untuk menatap wajah Bryan yang sudah semakin sangar.“Apa?! Berhenti?”“I-iya.”“Kau tidak boleh berhenti!!” Bryan menarik kuat lengan Nina dan membawanya hingga mentok ke dinding. Bryan mengunci tubuh Nina agar gadis itu tidak bisa kabur. Bryan mengangkat jari telunjuknya dan menempelkannya pada hidung Nina. “Ingat, ya! Aku sudah membayarmu mahal! Kau tidak boleh berhenti seenak jidat! Kalau kau tidak bisa melayani hasratku, setidaknya kau harus melayani keperluanku yang lain!”Wajah mereka begitu dekat dengan tatapan yang saling bertemu. Tatapan penuh arti dari Bryan seolah-olah takut kehilangan sosok Nina. Sedangkan Nina dengan jantungnya yang berdetak kencan
Natalia menghampiri Melissa yang sangat sibuk di meja kerjanya sedang menyusun proposal. Natalia menyenggol pelan siku sahabatnya itu.“Eh, Mel. Gue mau nanya sesuatu sama lo!”“Apaaann??” sahut Melissa dengan nada yang kurang menyenangkan. Melissa masih kesal dengan kejadian yang tadi.“Gue mau nanya serius. Gue dari kemarin penasaran asli dah. Soal hubungan lo ama Pak Bryan. Kalian berdua udah jadian gak sih?”“Jangan kepo deh!”“Kok lo jadi marah-marah gini sih, Mel? Apa jangan-jangan Pak Bryan nolak lo, ya? Makanya lo ngambek. Iya, kan?” tebak Natalia.Melissa berhenti menatap layar komputernya dan beralih melihat sahabatnya itu dengan dongkolnya. “Udah deh, Nat. Jangan kepoin urusan orang! Udah sana kamu, balik kerja!” Melissa kemudian mendorong pelan kursi yang diduduki Natalia agar menjauh dari meja kerjanya.Belum selesai dengan Natalia, kedua staf yang tadi melihat Nina dan Bryan di toilet wanita itu pun menghampiri Melissa d
Bryan masih menggedor-gedor pintu kamar mandi itu dengan kuatnya, tetapi masih belum mendapatkan sahutan dari dalam.“Apa aku dobrak aja, ya?” gumamnya.Saat hendak bersiap mendobrak pintu, tiba-tiba pintu wc itu pun terbuka membuat Bryan terkejut.“Lah? Laras???” ucap Bryan tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Tuan Muda kenapa sih heboh banget gedor-gedor pintu toilet? Saya kan jadi takut keluar. Tak kirain tadinya maling. Eh rupanya Tuan Muda toh,” ucap Laras yang menatap aneh kepada Bryan.“Emang Tuan Muda ngapain sih malem-malem ke sini? Di kamar Tuan Muda juga kan ada toilet. Ngapain Tuan Muda ke toilet lantai bawah? Dan kenapa Tuan Muda dari tadi nyebut-nyebut nama Nina segala??” tanyanya lagi.Bryan tidak menjawab pertanyaan dari Laras. Dirinya langsung beranjak pergi dari sana tanpa meninggalkan sepatah kata.Laras yang melihat Bryan semakin menaruh rasa curiga terhada
Bryan akhirnya masuk ke ruangan itu didampingi oleh perawat. Di dalam sana, ia diwajibkan mengenakan baju khusus penjenguk pasien ruangan ICU. Ia lalu melihat ibunya hanya dari balik kaca tembus pandang yang membatasi mereka. Banyak sekali alat-alat canggih yang terpasang di tubuh Rosalina dan sampai sekarang ibunya itu belum juga sadarkan diri.“Apa saya gak bisa masuk ke dalam, Sus?” lirih Bryan dengan sorot mata mulai berkabut.“Saya sarankan tidak. Keadaan pasien sedang kritis, daya tahan tubuhnya pun sangat lemah. Yang diperkenankan masuk ke dalam hanya dokter dan perawat saja, itu pun harus benar-benar dalam keadaan steril.”Bryan mengangguk paham dan kembali memandangi ibunya dari kaca tembus pandang di depannya.Di depan pintu ICU, tersisa Fredrinn dan Nina duduk berduaan sembari menunggu Bryan keluar. Sebab tadi Fredriin menyuruh Bi Lastri agar pulang saja untuk menemani Sarah menjaga rumah.Entah sudah berapa lama
William mengelus dagunya sendiri dan menaruh curiga. “Atau jangan-jangan gadis itu memang orang susah? Dan Bryan adalah orang yang ngasih modal ke gadis itu untuk berpenampilan semewah mungkin di pesta Daddy?”William lalu bergeleng kepala. “Ckck. Bryan, Bryan! Pantasan saja Papamu marah dan membiarkanmu hidup susah begini. Rupanya karena kamu jatuh cinta sama gadis miskin! Bodoh sekali kamu Bryan! Rela menderita demi hidup bersama dengan gadis itu! Terkadang cinta memang bikin orang jadi goblok!”William pun pergi dan membiarkan Bryan berduaan dengan Nina di gedung tua itu.Ya, awalnya memang William sempat naksir kepada Nina. Karena kala itu, penampilan Nina sangat mewah dan berkelas. Wajah Nina yang anggun pun mampu menyihir mata William. Tapi setelah William melihat sosok asli Nina dengan penampilan sederhananya, William jadi ilfeel. Walaupun saat ini wajah Nina masih terlihat cantik mempesona, tapi tetap saja itu tidak berpengaruh be
