Mendengar pemberitahuan dari Rafael, Gendis segera pulang setelah berterima kasih terlebih dahulu.
Wanita itu bahkan tanpa sadar melupakan mobilnya yang masih terparkir asal di lapangan kodam, ia terus berjalan kaki membawa ribuan kupu-kupu yang beterbangan dalam dada sampai kedua matanya melihat kelengangan di bagian halaman rumah. Aneh, seperti ada yang kurang."Lho, mobilku! Astaghfirullah nanti aja lah," tepis Gendis yang awalnya berniat kembali ke lapangan.Toh nanti akan ada upacara penyambutan di lapangan Kodam. Kembali dengan langkah lebar dan senyum cerah Gendis masuk ke rumah tanpa mengucap salam.Berniat mengejutkan Galuh. Kejutan yang mengejutkan begitu pikirnya.Wanita itu mencari keberadaan Galuh ke seluruh ruangan namun nihil. Hanya jaket juga tas besar yang teronggok di atas kasur, sedang sang empunya entah kemana.Di tengah pencariannya sayup-sayup terdengar suara Galuh tengah berbincang di taman belakang dan Gendis mulai beranjak ke area belakang rumah hingga netranya menemukan Sang Suami."MAS GALUH!" pekik Gendis girang.Wanita itu tak mampu menahan diri. Matanya berbinar indah sarat akan kebahagian. Gendis berlari dan memeluk sosok pria bertubuh gagah yang tengah berdiri membelakanginya. Menghidu lama aroma maskulin yang sudah lama tak ia hirup.Tanpa malu Gendis sesekali mengecupi bahu lebar Galuh. Mengabaikan tatapan sepasang suami istri paruh baya yang juga berada di sana."Liat-liat kalau mau mesra-mesra. Jangan di tempat terbuka, kayak nggak punya malu saja!"Gendis yang mendengar omelan Ibu mertunya lantas menarik kedua tangannya yang melingkari perut Galuh. Wanita itu berjalan pelan ke sisi kanan Galuh dengan seutas senyum kaku.Sungguh tadi ia kira Galuh tengah berbicara lewat ponsel. Tak tahunya ada mertua Gendis yang menemani suaminya saat ini."Gendis kangen Mas Galuh Bu, jadi tadi tidak sadar kalau ada Ibu sama Bapak di sini, maaf nggeh Pak, Bu" sahut Gendis pelan dan santun.Ia segera mendekat dan menyalami tangan mertuanya. Ya walaupun ketika ia hendak mencium punggung tangan itu, wanita paruh baya tersebut segera menepis Gendis seolah jijik.Memang, dari awal Ibu mertuanya menolak keras hubungan Gendis dan Galuh. Ketika resepsi menikah dulu pun Ibu mertuanya enggan berfoto bersama.Jangan tanya bagaimana respon Galuh. Pria itu hanya diam dan memberi nasehat agar Gendis sabar menghadapi sosok Ibu suaminya itu."Ibuk sudah sepuh, jadi jangan diambil hati kalau ada kata-kata yang nggak enak didengar."Itulah kalimat yang selalu Galuh gaungkan padanya. Karena itu juga Gendis terus bersikap seolah tak terjadi apapun padanya meskipun berulang kali tancapan belati mengenai batinnya karena ucapan Ibu Galuh.Selama Galuh terus berada di sampingnya maka semua akan baik-baik saja. Tonggak kebahagian ada pada Galuh, begitu pula sebaliknya, jika pria itu terluka maka Gendis lah yang akan merasakan sakitnya."Kangen kok nggak tahu suaminya pulang dinas. Istri macam apa Kamu!"Gendis hanya mengulas senyum tipis sembari mengatakan maaf sekali lagi tanpa menjelaskan mengapa dirinya bisa telat menjemput Galuh."Ya sudah. Bapak sama Ibu pulang ya Luh," suara Sapta, Bapak Galuh terdengar.Membuat Gendis yang semula menunduk segera mengangkat kepalanya, "tunggu dulu Pak, Bu. Ayo makan siang dulu. Tadi Gendis masak banyak.""Dasar boros. Bisanya ngabisin duit suami."Lagi dan lagi. Padahal selama ini separuh gaji suaminya ia tabung dan separuhnya lagi ia berikan pada Ibu mertuanya. Tapi Gendis hanya menarik napas dalam tanpa menghilangkan senyum dari parasnya."Kalau Ibu tidak mau makan di sini, biar Gendis bungkus dulu ya Bu," beritahu Gendis."Pake rantang biar sopan," celetuk Ibu Galuh lagi"Enggeh Bu, pake rantang. Tidak mungkin pake daun pisang. Ada-ada deh Ibu mertua Gendis yang cantik ini," gurau Gendis dengan tawa renyah.Sejudes apapun, Gendis paling suka menggoda Sri, ibu mertuanya. Apalagi kalau wajah Ibu mertuanya terlihat geli karena ulahnya. Lucu.Gengsian!