"Tante Santiiiii."
Hendra berlari menghampiri tantenya itu dengan kedua tangannya terbuka lebar berharap di gendong oleh tante kesayangannya itu. Namun, belum sempat sang tante menggendongnya, dari belakang sana ada seorang pria menghadang Hendra dengan cepat."Eits, Tante Santi nggak bisa gendong kamu untuk sementara waktu," larang pria itu tegas.Sontak Hendra melangkah mundur secara perlahan, sejak dulu dia cukup takut dengan suami tantenya ini. Bibirnya sudah melengkung ke bawah dengan bola mata berkaca-kaca. Melihat keponakannya itu ketakutan, menjadikan Santi mendecak pelan."Maaas, kamu buat ponakan kesayanganku jadi takut nih," erangnya, menatap sebal suaminya yang berada di depannya. Tanpa aba-aba dia langsung menghampiri Hendra dan berjongkok di depan anak itu. Dia pun tersenyum tipis sembari mengusap puncak kepala Hendra. "Maafin suami tante, ya? Benar kata Paman, Tante lagi nggak bisa gendong kamu. Karena di sini," tunjuknya dengan menDi ruang makan."Daddy nggak jawab telepon Mommy lagi?" tanya Hanan, berulang kali Flora terus meneleponn suaminya itu. Tapi, tetap saja tak diangkat suaminya itu. Padahal kalau pulang telat, Abian selalu memberitahunya dulu."Belum." Flora menggeleng pelan."Mungkin memang banyak kerjaan di kantor, Mom. Jadi, Daddy nggak sempat ngecek ponsel," sahut Hanin, ikut menenangkan mommynya yang terlihat resah sekarang.Flora pun menghela napas pelan, "lya, mungkin aja," berupaya tidak berpikir negative sekarang. Perasaannya selalu tidak enak bila suaminya terlambat pulang begini."Coba telepon asistennya Abian aja, Flo." Roby menyarankan dan Flora tidak teringat akan hal itu sejak tadi.Wanita itu langsung saja menepuk dahinya pelan. Kembali mengambil ponselnya. "Lupa aku, tuh," terangnya. Menghiraukan sepiring nasi serta ayam goreng di depannya itu. Karena nafsu makannya mendadak hilang karena sang pujaan hati belum pulang."H
Tepat hari ini, si kembar kembali masuk sekolah setelah liburan semester ganjil. Keduanya sekarang sudah menjadi kakak kelas yang duduk di kelas netral yaitu kelas dua menengah atas. Tak terasa waktu begitu berlalu dengan cepat. Si kembar sudah menjadi anak remaja utuh, dengan paras yang sama-sama dapat memukau semua orang. Di mana Hanan yang semakin terlihat mencolok karena ketampanannya yang dia miliki, belum lagi dirinya menjabat sebagai wakil ketua osis di sekolah High School Dirgantara.Jangan lupakan si cantik Hanin. Sekarang gadis itu semakin populer di sekolah karena kecantikannya yang dapat membuat semua siswa berlutut di depan gadis itu. Belum lagi, Hanin sudah sering menjuarai perlombaan atlet ice skating ke berbagai negara, tak heran terkadang Hanin cuti sekolah hanya untuk mengikuti beberapa perlombaannya. Banyak piala Hanin yang terpajang rapi di lemari kamarnya, saking seringnya dia mengikuti perlombaan itu.Hanin merasa semakin terbang bebas meski t
Hanin siaga satu.Dia masih memantau dari jauh. Gadis asing itu mulai mengajak Hanan berbicara, mungkin meminta izin agar bisa duduk di kursi kosong sebelah Hanan. Hanin mendelik tidak suka, langsung menatap sekeliling yang ternyata semua kursi sudah terisi penuh.Hanin siaga dua. Gadis itu mulai berdiri dari duduknya dan menghampiri Hanan yang masih tidak merespon si gadis asing itu. Hanum yang ditinggalkan oleh Hanin hanya bisa mengernyit bingung, akhirnya ikut menyusul Hanin.Hanin siaga tiga. Anak gadis satu-satunya dari Abian dan Flora itu sudah mengajak gadis asing tadi berbincang."Hanan nggak akan kasih izin lo duduk di sini," ujarnya langsung, menunjukkan raut wajah tak senangnya. Gadis yang baru pertama kali Hanin lihat itu langsung kikuk sendiri."Oh, gitu, ya?" Dia terlihat meringis pelan. "Maaf, aku nggak tahu. Soalnya kursi lain udah penuh," lanjutnya.Hanan yang menyadari kehadiran Hanin menaikkan satu alisnya. Mul