Selanjutnya Nina hanya diam tak bersuara.Bryan langsung beranjak pergi bekerja, tanpa menghabiskan makanannya lebih dulu.Nina menatap Bryan yang sudah jauh dari pandangannya sembari menangis lirih. “Maafkan aku, Mas. Aku egois. Aku hanya gak mau kalau kamu lebih memilih ibumu dari pada aku.”*Siang hari, di lokasi proyek…Waktu makan siang telah tiba. Para pekerja pun diistirahatkan selama 30 menit.Salah satu dari mereka menghampiri Bryan dan berkata, “Ada yang nyariin kamu tuh!”“Siapa, Kang?”“Kurang tau. Perempuan. Sekarang lagi nungguin kamu di bangunan kosong di depan sana,” jawab si tukang bangunan sembari menunjuk gedung tua tidak terpakai di ujung sana.“Oh oke. Makasih ya.”Setelah itu, Bryan kemudian berjalan menuju bangunan tua yang ditunjuk oleh rekan kerjanya tadi. Bryan terkejut melihat Nina sedang berdiri menunggunya.&ldq
‘Aduh, apa ya? Sekali lagi kalau salah, hp ini bakalan terblokir.’ Bryan mulai menyerah, padahal ia sudah memasukkan tanggal mereka jadian, tanggal lahir Nina sampai tanggal lahirnya sendiri. Namun tetap salah.‘Aduh, sandinya apa sih? Masa tanggal lahir Sehun EXO? Gak mungkin deh.’ Bryan iseng-iseng mencobanya, dan benar saja ponsel itu langsung terbuka.Bryan menggerutu dalam hati. ‘Bisa-bisanya tanggal lahir Sehun dijadikan password hp! Ada-ada saja!’Bryan mulai mengecek pesan dan log panggilan di ponsel tersebut. Memang benar, sekiranya ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari minggu lalu dan banyak pesan masuk yang sudah dibaca.Semua pesan dan panggilan itu dari nomor Bi Lastri. Bryan yang penasaran mulai membaca satu per satu pesan dari Bi Lastri.[Nduk, ini Bi Lastri. Kamu masih menyimpan nomor Bibi, kan? Kenapa telpon Bibi gak kamu angkat, Nduk?][Kamu sibuk ya, Nduk?][Apa kabar kalian d
Bi Lastri hanya menghela napas setelah mendengar jawaban dari Bryan.“Terus sekarang gimana keadaan Mama? Mama baik-baik saja, kan?” tanya Bryan lagi.“Nyonya tidak baik-baik saja, Tuan.”Mendengar jawaban Bi Lastri sukses membuat Bryan semakin cemas. Ia pun segera melangkahkan kaki hendak masuk ke dalam sana. Tapi Bi Lastri mencegahnya dengan cepat.“Sebaiknya jangan masuk dulu, Tuan!”“Kenapa, Bi?”“Soalnya Papanya Tuan kayaknya marah besar kalau sampai melihat Tuan datang ke sini!”“Aku gak peduli, Bi! Aku cuman mau lihat Mama sekarang.”Bryan mengabaikan kalimat Bi Lastri. Ia segera membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan itu. Sedangkan Bi Lastri menghela napas pasrah.Rasanya ingin mengeluarkan air mata kala melihat sang ibunda kini terbaring tak berdaya di ranjang perawatan dengan selang oksigen yang membantunya bernapas. Fisik Rosalina semaki
Bryan menatap lekat manik mata gadisnya itu. “Kita harus nikah secepat mungkin, sayang. Kandungan kamu sudah enam minggu. Sampai kapan kita bisa menyembunyikan kehamilan ini dari tetangga? Mungkin sekarang, kita masih bisa tenang dan santai. Karena perut kamu masih kecil. Tapi lama-lama, perut kamu ini bakalan membesar. Orang-orang pasti curiga sama kita. Kita bakalan diusir dari sini dan dilaporin ke RT! Bisa-bisa kita masuk berita dan viral! Belum lagi kalau sampai ibu dan bapak kamu tau kalau kamu ini sedang hamil. Apa tanggapan mereka? Makanya aku harus ke rumah, sekali lagi aku ingin berjuang mendapatkan restu dari Papa. Supaya Papa mau ketemu dengan orang tua kamu di kampung untuk membicarakan pernikahan kita. Biarlah kita menikah secara sederhana tanpa pesta segala macam. Yang penting sah dan ada buktinya.”“Tapi kalau Papa kamu masih gak setuju gimana, Mas? Bapak aku juga gak bakalan merestui hubungan kita kalau Papa kamu sendiri belum merestui kita,” ucap Nina sendu.