****Langit malam mulai membentang, memamerkan ribuan kerlip bintang yang bertebaran. Terlihat indah apalagi tak ada gumpalan awan yang menghalangi ketika hendak menikmati karya Tuhan malam itu.Rasi-rasi bintang dapat Gendis lihat dengan jelas. Ia hanya perlu menarik satu garis titik bintang ke titik lainnya yang akhirnya membentuk sebuah pola.Desir angin membelai lembut paras Gendis karena wanita itu tengah duduk tepat di samping jendela kamarnya yang terbuka. Menunggu Galuh yang saat ini sedang mengunjungi rumah Pak Hari.Rencana sudah ia rancang jauh-jauh hari. Malam ini Gendis harus mendapat benih dari Galuh. Usinya sudah hampir dua puluh delapan tahun dan Galuh juga sudah berumur tiga puluh tiga tahun. Rasanya sudah cukup mereka menunda untuk memiliki bayi.Karena itu Gendis tadi sudah membolongi semua pengaman milik Galuh. Ia juga mengikuti intruksi Bu Hari agar Galuh diberi ramuan sebelum mereka melakukan ritual berkembang biak tersebut. Ramuan khusus racikan Bu Hari sendiri.Mengingat Itu Gendis tertawa sendiri, konyol sekali. Seolah Gendis akan mencuri paksa benih Galuh. Padahal kan tidak, Galuh beralasan masih ingin selalu berdua dengan Gendis tanpa adanya anak kecil.Namun Gendis menginginkan sebaliknya. Ia ingin melahirkan anak untuk Galuh, dengan itu maka hidupnya akan semakin sempurna."Senyumin siapa Dis?"Gendis terperanjat, padahal ia tak mendengar suara langkah kaki. Namun Galuh tiba-tiba sudah ada di belakangnya. Mungkin ini adalah salah satu kemampuan seorang prajurit pikir Gendis."Eh Mas Galuh, ngagetin."Wanita itu berdiri dan kembali memeluk tubuh Galuh. Merapatkan diri agar kembali mendapat kehangatan dari tubuh liat suaminya.Galuh bukan pria berkulit putih, melainkan kecoklatan, tubuh tinggi dengan otot yang tercetak jelas kala pria itu mengenakan kaos oblong. Selalu membuat pusing keimanan Gendis. Alis tebal berbentuk pedang, Mata setajam elang, hidung mancung dengan bibir yang sedikit tebal. Apalagi jika sudah memberi perintah dengan suara tebalnya!Siapa kiranya yang dapat menolak kharisma suami Gendis? Gendis semakin merapatkan pelukan, menghancurkan jarak diantata mereka sembari sesekali mengecupi rahang Galuh.Begitu pula Galuh. Tangan pria itu merengkuh tubuh Gendis yang hanya setinggi dadanya. Begitu mungil."Mas ... kangen.""Hmmm ...."****TRIIIINGGG!Suara alarm yang berbunyi nyaring menghentak indra pendengaran Gendis, membuat sepasang kelopak mata yang berbingkai bulu mata lentik itu terbuka seketika.Menatap area sekitar dengan linglung hingga menangkap bias-bias jingga pada langit dari jendela kabar.Fajar sudah menyingsing dengan memamerkan warna jingga yang begitu apik. Namun Gendis menghiraukan panorama indah tersebut.Wanita itu berjalan terseok dengan membawa selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Pipi Gendis pun mendadak merona setelah mengingat adegan semalam namun segera menggeleng cepat untuk menghapus ingatan tersebut. Malu.Galuh sudah bangun, namun entah kemana. Mungkin berlari keliling perumahan seperti yang biasa pria itu lakukan. Gendis iri, bagaimana bisa Galuh masih memiliki tenaga setelah semalam mereka menghabiskan malam panjang. Sedang dirinya kini harus berjuang sendiri hanya untuk ke kamar mandi.Kedua lutut Gendis gemetaran untuk dibawa berjalan, inti tubuhnya pun masih nyeri. Bahkan ia merasa seluruh tulang persendian Gendis seolah akan copot jika disentuh sedikit saja. Ah!