Di ruang makan.
"Daddy nggak jawab telepon Mommy lagi?" tanya Hanan, berulang kali Flora terus meneleponn suaminya itu. Tapi, tetap saja tak diangkat suaminya itu. Padahal kalau pulang telat, Abian selalu memberitahunya dulu."Belum." Flora menggeleng pelan."Mungkin memang banyak kerjaan di kantor, Mom. Jadi, Daddy nggak sempat ngecek ponsel," sahut Hanin, ikut menenangkan mommynya yang terlihat resah sekarang.Flora pun menghela napas pelan, "lya, mungkin aja," berupaya tidak berpikir negative sekarang. Perasaannya selalu tidak enak bila suaminya terlambat pulang begini."Coba telepon asistennya Abian aja, Flo." Roby menyarankan dan Flora tidak teringat akan hal itu sejak tadi.Wanita itu langsung saja menepuk dahinya pelan. Kembali mengambil ponselnya. "Lupa aku, tuh," terangnya. Menghiraukan sepiring nasi serta ayam goreng di depannya itu. Karena nafsu makannya mendadak hilang karena sang pujaan hati belum pulang."HTepat hari ini, si kembar kembali masuk sekolah setelah liburan semester ganjil. Keduanya sekarang sudah menjadi kakak kelas yang duduk di kelas netral yaitu kelas dua menengah atas. Tak terasa waktu begitu berlalu dengan cepat. Si kembar sudah menjadi anak remaja utuh, dengan paras yang sama-sama dapat memukau semua orang. Di mana Hanan yang semakin terlihat mencolok karena ketampanannya yang dia miliki, belum lagi dirinya menjabat sebagai wakil ketua osis di sekolah High School Dirgantara.Jangan lupakan si cantik Hanin. Sekarang gadis itu semakin populer di sekolah karena kecantikannya yang dapat membuat semua siswa berlutut di depan gadis itu. Belum lagi, Hanin sudah sering menjuarai perlombaan atlet ice skating ke berbagai negara, tak heran terkadang Hanin cuti sekolah hanya untuk mengikuti beberapa perlombaannya. Banyak piala Hanin yang terpajang rapi di lemari kamarnya, saking seringnya dia mengikuti perlombaan itu.Hanin merasa semakin terbang bebas meski t
Hanin siaga satu.Dia masih memantau dari jauh. Gadis asing itu mulai mengajak Hanan berbicara, mungkin meminta izin agar bisa duduk di kursi kosong sebelah Hanan. Hanin mendelik tidak suka, langsung menatap sekeliling yang ternyata semua kursi sudah terisi penuh.Hanin siaga dua. Gadis itu mulai berdiri dari duduknya dan menghampiri Hanan yang masih tidak merespon si gadis asing itu. Hanum yang ditinggalkan oleh Hanin hanya bisa mengernyit bingung, akhirnya ikut menyusul Hanin.Hanin siaga tiga. Anak gadis satu-satunya dari Abian dan Flora itu sudah mengajak gadis asing tadi berbincang."Hanan nggak akan kasih izin lo duduk di sini," ujarnya langsung, menunjukkan raut wajah tak senangnya. Gadis yang baru pertama kali Hanin lihat itu langsung kikuk sendiri."Oh, gitu, ya?" Dia terlihat meringis pelan. "Maaf, aku nggak tahu. Soalnya kursi lain udah penuh," lanjutnya.Hanan yang menyadari kehadiran Hanin menaikkan satu alisnya. Mul
Tawa Hanin kembali pecah melihat isi bekal Zahra yang benar-benar mirip seperti anak TK. Isi bekal Zahra berupa nasi merah yang berbentuk hati dan tak lupa juga ada mata, hidung dan mulut tersenyum yang terbuat dari rumput laut. Astaga, kenapa teman baru Hanin begitu lucu begini, sih? Hanin langsung teringat isi bekal ini yang pernah dia dapatkan saat sekolah dasar dulu."Papi lo lawak." Hanin mencoba meredakan tawanya lagi."Papi aku itu ganteng, lho. Selain sayang sama aku, Papi jadi bahan rebutan para pelayan di rumah kami." Zahra bercerita antusias tanpa Hanin minta. "Ya, tapi gitu. Papi terlanjur setia sama Mami, jadi nggak akan pernah tergoda sama siapapun," lanjutnya."Seganteng apa sih Papi, lo?" Hanin jadi penasaran, menumpukan kedua tangannya di atas meja dan menatap Zahra yang sudah mulai menyantap isi bekalnya."Ganteng pokoknya," jawab Zahra pelan. Matanya tak sengaja melirik ke arah Hanan yang sedang mengantri membeli es minuman. "Ga
Dia dan Zahra baru saja berkenalan hari ini. Dan, Hanin belum tahu dengan jelas bagaimana keluarga Zahra ini. Selagi Zahra baik padanya maka Hanin masih mau saja berteman dengan gadis super polos ini.Zahra di tempatnya kini tiba-tiba tersenyum misterius. " Kamu benar juga!" ujar cepat, kemudian buru-buru memegang lengan Hanin sehingga menghentikan aktivitas menulis mereka. Nin, izinin kembaran mu anterin aku pulang hari ini, ya? Biar Kak Catur lihat aku pulang sama cowok lain."Ini permintaan aneh menurut Hanin!Hanin langsung saja melototi Zahra yang langsung meringis pelan melihat raut wajha Hanin itu. "Nggak, ya!" ketusnya. "Kan, udah gue bilangin lo tadi. Hanan itu sudah punya Hanum. Lo jangan genit-genit sama dia!"Bibir mungil Zahra mengerucut lucu. "Aku nggak genit sama kembaranmu itu. Aku cuman butuh dia satu hari aja untuk nganterin aku pulang," balasnya, tidak mau kalah untuk perdebatannya ini dengan Hanin."Tetap nggak boleh!"