Hari ini, Bryan memutuskan untuk tidak bekerja. Ia sudah menghubungi William melalui ponsel Nina, William pun memahami kondisi Bryan.Sekarang Nina dan Bryan sedang menunggu obat dari dokter setelah mereka mengontrol kehamilan Nina yang sudah berusia enam minggu.Setelah menerima obat tersebut, mereka memutuskan untuk pulang menaiki motor matic bekas yang baru pagi ini mereka beli.“Mas, singgah dulu ya. Aku kepengen makan rujak, Mas,” ucap Nina sembari menunjuk penjual rujak di pinggir jalan.Bryan langsung menghentikan motornya di depan si penjual dan memesan rujak tersebut.Setibanya di rumah, Nina justru tidak menyentuh rujak itu sama sekali. Hal ini membuat Bryan bertanya-tanya.“Kok gak di makan rujaknya, sayang?”“Entahlah, Mas. Selera makanku hilang. Kamu aja yang makan rujaknya, Mas.”Dua puluh menit berlalu, Nina benar-benar tidak menyentuh rujak itu. Bryan pun memutuskan untuk menghabisinya daripada mubazir.“
“Aku… a-ku nangis karena terharu, Mas. Selama ini kamu sangat perhatian. Kamu rela bangun subuh, kerjain semua pekerjaan yang seharusnya aku lakukan. Kamu bahkan belajar masak demi aku. Sudah berapa hari ini aku gak nyentuh dapur, semuanya kamu yang siapin. Padahal kamu juga bekerja, dari pagi sampai sore. Pulang ke rumah, sempat-sempatin masak makan malam buat aku, terus kerja lagi sampai larut malam. Aku di sini gak enak sama kamu, Mas. Aku membebani kamu. Aku gak kerja apa-apa, sedangkan kamu mati-matian kerja. Aku merasa gak berguna, Mas.”Bryan memeluk Nina untuk menenangkannya. “Jangan ngomong begitu, sayang. Kamu gak beban kok. Kamu kan sedang hamil muda. Aku gak mau kamu kecapean. Selama aku masih sanggup dan sehat wal-afiat, aku ikhlas kok mengerjakan semuanya. Aku sama sekali gak keberatan. Kamu cukup sambut aku pulang saja dengan senyuman manis kamu, energi aku kembali terisi penuh kok.”“Sudah ya, sayang. Jangan mikirin
Hari demi hari, Bryan semakin iba melihat Nina yang rela bekerja dalam keadaan hamil muda. Apalagi di saat pulang bekerja, Bryan memperhatikan wajah Nina yang terlihat pucat karena kelelahan. Nina juga sering merasa pusing dan mual-mual di pagi hari.Semenjak pulang pergi ke tempat kerja menggunakan jasa ojek, Nina lebih duluan tiba daripada Bryan. Biasanya sebelum jam enam sore, Nina sudah sampai di kontrakan, sedangkan Bryan sesudah maghrib baru pulang. Maklum, lokasi proyek tempat Bryan bekerja sangat jauh dari tempat mereka tinggal.Sore ini, Nina langsung rebah di tempat tidurnya setelah pulang dari berjualan. Bahkan gadis itu belum mandi dan memasak buat Bryan untuk makan malam, Nina sudah tidak sanggup lagi bergerak, kepalanya serasa mau pecah.Baru lima menit rebahan, Nina segera bangkit hendak memasak.“Aku harus kuat. Kasihan Mas Bryan kalau pulang kerja nanti, tapi makanan belum siap.”Baru saja ia menyalakan kompor, hendak m