****Makasih banyak karena sudah mampir. Lup sekebon.Gendis mendapat kabar jika acara bazar kemarin berjalan lancar. Seruni juga memberikan satu amplop berupa undangan agar Gendis menghadiri acara puncak amal. Semua sudah disiapkan dan kali ini baru pertama kali bagi Gendis merasakan bisa berbaur dengan para istri prajurit yang lain. Saling bergotong royong dan bahu membahu agar acara berjalan lancar.Semua ibu-ibu bersikap ramah, tak ada satupun dari mereka yang bersikap seperti Ibu mertuanya, hanya saja Gendis masih heran mengapa dulu mereka menjaga jarak dari Gendis. Apa mereka takut Gendis akan berbicara yang tidak-tidak pada media?Untuk apa juga Gendis melakukan hal itu. Bukankan sudah ada peraturan tersendiri? Gendis pun enggan untuk mengekspose kehidupan pribadinya sebagai Ibu Persit pada Media.Apalagi ia telah memutuskan keluar dari dunia entertaint setelah resmi menikah dengan Galuh."Seruni, nanti Mbak mau ke rumah mertua dulu. Mbak minta tolong ya nanti, anterin ke rumah mertua. Mobil Mbak ketinggalan di lapangan Kodam,"
TOK ....TOK ....TOK ....Sebuah ketukan pada pintu kayu terdengar, akan tetapi tak lagi membuat Gendis merasakan euforia. Tak seperti hari kemarin dimana ia selalu menantikan ketukan pintu rumah dengan hati berdebar untuk kemudian membukakan pintu. Menyambut sang pemilik jiwa dengan senyum manis dan tatapan penuh puja.Sekarang Gendis memilih abai. Wanita itu menggelar sejadah, menutup mata dan telinga kemudian menyebut asma Tuhan untuk menenangkan batinnya yang bergejolak dahsyat. "Gendis ...."Galuh berhenti memanggil ketika netranya menemukan Gendis yang sudah mengenakan mukena dan bersiap sholat Maghrib.Senja memang sudah menyapa, mega merah terbentang di ufuk barat tanda masuknya waktu awal Maghrib.Pria itu menarik napas panjang sembari menghampiri Gendis. Duduk di sebelah Gendis tanpa melakukan apapun, hanya menatap paras Gendis yang kini sedang menutup kelopak matanya.Ia baru dapat kabar dari Seruni kalau Gendis dan gadis itu tadi hendak mengambil rantang di rumah orang t
Gendis diantar pulang oleh sekertaris Arman, pria bernama Diga itu menatap kasihan sosok wanita yang duduk diam di sampingnya itu.Tadi Gendis mendapat dua tamparan dan jambakan keras dari istri atasannya. Ada tiga luka memanjang pada pelipis Gendis juga robekan kecil pada satu sudut bibirnya.Rambut Gendis juga acak-acakan. Namun bukan itu fokus utama Diga, melainkan ekpresi Gendis yang memancarkan kesenduan yang hanya wanita itu simpan sendiri."Sudah sampai Bu, Ibu mau Saya bantu ke dalam?"Rasanya tak sopan jika Diga tiba-tiba merangkul dan mengantar Gendis ke dalam rumah tanpa izin dari wanita itu sendiri."Nggak perlu, sssttth ...."Gendis mendesis kesakitan ketika perih mulai terasa dari sudut bibirnya, dengan perlahan Gendis keluar dari mobil dengan berpegangan pada tangan Diga. "Makasih, tolong sampaikan sama atasanmu itu ... kasih tahu istrinya tranferan itu untuk apa. Cukup media saja yang tidak tahu kebenaran uang itu. Tapi Rena harus tahu," ujar Gendis.Diga hanya mengan