"A-aduh Kak, jewer ya pelan-pelan, dong!" pekik Hendra mencoba bernegosiasi dengan sang kakak yang kini menarik telinganya tanpa perasaan sama sekali."Diem lo!" sungut Hanin. Menarik adiknya masuk ke dalam mansion. Hanin mau ngadu sama Mommy kalau sibegadulan ini lagi dan lagi memanjat pohon jambu. Padahal Mommy sudah sering melarang, tapi tetap saja tidak di dengarkan adik tersayangnya ini."Mommyyyyy." Hanin berteriak. Mansion ini sudah mirip hutan saja karena Hanin sering berteriak tanpa sebab. Makanya semua pelayan dan pekerja lainnya, sudah tidak heran ketika mendengar Nona mereka berteriak tiba-tiba."Ih, Kak! Katanya tadi udah janji nggak bilang ke Mommy." Hendra menatap kakaknya sebal. Kalau tahu begini, Hendra tidak akan mau turun dari pohon tadi setelah mendengar ancaman kakaknya.Hanin melirik adiknya itu sinis. Semakin menguatkan jeweran telinga adiknya itu. Keduanya terus melangkah menuju ruang tengah, Hanin yakin Mommy mereka ada di
Di belakang Zahra ada tiga pelayan yang kini menatap nona mereka dengan cemas. Mereka takut kalau nona mereka menangis karena dibentak atau di usir maminya sendiri."Mami!" Zahra menghela napas pelan. "Mami mana, sih? Zahra mau makan malam ini, lho. Zahra udah laper," keluhnya. Berharap pintu di depannya ini segera terbuka.Dan, malam ini harapan Zahra terkabul. Pintu terbuka, tapi bukan sang mami yang dia dapatkan. Melainkan pelayan pribadi maminya yang kini menatapnya lelah."Nona, sebaiknya Anda kembali ke rumah Anda," ujar pelayan itu.Namun, sangat disayangkan sekali kalau Nona mereka ini begitu keras kepala sekali. "Nggak mau! Zahra nggak mau pulang sebelum makan malam bareng Mami dan Kakak Zahra," tolaknya terang-terangan."Nona, mohonlah untuk mengerti!""Emangnya Bibi siapa untuk Zahra mengertikan? Zahra mau masuk sekarang!" balas Zahra. Dia hendak menerobos masuk. Tapi, pelayan pribadi maminya itu dengan sigap menahan l
Sedangkan Abian menatap putrinya itu cukup lama. Kemudian menggeleng pelan. "Nggak! Kamu nggak Daddy kasih izin untuk naik motor sendiri. Kalau apa-apa sama Hanan aja," jelasnya. Bahu Hanin meluruh. "Ya, kok gitu, sih, Dad? Daddy nggak adil dong kalau gitu," protesnya. "Daddy nggak mau kamu kenapa-napa sayang. Mending sama Hanan aja naik motornya, kamu di bonceng sama dia." Abian menatap putrinya itu penuh penegasan. "Nggak seru, Dad." Hanin mengerucutkan bibirnya. "Lebih seru naik motor sendiri," sambungnya. "Nggak boleh, sayang." Hanin menunduk sedih. Dulu dia pikir jadi anak perempuan itu satu-satunya enak. Tapi, dia salah besar. Dia malah agak terkekang, apa-apa tidak boleh, dikit-dikit tidak boleh. Daddy menjaganya dengan kewaspadaan. Takut dia luka atau lecet sedikit saja. Belum lagi Hanin punya tiga pengawal yang selalu memantaunya saat mereka bersama-sama. Meski Hendra nakal begitu, Hendra selalu pose
Awalnya Hendra fokus bermain dengan Anya. Meski tidak menyukai main masak-masakan dan juga boneka. Hendra dengan setia menemani gadis kecil itu bermain, asal Anya senang dan Hendra tidak masalah sama sekali. Sayangnya siang itu Hendra tidak bisa terlalu fokus sepenuhnya pada permainan yang Anya mainkan. Wajah imut Anya selalu membuat Hendra susah konsentrasi. Rasanya Hendra ingin membawa Anya pulang terus mengurungnya ke dalam kamar, seperti yang sering dilakukan Daddy yaitu mengurung Mommy di kamar selama berjam-jam."Kak Hendra, ini minumannya." Anya memberikan sebuah cangkir mini pada Hendra. Cangkir mainan yang sebenarnya kosong, tapi Anya bilang isinya itu teh hangat dan Hendra harus minum. Hendra dengan senang hati menerima pemberian dari gadis kecil itu.Anya hanya beda tiga tahun dengannya, Anya suka sekali bermain masak-masakan seperti ini apalagi kalau dia sudah datang, pasti Anya senang sekali. Sebab, Anya merasa suka bermain dengan Hendra ketimbang adik
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.