Tawa Hanin kembali pecah melihat isi bekal Zahra yang benar-benar mirip seperti anak TK. Isi bekal Zahra berupa nasi merah yang berbentuk hati dan tak lupa juga ada mata, hidung dan mulut tersenyum yang terbuat dari rumput laut. Astaga, kenapa teman baru Hanin begitu lucu begini, sih? Hanin langsung teringat isi bekal ini yang pernah dia dapatkan saat sekolah dasar dulu."Papi lo lawak." Hanin mencoba meredakan tawanya lagi."Papi aku itu ganteng, lho. Selain sayang sama aku, Papi jadi bahan rebutan para pelayan di rumah kami." Zahra bercerita antusias tanpa Hanin minta. "Ya, tapi gitu. Papi terlanjur setia sama Mami, jadi nggak akan pernah tergoda sama siapapun," lanjutnya."Seganteng apa sih Papi, lo?" Hanin jadi penasaran, menumpukan kedua tangannya di atas meja dan menatap Zahra yang sudah mulai menyantap isi bekalnya."Ganteng pokoknya," jawab Zahra pelan. Matanya tak sengaja melirik ke arah Hanan yang sedang mengantri membeli es minuman. "Ga
Dia dan Zahra baru saja berkenalan hari ini. Dan, Hanin belum tahu dengan jelas bagaimana keluarga Zahra ini. Selagi Zahra baik padanya maka Hanin masih mau saja berteman dengan gadis super polos ini.Zahra di tempatnya kini tiba-tiba tersenyum misterius. " Kamu benar juga!" ujar cepat, kemudian buru-buru memegang lengan Hanin sehingga menghentikan aktivitas menulis mereka. Nin, izinin kembaran mu anterin aku pulang hari ini, ya? Biar Kak Catur lihat aku pulang sama cowok lain."Ini permintaan aneh menurut Hanin!Hanin langsung saja melototi Zahra yang langsung meringis pelan melihat raut wajha Hanin itu. "Nggak, ya!" ketusnya. "Kan, udah gue bilangin lo tadi. Hanan itu sudah punya Hanum. Lo jangan genit-genit sama dia!"Bibir mungil Zahra mengerucut lucu. "Aku nggak genit sama kembaranmu itu. Aku cuman butuh dia satu hari aja untuk nganterin aku pulang," balasnya, tidak mau kalah untuk perdebatannya ini dengan Hanin."Tetap nggak boleh!"
"A-aduh Kak, jewer ya pelan-pelan, dong!" pekik Hendra mencoba bernegosiasi dengan sang kakak yang kini menarik telinganya tanpa perasaan sama sekali."Diem lo!" sungut Hanin. Menarik adiknya masuk ke dalam mansion. Hanin mau ngadu sama Mommy kalau sibegadulan ini lagi dan lagi memanjat pohon jambu. Padahal Mommy sudah sering melarang, tapi tetap saja tidak di dengarkan adik tersayangnya ini."Mommyyyyy." Hanin berteriak. Mansion ini sudah mirip hutan saja karena Hanin sering berteriak tanpa sebab. Makanya semua pelayan dan pekerja lainnya, sudah tidak heran ketika mendengar Nona mereka berteriak tiba-tiba."Ih, Kak! Katanya tadi udah janji nggak bilang ke Mommy." Hendra menatap kakaknya sebal. Kalau tahu begini, Hendra tidak akan mau turun dari pohon tadi setelah mendengar ancaman kakaknya.Hanin melirik adiknya itu sinis. Semakin menguatkan jeweran telinga adiknya itu. Keduanya terus melangkah menuju ruang tengah, Hanin yakin Mommy mereka ada di
Di belakang Zahra ada tiga pelayan yang kini menatap nona mereka dengan cemas. Mereka takut kalau nona mereka menangis karena dibentak atau di usir maminya sendiri."Mami!" Zahra menghela napas pelan. "Mami mana, sih? Zahra mau makan malam ini, lho. Zahra udah laper," keluhnya. Berharap pintu di depannya ini segera terbuka.Dan, malam ini harapan Zahra terkabul. Pintu terbuka, tapi bukan sang mami yang dia dapatkan. Melainkan pelayan pribadi maminya yang kini menatapnya lelah."Nona, sebaiknya Anda kembali ke rumah Anda," ujar pelayan itu.Namun, sangat disayangkan sekali kalau Nona mereka ini begitu keras kepala sekali. "Nggak mau! Zahra nggak mau pulang sebelum makan malam bareng Mami dan Kakak Zahra," tolaknya terang-terangan."Nona, mohonlah untuk mengerti!""Emangnya Bibi siapa untuk Zahra mengertikan? Zahra mau masuk sekarang!" balas Zahra. Dia hendak menerobos masuk. Tapi, pelayan pribadi maminya itu dengan sigap menahan l
Sedangkan Abian menatap putrinya itu cukup lama. Kemudian menggeleng pelan. "Nggak! Kamu nggak Daddy kasih izin untuk naik motor sendiri. Kalau apa-apa sama Hanan aja," jelasnya. Bahu Hanin meluruh. "Ya, kok gitu, sih, Dad? Daddy nggak adil dong kalau gitu," protesnya. "Daddy nggak mau kamu kenapa-napa sayang. Mending sama Hanan aja naik motornya, kamu di bonceng sama dia." Abian menatap putrinya itu penuh penegasan. "Nggak seru, Dad." Hanin mengerucutkan bibirnya. "Lebih seru naik motor sendiri," sambungnya. "Nggak boleh, sayang." Hanin menunduk sedih. Dulu dia pikir jadi anak perempuan itu satu-satunya enak. Tapi, dia salah besar. Dia malah agak terkekang, apa-apa tidak boleh, dikit-dikit tidak boleh. Daddy menjaganya dengan kewaspadaan. Takut dia luka atau lecet sedikit saja. Belum lagi Hanin punya tiga pengawal yang selalu memantaunya saat mereka bersama-sama. Meski Hendra nakal begitu, Hendra selalu pose