Kegaduhan mulai terdengar di perumahan tempat tinggal orang tua Galuh. Pun kabar tentang Gendis yang diserang Renata sudah sampai di telinga Sonia karena para teman dan tetangga asik menggodok gosip tersebut. Link-link berita yang memuat video Gendis dipukul sepupu jauhnya itu bertebaran di linimasa media sosial.Sonia yang memang tak menyukai Gendis, karena menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Renata, jelas saja langsung mengadukannya pada Sri dan Sapta.Seroyal dan seloyal apapun Gendis pada keluarga mereka tetap saja Sonia risih dengan keberadaan Gendis ketika wanita itu ke rumah mereka dengan membawa makanan. Sonia yang merasa ada celah untuk memisahkan hubungan saudaranya itu langsung mengirim link video tentang gosip yang sekarang menyeret nama Gendis pada Galuh."Mas, jangan bikin keluarga malu, mending cepet cerai. Ini juga udah ada alasan logisnya biar Mas cerai. Institusi juga bakal kenak imbas lho," cecar Sonia pada Galuh. Karena chatnya tak dibalas, gadis itu nekat
Selepas sholat isya, Gendis benar menemui Galuh yang sudah menunggunya di ruang tamu.Suasana senyap, Galuh yang tengah duduk tepat di depan Gendis terus menatap lekat paras wanita di depannya yang tengah menunduk. Tak ditemukan lagi senyum manis di sana. Hanya wajah tanpa ekspresi juga sorot mata yang tenang seolah tak terjadi apapun."Kamu tahukan setelah ini mungkin Kamu akan dikenakan sanksi, mungkin Mas juga. Paling tidak jabatan Mas akan dicopot karena ini."Gendis tak menampik ucapan Galuh, perbuatan Renata padanya akan membuat posisi Galuh terancam. Namun semua orang hanya tahu bahwa dirinyalah yang membuat Galuh kesulitan. Bahkan pria itu sendiri menganggapnya seperti itu.Gendis yang tengah menatap tepian gelasnya mengangguk pelan. Jemarinya berputar mengitari bibir gelas, meresapi sisa kehangatan dari teh hijau yang ia buat. "Maaf Mas. Gendis akan bertanggung jawab tanpa melibatkan Mas Galuh."Galuh memejamkan netranya sesaat, tak puas dengan jawaban Gendis. Apa wanita it
"Kenapa Bang?" Rafael mendekat ketika melihat kerumitan pada wajah Galuh, lalu mengangsurkan segelas kopi miliknya ke hadapan pria itu. Karena sepertinya lebih butuh kafein dari pada Rafael. "Nggak ada apa-apa." "Mukanya kok gitu, lagi ribut Sama Bu Kapten Bang?" tanya Rafael lagi. Tak puas dengan jawaban yang ia dapatnya. Galuh berdecak, menjulurkan tangannya untuk menyentil kepala Rafael, "kepo." Selepas apel pagi, Galuh memilih berdiam di barak. Terus teringat ucapan terakhir Gendis sebelum wanita itu pergi membawa kopernya. "Tujuan Mas sudah selesai, kesepakan Mas udah ada ditahap finish jadi mari kita selesaikan dengan baik-baik." Dan sekarang sebelum ia bisa memperbaiki komunikasi mereka, Gendis memilih menyudahi hubungan antara keduanya. Galuh merasa kosong. Padahal itu memang tujuan awalnya, tapi entah mengapa sekarang ia merasa tak terima. Harusnya Galuh yang menggugat Gendis bukan? "Bang, jangan suruh istri Saya buat jauhin Bu Kapten ya Bang. Istri Saya uda
Galuh membuka pintu rumah dengan senyum yang mengembang sempurna. Sore-sore makan pisang goreng ditemani teh hangat, rasanya sempurna."Dis, Mas dikasih pisang goreng sama Bu Hari, buatin teh anget yah. Kita makan bareng-bareng."Langkah kaki Galuh menuntunnya pada area dapur. Mencari keberadaan wanita yang biasanya tengah memasak untuknya."Di—" Baru hendak memanggil lagi, ingatan Galuh menampar pria itu kala netranya menangkap kelengangan yang hampa. Galuh meletakkan piring berisikan pisang goreng pada meja dengan kasar. Memejamkan mata, kemudian menyugar rambutnya."Sial!" desisnya tertahan.Galuh gusar, ia tak harus seperti ini. Tak harus mengalami ke mellow-an yang hanya dialami perempuan saja. Ya ... Galuh mengangguk, ini hanya efek karena ia terbiasa dilayani Gendis. Lambat Laun dirinya akan terbiasa lagi tanpa wanita itu.Dengan mengokohkan hati, Galuh menarik kursi. Tubuh tegapnya segera duduk dan menikmati pisang goreng yang masih hangat sendirian di tengah kehampaan yang c
"Lihat deh Bu, ini Papanya Bu Gendis kan?" Seruni memperlihatkan layar ponselnya pada Rahayu. Menunjukkan berita dari salah satu akun gosip yang menampilkan sebuah konferensi pers tentang istri Kaptennya dan Arman. Ada sebuah rasa bangga yang luar biasa dalam dada Seruni karena selama ini dugaan bahwa Gendis wanita terhormat benar adanya. Bu Hari yang sedang membuat makan malam segera mendekat ketika dipanggil Seruni, "oalah, iya Mbak. Ini Papanya Bu Kapten. Tapi Bu Gendis mana yah?" Keduanya mengerutkan kening sambil menajamkan mata. Mencari keberadaan Gendis, siapa tahu ada di deretan kursi yang menampilkan beberapa artis yang Seruni kenal. "Nggak ada Bu, tapi bukannya Bu Gendis lagi pulang yah ke rumahnya. Kok nggak ikutan klarifikasi?" "Mungkin karena udah keluar dari dunia entertainment Mbak. Jadi nggak mau muncul-muncul lagi di depan wartawan." Seruni mengangguk, ucapan Ibunya masuk akal mengingat Gendis pernah mengatakan jika wanita itu sudah keluar sepenuhnya dar
"Enak?" Secara tak sengaja Gendis bertanya pada Galuh. Pria yang saat ini sedang duduk dilantai beralaskan karpet dan menyadarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Membiarkan jemari Gendis memijat kepalanya. "Hm," gumam Galuh dengan senyum yang terus berpendar pada parasnya. Di tengah temaram cahaya, rayuan angin yang menyapa kulit serta aroma terapi yang memenuhi ruangan, Galuh tak menyangka ia akan mendapat sebuah kejutan seperti sekarang ini. Sikap Gendis sedikit lunak, dan sekarang ia mendapatkan kembali rutinitas malam yang selalu Gendis lakukan padanya dulu. Ibu jari Gendis sedikit menekan area belakang leher Galuh, menarik kaos polos pria itu agar sedikit ke bawah dan membuat dirinya semakin leluasa memijat Galuh. "Ini apa?" tanya Gendis datar. Ada goresan yang terlihat jelas. Dahi Gendis berkerut, melihat dengan seksama goresan itu. Sedikit panjang namun tak begitu lebar. Itu ... seperti bekas jahitan! Ya ... itu bekas jahitan. Dulu Galuh tak memiliki luka p
Suasana hening semenjak beberapa menit yang lalu. Gendis fokus pada tampilan layar laptop milik Ririn, nampak seorang wanita yang bermain panas dengan dua pria sekaligus di sana. Kulit yang berkilau di bawah temaram cahaya, desahan halus yang terkadang bercampur rengekan manja, juga pukulan panas yang semakin membuat suasana membara. Gendis meringis, hidungnya mengkerut dengan ekspresi tak percaya juga jijik sekaligus. "Parah Men," gumamnya yang jelas masih di dengar oleh Ririn. "Udah, Aku nggak kuat Rin. Jijik banget. Pen muntah." Tangan Gendis mendorong benda elektronik di depannya. "Faktanya ini Video editan Dis," beritahu Ririn, jemari wanita itu kembali mengutak-atik laptopnya untuk kemudian ia geser kembali ke hadapan Gendis. "Ini aslinya." "WHAT!" "Total ada delapan video panas, dan pemeran laki-lakinya juga beda Dis." "Astaga! Seriusan?!" seru Gendis dengan dua netra yang melotot horor. Satu video saja Gendis sudah ngeri-ngeri tak sedap melihatnya. Apalag
"Nia pulang," pamit Sonia. Gendis berdeham. Ke dua maniknya mengiringi bayang adik iparnya tersebut sampai gocar yang Sonia pesan menghilang dari pandangannya. Sudah dua hari gadis itu menginap, dan entah mengapa meskipun hanya ada perdebatan dan keributan dalam komunikasi mereka, Gendis merasa curiga. Aneh, bahkan kemarin Gendis memergoki Sonia ketika gadis itu mendapat telpon yang katanya dari temannya itu. Tiap gerak gerik yang Sonia lakukan menurutnya sangat aneh. "Dek, ayo ke dalem. Anginnya lumayan kenceng nanti Kamu masuk angin lagi." Bariton tebal namun lembut itu menyadarkan Gendis dari lamunannya, ia bergegas ke dalam karena angin malam memang lumayan kencang. Membuat pori-pori kulitnya mengerucut seketika. "Mas minta maaf soal kemarin." Gendis tak menjawab, terus berjalan dengan Galuh yang senantiasa selalu mengikuti langkah kaki sang istri. "Dek ...." "Apa sih, orang salahnya sama Nia kenapa minta maafnya sama Gue." Galuh menghela napas, mengacak-acak
Belum seminggu tinggal di rumah yang awalnya Gendis kira kediaman Rena, eh sekarang malah ada satu saudara menyebalkan yang bertamu. Hari masih pagi, masih begitu dini untuk memulai sebuah perang antar ipar yang sebenarnya sangat tidak berfaedah baginya. "Apa?" tanpa basa basi Gendis menembak Sonia. Perempuan yang masih sama. Masih sama dengan menunjukkan raut tak suka padanya. Siapa peduli, Gendis juga sudah kebal dengan tingkah laku Sonia yang seperti itu. "Kenapa Mbak ikut Mas Galuh pulang. Harusnya Mbak tuh nggak usah balik, nggak pantes seorang artis sensasional seperti Mbak Gendis jadi pendamping Mas Galuh. Turun martabat Mas Galuh kalau Mbak jadi istrinya." Benarkan? Salah satu sudut bibir Gendis terangkat, tersenyum sinis dengan dengusan kasar yang membuat Sonia semakin meradang. Gadis itu tak peduli dianggap sebagai ipar adalah maut atau embel-embel sebutan yang lain. Jelasnya dia ingin Galuh kembali pada Anindya. "Udah ... kemarin juga Gue kok yang ngehambu
"Pagi ...." Sebuah kecupan beserta bisikan manis menghampiri Gendis. Wanita itu baru saja membuka mata lalu disambut sikap Galuh yang lagi-lagi membuat Gendis risih. Pria itu duduk di samping tempat tidur dengan tatapan mengunci wajah Gendis. Menikmati tiap ekspresi Gendis yang ternyata sangat ia sukai. "Subuh," sahut Gendis sekenanya. "Sholat bareng yuk. Mas udah siapin sajadahnya," ajak Galuh. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya Gendis lekas memindahkan selimut. Bergerak perlahan karena perut membuncitnya sudah cukup menyulitkan Gendis. "Ini sendalnya," ucap Galuh memberitahu dengan tangan yang sigap meletakkan sepasang sandal bulu pada lantai yang akan Gendis pijak. Wanita itu menutup matanya, kemudian satu tangannya terangkat menahan pergerakan Galuh yang hendak membantunya untuk berdiri. "Bisa nggak sih, Lo itu diem? Atau maksimal jangan nunjukin muka gitu," ungkap Gendis datar. Tak peduli dengan ekspresi Galuh yang kehilangan senyumnya Gendis lekas berdiri dan b
"Papa nggak bakal lepas Kamu begitu saja kalau nggak ada jaminannya Mbak. Ini bukan tentang mendorong Kamu ke jurang yang sama. Melainkan memberikan Kamu kesempatan untuk membalas suamimu itu," jelas Arjuna dengan suara tebalnya. Gendis mendengus kasar. Sejak sore tadi ia sudah berdebat dengan Rahayu dan Arjuna. Jelas ia kalah! Dua lawan satu. Apalagi kedudukan keduanya adalah orang tua Gendis yang mana Gendis tak boleh menaikkan suaranya. "Ya meskipun nggak seberapa total hartanya setidaknya kalau dia macam-macam lagi, Kamu bisa kutuk dia jadi gembel." Sudut matanya melirik Galuh yang masih berekpresi santai meskipun baru saja Arjuna melontarkan kalimat yang cukup tak baik untuk didengar. Memang Galuh punya pekerjaan sampingan? Ah ... tidak, Gendis menggeleng pelan namun terdiam lagi setelah memikirkan mungkin Gendis saja yang tidak tahu bahwa Galuh memiliki bisnis. Sudahlah, Gendis juga bukan wanita mata duitan. Warisan dari Arjuna, juga penghasilan dari bangunan aparte
Kamu adalah serpihan luka yang belum mampu Aku obati, lantas mengapa Aku harus memberanikan diri untuk kembali menggores luka tersebut. ***** Kutipan dari salah satu novel yang selalu Gendis ingat sejak satu minggu yang lalu. Ya ... Galuh seperti luka yang tak dapat Gendis sembuhkan kecuali Galuh sendiri yang mengobati. Namun bagaimana cara ia menghadapinya? Berulang kali Rahayu meyakinkan Gendis, begitu pula Asmara yang seakan pantang menyerah membujuk Gendis untuk memberi Galuh kesempatan agar membuktikan diri bahwa saat ini pria itu telah berubah. Namun lagi-lagi Gendis takut. Dulu ia memiliki harapan yang tinggi namun dihempas begitu. Suara pagar terdengar, menghentak lamunan Gendis sampai akhirnya tersadar bahwa mobil yang ia kendarai sudah memasuki halaman rumah. "Gimana tadi pas periksa Mbak?" Rahayu menyambut Gendis kala wanita itu baru turun dari mobil. "Alhamdulillah normal Mah. Debay juga sehat." "Alhamdulillah." Rahayu tersenyum lembut dengan helaan nafa
"Nduk, Kakung dengar, Kamu Ndak mau ikut suami pulang yah? Kenapa? Dosa lho." Pertanyaan pertama dari Kakung membuat Gendis menghela napas. Tadi ia menolak keras permintaan Galuh pada orang tuanya kala pria itu hendak kembali ke daerah dimana pria itu bertugas. Gendis mementahkan semua permintaan Galuh juga keluarga pria itu. Terlihat jelas mereka sedih, tapi Gendis tak percaya bahwa perlakuan mereka akan berubah. Lebih baik Gendis tinggal bersama Arjuna dan Rahayu agar mentalnya sehat disaat hamil seperti ini. "Enggih Kung, soale Gendis masih harus rutin periksa kehamilan. Kalau ikut pulang, jarak rumah sama klinik jauh," dusta Gendis lancar. "Benar? Bukan karena Kamu enggan memberi Galuh kesempatan?" Entah mengapa Gendis merasa Kakungnya ini sekarang berpihak pada Galuh. Manik Gendis melirik Asmara disaat wanita itu juga tengah melihat pada Gendis. Mengisyaratkan permintaan tolong agar Mara membawanya dari ruang keluarga. Seharian kemarin ia sudah direcoki dengan ked
Sebenarnya Kakung dan Eyang putri Gendis tadi hampir memarahi Rahayu sebab tak ada ketupat, lepet juga urap dalam sajian empat bulanan Gendis. Namun ketika keluarga Galuh datang dipertengahan acara tadi, kegusaran Kakung hilang karena besan putrinya itu membawakan semua itu. Ketupat, lepet ketan, lauk urap adalah jajanan yang harus ada ketika mengadakan acara seperti sekarang. Rahayu mendekati Sri dengan seutas senyum di wajahnya, "Maaf Bu, baru bisa nemuin." "Oh nggak apa Bu, Kami juga ke sini tanpa pemberitahuan lebih dulu," sahut Sri menyambut pelukan Rahayu. Wanita dengan keramahan yang luar biasa membuat Sri selalu bersyukur karena putranya mendapatkan mertua seperti Rahayu. "Apa kalau ada acara memang selalu mengundang anak-anak Bu?" "Iya Bu, Gendis selalu meminta agar kami mengundang anak-anak dari yayasan Bu. Putri Saya memang suka anak kecil. Katanya lucu, mungkin karena anak-anak itu masih polos nggeh Bu." Sri mengangguk, memang ... selama ini Gendis menunju